Allah memudahkan kita mengambil keputusan yang sulit dengan cara meminta petunjuk kepadaNya lewat shalat istikharah. Dan itulah yang Izz dan Indri lakukan selama satu bulan ini. Setiap malam mereka melantunkan doa-doa agar diberikan petunjuk mana yang terbaik bagi hubungan mereka ke depannya.
Bagi orang lain yang melihat apa yang mereka lakukan, mungkin akan berkata mereka sudah gila dan di butakan oleh cinta. Apalagi seorang Izandra yang notabene orang yang memiliki ilmu agama yang baik yang harusnya lebih bisa berpikir positif dan bijak dalam mengambil sikap. Bukan malah terlena dalam cinta yang belum usai. Padahal di mata orang awam, sekelas Kyai harus memiliki iman yang kuat, tak mudah goyah oleh hawa nafsu. Tapi apalah daya.. Izandra tetap lah seorang manusia yang memiliki hati, dia pikir siapa yang bisa membolak-balikan hatinya kecuali atas kehendak Allah. Itulah yang membuatnya yakin untuk melakukan istikharah selama satu bulan penuh, agar apa yang akan dia putuskan kini, adalah murni dan yakin hasil dari istikharah nya selama satu bulan penuh tersebut, bukan hanya karena hawa nafsu semata. "Gimana hasil istikharah nya, A?" tanya Indri pada Izz saat Izz meneleponnya untuk menanyakan kabar, setelah satu bulan mereka menahan diri untuk tak saling berkomunikasi sampai mendapat keyakinan atas hubungan mereka ke depannya akan seperti apa. "Apakah Aa udah nemuin jawabannya?" lanjut Indri penasaran."Alhamdulillah.. Udah.. De, sendiri, gimana?" tanya Izz. "Kalau Aa, sih.. Malah tambah yakin mau nikahin, De. Yaa, Aa harap.. De, juga nemuin jawaban yang sama dengan Aa. Jujur dari awal, Aa takut mengambil keputusan atas dasar hawa nafsu Aa saja. Tapi setelah satu bulan ini Aa setiap malam meminta petunjuk, Allah malah semakin memantapkan hati Aa untuk meminang kamu menjadi makmum kedua Aa," sambung Izz kemudian."Entahlah, A. De merasa yakin gak yakin. De masih takut dan kepikiran banyak hal kedepannya," lirih Indri. Hatinya memang masih ada tersirat banyak ketakutan. Apalagi Indri tahu bahwa Izz adalah seorang Kyai yang cukup tersohor karena pernah mengikuti ajang pemilihan Da'i di televisi. Indri takut, jika kelak dia ketahuan menikah siri dan menjadi istri kedua Izz, maka dirinya dan Izz akan Viral di seluruh indonesia dan itu membuat nama baiknya juga nama baik pesantren Izz tercemar. Bahkan Indri takut, Izz akan di usir oleh saudara-saudara sepupunya yang sekarang pun seperti menunggu kesempatan untuk menjatuhkan Izz dan mendepaknya dari ke pemimpinan pesantren saat ini.Belum lagi Indri memikirkan restu dari sang Ayah yang harus menjadi wali nikahnya, jika memang kelak dia benar-benar akan menikah dengan Izz. Pasti takkan mudah meminta restu pada sang Ayah yang memiliki sifat sangat keras. Indri takut, ayahnya murka jika tahu bahwa Indri di jadikan istri kedua oleh Izz. Apalagi.. Dulu saat pacaran pun, ayah Indri memang tak begitu menyukai Izz dan sempat menolak hubungan mereka berdua."De udah ngobrol sama Mama De. Kalo Aa emang mau serius, Aa berani gak ngobrol sama Mama?" Indri ingin menguji ke seriusan Izz untuk melamarnya dengan menantang Izz meminta restu pada sang mama. Tapi tanpa diduga, ternyata Izz berani untuk bilang sama mama Indri untuk meminta restu."Mana coba, Aa mau ngomong sama mama nya De." Kali ini justru Indri yang ketar-ketir dan malu sendiri pada sang mama. Indri memang selalu terbuka pada sang mama tentang segala hal. Bahkan sekalipun itu tentang Izz yang memiliki niat menjadikannya istri kedua. Dan itu sontak membuat mama Indri sangat kaget mendengarnya."Assalamu'alaikum.." sapa Mama Indri pada Izz di seberang telepon."Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.. Apa kabar tante? Masih inget sama Izz, kan, tante?" jawab Izz basa basi."Alhamdulillah.. Tante baik, sehat.. Iya, tante pasti inget sama Izz.. Gimana gak inget, Izz kan dulu sering main ke rumah. Gimana Izz sehat? Ada angin apa telpon tante, nih?" tanya Mama Indri langsung to the point."Alhamdulillah.. Izz juga sehat. Syukurlah kalau tante masih inget sama Izz.. Jadi gini tante.. Sebenernya Izz ngerasa agak kurang sopan kalau ngobrol hal yang penting seperti ini lewat telepon, tapi mungkin Indri sebelumnya udah cerita soal niat baik saya sama dia untuk melamarnya menjadi istri saya. Dan Indri juga mungkin udah cerita ke tante soal status saya saat ini seperti apa.. Kira-kira.. Tante berkenan menerima lamaran saya untuk Indri atau enggak, ya, tan? Emmm.. Tapi enaknya sih, kalo tante ada waktu, bisa kita bertemu. Biar lebih afdhol gitu, tan," jelas Izz panjang lebar. Mama Indri mendengar kesungguhan dari kata-kata Izz.. Dan Mama Indri pun akhirnya lebih memilih untuk bertemu langsung dengan Izz daripada lewat telepon seperti ini."Ya.. Tante juga maunya ngobrol langsung sama Nak Izz.. Kapan aja Nak Izz ada waktu, tante sama Indri bisa luangin buat kita bertiga bertemu. Banyak hal yang ingin tante sampaikan juga sebenarnya." kata Mama Indri."Kalau besok, gimana, tante? Ada waktu gak? Lebih cepat lebih baik." tanya Izz mantap."Boleh, nanti besok tante sama Indri kabari Izz lagi jam berapa sama dimana kita bertemu.. Ya?""Iya, tante, terima kasih.""Sama-sama. Tante tutup ya teleponnya.. Assalamu'alaikum?" Setelah mendapat jawaban salamnya, Mama Indri sengaja mengakhiri telepon tersebut alih-alih memberikannya kembali pada Indri. Ia pikir lebih baik mereka berdua jangan dulu terlalu sering berkomunikasi. Agar tak terlalu banyak harapan-harapan, jika pada kenyataannya kelak mereka tak bisa bersatu.Mama Indri memang merasa kurang setuju jika anak perempuan satu-satunya itu, harus menikah dengan seorang pria beristri. Tapi di sisi lain, Mama Indri tahu sekali bahwa Indri dan Izandra masih sangat saling mencintai. Terbukti dari Indri yang berulang kali di perkenalkan oleh kakak ipar nya dengan beberapa pria, berharap ada satu yang cocok dengan Indri dan bisa membuat Indri move on dari kegagalan rumah tangganya yang kemarin.Entah sudah berapa kali Indri menolak dan merasa tak pernah cocok dengan pria-pria yang mengajaknya berkenalan. Mulai dari seorang pengusaha, guru, pejabat, dokter, dan banyak lagi. Tapi setiap kali Indri istikharah, meskipun si pria sudah melamarnya, Indri justru malah mundur teratur dan merasa tak siap. Berbeda jika dengan Izz, Mama Indri justru melihat binar kebahagiaan di mata Indri ketika tahu bahwa Izz datang kembali dalam kehidupan nya, meskipun Indri tahu bahwa Izz sudah memiliki istri dan empat orang anak.Bagi seorang Ibu, ini adalah pilihan yang sulit bagi Mama Indri.. Apakah dia harus merelakan anak kesayangan nya pada seorang pria beristri.. Atau kah dia harus menahan anaknya dan mengubur cinta mereka berdua dengan tidak memberikan restu. Apalagi di sini sekali lagi banyak yang harus menjadi pertimbangan. Dan bagaimana nasib Indri ke depannya, itulah yang Mama Indri sangat khawatir kan. Mama Indri tak ingin anaknya mengalami kegagalan rumah tangga untuk yang kedua kalinya.Besok adalah hari yang menegangkan, entah itu bagi Mama Indri, bagi Indri ataupun bagi Izandra. Entah keputusan seperti apa yang akan Mama Indri berikan. Tapi di dalam hati Izandra dan Indri yang paling dalam, mereka berharap, Mama Indri mau memberikan lampu hijau untuk mereka berdua bersatu. Setidaknya, jika begitu, satu beban di pundak mereka akan terasa lebih ringan lagi. Tinggal memikirkan beban yang lainnya.Di saat kita sudah merasa memiliki sesuatu, terkadang kita di paksa sadar bahwa hal tersebut nyatanya bukanlah milik kita. Apa yang kita jaga agar tak lepas dari genggaman, ternyata justru hanya titipan semata. Jangankan orang lain, anak kita, pasangan kita, orang tua kita, saudara kita, harta kita, bahkan diri kita sendiri pun semua hanya titipan yang sewaktu-waktu bisa saja di ambil kembali oleh Sang Pemilik Segalanya. Begitulah yang kira-kira Annisa rasakan saat ini. Rasa memiliki yang begitu dalam akan sang suami, Izandra. Membuat Annisa merasa sangat amat pilu ketika mendapati kenyataan bahwa dia harus berbagi segala apa yang ada pada suaminya itu dengan perempuan lain. Raganya, cintanya, hartanya, ilmunya, perhatiannya, tanggung jawabnya, semua seperti sebuah mimpi buruk yang membuat Annisa enggan untuk meyakininya sebagai kenyataan. Sayangnya semua bukanlah sebuah mimpi. Sang suami benar-benar berniat ingin membagi segala sesuatu yang selama ini Annisa sangka hanya u
"Maaf sebelumnya, A. Tapi aku gak mau menikah tanpa ijin dari Annisa," potong Indri mantap. Izz terkesiap mendengar kata-kata Indri. Dia sama sekali tak menyangka bahwa Indri akan mengajukan syarat seperti itu. "Ma-maksudnya gimana, De?" tanya Izz lesu. "Iyaa, aku gak bisa seperti itu. Kalau memang Annisa tak memberi ijin pada Aa untuk menikah sama aku, maka aku gak akan pernah mau menikah sama Aa." Indri berkata dengan pasti. Dia merasa bahwa pernikahan yang terjadi tanpa restu dari istri pertama tak akan pernah berjalan dengan baik ke depannya. "Aku gak mau kalau sampai nanti kita akhirnya ketahuan dan semua orang jadi menyudutkan kita. Apalagi jika sampai Viral. Semua ini aku lakukan untuk berhati-hati dan berjaga-jaga demi kebaikan kita ke depannya," ucap Indri lirih. "Tapi ... kita bisa menikah lebih dulu, lalu setelahnya kita bisa beritahu Annisa. Bukankah kalau kita sudah sah menjadi suami-istri, tak ada alasan untuk Annisa menolak lagi?" jawab Izz. Rencana Izz mema
Tak ada perempuan di zaman ini yang akan ikhlas berbagi suami. Meskipun ada, itu seperti satu butir berlian di tengah gurun pasir, sulit untuk menemukannya. Begitupun dengan Annisa. Sekuat apapun dia berusaha menerima, tapi tetap saja hatinya sakit. Dia masih belum bisa berdamai dengan kenyataan. Semalam setelah Izz pulang selepas isya dari Mesjid, Annisa akhirnya memutuskan untuk berbicara dengannya. "Bii ... Aku mau bicara," kata Annisa dengan ragu sambil menundukkan kepalanya. "Ya, ayo kita ke ruang kerja Abi," jawab Izz lembut. Sesampainya di sana, Izz langsung mempersilakan Annisa untuk bicara. Izz yakin Annisa akan memberikan keputusannya. Terlihat Annisa menarik nafas dalam dan dengan berat dia mengeluarkannya. Hening beberapa saat. Annisa merasa bingung harus mulai dari mana. "Jadi .... " Izz tak sabar menunggu istrinya bicara. "Aku mau kita pisah, Bii ...," ucap Annisa dengan suara serak seperti menahan tangis. Sontak saja Izz terkeju
Dua minggu berlalu, Annisa masih saja belum memberikan keputusannya. Sampai sang Ibu merasa heran, kenapa anak sulungnya ini, sudah dua minggu ini berada di rumahnya. Firasat seorang Ibu memang sangat kuat jika anaknya sedang mengalami suatu masalah. Hanya saja ia segan untuk ikut campur dalam kehidupan anaknya itu. "Nak ... Cerita sama Ibu, sebenarnya ada masalah apa antara kamu dengan suamimu? Sudah dua minggu kamu di sini, dan selama itu pula, suamimu tak pernah datang kesini untuk mengunjungi kalian. Pasti ada sesuatu yang terjadi di antara kalian kan?" tanya Ibu Annisa pagi ini selepas sarapan. Mereka masih duduk berdua di meja makan. "Em.. Gak ada apa-apa, kok, Bu ... Kyai mungkin lagi sibuk jadi gak sempet buat kesini." lirih Annisa. Tapi sang Ibu tetap bisa melihat ekspresi Annisa yang berbeda saat membahas sang Suami. Ibunya melihat Annisa tak seceria biasanya. Hanya saja, Ibu Annisa lebih memilih membiarkan Annisa menyelesaikan masalah rumah tangganya sendiri.
"Aku mau di poligami, Bii." Setelah mengatakan itu dengan susah payah, Annisa melihat ekspresi Izz yang langsung terlihat berbinar-binar mengetahui bahwa dirinya diberi lampu hijau untuk berpoligami. "Kamu serius, Mii?" tanya Izz memastikan. Takut-takut tadi istrinya hanya bercanda. "Ya, aku serius. Tapi sebelumnya, bolehkah aku bertemu dengannya? Bertemu dengan perempuan yang bisa menggoyahkan rumah tangga kita," jawab Annisa lesu. Izz tertegun. Ia lupa bahwa Indri adalah orang yang selalu Annisa cemburui. Bahkan sering kali Annisa me-roasting Izz yang dulu sangat bucin pada Indri. Entah bagaimana ekspresi Annisa, jika dia tahu bahwa orang yang akan menjadi madunya adalah orang yang paling dia cemburui. "Emmm ... I-itu ... Nanti aku akan tanyakan dulu padanya, kapan dia mau di ajak bertemu denganmu," kata Izz ragu. "Baiklah kalau begitu. Nanti Abi kasih tau Ummi aja kapan dia bisanya," ujar Annisa sambil bangkit dari duduknya dan hendak meleng
Di saat semua sedang tegang akibat penolakan dari Gani, kakak Indri. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu depan. Lisa, istri Gani, segera bangkit dan memeriksa siapa yang datang bertamu sepagi ini. Saat membuka pintu, Lisa melihat ada seorang pria bertubuh tinggi tegap yang berdiri bersama seorang wanita berhijab panjang yang terlihat sedang membelakangi pintu dan melihat-lihat taman depan rumah mertuanya. "Maaf, cari siapa ya?" tanya Lisa. Ke dua orang itu kemudian berbalik. Lisa menelisik wajah ke duanya. Dan Lisa sama sekali merasa tak pernah bertemu dengan mereka. Apalagi Lisa agak terkejut, ternyata si tamu perempuan memakai cadar. "Maaf, Mbak. Bapak sama Ibunya Indri, ada?" Dia adalah Izz dan perempuan di sampingnya adalah Annisa. Saat sepertiga malam tadi, Annisa terbangun lalu melakukan rutinitasnya yakni shalat malam. Biasanya Annisa akan membangunkan Izz dan mengajaknya untuk shalat malam bersama. Tapi tadi, ia merasa ingin melakukannya sendiri. Setelah do
"Tunggu! Aku ingin bicara," ucap Gani. Seketika Izz mengurungkan niatnya untuk pergi menyusul Annisa karena Gani meminta bicara dengannya. Izz menghela napasnya pelan. Kemudian mengangguk patuh. "Silakan duduk dulu," titah Gani. Izz merasa ada hawa intimidasi dari tatapan Gani kepadanya. Dan dia pun memaklumi juga menerima apapun konsekuensi yang akan dia terima. Gani duduk di seberang Izz di ikuti yang lainnya. Mereka diam beberapa saat sampai Gani membuka suaranya. "Jadi benar, kabar bahwa kamu akan menjadikan adik saya istri ke dua?" tanya Gani to the point. "A ... Please ... Jangan kek gini," bujuk Indri. Dia takut sekali sang kakak murka pada Izz. Tapi memang tak ada pilihan lain, dia harus membela Izz apapun yang terjadi. "Diam kamu!" sentak Gani. "Aa lagi ngomong sama dia! Kamu diam! Jangan ikut campur!" Gani membentak Indri dengan wajah merah menahan amarah. Ibunya Indri berusaha mendekat pada Indri dan memeluk putri kesayangannya it
Indri duduk di Kafe Teras Biru sambil memainkan handphone nya dan menunggu sahabatnya datang. Semalam dia mengajak Irene untuk bertemu di kafe tersebut saat jam makan siang. Indri memindai isi Kafe tersebut yang di dominasi warna biru. Mulai dari cat dinding, warna lantai, hiasan-hiasan bahkan kursi dan mejanya pun dominan berwarna biru. Menu makanan di Kafe tersebut rata-rata adalah makanan kekinian, seperi aneka macam mie, seblak, bakso, dimsum, steak, ricebowl dan lain-lain. 'Tempatnya cukup enak buat nongkrong dan curhat,' pikir Indri. Beberapa menit kemudian Irene datang dan langsung memeluk Indri, mereka saling menanyakan kabar sambil cipika-cipiki. Setelah berbasa-basi mereka pun langsung duduk, Indri memanggil pelayan dan menyodorkan buku menu pada Irene, lalu mereka memesan 3 menu makanan dan dua minuman. Setelah pelayan pergi, Irene langsung menodong Indri dengan pertanyaan, "So... Gimana-gimana? Udah dapet keputusan?" tanya Irene, tapi Indri hanya tersenyum