Bismillahirrahmanirrahim.
“Ela, lihat aku. Apa benar yang dikatakan pria ini.”“Itu tidak benar Mas, mana mungkin aku melewati malam panjang dengannya,” lirih suara Ela membantah apa yang dikatakan pria itu. Sakit hatinya dituduh sembarangan. Apa lagi di depan lelaki yang baru resmi menjadi suaminya.“Tentu saja ia tidak akan mengakuinya. Mana ada maling ngaku, bisa penuh penjara. Percayalah padaku,” timpal Soni percaya diri seraya tersenyum menyeringai.“Ela! Katakan sejujurnya. Apa kamu mengenal pria ini,” tanya Erlangga dengan napas menderu kencang.Ela bungkam.“Tentu saja dia mengenalku, beberapa kali kami melewati malam yang syahdu. Mana mungkin dia bisa lupa.” Kekeh lelaki itu ringan.“Iya-kan Ela.”Bisik-bisik warga kembali memanas. “Tak menyangka wanita Sholehah itu hanya tampilan luar saja. Ternyata dalamnya bobrok.”"Tanggalkan saja hijab itu, hanya sebatas hiasan belaka." Perih hati Ela mendengar perkataan warga.Komentar demi komentar pedas warga, bagaikan dengungan lebah yang siap menghisap darah Ela sampai kering. Hingga mati tak bersisa.Ela serta merta berdiri, lalu mengayunkan kedua tangannya ke wajah pria yang baru datang itu.Plak! Plak!“Jangan fitnah aku Soni, apa salahku padamu? Tega kamu menghancurkan diriku di hari pernikahanku.”“Perkataanmu tadi bisa mengundang berita viral, apa kamu tidak memikirkan akibat berkata dusta.” Sambung Ela dengan napas yang mulai sesak. Di depan banyak orang, Soni mengatakan hal yang tidak-tidak tentang dirinya.“Soni? Namanya Soni. Jadi kamu mengenalnya. Berarti apa yang dikatakan pria itu benar.” Ucap Erlangga mengguncang bahu Ela.“Baiklah! Tidak ada lagi yang ingin aku dengar, semua sudah nampak jelas.”Dengan menarik napas sejenak, lalu membuangnya, kemudian menarik lagi terus membuangnya lagi. Erlangga mengangkat wajah.“Dengar Ela, mulai detik ini, aku jatuhkan talak padamu. Kamu bukan lagi istriku.”Mendadak wajah Ela pias, tak menyangka suaminya menjatuhkan talak saat itu juga. Matanya membelalak tak percaya.Soni, lelaki yang berdiri di hadapan sang pengantin tersenyum senang. Emang itulah yang ia mau, rencananya telah berhasil. Lelaki itu tanpa tabayyun lebih dulu langsung menjatuhkan talak.Hanya itu yang dia inginkan, pernikahan Ela berakhir dramatis. Enak saja ia menikahi lelaki lain. Siapa yang menjaga dan mencintainya selama ini dengan sepenuh hati. Hanya dia, hanya dia yang bisa memberikan cinta tulus untuk Ela seorang.“Angga, stop. Jangan katakan itu. Tarik lagi ucapanmu,” sanggah wanita yang masih terlihat garis kecantikannya. Meskipun usianya tak lagi muda.“Ayo Nak! Tarik lagi ucapanmu, jangan gegabah memutuskan. Nanti kamu menyesal.”“Tidak Ma, keputusanku sudah bulat. Aku tidak ingin melanjutkan pernikahan dengan wanita yang tidak mampu menjaga diri dan kehormatan keluarga. Alias pelacur. Ayo Ma, Pa, kita pergi dari sini.”Ela mendongak cepat, tuduhan pelacur dari lelaki yang baru saja menjatuhkan talak padanya membuat darahnya mendidih panas.“Apa katamu tadi, coba ulangi lagi,” sentak Ela marah seraya mencengkeram kerah baju Erlangga.“Kamu itu pel**ur, tak pantas bersanding denganku.” Balas Erlangga datar.Plak! Plak!Setelah itu Ela jatuh tersungkur seraya menangis pilu. Ia tak menduga, lelaki yang kini menjadi suaminya tidak memiliki hati nurani.“Tidak Angga, Ela bukan wanita seperti itu. Mama tahu persis kelakuan Ela. Ayo Nak, tarik ucapanmu.”Tanpa mengindahkan omongan sang Mama, Erlangga menarik tangan Bu Waida dan Pak Handoko untuk segera pergi dari sana.“Abii,” teriak seorang perempuan dengan raut cemas.Langkah Bu Waida terhenti, manakala mendengar teriakan wanita yang sangat dikenalnya. Siapa lagi kalau bukan umi Rosyida mamanya Ela.Bu Waida berbalik badan, tapi sayang tarikan Erlangga tak bisa ia tahan. Ia pergi semakin jauh dari rumah sahabat kentalnya.Ela tersentak, kemudian bangkit berdiri, lalu menoleh ke asal suara. Tampak olehnya sang ayah jatuh pingsan.Ia segera berlari mendekati lelaki yang selalu ada untuknya. Pria yang selalu menomor satukan dirinya dalam segala hal.“Abi, ayo bangun. Jangan bikin Ela takut.” Ela terus saja mengguncang badan lelaki cinta pertamanya dengan bercucuran air mata. Tak pernah ia bayangkan, jika pernikahan yang semestinya bahagia berakhir duka lara dan nestapa. Sakit hatinya, apalagi daftar pelacur baru disematkan dalam dirinya, oleh lelaki yang gagal menjadi suaminya. Entah kemana akan ia bawa derita dan luka hatinya. Tak terasa cairan bening lolos juga dari netranya.Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah yang kini dirasakan Ela. Bukan hanya pernikahan saja yang berakhir dalam sekejap mata, kini sang ayah pingsan tak sadarkan diri.Ela takut sang ayah pergi meninggalkannya.“Kita bawa Abi ke rumah sakit,” ajak sang Umi cepat. Untung sang Umi tidak ikut pingsan seperti Abi Hisyam. Jika tidak, entah bagaimana Ela menghadapinya.Ela dan Umi Rosyida tidak peduli lagi dengan kasak-kusuk tentang pernikahannya. Biarlah orang berkomentar miring tentangnya. Sekarang perhatiannya lebih tertuju pada Abi Hisyam, lelaki yang tak pernah meragukannya.Dengan bantuan beberapa tetangga dekat, yang masih pro dengan Abi Hisyam. Melarikan lelaki pingsan itu ke rumah sakit. Selama perjalanan Ela tak berhenti menangis.“Abi tidak boleh pergi. Siapa yang jaga Ela, ayo bangun Bi.”“Abi banguuuun!” Ela terus saja merengek manja seraya kedua tangannya tak henti mengguncang bahu sang Abi.“Sudah Nak, tenangkan dirimu. Lihat! Wajahmu kusut sekali, ayo hapus air matamu. Kita doakan yang terbaik untuk Abi.”“Umi?”“Kenapa Nak?”“Umi percaya pada Ela-kan. Ela tidak mungkin melakukan apa yang dikatakan Soni.”“Sudah! Kamu tidak perlu katakan itu. Sekarang kita pikirkan saja keselamatan Abi.”“Tidak Umi, ayo katakan kalau Umi percaya pada Ela.”“Iya Nak, Umi lebih percaya kamu dibandingkan lelaki itu.”“Terima kasih Umi,” jawab Ela seraya memeluk wanita yang telah melahirkannya dengan susah payah.“Ela hanya butuh kepercayaan dari Umi dan Abi saja. Ela tidak butuh pendapat orang lain,” sambung Ela memeluk Uminya erat.Tak lama kemudian, mobil memasuki area rumah sakit.Kini Abi Hisyam tengah ditangani dokter, Ela dan Umi Rosyida menunggu di ruang tunggu.Bersambung...Apa yang terjadi dengan Abi Hisyam, mampukah ia melewati masa kritis?Bersambung ...Bismillahirrahmanirrahim.Tak lama kemudian, mobil memasuki area rumah sakit. Kini Abi Hisyam tengah ditangani dokter, Ela dan Umi Rosyida menunggu di ruang tunggu. Dua perempuan beda generasi itu tampak sedih dan khawatir.“Umi, Ela takut, takut Abi kenapa-kenapa. Tadi Abi jatuh dengan kepala membentur lantai. Benturannya sampai terdengar keras. Semoga tidak ada yang serius ya Umi.” Desah Ela meratap sedih.“Umi yang salah Nak, seharusnya Umi tahu kalau Abi gelisah mendengar tuduhan itu padamu. Umi berada di sisi Abi tak kalah kagetnya dengan Abi, hingga Umi tidak menyadari kondisi beliau yang sangat terpukul, tiba-tiba Abi jatuh pingsan begitu saja.”“Kita berdoa dan serahkan semuanya pada Allah ya, Nak.” hibur sang Umi seraya mengelus pucuk kepala sang putri.Umi Rosyida menatap Ela penuh iba, tak menyangka nasib putrinya setragis ini. Menikah dan bercerai dihari yang sama. Ela belum sempat merasakan menjadi seorang istri, kini dalam waktu tidak sampai sehari, statusnya berubah me
Bismillahirrahmanirrahim.“Sudah toh Ma, jangan marah-marah terus, nanti darah tinggimu kumat. Papa lagi yang repot.” Oceh lelaki itu mengusap bahu sang istri.“Oh begitu ya, bilang saja, sekarang papa tidak mau direpotkan lagi oleh penyakitku. Tidur di luar sana,” titah sang istri makin tersulut emosi.Belum reda amarahnya karena perbuatan Erlangga, sekarang pria yang hampir mendekati seperempat abad menemaninya dalam suka dan duka mulai bosan, tak mau lagi direpotkan olehnya.“Bukan begitu Ma, justru karena papa sayang sama mama, makanya papa bilang jangan marah-marah, nanti darah tingginya kumat.” Balas pria itu merengkuh wanitanya hangat. “Sini, Papa peluk, siapa tahu bisa meredakan emosi mama.” Tanpa menunda Bu Waida langsung menubruk suaminya.“Mama tahu Pa, papa adalah lelaki terbaik yang Allah kirim untuk Mama. Mama hanya sedih mengingat sikap Erlangga pada Ela. Padahal kita tahu Ela itu wanita sholehah. Mama tidak percaya perkataan lelaki yang datang waktu itu. Mana mungkin
Baru saja Ela hendak melangkah pergi, terdengar lagi ucapan yang bernada membelanya.“Tapi kok aku tidak percaya ya pada omongan lelaki itu, selama ini Ela itu menurutku cukup baik menjaga sikap dan perilaku. Mana mungkin Ela bisa bertindak diluar batas itu.” “Pacaran saja tidak pernah, masa tiba-tiba menghabiskan malam panjang sama lelaki lain. Tak masuk akal.” bela Bu Widyo pemilik warung.Senyum sekilas terkembang di bibir Ela, ternyata masih ada yang percaya sama dia. Meskipun hanya segelintir orang. Paling tidak rasa percaya orang itu bisa membuatnya bernapas lebih tenang. Tidak semua orang percaya dengan perkataan Soni. Itu satu keuntungan baginya, paling tidak ia bisa bernapas dengan lega. Tidak terdesak di tengah kerumunan orang yang merendahkan dan menghinanya.Ela tak jadi masuk ke warung, ia tak cukup siap mendengar komentar pedas warga. Lebih baik menghindar sementara waktu. Sampai berita ini tidak lagi menjadi topik hangat untuk dibicarakan.Baru tiga langkah Ela berjal
Bismillahirrahmanirrahim.“Ayo! Kita ke rumah sakit. Jenguk Abi Hisyam,” ajak Bu Waida pada putranya.“Tidak mau Ma, Mama saja yang ke sana. Aku tidak mau bertemu dengan perempuan murahan itu.” Tolak Erlangga cepat.Wajah Bu Waida sontak terperanjat kaget, tak menyangka anaknya semakin pedas saja mulutnya. Apa ini efek gagal kawin. Belum sempat menikmati malam pertama sudah menjadi duren, alias duda keren.Salah sendiri sih, kenapa buru-buru menjatuhkan talak. Tunggu selesai malam pertama atau tunggu selama satu Minggu. Ini tidak, menyesal sendiri kan jadinya.Lelaki yang dipandang menjadi jengah sendiri. “Kenapa sih Ma, melihatku terus.”“Iya Mama bingung sama sikapmu. Kenapa sekarang enteng sekali mulutmu mengeluarkan kata umpatan. Di pernikahan kemaren, kamu sempat-sempatnya bilang Ela itu pel**ur, sekarang gantian gadis murahan. Apa kamu tidak takut kualat. Ntar cinta benaran baru tahu rasa kamu. Tapi si Ela sudah terlanjur sakit hati dikatai yang tidak-tidak.”“Rem mulutmu blong
Bismillahirrahmanirrahim.“Ayuk Ma, kita pergi sekarang.” Ajak Erlangga seraya menarik tangan sang ibu.Mata Bu Waida berkaca-kaca, tak lama kemudian jatuh berderai. Ia duduk sebentar di ruang tunggu, terisak perih. Kini sahabatnya begitu membenci dirinya. Bu Waida tak bisa membayangkan, bila tak lagi bisa kumpul dan bercengkerama dengan umi Rosyida. Ini terjadi karena ulah putranya sendiri. Sekarang dia menyesal meminta Ela menjadi istri anaknya. Andai tahu begini akhirnya, takkan pernah ia berniat meminta Umi Rosyida menjadi besannya. Putusnya persahabatan itu membuat Bu Waida sangat bersedih hati.Erlangga melihat kesedihan di mata sang Mama ikut larut dalam penyesalan. Andai ia tidak gegabah dan mudah percaya dengan perkataan Soni, tentu sekarang kedua keluarga bahagia. Abi Hisyam tidak perlu masuk rumah sakit, umi Rosyida tidak membenci ibunya, entah apa penilaian Ela padanya. Terakhir tak penting, Erlangga lebih tak siap melihat duka di mata ibunya. Kini hanya tinggal penyesal
Bismillahirrahmanirrahim.“Anda siapa? Kenapa datang ke ruang Abi saya.” Tanya Ela lagi karena pria itu tak kunjung berbalik badan. Punggungnya tampak bergetar, kemungkinan karena kaget ketangkap basah oleh keluarga pasien.Tak mungkin menghindar lagi, pria itu akhirnya berbalik posisi menghadap Ela. Betapa terkejutnya Ela, setelah mengetahui siapa pria yang ada di depannya.“Mas Erlangga,” desis Ela pelan. Ia tak menyangka, ternyata Mas Erlangga lah orang yang selalu datang menggantikan bunga itu. Terpikirkan pun tidak dalam benaknya, mana berani ia datang secara terang-terangan. Tapi setelah melihat kenyataan di depan mata, barulah ia percaya. Tapi apa tujuannya datang dan mengganti bunga itu. Ela jadi penasaran.“Jadi Mas orang yang selalu datang diam-diam ke sini. Kenapa? Merasa bersalah karena telah menyebabkan Abi sampai begini,” tanya Ela sarkas. Tanpa senyum ataupun binar mata teduh. Seperti yang selalu ia tampakkan pada lawan bicaranya.Lelaki itu hanya diam terpaku, tak men
Bismillahirrahmanirrahim.“Syukurlah, kalau begitu. Ada apa nih ingin menemuiku, ada yang pentingkah.” Tanya Erlangga kepo menatap sang sahabat lekat-lekat. Lelaki yang ditanya justru diam menatapnya dengan seksama. Seperti mencari kebenaran yang sempat membuatnya dihinggapi keraguan.“Iya penting sekali," sahutnya singkat, lalu kembali diam."Tentang apa?""Maaf jika pertanyaan ku membuatmu tersinggung.""Kamu jangan berbelit-belit, katakan saja ada apa?""Aku dengar desas desus, katanya kamu menalak istrimu setelah akad. Benar itu,” tanya Daniel menatap tajam sahabatnya dengan pancaran ketidakpercayaan.“Tahu dari mana?”“Tidak penting aku tahu dari mana, kamu jawab saja.”“Iya.”“Kenapa? kenapa kamu secepat itu menalaknya."“Dia tidak pantas untukku. Hati siapa yang tidak terbakar emosi, seorang pria datang mengaku telah melewati malam yang panjang dengan Ela.”"Kamu langsung percaya?"“Tentu saja, yang jelas aku langsung menalaknya. Jika kamu ada diposisiku mungkin kamu akan melak
Bismillahirrahmanirrahim.“Eh Ela, itu Soni bukan sih. Kemana saja tuh anak, setelah kejadian waktu itu dia menghilang begitu saja. Kenapa baru sekarang dia muncul.”“Mana?” tanya Ela celingak celinguk. Matanya tajam memindai keberadaan Soni. “Lelaki itu harus tanggung jawab atas perbuatannya menghancurkan rumah tanggaku dan Erlangga.” Lirih ela berucap.“Kamu nggak salah lihat Farah. Coba tunjuk sebelah mananya.”“Itu, dibalik rak arah jarum jam angka 9.”Ela mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Farah, memindai dan menajamkan pandangan, tapi orang yang dicari tidak kelihatan.“Mana sih Far! Kok aku gak melihatnya,” tanya Ela ragu. Farah melihat jauh ke sana, ia bingung sendiri. Perasaan tadi ia benar-benar melihat Soni. "Oh iya, gak ada ya. Kemana tuh cowok," tanya Farah mengernyit bingung.“Mungkin sudah pergi,” sahut Farah kembali dengan raut wajah menyesal seraya memandang Ela tak enak hati. Yang dipandang mengerucutkan bibir.“Tadi benaran aku melihatnya Ela,” sambung Far