Lelah seharian tanpa istirahat Fia memutuskan untuk tidur lebih cepat. Tidak perduli akan menjadi amukan Ibu mertuanya, semua menu untuk makan malam tersaji di meja makan sehingga Fia memutuskan untuk berdiam diri di kamar.
Suara ketukan terdengar rasa lelah yang tak bisa ia tahan membuat Fia enggan bangun, ia tetap berbaring dengan mukena masih menempel di tubuhnya. "Fia, kamu sakit? Kenapa kamu tidak turun makan malam?" tanya Faris, pria itu melihat keadaan istri tuanya yang tidak turun sejak sejam lalu usia makan malam. Kedatangan Faris di kamar Fia, bukan lain bukan karena perintah Ibunya untuk memanggil Fia agar membersihkan meja makan yang berantakan. "Aku tindak apa-apa, mas," sahut Fia lirih, perutnya terasa kram sehingga berapa kali Fia meringis kesakitan. "Fia apa yang kamu rasakan?" cemas Faris melihat wajah Fia semakin pucat. Matanya terpejam kuat. "Fia bangun ada apa, ini Fia? Apa yang kamu rasakan Fia, Fia!!" "Faris lama banget sih, cuma manggil aja pake waktu. Itu kenapa lagi? Fia bangun jangan bikin drama kamu!" Bu Winda mengguncang tubuh Fia yang terdiam wajahnya semakin pucat membuat Faris dan Bu Winda panik. "Cepat bawa wanita ini ke rumah sakit. Jangan sampai dia mati di sini bisa-bisa kita yang repot!" Faris mengangguk mengikuti perkataan Ibunya, dengan langkah cepat ia menuruni tangga Jordan dan kedua orang tua Rara terkejut melihat Faris turun dengan mengendong tubuh Fia yang masih tertutup mukena. "Fia kenapa Faris?" tanya Jordan, walau bagaimanapun Fia adalah menantu pertamanya. "Mas, kita bawa aja ke klinik yang deket. Tidak usah bawa ke rumah sakit terlalu jauh," ujar Rara, meski bibirnya berkata lembut namun, tatapan tidak suka pada Fia tercetak jelas di sana. "Ya." "Tunggu pake mobilku aja, Faris baringkan Fia!" Mereka saling pandang melihat kesigapan Erik untuk membantu. "Aku ikut!" Rara menerobos masuk ke mobi Erik walau sang pemilik keberatan. Bu Winda urung masuk ke mobil ia memilih berdiri, memperhatikan mereka yang membawa Fia ke klinik. Bagi wanita paruh baya itu Fia hanya membuat gara-gara hanya untuk menghindar dari pekerjaannya. "Kenapa kita lewatin kliniknya? Apa kamu ingin membawa Fia ke rumah sakit?" tanya Rara tidak suka jika dua pria itu perhatian pada Fia. "Apa kalian tidak berfikir klinik itu dekat, Fia harus mendapatkan perawatan secepatnya terlalu jauh jika kita ke rumah sakit! Alangkah baiknya kita balik lagi klinik sudah kelewatan, jika nanti harus ke dokter setidaknya dia dapet pertolongan dulu!" imbuhnya kesal. "Erik yang di katakan Rara itu benar. Kenapa kita tidak membawa Fia ke klinik lebih dulu, kenapa harus langsung ke rumah sakit sehingga –" ucapan Faris terhenti, mobil yang di kendarai Erik melaju semakin cepat. Tak lama mobil memasuki halaman rumah sakit. Tanpa menunggu Faris, Erik mengangkat tubuh Fia yang semakin mengkhawatirkan tubuhnya tanpa bergerak bibirnya rapat dan wajahnya semakin putih seperti kapas. "Dokter! Cepat selamatkan Fia!!" seru Erik. Seorang dokter sigap membantu Erik meminta pada mereka untuk menunggu di luar saat tim medis memeriksa kondisi Fia. Mereka menunggu dengan cemas sudah satu jam tapi dokter tak kunjung keluar dari ruang IGD. Di antara mereka hanya dua pria yang terlihat mondar-mandir. "Dok bagaimana keadaan istriku?" tanya Faris saat pintu terbuka. "Bu Fia hanya kelelahan saat ini tolong untuk tidak di ganggu. Bu Fia masih tidak sadarkan diri," ucap sang dokter. "Aww, mas, tolong aku," lirih Rara. "Rara, kamu kenapa?" "Mas antar aku ke kantin sebentar ya, aku lupa belum makan buah. Lagi pula kita nggak tau kapan Fia sadar," ucap Rara manja. Faris terlihat gelisah tidak mungkin meninggalkan Fia yang masih tidak sadarkan diri. Namun, ia pun tak bisa menolak keinginan Rara jika tidak maka Ibunya akan mencecarnya. "Baiklah," Erik tidak perduli jika Faris dan Rara pergi. Saat ini yang ia pikirkan adalah kondisi Fia. Erik mendekati ruang IGD terlihat pintu tidak tertutup rapat sehingga Erik bisa mendengar suara dari dalam. "Dok terima kasih, maaf menyusahkan dokter," ucap Fia lirih. "Tidak perlu berterima kasih, anggap saja aku sahabatmu. Aku tahu kondisimu saat pingsan di pasar waktu itu dan sekarang kamu kembali ke sini dengan kondisi yang semakin lemah," ujar dokter itu yang prihatin terhadap Fia. "Sampai kapan kamu menyembunyikannya kehamilan ini dari suamimu? Apa tidak ingin kamu katakan padanya?" "Aku belum siap dok, aku hanya –" "Tidak apa, aku akan membantumu meski ini melanggar sumpah. Demi kamu," ucap dokter itu yang diam-diam menghubungi Fia untuk sekedar bertanya kabar Fia. 'jadi ini rahasia Fia? Dia menyembunyikan kehamilannya dari Faris?' batin Erik.Hari yang ditunggu tiba, pernikahan Poppy yang digelar secara sederhana, hanya mengundang tetangga dan saudara terdekat. Fia dan Erik serta kedua orang tua mereka hadir di acara spesial itu, memberikan selamat untuk Poppy dan Arman."Mbak, maafkan aku ya, maafkan semua kesalahanku di masa lalu. Aku..." Ucap Poppy di sela isak tangisnya."Aku sudah memaafkan semua kesalahan kamu. Sekarang waktunya kita membuka lembaran baru, selamat ya. Aku bahagia melihatmu seperti ini Poppy," jawab Fia dengan senyum hangat."Terima kasih, Mbak Fia. Aku benar-benar malu sama Mbak Fia," Poppy menundukkan kepala, merasa sedikit malu."Sudah ah, masa pengantin nangis, make-upnya jelek tahu! Tuh, lihat jadi luntur kan," Fia menggoda Poppy, membuat Poppy tertawa meskipun air matanya masih mengalir.Alangkah indahnya kebersamaan seperti saat ini. Fia, wanita yang menjadi kakak iparnya dulu, selalu dihina bahkan Poppy ikut andil mengusir Fia dan mendukung seorang pelakor. Namun, sekarang Fia telah memaafkan
Tiga tahun kemudian, riuh suara yang terdengar hingga ke halaman depan. Erik yang baru saja keluar dari mobil mewahnya mempercepat langkahnya, di sana tiga orang yang begitu berarti dalam hidupnya tengah berjalan ke arahnya. Menyambut kedatangan, setelah lelah bekerja."Assalamualaikum kesayangan, ayah. Wah, rupanya sudah tampan dan cantik. Lalu, gimana kabarnya jagoan ayah dalam sana?" Erik mengecup perut Fia, kaku berpindah memeluk Al sesaat. Hingga Erik menikah ke arah samping Al, di mana sosok putrinya yang tengah merajuk dengan berlahan Erik meraih tubuh mungil itu membawanya dalam dekapan hangat tubuhnya."Apa putri ayah ini tengah merajuk lagi? Sayang maafkan ayah, hari ini ayah sibuk banget sampai ayah tidak sempat makan dan ponsel ayah sampai habis baterai," lirih Erik, berusaha menyentuh hati putrinya yang sejak siang tadi merajuk. Erik meminta bantuan pada Fia yang justru di sambut dengan mengangkat bahu acuh. "Aduh," keluh Erik, memegang perutnya."Ayah! Ayah sakit? Aban
"Apa maksudmu bicara seperti itu Poppy? Kamu lupa siapa yang di depan kamu ini, hah?" ucap Winda, geram melihat sikap dan tutur kata putri bungsunya."Tidak ada maksud apa pun, yang aku katakan ini benar kan? Aku bingung sebenarnya kami ini anakmu bukan sih mah? Kenapa mama ajarkan hal tidak baik pada kami? Lihat ayah yang selalu memberikan contoh yang baik, walau kami lebih patuh pada mama. Satu persatu kamu hancur dan itu karena keegoisan mama dan kamu mas!" Plak "Lancang kamu! Pergi dari sini, dasar anak tidak berguna!" usir Winda, tanpa merasa bersalah telah menampar dan kini mengusirnya."Tanpa di suruh, aku akan pergi dari sini. Dan kamu mas Faris, nikmati dinginnya penjara bersama mama," "Argk pergi kamu, pikirkan rumah tangga kamu yang hancur itu. Pantas saja suamimu memilih menikahimu secara sederhana nyatanya dia cuma seorang bajingan!""Aku begini karena ulah kalian berdua. Mas kamu lupa sudah mengkhianati mbak Fia, kamu menerima perjodohan dari mama dan lihat bagaimana
Plak"Kenapa ayah menampar ku? Apa aku membuat ayah marah?" Faris, mengusap cairan merah di sudut bibirnya. "Menjijikan!" Umpat Jordan."Ck, sudahlah jangan ikut campur masalah ku dan Fia. Ayah, sebenarnya siapa yang anak ayah, aku atau Fia? Selama ini ayah tidak sedikit pun mendukung keinginanku, bukankah ayah menginginkan menantu ayah kembali?"Plak Sekali lagi Jordan menampar Faris. Jordan, ayah Faris, sangat marah ketika mengetahui kebenaran tentang Faris yang meminta syarat sebelum mendonorkan darahnya untuk Al. "Faris, apa yang kamu lakukan?! Kamu meminta syarat menceraikan Fia dari Erik sebelum mendonorkan darahmu untuk Al?!" Jordan berteriak dengan nada marah.Faris tidak peduli dengan kemarahan ayahnya. "Apa yang salah, Ayah? Aku hanya ingin Fia kembali kepadaku."Jordan tidak bisa percaya dengan jawaban Faris. "Kamu tidak memiliki hati! Anakmu sendiri membutuhkan darahmu, dan kamu meminta syarat seperti itu?! Kamu tidak layak menjadi ayah!"Faris tersenyum sinis. "Ayah tida
"Mah, Al kecelakaan? Kapan, dan di mana? Apa tadi ayah yang memberi kabar? Sekarang gimana keadaannya, ayo kita ke sana mah!" Seru Faris panik."Mah?" sambung Faris, melihat Ibunya justru tenang."Sayang, duduk sebentar. Biarkan semua berjalan sesuai rencana, dan kamu sebentar lagi mendapatkan apa yang kamu inginkan, tunggu di sini," Faris menggeleng, bagaimana mungkin Ibunya bersikap tenang mendengar kecelakaan cucunya. "Mama, sadar akan ucapan mama?" tanya Faris, tak habis pikir."Sangat sadar. Faris duduk dan dengarkan kata mama, sejengkal lagi impian kamu untuk rujuk menjadi nyata. Fia akan menghubungimu dan meminta kamu untuk mendonorkan darah dan ..." Winda menjeda ucapannya, tersenyum kelicikan tercetak jelas di bibirnya."Jadi ini semua karena ..." "Ya, mama yang melakukannya. Kamu tenang tidak ada yang melihat dan itu melalui orang suruhan mama, dan kamu pun menyetujuinya.""Ya, tapi aku tidak setuju kalau mama mencelakai Al, dia anak aku mah!" "Sudahlah, kamu yang member
"Faris? Kamu sudah pulang?" Winda mengerutkan keningnya, melihat sang putra pulang lebih awal. Mengingat baru sehari kembali bekerja di perusahaan yang berada di luar kota namun kali ini anak sulungnya sudah ada di depan pintu di jam makan siang."Bisa geser mah? Aku lelah," ucapnya lirih, sarat akan kekesalan yang terpendam."Tunggu, wajah kamu kenapa lebam begitu?" Winda menahan tubuh Faris, hal itu semakin membuat pria tampan itu semakin kesal."Mah, bisa minggir tidak?!" Winda menggeser tubuhnya, membiarkan anaknya masuk. "Mama ambilkan air minum dulu," Winda gegas ke dapur, mengambil air putih untuk putranya."Minumlah, setelah itu jelaskan pada Mama apa yang terjadi. Kenapa kamu pulang dengan wajah bonyok semua kayak gini, kamu berantem sama siapa?""Bisa diam mah? Aku lelah, aku pusing, pulang mau tenang!" seru Faris, Winda menghela napas melihat sikap Faris."Baiklah, mama akan diam. Kamu mau makan sekarang? Biar mama siapkan,""Tidak perlu!" Faris meninggalkan Winda begitu