Malam ini penutupan rapat, semua perwakilan Distributor di minta berkumpul di restoran. Hanya untuk mengadakan makan malam dan mengucapkan salam perpisahan. Dari tadi aku tak melihat Holand, ke mana dia?
“Maaf bu Aida, kok saya nggak lihat Pak Holand, ya?”
“Oh, kata temen lainnya dia sudah pulang lebih dulu. Ada urusan mendadak, Dek. Eh, kalian bener ya pernah dekat, maaf kalau waktu itu saya mengganggu kebersamaan kalian,” ucap Bu Aida tersenyum malu. Andai Ia tahu, saat itu dia telah menolongku.
“Nggak mengganggu, Bu. Saat itu kami ngobrol biasa saja,” jawabku sedikit sungkan.
“Eh, di makan dulu, Dek makanannya. Semoga kita bisa bertemu kembali di lain kesempatan.” Bu Aida memeluk.
“Aminnn, Bu.” Aku membalas pelukannya.
“Ratu, semoga bisa bertemu di lain waktu,” ucap Pak Sigit tiba-tiba mengulurkan tangan. Aku melerai pelukan dan membalas uluran tangannya.
&ldqu
Aku bahkan belum melihatnya sejak tadi, ke mana dia?Aku keluar kamar mencari keberadaannya, di semua tempat tak ada. Aku mendekati Pak Sopian yang sedang duduk di dapur bersama Bik Darmi dan Pak Joko.“Nyonya, kok keliatan bingung? Ada apa?” tanya Bik Darmi semringah.Aku tersenyum, kemudian ikut duduk di lantai bersama mereka.“Eh, Nyonya jangan duduk di sini nanti masuk angin!” kata Pak Joko cemas.“Iya. Nyonya. Biar kami saja yang duduk di bawah, Nyonya silakan duduk di atas,” Sambung Pak Sopian.“Bener Nyonya, bagaimana kalau nanti sakit,” ucap Bik Darmi.“Biasa aja ah, kalian lebay deh!” jawabku terkekeh.Buru-buru Pak Sopian melepas sarung yang melilit di lehernya. Kemudian sarung itu dibentang lebar-lebar untuk kududuki.“Pak Sopian terima kasih,” ucapku.“Iya Nyonya, sama-sama,” jawabnya sedikit membungkukkan punggung.
Aku melangkah keluar kamar setelah bercermin dan yakin sudah siap berangkat bekerja. Hari ini aku harus membeli ponsel yang baru karena ponselku rusak. Aku harus memberi tahu Fajar mengenai Lestari, hanya saja rasanya tidak enak jika tanpa bukti. Perlahan aku menuruni anak tangga menuju ke meja makan. Semua orang sudah menunggu di sana.Bik Darmi mengambilkan sarapan untukku. Kulirik Fajar sekilas yang duduk berseberangan denganku. Ia tampak asik dengan sarapannya, tidak sadar sejak tadi ada yang memperhatikannya. Selesai sarapan aku langsung menuju ke mobil yang sudah disiapkan di depan rumah, karena Desi sudah sejak tadi menunggu di sana. Fajar membukakan pintu mobil untukku.“Silakan, Nyonya."Aku hanya melempar senyum menjawabnya, kemudian melesat masuk.“Selamat pagi, Nyonya. Apa kabar?” tanya Desi gugup.“Pagi, Desi. Baik Alhamdulillah, anakmu gimana? Sudah sehat?” tanyaku yang membuat wajah itu tampak berseri-se
"Fajar, kau marah?” tanyaku bingung.“Apa karena Nyonya bisa melakukan semuanya sehingga Nyonya berhak mencampuri urusan orang lain?”“Fajar! Kau....” Aku kesal, dengan cepat aku membuka pintu mobil dan pindah ke jok belakang.Fajar langsung menghidupkan mesin mobil. Dia berkendara dengan kecepatan tinggi. Entah apa yang ada di otaknya. Mengapa dia harus marah? Aku hanya memberi tahu kebenaran, bukannya berterima kasih, malah marah-marah seperti ini.***Setelah malam itu hubunganku dan fajar sangat dingin, kami bicara seperlunya, tidak pernah bercanda dan kembali seperti dulu. Aku sering berkata ketus dan dia menjawabnya tak kalah menusuk. Aku kesal, niatku baik memberi tahu semuanya, dia malah marah-marah dengan alasan yang tak jelas.Siang itu saat kami bertiga sedang makan di salah satu restoran. Ada berita yang menghebohkan. Holand muncul memberikan pernyataan yang membuat semua orang geleng-geleng kepala.
Semakin hari rumor tentangku dan Fajar semakin kencang. Televisi swasta seolah berlomba-lomba menyiarkan berita tak benar itu. Sampai beberapa hari ini rumah di penuhi oleh paparazi. Kemanapun kami pergi selalu saja ada mereka.Di kantor, di butik dan di rumah. Para wartawan seolah haus dengan berita ini. Seratus kali ku jelaskan kalau aku dan Fajar hanya sopir dan majikan seperti hubungan sopir dan majikan pada umumnya, tapi selalu ada-ada saja, foto baru yang membuktikan kedekatan kami berdua di masa lalu.Beberapa supplier bahkan memutuskan kerja sama dengan perusahaan. Ada yang masih bertahan, tapi mengatakan, jika tiga bulan ke depan rumor tidak mereda maka dengan terpaksa mereka memutus kerja sama juga. Sudah jatuh tertimpa tangga pula itulah yang terjadi padaku saat ini.Karena rumor ini Oma memutuskan pulang ke Indonesia. Saat aku baru pulang ke rumah, sudah ada Oma menunggu di kamar. Wajahnya suram, tidak semringah seperti biasa."Oma...," seruku
Aku tersenyum kecil membaca suratnya. Ingin mengirim sms atau menelponnya, tapi aku takut ponselku sudah disadap oleh Oma. Aku tahu betul siapa Oma, jika dia mengatakan tidak maka tidak. Kalau saja ada yang menentang akan ada konsenkuensi yang diterima.Aku mencatut diri di depan cermin. Dres panjang polos berwarna biru muda dengan lengan pendek terlihat pas di tubuhku yang tinggi semampai. Rambut kukepang dua, dengan poni di depannya. Apakah aku sudah mirip seperti gadis desa? Karena Fajar pernah berkata, dia suka gadis desa dengan penampilan seperti ini. Kusemprotkan parfum beraroma lembut di leherku, lalu menyemprotkannya pula di tangan.Selesai. Aku duduk di ujung ranjang. Oma pasti bertanya akan kemana aku hari libur seperti ini. Apa aku katakan saja ingin bermain bersama teman-temanku dulu, tapi siapa? Aku menggigit bibir, berpikir alasan apa yang harus kupakai untuk meyakinkan Oma? Tiba-tiba pintu diketuk oleh seseorang.“Masuk!” teriakku.
Fajar membingkai wajahku dengan kedua telapak tangan, kemudian merekatkan dahi kami berdua. Hangat hembusan napasnya menyapu wajah. Aku memejamkan mata, meresapi kebersamaan ini. Perlahan di tariknya kepalaku dalam pelukan.“Saya tidak akan ke mana-mana, Nyonya,” jawabnya.Aku menarik kepalaku dari dada bidang itu, kembali menatap wajahnya lamat-lamat.“Apa Oma melakukan sesuatu?” tanyaku hati-hati.Fajar hanya tertawa, kemudian menggelengkan kepala, menggenggam tanganku erat.“Tidak, Nyonya. Semua baik-baik saja, jangan khawatir.”Aku bisa bernapas lega mendengar itu. Ketika azan magrib berkumandang, kami beranjak dan berlarian berdua meninggalkan pantai. Kami mencari mushola terdekat, kemudian ikut shalat berjamaah bersama masyarakat lainnya.Tepat pukul 20.00 malam, kami memutuskan pulang. Aku dan Fajar duduk di pinggir jalan, menunggu kedatangan Pak Sopian. Fajar terus me
Kutarik napas beberapa kali, kemudian mengembuskannya perlahan. Aku berusaha menahan tangis, dengan mengulum bibir. Setelahnya bangkit, dan duduk di ujung ranjang. Kuhapus air mata kasar. Kupejamkan mata lama, dan wajah Fajar seakan membayang di pelupuk mata. Meringis aku sembari menggelengkan kepala. Aku tergugu sampai bahu terguncang, air mata mengalir deras tanpa kuminta. Tiba-tiba aku ingat kotak biru yang diberikannya di hari ulang tahunku.Tergesa, aku bangkit dan membuka lemari. Semua yang ada dalam lemari kuhamburkan keluar, karena aku tak kunjung menemukan kotak itu. Di mana kotak itu? Itu satu-satunya pemberian Fajar untukku. Setelah semua isi lemari keluar dari tempatnya, terlihat kotak kecil itu ada di bagian sudut lemari. Aku tertegun lama menatapnya, kemudian dengan hati bergemuruh mengambilnya. Aku ambruk terduduk di depan lemari dengan kaki membentuk huruf V.Dengan perasaan tak menentu, kubuka kotak itu dengan sangat hati-hati karena takut merusak isinya. Kaca-kaca di
Pov : Fajar SuharjhoSiapakah aku yang mengharapkan langit di atas sana? Selamanya, bumi tidak akan pernah bisa bersatu dengan langit! Aku membuang pandangan ke luar jendela mobil yang aku tumpangi. Tidak ada kendaraan umum yang masuk ke desa ini. Selain jelek, jalannya juga sempit. Ini juga hanya sampai di depan gang, tidak masuk ke dalam. Mobil menepi. Aku turun, dan menyerahkan ongkos pada si sopir. "Makasih, Pak," kataku mengulurkan tangan.Sopir itu hanya tersenyum sembari menerima uang dariku. Setelah mobil itu pergi, aku berjalan melewati jalan setapak menuju ke rumah. Rasanya sudah tidak sabar ingin bertemu Ibu. Jadi teringat Nyonya Ratu, saat ia memberitahuku perihal kecurangan Lestari malam itu. Sepulang dari sana, aku langsung meneleponnya. Terisak-isak, Lestari memohon maaf. "Dik, kamu itu sudah Mas anggap sebagai adik Mas sendiri. Kamu, kok, tega bohongi Mas? Kamu harapan satu-satunya Mas. Sekarang kamu malah menusuk Mas dari belakang. Salah Mas apa, Dik?""Hiks, hiks,