Share

Di Rumah Sakit

Reza merasa kebingungan melihat Riris dan Dimas berlari meninggalkannya begitu saja di area parkir Masjid.

"Apa-apaan ini, aku ditinggalin begitu aja, tanpa ada yang pamit padaku. Padahal hampir saja cincin dan mahar itu berada di tanganku, huh sial!!" Reza menyepakkan kaki kanannya di atas tanah. Wajahnya nampak kesal.

Akhirnya Reza berjalan kembali ke mobilnya dan berniat untuk pulang kembali ke rumah.

"Huft, kalo begini jadi ribet urusannya. Padahal tadi itu dengan mudah aku bisa mendapatkan kembali cincin dan maharnya. Ini pasti nanti bunda akan mendesakku lagi soal ini." Reza menggerutu sendiri sambil mengendarai mobilnya menuju rumah.

Sesampainya di rumah, Reza langsung disambut oleh bundanya yang nampak begitu panik.

"Reza ... untung Kamu cepet pulang. Dari tadi bunda teleponin Kamu tapi nggak nyambung terus sih!"

Reza mengeluarkan gawainya dari saku dan mengeceknya.

"Waduh maaf Bun, ternyata Reza baterai handphoneku habis. Ada apa toh Bun, kok keliatan panik gitu?"

"Sini duduk dulu Za!" Bunda dan Reza kemudian melangkah menuju sofa yang ada di ruang tamu.

"Za, tadi bunda telepon orang tuanya Riris. Bunda mau minta maaf atas apa yang sudah Kamu lakukan kemarin usai resepsi. Tapi malah mereka kaget mendengar cerita dari Bunda, masak mereka nggak tau tentang hal besar ini Za?" Bunda Reza bercerita dengan wajah tegang saat mereka telah duduk bersisihan di sofa. Reza nampak terkejut mendengar penjelasan dari bundanya.

"Trus Za, saat pembicaraan bunda dengan bapaknya Riris belum selesai, tiba-tiba bunda mendengar suara ibunya Riris berteriak memanggil suaminya. Bapak ... Bapak ... kenapa Pak?! Trus telepon terputus Za. Kira-kira kenapa ya Za? Bunda jadi ikut khawatir ini."

Reza mengernyitkan dahi, mulai mencerna apa yang telah terjadi.

"Oh jadi karena ini bapaknya Riris kena serangan jantung ... aduh Bun, coba tadi Bunda nggak usah telepon orang tuanya dulu. Kan nggak begini jadinya!"

"Loh kok Kamu jadi nyalahin bunda sih? Ya mana bunda tau kalo kejadiannya bakal begini. Lagian Kamu tau darimana kalo bapaknya Riris kena serangan jantung?" Bundanya Reza nampak kesal merasa putranya telah menyalahkan dirinya.

"Jadi gini loh Bun, tadi tuh Reza janjian ketemuan sama Dimas sepupunya Riris di Masjid Kampus, eh nggak taunya Riris juga ada di sana bersama Dimas Bun. Hampir saja Riris mau memberikan cincin dan maharnya pada Reza, tapi jadi gagal gara-gara Riris dapet telepon dari ibunya, dia sempet teriak kalau bapaknya kena serangan jantung, trus Riris sama Dimas pergi aja ninggalin Reza di parkiran," jelas Reza panjang lebar.

"Oh gitu toh ... waduh gimana ini? Bunda kan nggak tau kalo bapaknya Riris itu punya penyakit jantung." Sesaat mereka berdua terdiam dengan pikirannya masing-masing.

"Ya udah Za, besok kita ke Solo aja, ke rumahnya. Sekalian menengok bapaknya Riris. Syukur-syukur kita bisa mendapatkan cincin dan mahar itu kembali."

"Mm ... baiklah Bun. Ayah diajak nggak Bun?"

"Nggak usahlah, kita berdua aja. Ayahmu kan ada jadwal ngajar di kampusnya besok, biar kita berdua aja yang ke Solo," jawab bundanya Reza.

Ya, ayahnya Reza berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas swasta terkenal di kota itu.

***

Sementara itu Riris dan Dimas masih dalam perjalanan menuju Solo. Riris kembali menelepon ibunya untuk mengetahui perkembangan terbaru bapaknya.

"Halo Bu, Assalaamu'alaikum, gimana kondisi bapak sekarang?"

"Bapak sudah mendapatkan tindakan di IGD Nduk, dan sekarang bapak sudah masuk ke ruang ICU." jawab ibunya Riris dengan suara bergetar, nampak kecemasan yang sangat dari suaranya.

"Di rumah sakit mana Bu, biar Riris sama Mas Dimas langsung ke sana."

"Di RSUD Ris, kamu cepet ke sini ya!"

"Iya Bu, ini sebentar lagi kita mau sampe Solo, Ibu yang tenang ya," jawab Riris di sambungan teleponnya.

"Mas Dimas, kita nanti langsung ke RSUD ya, bapak dirawat di sana," pinta Riris kepada Dimas setelah menutup pembicaraan di telepon dengan ibunya.

"Iya Ris," jawab Dimas singkat, dia masih fokus nyetir mobil dengan kecepatan di atas rata-rata agar bisa segera sampai ke rumah sakit.

Tak berapa lama mereka akhirnya tiba di RSUD. Setengah berlari mereka langsung mencari ruang ICU tempat ayah Riris menjalani perawatan intensif.

"Ibuuuu .... !" panggil Riris saat melihat sosok ibunya yang sedang duduk dengan kepala tertunduk, di salah satu bangku yang berderet di depan ruang ICU.

Riris berlari menghambur ke arah ibunya, mereka kemudian saling berpelukan dan menangis.

"Bapak ... bapak kenapa, kok bisa kena serangan jantung Bu?" tanya Riris saat mereka kembali duduk di bangku yang berderet itu. Reza tidak ikut duduk, dia hanya berdiri di depan Riris dan ibunya, menyimak percakapan antara Riris dan ibunya.

"Tadi Bapak sedang terima telepon dari ibunya Reza, ibu yang cuma duduk di sebelah bapak hanya menyimak mereka ngobrol di telepon. Tiba-tiba wajah bapak nampak tegang Ris, dan bapak langsung memegang dadanya sambil meringis kesakitan, handphone bapak sampai terjatuh di lantai. Ibu panik Ris, ibu langsung minta tolong sama Pak Kardi tetangga sebelah rumah untuk bantu bawa bapak ke rumah sakit." jelas ibunya Riris panjang lebar.

Riris menyimak cerita ibunya dengan wajah cemas, dia kemudian menatap Dimas penuh makna saat ibunya selesai bercerita.

"Sebetulnya ada apa ya Ris? Kok bapak jadi kena serangan jantung saat nerima telepon dari ibunya Reza?" Rupanya ibunya Riris masih belum tahu apa sebetulnya yang terjadi.

Riris langsung menduga bahwa ibunya Reza pasti sudah menceritakan semuanya kepada bapak. Apa yang ditakutkan Riris akhirnya terjadi. Riris merasa kecewa sekali, dia sudah berusaha menutupi perbuatan Reza kepada dirinya untuk menjaga kesehatan bapaknya. Tapi kini usahanya telah sia-sia, akhirnya bapaknya malah mengetahui berita ini dari besannya sendiri.

"Ris ... kok malah melamun?" Panggilan ibunya Riris menyadarkan Riris dari lamunannya.

"Oh ... eh, i-iya Bu," sahut Riris dengan gelagapan.

"Ris, cerita sama ibu, ada masalah apa sebenarnya? Melihat respon bapakmu saat di telepon tadi sepertinya ada masalah besar Ris. Ayo ceritakan pada ibu." Ibunya Riris kembali mendesak Riris untuk bercerita.

Riris nampak bingung, haruskah dia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada ibunya? Ibunya pasti akan merasa terluka. Tapi semuanya sudah terlanjur, sudah saatnya Riris jujur kepada ibunya.

"Bu ... Riris akan ceritakan semuanya, tapi nanti setelah Riris liat bapak dulu ya Bu, Riris pingin nemuin bapak di ruang ICU," pinta Riris kepada ibunya.

"Baiklah Nduk, masuklah ke dalam liat bapak, doakan bapak ya, bapak masih belum sadar juga," ucap ibunya Riris sambil mengusap bulir bening yang terjatuh di pipinya.

Karena penjenguk pasien ruang ICU dibatasi, jadi hanya Riris yang masuk ke dalam ruang ICU. Setelah mengenakan gaun protektif berwarna hijau polos Riris menemui bapaknya yang berada di ranjang bagian tengah dari lima deret ranjang pasien yang ada di dalam ruangan tersebut. Suara alat-alat monitor terdengar seolah saling bersahutan.

Riris berdiri di sisi ranjang tempat bapaknya berbaring lemah. Nampak selang ventilator dan kabel dari monitor terhubung di badan bapak yang terbaring lemah tanpa sadar itu.

"Bapak ... ini Riris Pak," panggil Riris dengan terisak. Disentuhnya telapak tangan bapaknya, di usap pelan punggung tangan itu, kemudian dengan membungkuk Riris mengecup punggung tangan lelaki yang selama ini selalu menjadi pahlawannya sejak dia dilahirkan itu.

Bulir-bulir bening kembali tumpah dari sudut netra Riris. Iya sangat sedih melihat kondisi bapaknya yang seperti itu.

"Bapak, Riris mohon, Bapak yang kuat ya, Riris dan ibu sangat sayang sama Bapak, kami masih membutuhkan Bapak, cepat sadar ya Pak, ... Riris di sini baik-baik saja Pak." Riris berusaha mengajak ngobrol bapaknya walaupun Riris tahu saat itu bapaknya masih kehilangan kesadaran. Riris yakin suaranya akan di dengar oleh bapaknya. Dan sentuhan tangannya akan dirasakan juga oleh bapaknya.

Setelah Riris puas mengobrol sendiri dengan bapaknya, dia memanjatkan doa kesembuhan untuk bapaknya. Riris berdoa dengan khusyuk di sisi ranjang bapaknya. Dia sungguh-sungguh berharap kepada Sang Maha Kuasa agar berkenan mengabulkan permintaannya saat di Masjid Kampus tadi dan saat ini.

Agak lama Riris berdiri terpaku di sana sambil terus memandangi wajah bapaknya. Rasanya dia tidak mau pergi meninggalkan bapaknya barang sedetikpun. Namun di luar sana ibunya dan Dimas sudah menunggu Riris. Teringat olehnya bahwa ia akan menceritakan semuanya kepada ibunya. Akhirnya Riris keluar dari ruangan yang suasananya nampak mencekam itu, meninggalkan bapaknya yang masih tergolek lemah di atas ranjang.

Riris kembali menemui ibunya di ruang tunggu pengunjung pasien ICU. Dimas bergantian masuk ke dalam Ruang ICU, dia juga ingin menjenguk dan mendoakan pakleknya.

Saat Dimas sudah masuk ke ruang ICU, Riris mulai menceritakan kejadian yang menimpanya usai resepsi kemarin dengan runut kepada ibunya. Ibunya sungguh terkejut mendengar semua penjelasan Riris.

"Ya Allah Nduuk ... kenapa nasibmu malang begini .... " ratap ibunya Riris dengan berurai air mata. Dipeluknya Riris dengan erat, di usapnya kain jilbab yang menutupi kepala Riris. Mereka berdua saling berpelukan dalam tangis dan deraian air mata.

"Kenapa Kamu nggak cerita dari awal sama ibu Nduk? Kamu sampe berpura-pura tidak terjadi apa-apa saat itu padahal hatimu sedang terluka." ucap ibunya Riris di sela-sela tangisannya.

"Riris takut Bu, Riris nggak mau membuat Ibu dan bapak bersedih dan kecewa, apalagi bapak kan punya riwayat sakit jantung Bu. Riris nggak mau terjadi apa-apa sama bapak. Tapi qodarullah akhirnya malah seperti ini, yang Riris khawatirkan akhirnya terjadi juga," jawab Riris sambil terisak.

Riris masih berada dalam dekapan hangat ibunya, ketika tiba-tiba seorang dokter laki-laki dengan balutan jas putihnya disusul oleh Dimas, keluar dari Ruang ICU untuk menemui Riris dan Ibunya.

Apakah yang terjadi? Apa yang akan disampaikan oleh dokter jaga ICU itu kepada Riris dan ibunya?

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
for you
ibu sama anak otak nya ga waras ,bikin karma yang pantas buat si reza
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status