Lingga melepaskan cekalan tangannya, melangkah lebar ke arah skat dapur. "Adis," serunya saat melihat Adis yang jongkok sambil memunguti pecahan gelas.
Adis mendongak, tersenyum palsu. "Licin gelasnya, pas mau nyalain dispenser malah jatuh—aaww!"
Adis ngangkat jarinya yang berdarah. Pecahan belih yang tadi ia ambil terlalu runcing dan membuat jari telunjuknya terluka.
"Yaampun kak Adis, udah nggak usah diberesin. Nada! Nad!" Lauren yang menghampiri langsung berteriak. Ia meraih kedia bahu Adis, membantunya untuk berdiri.
"Iya, non." Nada muncul dari skat dapur, berdiri di sebelah Lingga.
"Ini gelasnya pecah. Bersihin ya," suruh Lauren dan menuntuk Adis menuju ke kursi makan. "Gue ambilin obat."
Nada meremas jari-jemarinya. Ada rasa takut di dalam dada sana. Takut kalau Adis tadi mendengar perbincangannya sama Lingga. Hampir melangkah masuk ke dapur untuk mengambil sapu, tapi tangannya dicekal Lingga. Nada mendongak.
Bibir Lingga sedikit terbuka, terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan.
Nada melirik ke arah Lauren yang menenteng kotak obat. Menarik tangan sampai cekalan Lingga terlepas lalu lanjut masuk ke dapur.
Pukul 9.00pm
Lingga mengantarkan Adis pulang ke rumahnya. Jelas sekali terlihat ada kecanggungan antara keduanya. Adis tak ceria biasa dan kelihatan memendam sesuatu.
"Kamu tadi dengar?" Tanya Lingga tanpa menoleh ke Adis. Dia fokus menatap jalanan karna sedang menyetir.
Adis meremas tanagn sendiri yang ada di pangkuan. Lalu menoleh, menatap calon suami yang sangat ia cintai. Iya, Adis amat mendambakan Lingga. Dan keinginannya adalah menjadi istri Lingga.
"Enggak, aku nggak dengar apa-apa." Adis nyengir, nggak mau mengakui.
"Jangan bohong." Singkat Lingga menyahuti.
Berakting seperti tak tau apa-apa, tetap tersenyum ceria walau sebenarnya amat hancur. "Aku nggak bohong, Ling. Aku tadi... tadi licin gelasnya. Makanya sampai lepas dari tanganku."
Tak merespon penjelasan Adis, tapi Lingga tau kalau Adis tadi pasti mendengar kalimat Nada.
Saling diam, tepatnya Adis yang beberapa kali bicara tapi tidak mendapat respon Lingga. Sampai mobil memasuki halaman rumah tinggal Adis, Lingga tak mengatakan apa pun.
“Makasih ya, Ling, untuk hari ini. Waktumu yang full buat aku udah cukup bikin aku bahagia.” Adis mencondongkan badan, mengecup pipi kiri Lingga sebelum melangkah turun.
Lingga meneguk ludah melihat hal yang lama tak pernah Adis lakukan. Memerhatikan calon istrinya itu memutari mobil, lalu berdiri di tepian undakan teras. Lingga membuka kaca mobil, menatap Adis yang tersenyum manis padanya.
“Hati-hati,” kata Adis sembari melambaikan tangan.
Lingga membalas senyum itu. Ia kembali melajukan mobil meninggalkan halaman rumah Adisti. Jujur saja pikirannya kalut banget. Ingin sekali tak mempedulikan Nada yang sepertinya memang hamil, tapi sebrengsek-brengseknya dia, kalau ini menyangkut darah dagingnya, Lingga nggak bisa nggak memikirkan.
Pernikahannya tinggal di depan mata. bahkan semua kelaurga sudah berkumpul. Ngomong jujur ke mama dan papa sama aja memasukkan diri sendiri ke sumur angker. Tapi kalau Lingga nggak jujur, bagaimana nasib Nada?
Bhuk!
“Aarggh! Brengsek!” umpat Lingga, lalu menjambak rambut untuk melampiaskan kekesalan pada dirinya sendiri. “Kenapa gue bisa sampai lupa nggak pakai pengaman sih?! Huuftt ….”
‘Lo keenakan, anjir!’ gumamnya, mengatai miliknya yang tiap kali liat Nada pasti terasa berbeda.
**
Di sini, di rumah Bu Marlina, Adisti lagsung berlari masuk ke dalam kamar. Menutup pintu rapat, melangkah ke arah ranjang, membiarkan saja tas jinjingnya jatuh ke lantai. Kedua pipi putih Adisti berderai air mata. isakannya tak lagi ditahan-tahan. Dia terduduk di lantai, menyembunyikan wajah di antara dua kaki lalu menangis tergugu.
Tok! Tok! Tok!
“Dis, Adis,” panggil Bu Marlin dari luar pintu. Bu Marlin menempelkan telinga ke pintu, kembali mengetuk tapi tak mendapatkan respon. “Mama masuk ya, sayang.”
Ceklek!
Kedua mata mama Marlin melebar melihat anak satu-satunya menangis tergugu di sisi ranjang. Buru-buru ia menutup pintu dan melangkah mendekati Adis.
“Sayang, kamu kenapa? Kenapa menangis?” tanyanya dengan sangat khawatir.
“Hiks, mama….” Adisti memeluk mama Marlin yang ikut duduk di sebelahnya. Guguan tangisnya makin keras, karna Adis tak bisa menerima kenyataan kalau Lingga meniduri pembantu.
Mama Marlin mengusap lembut punggung Adis, membiarkan dulu Adis terus menangis agar perasaannya membaik.
“Ma,” seru Adis, mulai menarik diri dan mengusap kedua mata yang penuh sama air asin. “Aku cinta sama Lingga, Ma.”
Mama Marlin menyingkirkan helaian rambut yang ada di wajah Adisti. “Iya, mama tau. Pernikahan kamu sama Lingga sebentar lagi kok.”
Adis mengepalkan tangan. “Mama tau pembantu di rumahnya Lingga?”
Kening mama Marlin berlipat. “Yang belum lama itu? Yang masih … masih muda?”
Adis menganggukkan kepala. “Di—dia ngerayu-ngerayu Lingga, Ma.”
Kedua mata mama Marlin menajam. “Ngerayu? Gimana maksudnya?”
Adis menarik nafas dalam dan membuangnya pelan-pelan. Kembali tangannya bergerak, mengusap genangan di mata dengan kasar. “Ak—aku tadi… tadi aku nggak sengaja dengar pembicaraan dia sama… sama lelaki. Dia bilang… dia bilang kalau… kalau dia hamil, Ma.”
Mama Marlin masih belum paham arah cerita Adis, jadi dia tetap diam mendengarkan sampai tuntas.
“Kaya’nya lelaki berandal itu pacarnya si pembantu di rumah Lingga. Mereka rencanain sesuatu, Ma.”
“Rencanain apa?” tanya mama Marlin, menatap Adis serius.
Adis meneguk ludah dengan susah, tangannya makin kuat meremas kain dress yang dipakai. “Ngerayu Lingga dan akan ngaku kalau anak itu anaknya Lingga, Ma.”
Kedua mata mama Marlin melebar. “Masa’ sih, Dis?”
Adis mengangguk dengan begitu meyakinkan. “Aku denger tadi, Ma.” Mengangkat tangan kanannya, menunjukkan telunjuknya yang ditutup pakai penutup luka. “Aku tadi sampai mecahin gelas pas mau ambil minum. Karna aku terkejut dengar ombrolan pembantu itu sama Lingga.”
“Jadi pembantu bocah itu ngaku ke Lingga kalau yang ngehamili dia itu adalah Lingga?” tanya mama Marlin, ingin lebih meyakinkan.
Lagi, Adis mengangguk yakin. “Iya, Ma. Padahal hari sebelumnya tuh aku pernah liat pembantu itu sama cowok berandalan gitu, Ma. Dia ngaku kalau hamil tapi cowok itu Cuma brandal pasar yang tidurnya aja asal ngegeletak. Makanya mereka rencanain ini, Ma.”
Tangan mama Marlin mengepal dengan wajah galak yang penuh amarah. “Keterlaluan. Biar mama kasih tau Bu Ajeng. Biar dia diusir dari rumah itu!”
Rasa patah di dalam hati Adis berganti dengan semangat yang membara. Merasa lebih kuat karna dia memiliki banyak dukungan. “Pernikahanku sama Lingga tinggal sebentar lagi. Aku nggak mau kalau semuanya jadi kacau, Ma. Mama pernah dengar kabar kalau suami selingkuh sama babysiter atau pembantu. Aku takut kalau—kalau rumah tanggaku sama Lingga bakalan kaya’ gitu, Ma….”
Mama Marlin meraih tubuh Adis yang kembali menangis. Mengusap lembut lengan bahu Adisti. “Enggak, sayang. Mama pastikan pembantu bocah itu akan terusir dari rumah pak Fandi. Mama nggak ridho kalau sampai rumah tangga anak mama dihancurkan oleh debu comberan macam pembantu itu.” mama Marlin mengecup sisi kepala Adisti. “Kamu tenang aja. Jangan mikir yang macem-macem ya.”
.
10/02/2024
“Aargh! Aargh!” pak Fandi merintih tak henti ketika luka di kakinya terasa nyeri sampai ulu hati sana.Satu tahun ini ia terkena diabetes, gulanya tinggi. Kakinya yang patah dulu itu, membengkak. bagian jempolnya tepat di kuku, mengeluarkan bau tak enak. Terkadang perawat lelaki yang Adis bayar untuk mengurusi pak Fandi sampai muntah-muntah karna tak tahan dengan bau nanah, bau busuk yang keluar dari jempol kakinya.“Setiap hari sore pasti begitu, Bu,” tutur perawat lelaki ini.Adis menatap prihatin akan keadaan papa tirinya yang sampai detik ini masih menghuni rumahnya. Ya, walau mamanya sudah enggak ada, tapi pak Fandi tetap di sini. Dan sepertinya akan menghabiskan sisa hidupnya di rumah almarhum sahabatnya dulu.“Dis,” panggil pak Fandi, tak begitu jelas.Adis sedikit merinding mendengar panggilan itu. Sejak kejadian malam dua tahun lalu itu, Adis tak pernah lagi muncul di hadapan pak Fandi. Dia takut dan tidak mau terjadi hal yang lebih mengerikan pada diri sendiri.“Bu, dipanggi
Adis menatap iba pada adiknya yang tertidur di dalam box baby. Kata dokter adiknya bisa dioperasi untuk satu matanya itu. Hanya saja kemungkinan satu mata itu bisa berfungsi, sangat lah tipis. Tetapi jika adik kecilnya ini tidak oeprasi, Adis nggak tega melihatnya. Pasti ketika besar nanti akan menjadi bullyan teman-temannya perkara kecacatannya.Kedua bahu Adis melemah dengan kenyataan hidupnya yang sekarang terasa amat berat di kedua pundaknya. Mengurusi adik beda ayah ini, mengurusi pak Fandi yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Lalu mengurusi mamanya yang sampai hitungan bulan ini belum sembuh. Entah, luka jahitan di perut mamanya belum sembuh, belum kering. Justru mengeluarkan bau tak enak dan mamanya sering menjerit kesakitan setiap hari.Tangan Adis meremas kain dressnya sendiri. Dengan cukup kesusahan ia meneguk ludah lalu melangkah pergi, keluar dari kamar Aina.“Bu,” sapa suster Bella, suster yang Adis sewa untuk merawat Aina.Adis menunjuk ke arah sofa yang ada di
Entah apa yang telah terjadi. Kuasa Tuhan itu nyata adanya. Selama hamil bu Marlin tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Tutur katanya juga biasa, tak pernah menyumpahi siapa pun. Makan juga makan sayuran biasa yang disediakan oleh suster yang telah disewa oleh Adis.Adis menatap layar hp yang menampilkan foto adiknya yang telah tertidur di box baby. Baby cantik yang wajahnya sedikit mirip dengan wajahnya. Tapi sayang, baby cantik ini satu matanya datar, seperti tak ada apa-apa. Hanya ada alis berbulu tipis saja. selain itu, yang lain normal. Tangannya ada dua, kaki juga dua. Begitu yang yang lain.Adis menatap mamanya yang sempat menolak anaknya ini. Mama Marlin nggak mau nyusui anaknya karna anaknya… cacat. Bahkan bu Marlin sampai menangis meraung dan menuduh pihak rumah sakit telah menukar anaknya.Bagaimana mungkin anak ini ditukar? Semalam yang masuk dan menjadi pasien melahirkan hanya bu Marlin saja. Dan hanya ada satu baby ini saja.“Eegh….”Lengkuhan lirih dari ranjang membu
Malam hari, pak Fandi bangun karna susah tidur. Hampir seharian tidur, jadi kalau harus semalam tidur, rasanya bosan dan sudah susah untuk tidur. Ia melangkah keluar dengan bantuan tongkat karna kakinya masih sakit untuk berjalan tanpa bantuan. Dengan hati-hati mendudukkan diri di sofa ruang tv, mengambil remote tv dan menatap layar lebar di hadapannya yang menyala. Menekan remote, mengubah canel yang dimau.Di dalam kamar yang berbeda, bu Marlin merasa tergangu dengan suara berisik dari luar kamar. dengan hati-hati ia beranjak bangun, awas menatap jam yang melingkar di dinding kamar yang ia pakai. Di sana jarum jamnya ada di angka dua. Jadi ini dini hari, tentu di luar masih petang.“Pasti itu mas Fandi,” gumamnya dalam kesendirian. “Udah dibilangin kalau malam jangan nonton tv kencang-kencang masih aja nggak didengarkan! Sudah nggak bisa jalan! Ngerepoton anakku! Tapi tetap nggak tau diri!” bu Marlin mengomel, menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup dengan tatapan kesal.“Mas!
“Mamamama….”Pagi menyapa dan cerewetnya Yoona yang pertama masuk ke pendengaran Nada. Pelan-pelan ia membuka mata, menyipit dan tersenyum saat ternyata anaknya sudah bangun. Yoona duduk anteng di depannya sambil memainkan sesuatu.Sesuatu berupa bh yang dua cupnya berbentuk bunga mawar berwarna merah itu ditarik-tarik Yoona. Kaya’ yang gemes pengen lepasin bunga mawar itu dan membuangnya.Nada menepuk kening dan mencoba meminta barang dinasnya itu. “Na, mama minta.” Ia menengadahkan tangan.Yoona melirik, bibirnya mengerucut. bukannya memberikan, tapi bocah kecil yang tubuhnya berisi itu mengingsut duduk. Membelakangi mamanya dan kembali melakukan aktifitas, menarik-narik kelopak mawar merah itu.“Cckk, salahku sih. Kenapa juga nggak lempar itu di lantai aja. Sampai ditemuin sama Yoona.” Nada menggerutu sendiri. Ia bangun, kedua mata melebar saat bagian dadanya terekspos karna telanjang setelah semalam kembali dihabisi oleh suaminya.“Nen, mama nen.” Yoona menuding ke arah dada maman
“Suster Wati nggak telpon. Padahal ini udah hampir siang,” gumam Nada setelah melihat layar hp-nya yang sepi.Lingga menggeser kelapa muda yang milik Nada. “Berarti Yoona nggak rewel, sayang.”“Kurang percaya aku, Mas. Aku mau vidio call.” Nada memutuskan menekan tanda panggilan vidio di pojok layar.Tak lama layar hp Nada berubah menjadi wajahnya suster Wati. Seorang suster yang telah Lingga sewa untuk menjaga Yoona selama satu minggu di Bali ini.“Bu,” sapa suster Wati.“Yoona nggak rewel, mbak?” tanya Nada.Kamera beralih menjadi kamera belakang, memperlihatkan Yoona yang sibuk mainan pasir ajaib di sebuah ruangan yang khusus untuk bermain balita. Dan ada beberapa balita juga, nggak Cuma Yoona saja.“Dari tadi anteng, Bu. Sambil saya kasih roti sama minum susu.”Nada tersenyum dengan helaan penuh lega. “Jangan lupa nanti tidur siang ya, mbak.”“Iya, Bu. Ini udah jam sebelas lebih. bentar lagi, kalau Yoona udah makan siang. Saya nina bobo.” Jawab suster sopan.Nada menganggukkan kep