Share

Eps 5. Rencana Adis

Lingga melepaskan cekalan tangannya, melangkah lebar ke arah skat dapur. "Adis," serunya saat melihat Adis yang jongkok sambil memunguti pecahan gelas.

Adis mendongak, tersenyum palsu. "Licin gelasnya, pas mau nyalain dispenser malah jatuh—aaww!"

Adis ngangkat jarinya yang berdarah. Pecahan belih yang tadi ia ambil terlalu runcing dan membuat jari telunjuknya terluka.

"Yaampun kak Adis, udah nggak usah diberesin. Nada! Nad!" Lauren yang menghampiri langsung berteriak. Ia meraih kedia bahu Adis, membantunya untuk berdiri.

"Iya, non." Nada muncul dari skat dapur, berdiri di sebelah Lingga.

"Ini gelasnya pecah. Bersihin ya," suruh Lauren dan menuntuk Adis menuju ke kursi makan. "Gue ambilin obat."

Nada meremas jari-jemarinya. Ada rasa takut di dalam dada sana. Takut kalau Adis tadi mendengar perbincangannya sama Lingga. Hampir melangkah masuk ke dapur untuk mengambil sapu, tapi tangannya dicekal Lingga. Nada mendongak.

Bibir Lingga sedikit terbuka, terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan.

Nada melirik ke arah Lauren yang menenteng kotak obat. Menarik tangan sampai cekalan Lingga terlepas lalu lanjut masuk ke dapur.

Pukul 9.00pm

Lingga mengantarkan Adis pulang ke rumahnya. Jelas sekali terlihat ada kecanggungan antara keduanya. Adis tak ceria biasa dan kelihatan memendam sesuatu.

"Kamu tadi dengar?" Tanya Lingga tanpa menoleh ke Adis. Dia fokus menatap jalanan karna sedang menyetir.

Adis meremas tanagn sendiri yang ada di pangkuan. Lalu menoleh, menatap calon suami yang sangat ia cintai. Iya, Adis amat mendambakan Lingga. Dan keinginannya adalah menjadi istri Lingga.

"Enggak, aku nggak dengar apa-apa." Adis nyengir, nggak mau mengakui.

"Jangan bohong." Singkat Lingga menyahuti.

Berakting seperti tak tau apa-apa, tetap tersenyum ceria walau sebenarnya amat hancur. "Aku nggak bohong, Ling. Aku tadi... tadi licin gelasnya. Makanya sampai lepas dari tanganku."

Tak merespon penjelasan Adis, tapi Lingga tau kalau Adis tadi pasti mendengar kalimat Nada.

Saling diam, tepatnya Adis yang beberapa kali bicara tapi tidak mendapat respon Lingga. Sampai mobil memasuki halaman rumah tinggal Adis, Lingga tak mengatakan apa pun.

“Makasih ya, Ling, untuk hari ini. Waktumu yang full buat aku udah cukup bikin aku bahagia.” Adis mencondongkan badan, mengecup pipi kiri Lingga sebelum melangkah turun.

Lingga meneguk ludah melihat hal yang lama tak pernah Adis lakukan. Memerhatikan calon istrinya itu memutari mobil, lalu berdiri di tepian undakan teras. Lingga membuka kaca mobil, menatap Adis yang tersenyum manis padanya.

“Hati-hati,” kata Adis sembari melambaikan tangan.

Lingga membalas senyum itu. Ia kembali melajukan mobil meninggalkan halaman rumah Adisti. Jujur saja pikirannya kalut banget. Ingin sekali tak mempedulikan Nada yang sepertinya memang hamil, tapi sebrengsek-brengseknya dia, kalau ini menyangkut darah dagingnya, Lingga nggak bisa nggak memikirkan.

Pernikahannya tinggal di depan mata. bahkan semua kelaurga sudah berkumpul. Ngomong jujur ke mama dan papa sama aja memasukkan diri sendiri ke sumur angker. Tapi kalau Lingga nggak jujur, bagaimana nasib Nada?

Bhuk!

“Aarggh! Brengsek!” umpat Lingga, lalu menjambak rambut untuk melampiaskan kekesalan pada dirinya sendiri. “Kenapa gue bisa sampai lupa nggak pakai pengaman sih?! Huuftt ….”

‘Lo keenakan, anjir!’ gumamnya, mengatai miliknya yang tiap kali liat Nada pasti terasa berbeda.

**

Di sini, di rumah Bu Marlina, Adisti lagsung berlari masuk ke dalam kamar. Menutup pintu rapat, melangkah ke arah ranjang, membiarkan saja tas jinjingnya jatuh ke lantai. Kedua pipi putih Adisti berderai air mata. isakannya tak lagi ditahan-tahan. Dia terduduk di lantai, menyembunyikan wajah di antara dua kaki lalu menangis tergugu.

Tok! Tok! Tok!

“Dis, Adis,” panggil Bu Marlin dari luar pintu. Bu Marlin menempelkan telinga ke pintu, kembali mengetuk tapi tak mendapatkan respon. “Mama masuk ya, sayang.”

Ceklek!

Kedua mata mama Marlin melebar melihat anak satu-satunya menangis tergugu di sisi ranjang. Buru-buru ia menutup pintu dan melangkah mendekati Adis.

“Sayang, kamu kenapa? Kenapa menangis?” tanyanya dengan sangat khawatir.

“Hiks, mama….” Adisti memeluk mama Marlin yang ikut duduk di sebelahnya. Guguan tangisnya makin keras, karna Adis tak bisa menerima kenyataan kalau Lingga meniduri pembantu.

Mama Marlin mengusap lembut punggung Adis, membiarkan dulu Adis terus menangis agar perasaannya membaik.

“Ma,” seru Adis, mulai menarik diri dan mengusap kedua mata yang penuh sama air asin. “Aku cinta sama Lingga, Ma.”

Mama Marlin menyingkirkan helaian rambut yang ada di wajah Adisti. “Iya, mama tau. Pernikahan kamu sama Lingga sebentar lagi kok.”

Adis mengepalkan tangan. “Mama tau pembantu di rumahnya Lingga?”

Kening mama Marlin berlipat. “Yang belum lama itu? Yang masih … masih muda?”

Adis menganggukkan kepala. “Di—dia ngerayu-ngerayu Lingga, Ma.”

Kedua mata mama Marlin menajam. “Ngerayu? Gimana maksudnya?”

Adis menarik nafas dalam dan membuangnya pelan-pelan. Kembali tangannya bergerak, mengusap genangan di mata dengan kasar. “Ak—aku tadi… tadi aku nggak sengaja dengar pembicaraan dia sama… sama lelaki. Dia bilang… dia bilang kalau… kalau dia hamil, Ma.”

Mama Marlin masih belum paham arah cerita Adis, jadi dia tetap diam mendengarkan sampai tuntas.

“Kaya’nya lelaki berandal itu pacarnya si pembantu di rumah Lingga. Mereka rencanain sesuatu, Ma.”

“Rencanain apa?” tanya mama Marlin, menatap Adis serius.

Adis meneguk ludah dengan susah, tangannya makin kuat meremas kain dress yang dipakai. “Ngerayu Lingga dan akan ngaku kalau anak itu anaknya Lingga, Ma.”

Kedua mata mama Marlin melebar. “Masa’ sih, Dis?”

Adis mengangguk dengan begitu meyakinkan. “Aku denger tadi, Ma.” Mengangkat tangan kanannya, menunjukkan telunjuknya yang ditutup pakai penutup luka. “Aku tadi sampai mecahin gelas pas mau ambil minum. Karna aku terkejut dengar ombrolan pembantu itu sama Lingga.”

“Jadi pembantu bocah itu ngaku ke Lingga kalau yang ngehamili dia itu adalah Lingga?” tanya mama Marlin, ingin lebih meyakinkan.

Lagi, Adis mengangguk yakin. “Iya, Ma. Padahal hari sebelumnya tuh aku pernah liat pembantu itu sama cowok berandalan gitu, Ma. Dia ngaku kalau hamil tapi cowok itu Cuma brandal pasar yang tidurnya aja asal ngegeletak. Makanya mereka rencanain ini, Ma.”

Tangan mama Marlin mengepal dengan wajah galak yang penuh amarah. “Keterlaluan. Biar mama kasih tau Bu Ajeng. Biar dia diusir dari rumah itu!”

Rasa patah di dalam hati Adis berganti dengan semangat yang membara. Merasa lebih kuat karna dia memiliki banyak dukungan. “Pernikahanku sama Lingga tinggal sebentar lagi. Aku nggak mau kalau semuanya jadi kacau, Ma. Mama pernah dengar kabar kalau suami selingkuh sama babysiter atau pembantu. Aku takut kalau—kalau rumah tanggaku sama Lingga bakalan kaya’ gitu, Ma….”

Mama Marlin meraih tubuh Adis yang kembali menangis. Mengusap lembut lengan bahu Adisti. “Enggak, sayang. Mama pastikan pembantu bocah itu akan terusir dari rumah pak Fandi. Mama nggak ridho kalau sampai rumah tangga anak mama dihancurkan oleh debu comberan macam pembantu itu.” mama Marlin mengecup sisi kepala Adisti. “Kamu tenang aja. Jangan mikir yang macem-macem ya.”

.

10/02/2024

Comments (16)
goodnovel comment avatar
raya yuliana
udah sakit²an jahat pula hati ny
goodnovel comment avatar
Pica-Mica
ternyata Adis jahat ya
goodnovel comment avatar
Pica-Mica
debunya udah basah dong Mak kalo di comberan ............
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status