Bismillahirrahmanirrahim.Kediaman Erlangga.Erlangga baru saja selesai sholat magrib. Pria itu duduk termenung panjang dalam keadaan lesu. Kelihatan sekali lelaki itu tak bergairah sedikit pun. Kehilangan semangat untuk melakukan aktifitas apapun. Perkataan Daniel masih terekam kuat dalam ingatannya. Membayangkan Ela menikah dengan pria lain, sungguh membuatnya tersiksa.Kini penyesalan itu sangat mencengkeram hatinya, andai ia tidak buru-buru bertindak tentu sekarang ia bahagia dengan Ela. Tidak hanya dia saja yang bahagia, pastilah kedua orang tuanya ikut bahagia. Begitu pun dengan kedua orang tua Ela. Penyesalan dengan tindakan gegabah nya membuat dua keluarga kini terpecah belah. Ia ingin mengembalikan senyum bahagia dua keluarga itu, tapi entah bagaimana caranya. ia seakan kehilangan ide-ide brilian, padahal ia terkenal pria yang berwawasan luas. Hanya satu kesalahannya, terlalu cepat mengambil langkah tanpa memikirkan akibatnya.Ia masih ingat betapa kedua keluarga sangat baha
“Malah diam! Kalau kamu tak segera bicara aku tinggal nih,” ancam Rosyida menatap sinis sahabatnya. Tidak ada tatapan kerinduan seperti dulu saat mereka masih berstatus sebagai sahabat karib. Semua kini sirna, karena ulah Erlangga.Bu Waida yang ditatap sinis oleh Rosyida, hanya bisa terima dengan lapang dada. Ia tahu kesalahan anaknya sangatlah fatal, jadi apa boleh buat. Apa pun bentuk perkataan Rosyida ia terima dengan ikhlas. Semua itu ia lakukan demi memenuhi permintaan anaknya. Syukur-syukur diterima oleh Rosyida. Jika pun tidak, tidak masalah, yang penting ia telah berusaha menunjukkan niat baik dan memenuhi harapan si buah hati. Seorang ibu tentu akan melakukan apapun demi kebahagiaan anaknya.Wanita itu diam sejenak, menunggu temannya untuk bicara. Sekian menit berlalu, namun sang teman tetap bungkam. Rosyida tampak tak sabaran menunggu, tiba-tiba wanita itu bangkit berdiri seraya menggebrak meja, bermaksud pergi. "Sepertinya percuma aku datang ke sini." hardiknya seraya me
Erlangga menghempaskan bobot tubuh besarnya di kasur. Wajahnya tampak lesu dan kehilangan gairah. Baru kemaren semangatnya menggebu, berharap orang tua Ela memberinya kesempatan kedua. Nyatanya itu hanya hayalan kosong belaka. Buktinya orang tua Ela menolak mentah-mentah keinginannya. Kini apa yang harus ia lakukan untuk membalikkan keadaan. Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Penyesalan itu semakin kentara mendera hati dan jiwanya.Kegagalan bu Waida membujuk mertuanya untuk mau memaafkan dirinya membuatnya patah hati dan kehilangan semangat. Erlangga sungguh teramat menyesal. Rasanya Erlangga ingin waktu berputar kembali ke waktu akad nikahnya berlangsung. Tidak akan ia keluarkan kata talak itu.Andai ia tidak gegabah, pastilah mereka sekarang menjadi keluarga yang bahagia. Kini hancur sudah harapannya untuk membangun rumah tangga bahagia bersama Ela. Meskipun pada awalnya ia menolak keinginan sang mama, tapi setelah melihat retaknya hubungan persahabatan mamanya membuatnya m
“Sudah ada wanita yang kamu taksir? Apa perlu aku bantu carikan,” tawar Ikhsan semangat empat lima. Lelaki itu mengerling jenaka, bersiul kecil menunjukkan rasa bahagianya. Sebagai teman, tentu saja dia senang, melihat binar cinta di mata sahabatnya. Sebentar lagi temannya itu akan menyusul ke pelaminan.“Carikan apa nih,” tiba-tiba dua pria masuk bertanya dengan kepo. Lelaki itu sahabat Faiq juga, namanya Ilman dan Wiryo. Kedua pria yang baru datang itu menatap horor ke arah Ikhsan dan Faiq dengan mata memicing curiga.“Bukan apa-apa,” sahut Faiq cepat seraya mengedipkan mata mengkode Ikhsan. Ikhsan yang paham dengan kode yang diberikan Faiq menanggapi dengan tertawa kecil.“Kayak gak tahu saja kalian, sekarang lagi banyak pesanan. Aku bantu cari bahan-bahan yang diperlukan.” Balas Ikhsan berbohong. Pria berjanggut tipis itu tersenyum lebar berusaha mengalihkan perhatian duo sohibnya. Ikhsan mengerti, mungkin belum saatnya kedua sahabatnya tau tentang keinginan Faiq untuk melepas ma
“Namanya Ela, dia anak Abi Hisyam. Lelaki yang banyak berjasa padaku. Kamu ingatkan lelaki yang sering aku ceritakan itu?" tanya Faiq menatap serius sahabatnya. Ikhsan tampak berfikir, berusaha mengingat siapa lelaki yang pernah diceritakan Faiq. Tapi tidak ada bayangan sama sekali di otaknya."Kamu lupa?" protes Faiq tak sabaran dengan wajah masam. Padahal sering banget dia cerita tentang kebaikan Abi Hisyam padanya. "Ayolah! masa kamu lupa sih! aku sering banget lho ceritain tentang dia." cebik Faiq meninju kecil bahu sahabat kentalnya.“Tunggu-tunggu, maksud kamu lelaki yang sering kamu ceritakan itu? Lelaki yang kemaren koma karena anak gadisnya ditalak setelah akad nikah itu.” Tanya Ikhsan dengan dahi penuh kerutan. Faiq mengangguk lemah.“Astagfirullah Hal Adzhiim,” sahut Ikhsan terperanjat kaget. Lama membujang, kok dapatnya perempuan yang ditalak setelah akad. Miris sekali. “Kenapa harus dengan dia. Kamu kayak nggak laku aja, kayak gak ada perempuan lain saja.” Protes Ikhsan
Keluarga Abi Hisyam tengah sibuk mempersiapkan pernikahan Ela dan Faiq. Rencana pernikahan akan digelar dua Minggu lagi. Banyak hal yang harus dipersiapkan, meskipun pesta pernikahan digelar secara sederhana atas permintaan Ela. Sebagai orang tua, tentu saja Abi Hisyam dan Umi Rosyida tetap harus menyiapkan segala keperluannya. Tak lantas membuat pasangan suami istri bisa duduk santai tanpa persiapan.Beberapa hari yang lalu Faiq sudah datang melamar Ela secara resmi. Dia tidak datang sendiri, tetapi bersama ketiga temannya yang sudah dia anggap saudara. Tidak ada yang bisa dia ajak selain temannya karena memang dia hidup sendiri, sebatang kara, karena tidak memiliki keluarga dan sanak saudara.Sampai detik ini pun dia tidak tahu siapa keluarga dan orang tua yang telah melahirkannya. Besar keinginannya untuk mengetahui siapa keluarga besarnya. Selama ini Faiq hidup di panti. Berkat bantuan Abi Hisyam, kini ia mampu berdiri di kaki sendiri. Tak hanya itu, Faiq tumbuh menjadi pribadi ya
“Bukan itu, tapi ada hal yang masih mengganjal dalam hatiku.”“Tentang?” Ikhsan menatap Faiq mencoba menerka apa yang membuat temannya galau akut begini, hingga lebih senang menyendiri dari pada berbaur sama mereka. Ini bukanlah gaya Faiq, pasti ada sesuatu yang tengah menganggu pikirannya. Sebagai sahabat, Ikhsan tentu tidak bisa diam saja. paling tidak ia harus ikut andil memikirkan, setidaknya mencari solusi dari masalah yang dihadapi sahabatnya.Aneh saja kan! Tidak biasanya Faiq bersikap demikian, apapun masalahnya, Faiq selalu membagi masalahnya dengan ketiga temannya itu. Ibarat kata nih, tidak ada rahasia di antara mereka. Tapi melihat kegalauan Faiq membuat Ikhsan tak bisa acuh seakan tak peduli. Bila perlu apa yang dibutuhkan temannya, ia siap bantu, baik tenaga maupun pikiran.“Kok diam! Kamu tidak ingin membagi masalahmu dengan kami?” cecar Ikhsan tak sabar menanti jawaban dari sang teman.Faiq tersentak dalam mode diamnya. Bingung tengah menghinggapinya, hingga membuatn
“Kamu bilang mencintai Ela, tapi dengan cara menyakitinya. Cinta macam apa itu, cinta yang salah kaprah. Jangan bilang mencintai, bila kamu tak tahu arti mencintai yang sesungguhnya,” kecam Rusdy tak habis pikir dengan jalan pikiran anak lelakinya. Kepalanya tak berhenti menggeleng heran seraya menatap sang putra penuh intimidasi. Rasanya tak percaya, melihat sang putra salah mengartikan sebuah kata mencintai.“Ya, namanya cinta Pa. Itu bentuk usahaku untuk mendapatkan cintanya. Siapa tahu Ela berubah pikiran, setelah semua lelaki menolak untuk menikahinya. Aku yakin sekali itu, setelah semua orang tahu bagaimana kelakuan Ela, pasti tidak ada pria yang mau dengannya, kecuali pria bodoh. Saat itu terjadi aku datang sebagai dewa penolong. Bahkan aku yakin, Ela tidak akan menolak ukuran tanganku," ucap Soni yakin sepenuh hati.Rusdy kembali geleng-geleng kepala mendengar pernyataan anaknya. Tak menyangka anak yang begitu teramat dia sayangi telah salah melangkah. Padahal dulu, dia sering