Home / Urban / Diusir Ipar Setelah Suami Tiada / Bab 6. Penolakan Halus

Share

Bab 6. Penolakan Halus

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2022-07-30 16:46:04

"Dek Nisa, kamu yang sabar, ya," ucap Mas Wawan Kakak kandungku. Dia mengucapkan bela sungkawa untuk kedua kalinya. Pertama, saat musibah yang terjadi dan ke dua sekarang ini.

"Mas Wawan, mohon doanya, di sini posisiku sulit. Mbak Rini mulai menyindirku terus. Aku harus bagaimana, Mas?" Aku berkeluh kesah meminta dukungannya.

"Kamu harus bertahan demi anak-anakmu. Bagaimanapun rumah mereka di sana, kan. Jangan di ambil hati lah. Perempuan memang sering ngomong pedes. Sabar, ya," ucapnya menghiburku.

"Ya, Mas. Aku mengerti. Tetapi dia itu ngeyel, Mas."

"Dengar, ya. Rumah yang kamu tempati itu rumah Pak Sardi dan Bu Sayuti, Ridwan kan anak tunggal mereka walaupun anak angkat. Ya itu haknya kalian. Haknya Alif dan Dwi. Apalagi ada surat pengesahan dari pengadilan. Secara hukun, yang numpang itu malah si Rini itu! Diakan anak bawaaan Pak Sardi! Sedangkan rumah itu ada karena perkawinan kedua," jelasnya dengan berapi-api.

"Iya Mas. Aku tahu benar itu. Tetapi Mas, kemarin Mbak Rini ...."

"Sudahlah Nisa. Walaupun Ridwan sudah tidak ada, kamu dan kedua anakmu itu tanggung jawab keluarga suamimu. Iya, to? Mas akan bilang ke Simbok, kalau kamu baik-baik saja. Jangan sampai jantungnya kumat.  Sek, ya. Mas Wawan berangkat kerja dulu, kalau telat gajiku dipotong. Bagaimana makannya anak-anak, ditambah Wiwin dan anaknya. Wes yo, yang sabar," ucapnya langsung menutup telponku.

Huuft .... 

Aku terduduk lemas disamping Dwi yang tertidur pulas. Dari pembicaraan Mas Wawan, aku tahu benar, dia menolakku untuk pulang ke rumah walaupun secara halus. Aku mengerti, bukan karena dia tidak mau, tetapi karena ketidakmampuannya yang memaksa bersikap seperti itu.

Aku pandangi wajah pulas putriku ini. Dalam tidurnya ada senyum tersirat di sana. Mungkin dia bermimpi indah bertemu dengan Mas Ridwan. Aku tundukkan wajahku mencium pipi gembulnya, menyusuri jejak ciuman Mas Ridwan.

***

"Bagaimana Nisa? Kamu jadi pulang ke kampungmu, kan?" tanya Mbak Rini mengulang pertanyaan yang sama seperti kemarin-kemarin.

"Mbak Rini ingin sekali kami pergi, ya?" tanyaku dengan suara bergetar menahan rasa kesal. 

"Ya iya, lah. Coba kamu pikir. Kalau di sini, siapa yang akan memenuhi kebutuhanmu? Emak? Bapak? Mereka sudah tua. Apalagi ada aku di sini. Kamu tega melihat mereka harus kerja keras menghidupi kalian. Bisa jadi, satu persatu perabotan di rumah ini dijual untuk kasih makan kalian?" ucapnya dengan ketus.

"Mbak Rini, kita bisa kerja bersama. Membantu usaha Emak di pasar. Atau membuat usaha sendiri. Kita bisa bekerja sama," ucapku berusaha melunakkan hatinya.

"Ah, alasan! Kamu pinter, ya. Nanti kita kerja bareng, terus kamu suruh ini dan itu. Perintah sana sini, dan uangnya kami pegang! Iya, kan? Dasar licik! Dari dulu aku dipinteri saja. Aku tidak mau! Pokoknya kalian harus pergi!"

"Mbak Rini, dengar penjelasan saya."

"Enggak! Aku tidak mau kamu manfaatkan. Nanti aku akan kamu singkirkan. Terus Hasan akan terlantar. Huuh, tidak akan!"

"Mbak ...!"

"Tidak!"

Brak!

Dia menutup pintu dengan keras sampai-sampai Dwi terbangun dari tidurnya dan menangis.

***

[Mas Wawan apa kabar]

Aku baca pesan yang kemarin aku kirim lewat ponsel kepada Mas Wawan. Belum ada balasan, tanda dibaca pun belum.

[Dek Wiwin, Simbok sehat?]

Pesanku kepada adik perempuanku, ini sudah dua hari tidak ada balasan juga.

Aku menghela nafas, kepada siapa aku bisa berkeluh kesah? Kedua saudara kandungku saja tidak membalas pesanku. Mungkin mereka sibuk dengan pekerjaannya. Atau mungkin, mereka takut aku mintai tolong? Aku gelengkan kepala menghilangkan rasa curigaku.

Walaupun mereka membalas pesanku, untuk meminta tolong kepada mereka sepertinya tidak mungkin. Mereka tinggal di rumah Simbok. Mas Wawan dan istri beserta kedua anaknya, begitu juga Dik Wiwin yang sudah menjadi janda bersama satu anaknya. Apalagi Simbok sudah renta, aku tidak mungkin tega menambah masalahku di sana. 

Hanya satu jalan, aku harus berdiri di kakiku sendiri. Kepada Allah, aku bisa bersandar.

Aku menggelar sajadah, salat malam untuk memasrahkan diri kepadanya. Ini yang aku lakukan. Dengan menengadahkan tanganku, aku memohon pertolongannya. Terurai air mata ini, melepas rasa sesakku. 

Tring!

Bunyi ponselku. Aku segera mengambilnya, pasti pesan dari Mas Wawan atau Dik Wiwin. Akhirnya saudaraku ada untukku.

Aku buka ponselku, bukan nama yang kuharapkan, tetapi ini pasti jawaban doaku. 

[Ibuku di Surabaya membutuhkan teman. Ada rumah kecil di belakang rumah kami. Kalau kamu mau, itu bisa digunakan]

Alhamdulillah. 

Pesan diponselku itu dari Mbak Fatimah. 

Kemarin sepulang dari pasar, aku mampir ke tokonya. Aku sampaikan bahwa tekadku sudah bulat untuk mandiri, tetapi tidak di daerah sini. Aku ingin melindungi anak-anakku dari kesalahpahaman dengan Mbak Rini. 

Mbak Fatimah menawarkan untuk ke Surabaya, tempat asalnya. Di sana peluang kerja besar, jadi aku bisa mencoba berusaha. Untuk sementara mungkin kami tinggal di rumah ibunya, tetapi menunggu persetujuan beliau dulu. 

Alhamdulillah, jawabannya, Ya.

***

"Nisa ... Niatmu bisa dibatalkan, kan? Bagaimana Emak bisa hidup kalau kalian pergi," ucap Emak memegang lenganku. Menghentikanku yang sedari tadi berkemas.

"Emak, Nisa akan berjuang di sana. Setelah kuat, Nisa akan jemput Emak. Emak yang sabar, ya," ucapku dengan melepas tangannya dari lenganku.

"A- atau, Alif kamu tinggal saja?"

"Tidak! Anak-anak harus ikut, Mak," jawabku tegas. Aku pergi dari rumah ini karena keselamatan anakku, mana mungkin aku akan meninggalkan Alif di sini. Sedangkan Mbak Rini menganggap anakku ini sebagai saingan pewaris.

"Emak nanti bagaimana, Nisa. Emak sayang dengan kalian. Kalau Emak kangen bagaimana?" ucapnya lirih. Dia mengelus lembut rambut Alif yang tertidur. Aku lihat sekilas, buliran air mata sudah membasahi pipinya. Tidak tega aku melihatnya. Aku harus kuat dan tega, demi anak-anakku. 

"Kalau begitu, terimalah ini," ucap Emak lirih, membuka buntalan kain dari lipatan bajunya. 

"Ini tidak banyak, setidaknya bisa membuat kalian bertahan. Surat-suratnya lengkap di sana," ucapnya dengan menyerahkan buntalan itu kepadaku.

"Tapi, Mak?"

"Huuss, ini tabungan Emak sendiri. Sembunyikan di sela-sela baju. Supaya aman. Terima ya," ucapnya. Ditangkupnya tangannya ke tanganku, sambil tersenyum disela tangisnya itu. 

"Dan ini, uang untuk perjalanan," ucapnya lagi. 

"Te-terima kasih, Mak," ucapku tanpa bisa membendung lagi air mata ini.

"Ada yang Emak minta."

"Apa, Mak?" ucapku seraya menghapus air mata ini.

"Jangan kamu bawa foto-foto itu," ucapnya dengan menunjuk foto Mas Ridwan dan foto kami bertiga itu. 

"Juga, jangan bawa baju kalian semua, sisakan beberapa di sini. Sampai kapanpun, kamar ini adalah kamar kalian. Emak tidak akan ijinkan siapapun untuk memakainya," ucapnya sambil menangis lagi.

"Emak akan tidur disini ketika merindukan kalian. Emak masih merasa Ridwan di sini. Emak ...." Ucapannya tidak diteruskannya, hanya isakan tangis yang terdengar. 

"Emak!" teriakku sambil memeluknya. Kami terisak bersama untuk kesekian kalinya.

"Nisa, boleh Emak tidur di sini bersama kalian malam ini?" bisiknya lirih. 

Aku tidak mampu menjawab dengan kata-kata, hanya anggukan yang aku mampu. Rasa sesak semakin menekan dada ini dan mendorong air mata yang sudah meluncur kembali.  

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 56. Indah Pada Waktunya

    “Malam ini ingin aku masakin apa?” tanyaku kepada Mas Bowo yang sedang bersiap berangkat ke kantor. Setiap pagi setelah dia mengantar Alif berangkat sekolah, giliran suamiku ini yang bersiap. “Apa saja. Yang penting dimasakin istriku. Semuanya pasti aku makan,” ucapnya sambil mengalungkan kedua tangan di pinggang ini. Memang, kami sudah bukan pengantin baru, tapi perlakuannya tetap manis bahkan cenderung manja. “Beneran, nih. Aku masakin soto dinosaurusnya Alif, ya.” Aku terkekeh sembari mengalungkan kedua tanganku, mengerling manja dan tersenyum. “Boleh. Asal dikasih bumbu daging, dan senyuman istriku ini,” ucapnya sesaat sebelum mendekatkan wajah dan mencium kening ini. Sungguh, hari-hariku selalu dilimpahi kebahagiaan bersamanya. Mas Bowo yang sudah menerima keluarga kami, anak-anakku, bahkan Mbuk-mertuaku pun sudah diperlakukan seperti ibunya sendiri. “Mas, ayo buruan berangkat. Nanti telat, lo. Manager harus kasih contoh yang baik untuk anak buahnya,” ucapku kemudian menangku

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 55. Kutitip Cinta di Atas Bukit

    (Setelah Tiga Bulan Berlalu)Tanganku gemetar mengusap foto besar yang dibingkai kayu berwarna emas. Tetesan air mataku tak terbendung membasahi kaca ini. Di gambar ini tersimpan semua kenangan dan harapan di keluarga kami.Tadi pagi, Mas Bowo membawanya, masih terbungkus kertas coklat. Dia berpesan untuk memasangnya di atas televisi, tidak boleh di tempat lain."Kita sering berkumpul di tempat ini. Emak, kita dan anak-anak. Menonton TV bersama dan makan seringkali kita berpindah ke sini. Foto ini, mengingatkan kalau dia selalu ada di hati kita. Anak-anak pun akan terbiasa dengan sendirinya, tanpa kita ingatkan terus," jelas Mas Bowo saat meminta alasannya.Aku memeluknya dengan erat, merasa dimengerti. Mas Bowo membantuku untuk tidak melupakan namamu di hati anak-anak. Membiasakan ada kamu, walaupun ragamu tidak bisa mendampingi kami lagi. Dia adalah anugrah bagi kami. Seperti utusan yang mewakili kehadiranmu, suami keduaku ini tidak menganggap ayah anak-anakku adalah pesaingnya. Pen

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 54. Sebutan Papa

    Bahagia. Itu kata yang tepat dikala mendengar gelak tawa mereka. Lega. Rasa yang menguasai saat melihat anak-anak bergulat, bercanda bersamanya.Terharu. Saat tangan tua mengusap punggungmu dan bibirnya mengucap, "Kamu anakku juga."Iklas. Bayangan yang selalu menghiasi mimpiku, melambaikan tangan dan memudar sesaat tertangkap banyangan punggung itu.Itulah yang mengumpul di dada ini. Menopangku untuk tetap tegak berjalan menatap langit biru dengan tersenyum mengembang. Mengiklaskan masa laluku untuk bersamanya merajut kebahagiaan.***Kebahagiaan melingkupi keluarga ini. Emaklah yang paling kelihatan cerah, senyum mengembang di setiap apa yang dilakukan. Perasaan lega akan kekawatiran keluarga ini sudah terhapus dengan hadirnya suamiku, Mas Bowo.Saat kami pulang, kamarku yang sudah menjadi kamar kami di hias indah. Rangkaian bunga menghias di meja kecil. Sprei putih dengan detail ungu tua di rumbainya. Ditata rapi dan kelihatan lebih lapang."Mas, pasti ini kerjaan Emak," ucapku s

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 53. Bersamamu, Dunia Semakin Indah

    Aku regangkan tubuhku yang terasa remuk redam. Di balik selimut, kubelai dirinya yang basah berkeringat. Wajahnya damai saat tertidur pulas. Dalam lelapnya, tersungging senyuman dibibir, setelah beberapa kali terlontar kata lagi.Pelan, kupindahkan tangan dan melepaskan diri dari pelukannya. Dengan berjingkat aku punguti baju yang berceceran di lantai. Tersenyum mengingat apa yang baru terjadi. Kebersamaan kami seperti menjadi candu. Kami seperti dua insan yang menyimpan hasrat yang menumpuk dan melesat saat sudah dipersilakan.Benar kata Umi, aku harus minum madu. *"Mas! Berapa lama lagi aku boleh keluar?" tanyaku saat Mas Bowo melongokkan kepalanya di pintu kamar yang dia buka sedikit. "Tunggu, tiga puluh menit lagi!" ucapnya tersenyum dan menutup pintu kembali. Malam ini, ada rencana indah untukku. Mas Bowo sedang mempersiapkan di luar. Aku dipaksa tidak boleh keluar kamar, sampai dia memperbolehkannya. Tadi sore, dia memberiku bingkisan kotak berwarna putih. Ada ucapannya ya

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 52. Status Baru

    Kata SAH menyatukan kami sebagai keluarga. Pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga dekat saja.Setelah aku menyatakan persetujuan, Mas Bowo mensegerakan untuk menghalalkan hubungan kami. Umi dan keluarganya menyambut dengan gembira dan mendesakku untuk menyetujui niat ini.“Untuk apa menunda niat baik. Apa lagi yang ditunggu? Menunda itu tidak dibenarkan. Segera hubungi keluargamu untuk segera datang,” pinta Umi yang memaksaku berkata iya.Apalagi Mas Bowo. Dia mengajukan segala macam alasan yang membuatku tidak berkutik.“Nisa …. Kamu tahu betapa tersiksanya ketika kita berdekatan seperti ini? Hanya mendengar suaramu saja membuatku tidak baik-baik saja,” ucapnya saat kami bersama sepulang dari belanja bulanan. Saat itu, Emak memaksa untuk tidak membawa anak-anak dengan berbagai alasan.Aku memaksakan diri membalas tatapannya yang sendu. Sebagai wanita dewasa, aku mengerti apa arti tatapan laki-laki di depanku ini. Segera aku alihkan pandangan darinya. Inginku menjaga jarak, tapi

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 51. Menjawab Keraguan

    Sebenarnya masih bercokol keraguan besar di hatiku. Pertanyaan yang mengganggu. Kenapa Mas Bowo yang begitu nyaris sempurna ingin menikahiku? Sedangkan aku seorang janda yang mempunyai anak dua. Penampilan biasa saja, jauh dari kata cantik dan modern. Kalau dia berniat, pasti bisa memilih gadis manapun. Dia masih lajang, tampan, badan juga tinggi serta mapan. Aku harus memastikan terlebih dahulu. Malam ini juga. Saat ini kami selesai berbincang tentang pekerjaan. Kami di lantai bawah, Emak dan anak-anak di atas."Saya masih menunggu persetujuan cuti untuk pergi ke pulau itu. Di kantor masih sibuk peluncuran produk baru, jadi kerjaan saya lumayan sibuk," jelas Mas Bowo sambil merapikan berkas yang baru kami bicarakan Aku memainkan bolpoin di tanganku. Mencoret-coret di kertas berusaha mengumpulkan keberanian melontarkan pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia menggunakan kaos putih lengan pendek sebagai baju dalaman tadi. Kaosnya menjiplak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status