Masuk"Aku serius, Bas!" Kutatap Bas dengan tajam. Namun, pemuda itu malah tertawa renyah tanpa beban."Bas!" geramku."Iya, iya. Mereka sudah kuusir dari sini, kamu tenang saja."Akhirnya aku bisa bernapas lega. Semoga dua orang itu tak akan kembali lagi ke sini. Biarlah Aiza aku yang urus sendiri. Bukankah sejak dulu juga begitu?"Ya sudah, kita temui Aiz sekarang," ajak Bas. Tangannya dengan tak sopan menggenggam tanganku. Namun, segera kutepis dan berjalan lebih dulu. Begitu masuk ke dalam ruangan, kulihat Aiza yang tengah bercerita seru dengan Devin. Ternyata bocah itu sudah kembali bersama Mas Bakri."Maaf, Mas, tadi saya harus usir Mas Bakri dari sini," ucapku merasa tak enak."Nggak apa-apa, Yun. Tapi, kami nggak bisa lama-lama, ada acara keluarga," sahut Mas Bakri sekaligus memberitahu."Iya, Yun. Kamu nggak apa-apa jaga Aiz sendiri? Apa mau aku temani saja di sini?" Desi bertanya sembari bangkit dari duduknya dan mendekat padaku."Ih, nggak apa-apa, Des. Kamu pulang saja, aku bis
Aku langsung berdiri tegak ketika melihat ibu mertua tiba-tiba datang yang tak lama disusul oleh Mas Bagus. Wanita tua itu tampak menatapku dengan nyalang bak musuh bebuyutan."Kamu apakan cucuku, hah?!" sentaknya yang membuatku menggeleng pelan.Cucu katanya? Baru kali ini aku mendengar dia mengakui Aiza sebagai cucunya. Padahal dulu ibu mertua sama sekali tak pernah menganggap kehadiran aku dan putriku."Maaf, Bu. Tolong jangan buat keributan. Ini rumah sakit, banyak pasien yang perlu istirahat." Desi bersuara dengan tatapan yang tak kalah nyalang. Sontak saja ucapannya itu langsung dibalas oleh mertuaku tak kalah tajam."Diam! Siapa kamu, hah? Kamu cuma orang asing! Aku ini sedang memperhatikan cucuku!"Kutarik napas dalam-dalam saat wanita tua itu semakin bertingkah. Devin dan Aiza yang sejak tadi anteng pun kini menatap takut dari atas ranjang."Maaf, Des. Sebaiknya kalian keluar dulu. Kasihan Devin kalau lihat ini," usirku. Aku tak mau menghancurkan mental Devin karena harus mel
Hari ini benar-benar terasa berat. Setelah tadi meyakinkan hati untuk memberi kabar pada Mas Bagus, kini aku harus menguatkan diri untuk menunggu kedatangan suamiku itu.Ya, aku menghubungi Mas Bagus atas usulan Bas. Dia bilang, biar bagaimanapun Mas Bagus adalah ayah kandungnya Aiza. Memang benar, tapi ada perasaan sedikit tak rela saat aku harus menghubungi pria itu lagi. Bukannya ingin memantik bara api, aku hanya masih mengingat jelas bagaimana Mas Bagus tak pernah peduli pada Aiza."Om Bas ke mana, Mama?" Pertanyaan dari Aiza membuat lamunanku seketika buyar. Kufokuskan pandangan pada gadis kecil yang masih terbaring di atas bangsal. Meski begitu, aku bersyukur karena keadaannya berangsur membaik sekarang."Om Bas lagi pergi ke luar," jawabku sambil menarik kedua sudut bibir membentuk senyuman."Ke mana? Om Bas nggak mau tunggu Aiz, ya?""Bukan gitu, Sayang ...."Ah, Aiza memang belum tahu jika Bas semalaman berjaga demi dia. Lelaki itu tak tidur sama sekali hingga pagi. Lalu, p
Kupeluk tubuh Aiza selama perjalanan menuju rumah sakit. Putriku itu masih tetap menggigil, hanya sesekali berhenti. Aku benar-benar tak mengerti apa penyebabnya karena ini baru pertama kali terjadi pada Aiza."Tolong lebih cepat, Bas," pintaku dengan suara yang lirih. Dadaku sudah sesak sejak tadi. Hatiku hancur melihat Aiza seperti ini."Sabar, sebentar lagi kita sampai. Tenangkan dirimu dulu." Bas berucap sembari menggenggam sebelah tanganku. Hanya sebentar, karena dia kembali fokus pada jalanan. Kondisi hari yang sudah malam membuat jalanan sedikit lenggang hingga kami bisa sampai di rumah sakit dengan cepat. Bas segera turun lebih dulu dan mengambil tubuh Aiza dari pangkuanku. Selanjutnya, ia berlari menuju ruang UGD. Kakiku masih terasa lemas karena terlalu cemas. Sebab itulah aku hanya bisa menyusul Bas dengan langkah pelan. Tuhan ... hatiku benar-benar tak tenang. Berbagai asumsi pun mulai bermunculan. Namun, aku segera tersadar dan menggelengkan kepala untuk mengusir pikir
Senyumku terukir setelah kembali ke kosan. Aku benar-benar bahagia karena sudah bisa bekerjasama dengan pihak ekspedisi. Jadi, lain kali semua pesanan pelangganku akan dijemput oleh kurir. Hah, betapa senangnya aku."Terus tersenyum seperti itu. Aku suka."Bisikan Bas membuatku tersadar seketika. Kutolehkan kepala hingga bisa melihat pemuda itu yang tengah tersenyum lebar. Tatapanku menajam, tapi dia malah menanggapi dengan kekehan.Kubawa kaki ini melangkah menuju rumah Desi tanpa menoleh pada Bas lagi. Namun, teriakan pemuda itu selanjutnya membuat langkahku terhenti."Terima kasih sudah mengantarku, Mbak Ayu!"Huft!Kuputar tubuh ini dengan cepat. Lalu, kubalas teriakan Bas sedikit kesal. "Terima kasih, Bas!"Pemuda itu langsung melengkungkan senyumnya, lalu mengedipkan sebelah mata yang membuat bulu kudukku merinding seketika. Segera aku berbalik badan dan benar-benar memasuki rumah Desi kali ini."Eh, sudah beres, Yun?" Desi langsung bertanya begitu melihatku masuk.Aku hanya mer
Entah berapa kali aku dibuat panas oleh sikap Bas hari ini. Pemuda itu benar-benar berani menunjukkan sisi ketertarikannya padaku, bahkan di tempat umum sekalipun. Sialnya, aku malah terbuai hingga sempat menikmati hangat pelakunya tadi siang.Oh, Tuhan ... maafkan aku."Mama, Aiz mau main sama Devin, ya!"Kualihkan pandangan pada Aiza yang tengah meminta izin dari atas tempat tidur. "Boleh, tapi Aiz jangan nakal, ya. Jangan acak-acak mainan Devin." Putriku itu mengangguk senang, lalu segera keluar dari kamar dengan langkah yang penuh semangat. Jika kuperhatikan, Aiza memang lebih ceria ketika tinggal di sini. Berbeda sekali saat masih tinggal di rumah yang dulu. Hem, mungkin karena ada Devin yang bisa ia ajak bermain.Kulanjutkan kegiatan yang sempat tertunda karena lamunan. Tanganku memeriksa satu per satu daster yang sudah dipesan oleh pelanggan untuk selanjutnya kuantar pada kantor jasa pengiriman.Ya, membuka kembali usaha di tempat baru tentunya harus memulai dari awal. Jika d







