"Maaf sebelumnya, A. Tapi aku gak mau menikah tanpa ijin dari Annisa," potong Indri mantap. Izz terkesiap mendengar kata-kata Indri. Dia sama sekali tak menyangka bahwa Indri akan mengajukan syarat seperti itu. "Ma-maksudnya gimana, De?" tanya Izz lesu. "Iyaa, aku gak bisa seperti itu. Kalau memang Annisa tak memberi ijin pada Aa untuk menikah sama aku, maka aku gak akan pernah mau menikah sama Aa." Indri berkata dengan pasti. Dia merasa bahwa pernikahan yang terjadi tanpa restu dari istri pertama tak akan pernah berjalan dengan baik ke depannya. "Aku gak mau kalau sampai nanti kita akhirnya ketahuan dan semua orang jadi menyudutkan kita. Apalagi jika sampai Viral. Semua ini aku lakukan untuk berhati-hati dan berjaga-jaga demi kebaikan kita ke depannya," ucap Indri lirih. "Tapi ... kita bisa menikah lebih dulu, lalu setelahnya kita bisa beritahu Annisa. Bukankah kalau kita sudah sah menjadi suami-istri, tak ada alasan untuk Annisa menolak lagi?" jawab Izz. Rencana Izz mema
Tak ada perempuan di zaman ini yang akan ikhlas berbagi suami. Meskipun ada, itu seperti satu butir berlian di tengah gurun pasir, sulit untuk menemukannya. Begitupun dengan Annisa. Sekuat apapun dia berusaha menerima, tapi tetap saja hatinya sakit. Dia masih belum bisa berdamai dengan kenyataan. Semalam setelah Izz pulang selepas isya dari Mesjid, Annisa akhirnya memutuskan untuk berbicara dengannya. "Bii ... Aku mau bicara," kata Annisa dengan ragu sambil menundukkan kepalanya. "Ya, ayo kita ke ruang kerja Abi," jawab Izz lembut. Sesampainya di sana, Izz langsung mempersilakan Annisa untuk bicara. Izz yakin Annisa akan memberikan keputusannya. Terlihat Annisa menarik nafas dalam dan dengan berat dia mengeluarkannya. Hening beberapa saat. Annisa merasa bingung harus mulai dari mana. "Jadi .... " Izz tak sabar menunggu istrinya bicara. "Aku mau kita pisah, Bii ...," ucap Annisa dengan suara serak seperti menahan tangis. Sontak saja Izz terkeju
Dua minggu berlalu, Annisa masih saja belum memberikan keputusannya. Sampai sang Ibu merasa heran, kenapa anak sulungnya ini, sudah dua minggu ini berada di rumahnya. Firasat seorang Ibu memang sangat kuat jika anaknya sedang mengalami suatu masalah. Hanya saja ia segan untuk ikut campur dalam kehidupan anaknya itu. "Nak ... Cerita sama Ibu, sebenarnya ada masalah apa antara kamu dengan suamimu? Sudah dua minggu kamu di sini, dan selama itu pula, suamimu tak pernah datang kesini untuk mengunjungi kalian. Pasti ada sesuatu yang terjadi di antara kalian kan?" tanya Ibu Annisa pagi ini selepas sarapan. Mereka masih duduk berdua di meja makan. "Em.. Gak ada apa-apa, kok, Bu ... Kyai mungkin lagi sibuk jadi gak sempet buat kesini." lirih Annisa. Tapi sang Ibu tetap bisa melihat ekspresi Annisa yang berbeda saat membahas sang Suami. Ibunya melihat Annisa tak seceria biasanya. Hanya saja, Ibu Annisa lebih memilih membiarkan Annisa menyelesaikan masalah rumah tangganya sendiri.
"Aku mau di poligami, Bii." Setelah mengatakan itu dengan susah payah, Annisa melihat ekspresi Izz yang langsung terlihat berbinar-binar mengetahui bahwa dirinya diberi lampu hijau untuk berpoligami. "Kamu serius, Mii?" tanya Izz memastikan. Takut-takut tadi istrinya hanya bercanda. "Ya, aku serius. Tapi sebelumnya, bolehkah aku bertemu dengannya? Bertemu dengan perempuan yang bisa menggoyahkan rumah tangga kita," jawab Annisa lesu. Izz tertegun. Ia lupa bahwa Indri adalah orang yang selalu Annisa cemburui. Bahkan sering kali Annisa me-roasting Izz yang dulu sangat bucin pada Indri. Entah bagaimana ekspresi Annisa, jika dia tahu bahwa orang yang akan menjadi madunya adalah orang yang paling dia cemburui. "Emmm ... I-itu ... Nanti aku akan tanyakan dulu padanya, kapan dia mau di ajak bertemu denganmu," kata Izz ragu. "Baiklah kalau begitu. Nanti Abi kasih tau Ummi aja kapan dia bisanya," ujar Annisa sambil bangkit dari duduknya dan hendak meleng
Di saat semua sedang tegang akibat penolakan dari Gani, kakak Indri. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu depan. Lisa, istri Gani, segera bangkit dan memeriksa siapa yang datang bertamu sepagi ini. Saat membuka pintu, Lisa melihat ada seorang pria bertubuh tinggi tegap yang berdiri bersama seorang wanita berhijab panjang yang terlihat sedang membelakangi pintu dan melihat-lihat taman depan rumah mertuanya. "Maaf, cari siapa ya?" tanya Lisa. Ke dua orang itu kemudian berbalik. Lisa menelisik wajah ke duanya. Dan Lisa sama sekali merasa tak pernah bertemu dengan mereka. Apalagi Lisa agak terkejut, ternyata si tamu perempuan memakai cadar. "Maaf, Mbak. Bapak sama Ibunya Indri, ada?" Dia adalah Izz dan perempuan di sampingnya adalah Annisa. Saat sepertiga malam tadi, Annisa terbangun lalu melakukan rutinitasnya yakni shalat malam. Biasanya Annisa akan membangunkan Izz dan mengajaknya untuk shalat malam bersama. Tapi tadi, ia merasa ingin melakukannya sendiri. Setelah do
"Tunggu! Aku ingin bicara," ucap Gani. Seketika Izz mengurungkan niatnya untuk pergi menyusul Annisa karena Gani meminta bicara dengannya. Izz menghela napasnya pelan. Kemudian mengangguk patuh. "Silakan duduk dulu," titah Gani. Izz merasa ada hawa intimidasi dari tatapan Gani kepadanya. Dan dia pun memaklumi juga menerima apapun konsekuensi yang akan dia terima. Gani duduk di seberang Izz di ikuti yang lainnya. Mereka diam beberapa saat sampai Gani membuka suaranya. "Jadi benar, kabar bahwa kamu akan menjadikan adik saya istri ke dua?" tanya Gani to the point. "A ... Please ... Jangan kek gini," bujuk Indri. Dia takut sekali sang kakak murka pada Izz. Tapi memang tak ada pilihan lain, dia harus membela Izz apapun yang terjadi. "Diam kamu!" sentak Gani. "Aa lagi ngomong sama dia! Kamu diam! Jangan ikut campur!" Gani membentak Indri dengan wajah merah menahan amarah. Ibunya Indri berusaha mendekat pada Indri dan memeluk putri kesayangannya it
Indri duduk di Kafe Teras Biru sambil memainkan handphone nya dan menunggu sahabatnya datang. Semalam dia mengajak Irene untuk bertemu di kafe tersebut saat jam makan siang. Indri memindai isi Kafe tersebut yang di dominasi warna biru. Mulai dari cat dinding, warna lantai, hiasan-hiasan bahkan kursi dan mejanya pun dominan berwarna biru. Menu makanan di Kafe tersebut rata-rata adalah makanan kekinian, seperi aneka macam mie, seblak, bakso, dimsum, steak, ricebowl dan lain-lain. 'Tempatnya cukup enak buat nongkrong dan curhat,' pikir Indri. Beberapa menit kemudian Irene datang dan langsung memeluk Indri, mereka saling menanyakan kabar sambil cipika-cipiki. Setelah berbasa-basi mereka pun langsung duduk, Indri memanggil pelayan dan menyodorkan buku menu pada Irene, lalu mereka memesan 3 menu makanan dan dua minuman. Setelah pelayan pergi, Irene langsung menodong Indri dengan pertanyaan, "So... Gimana-gimana? Udah dapet keputusan?" tanya Irene, tapi Indri hanya tersenyum
Izz masuk ke dalam kamarnya di lantai dua setelah tadi dia menemani anak-anaknya bermain sebentar. Ia mengedarkan pandangannya mencari sang istri yang tak terlihat di sana. Dia berjalan menuju walk in closet, Annisa tak terlihat juga di sana. Lalu dia berjalan ke arah kamar mandi di seberang walk in closet. Izz sedikit menempelkan telinganya di depan pintu kamar mandi. Di sana terdengar gemericik air di dari dalam. Mungkin Annisa sedang mandi, pikir Izz. Sepulu menit, dua puluh menit, sampai hampir satu jam, Annisa sama sekali tak keluar dari dalam kamar mandi. Izz mulai merasa ada yang janggal. Ia kembali menuju pintu kamar mandi dan menempelkan telinganya di sana. Gemericik air tetap terdengar tapi seperti tak ada aktifitas apapun di dalamnya. Izz mencoba mengetuk pintu dan memanggil Annisa. Satu kali, dua kali, sama sekali tak ada jawaban. Dia mencoba memutar gagang pintu, tapi ternyata di kunci dari dalam. Izz mulai panik, berbagai pikiran buruk langsung berk