Pak Wong menatap Peter lama, seolah menimbang keputusan.
Akhirnya, ia menghela napas panjang. "Baiklah. Aku akan memberimu bahan yang kau butuhkan. Anggap saja sebagai balas budi untuk punggungku. Tapi ingat, ini tidak menghapus hutangmu yang lama!"
"Terima kasih, Pak Wong. Aku janji akan melunasi semuanya segera."
Dengan wajah yang sudah jauh lebih ramah, Pak Wong mengeluarkan dua stoples kaca dari lemari khusus di belakang kasir. Satu berisi akar berwarna merah keemasan, dan yang lain berisi kelopak bunga putih yang tampak berkilau seperti salju.
"Ini yang terakhir kalinya aku memberimu keringanan," kata Pak Wong sambil menyerahkan bahan-bahan tersebut. "Jangan sia-siakan."
++++
Kembali di apartemennya, Peter langsung bekerja dengan teliti. Ia menyiapkan peralatan meracik yang dibawanya dari Benua Zicari, mortar dan alu khusus, panci kecil untuk merebus, dan cetakan pil dari batu giok.
"Di Benua Zicari, aliran Qi begitu kuat sehingga meracik pil adalah hal mudah," gumam Peter sambil menumbuk akar Ginseng Merah.
"Tapi di Bumi, energi Qi sangat tipis. Aku harus bekerja dua kali lebih keras untuk hasil yang sama."
Selama berjam-jam, Peter bekerja tanpa henti. Keringat membasahi dahinya saat ia mengalirkan sisa-sisa energi Qi dalam tubuhnya ke dalam ramuan.
Proses yang biasanya membutuhkan waktu singkat di Benua Zicari kini terasa begitu melelahkan.
"Dantian-ku hampir kosong," keluhnya saat merasakan energi dalam tubuhnya semakin menipis. "Aku harus berhemat. Dengan aliran Qi sebesar ini, aku hanya bisa membuat sepuluh pil Forging Qi."
Saat matahari mulai condong ke barat, Peter akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Di hadapannya, sepuluh butir pil kecil berwarna merah keemasan berkilau tertimpa cahaya sore.
Pil Forging Qi, ramuan tingkat dasar yang di Benua Zicari dianggap biasa saja, namun di dunia ini mungkin akan menjadi keajaiban.
"Sepuluh pil, masing-masing seharga satu juta rupiah," Peter menghitung dalam hati. "Sepuluh juta rupiah dalam satu hari. Tidak buruk untuk permulaan."
Dengan semangat menggebu, Peter menyimpan pil-pil tersebut dalam kotak kayu kecil dan bersiap untuk menjualnya. Ia mengambil meja lipat kecil yang ia temukan di sudut apartemen dan sebuah kursi plastik.
"Di Benua Zicari, orang-orang rela menempuh perjalanan berhari-hari hanya untuk membeli pil buatanku," kenangnya dengan bangga.
"Bahkan Raja Utara sendiri pernah menawarkan setengah kerajaannya untuk resep rahasiaku. Pasti tidak akan sulit menjual sepuluh pil sederhana di sini."
Pukul empat sore, Peter sudah siap dengan meja kecilnya di pinggir jalan yang ramai. Ia memilih lokasi strategis di dekat pasar tradisional, tempat banyak orang berlalu lalang.
Di atas meja, ia meletakkan kotak berisi pil Forging Qi dan sebuah papan kecil bertuliskan, "Pil Ajaib Penambah Energi - 1 Juta Rupiah/Butir".
"Pil ajaib penambah energi! Sembuhkan kelelahan dan tingkatkan stamina!" Peter berseru dengan penuh semangat kepada setiap orang yang lewat.
"Hanya satu juta rupiah untuk kesehatan prima!"
Namun, tidak seperti di Benua Zicari, orang-orang hanya melirik sekilas sebelum berlalu. Beberapa tertawa mengejek, yang lain menggelengkan kepala dengan tatapan kasihan.
"Satu juta untuk pil merah kecil itu? Kau gila ya?" komentar seorang pria berjas lusuh.
"Penipuan model baru nih," celetuk seorang ibu sambil menarik anaknya menjauh.
"Kalau mau jual narkoba jangan terang-terangan, nanti ditangkap polisi," ejek sekelompok remaja yang lewat.
Satu jam berlalu. Tidak ada pil yang terjual.
Dua jam berlalu. Masih belum ada yang tertarik.
Tiga jam berlalu. Matahari mulai tenggelam, lampu-lampu jalan menyala, dan Peter masih duduk di belakang mejanya dengan wajah semakin muram.
"Permisi, Pak," Peter mencoba menghentikan seorang eksekutif yang lewat. "Pil ajaib penambah energi, cocok untuk pekerja keras seperti Bapak."
Pria itu berhenti sejenak, menatap Peter dari atas ke bawah dengan pandangan meremehkan. "Satu juta? Untuk benda tidak jelas ini? Lebih baik aku beli suplemen di apotek resmi. Setidaknya ada izin BPOM-nya."
"Tapi ini bukan suplemen biasa, Pak," Peter mencoba menjelaskan. "Ini mengandung energi Qi yang..."
"Qi? Apa itu? Omong kosong!" Pria itu tertawa mengejek. "Kembali ke sekolah, anak muda. Atau cari pekerjaan yang lebih layak daripada menipu orang di pinggir jalan."
Pria itu berlalu, meninggalkan Peter dengan harga diri yang terkoyak. Seorang tabib agung yang dulu dipuja-puja, kini dianggap penipu jalanan.
Jam menunjukkan pukul tujuh malam.
Pasar mulai sepi, pedagang lain sudah mulai membereskan dagangan mereka. Peter menatap sepuluh pil di hadapannya yang masih utuh, tidak berkurang satu pun.
"Bagaimana mungkin?" bisiknya pada diri sendiri, kebingungan dan kekecewaan bercampur dalam suaranya.
"Di Benua Zicari, pil-pil ini akan ludes dalam hitungan menit. Di sini, bahkan setelah tiga jam, tidak ada yang percaya."
Peter terdiam, tercengang menatap kotak berisi sepuluh pil yang tidak laku.
Realitas dunia ini menghantamnya dengan keras. Ia bukan lagi tabib agung yang dihormati, melainkan hanya seorang penjual obat jalanan yang dianggap penipu.
Apakah pil-pil ajaibnya akan laku malam ini? Atau ia harus memikirkan strategi baru untuk membuktikan kekuatan penyembuhan
Bersambung
Peter mengernyitkan dahi, masih belum terbiasa dengan sebutan 'dokter' yang tiba-tiba disematkan padanya."Selamat pagi, Norma, Gino. Ada yang bisa saya bantu?""Pil Anda luar biasa!" Norma berseru antusias. "Saya baru saja dari klinik untuk tes paru-paru. Dokter sampai bingung melihat hasil MRI saya. Bercak di paru-paru yang kemarin masih jelas terlihat, hari ini sudah hampir hilang sepenuhnya!""MRI?" Peter mengangkat alis, terkesan dengan teknologi medis di dunia ini yang tampaknya cukup maju."Ya, pemindaian resonansi magnetik," Gino menjelaskan, seolah Peter tidak tahu. "Teknologi canggih untuk melihat organ dalam tanpa operasi."Peter mengangguk, berusaha terlihat terkesan meski di Benua Zicari, para tabib tingkat tinggi bisa melihat kondisi organ dalam hanya dengan memeriksa nadi dan aura pasien."Dan bagaimana dengan kondisi Anda, Gino?" tanya Peter, meski ia sudah bisa menebak jawabannya dari raut wajah pria itu yang jauh lebih cerah dibanding semalam."Jauh lebih baik!" Gino
Pagi itu, jalanan di kompleks pemukiman pinggiran Kota Wada sudah ramai meski matahari baru saja mengintip di ufuk timur.Pedagang kaki lima mulai menata dagangan, pekerja pabrik bergegas menuju halte bus, dan anak-anak sekolah dengan seragam kusut berjalan malas menuju sekolah mereka.Di tengah hiruk pikuk ini, Peter Davis baru saja keluar dari apartemen kumuhnya, mengenakan celana training lusuh dan kaos oblong yang sudah memudar warnanya.Udara pagi yang sejuk memenuhi paru-parunya saat ia melakukan peregangan ringan.Setelah menemukan cara mendapatkan energi Qi dan berhasil meracik lebih banyak pil semalam, Peter memutuskan untuk mulai melatih fisiknya yang telah diabaikan selama lima tahun.Tubuh yang ia tempati sekarang jauh berbeda dengan tubuhnya di Benua Zicari, tubuh yang lemah, tidak terlatih, dan penuh racun akibat alkohol dan gaya hidup tidak sehat."Saatnya memulihkan kondisi fisik ini," gumam Peter sambil melakukan gerakan pemanasan dasar dari Sekte Bintang Utara.Baru
"Memangnya apa hebatnya pil kecil ini?" tantang Gino. "Bisa menyembuhkan apa?"Peter menatap Gino tepat di matanya. "Pil ini bisa menyembuhkan hampir semua penyakit, termasuk yang Anda derita saat ini."Wajah Gino seketika memucat. "Apa maksudmu?""Saya tahu Anda sedang sakit," Peter berkata hati-hati, tidak ingin mengungkapkan kemampuan diagnosisnya yang sebenarnya. "Cara Anda berjalan dan ekspresi wajah Anda menunjukkan rasa tidak nyaman yang khas."Gino menelan ludah dengan gugup. "Kau... tahu apa yang kuderita?""Infeksi saluran kemih yang parah," Peter menjawab diplomatis. "Mungkin akibat gaya hidup yang kurang sehat."Keringat dingin mulai membasahi dahi Gino. Sudah berminggu-minggu ia menderita sakit saat buang air kecil dan keluarnya cairan aneh dari kemaluannya. Dokter yang ia datangi mendiagnosa gonore dan memberinya antibiotik, tapi ia tidak disiplin meminumnya."Bagaimana kau bisa tahu?" bisik Gino, setengah takut setengah kagum."Tentu saja pengetahuanku yang mumpuni!," j
Norma menghambur masuk ke dalam Melody Paradise dengan wajah merah padam. Langkahnya menghentak-hentak keras, mengabaikan sapaan beberapa pelanggan tetap yang duduk di area bar. Tangannya masih gemetar, campuran antara marah dan terhina."Kurang ajar! Benar-benar kurang ajar!" gerutunya sambil menyambar segelas vodka yang disodorkan bartender. "Penjual obat jalanan berani-beraninya menyentuh dadaku!"Cindy, pemandu lagu dengan rambut merah menyala dan gaun ketat berbelahan tinggi, langsung mendekat dengan mata berbinar penuh keingintahuan. "Siapa yang berani menyentuhmu, sayang? Ceritakan detailnya!""Penjual obat di depan bar," Norma menenggak minumannya dalam sekali teguk. "Awalnya dia menawarkan pil aneh seharga satu juta. Aku tawar jadi lima puluh ribu, dan dia setuju. Tapi setelah aku minum pilnya, tiba-tiba tangannya..." Norma menunjuk dadanya dengan ekspresi jijik."Astaga!" Cindy berseru dramatis, sengaja mengeraskan suaranya agar semua orang mendengar. "Jadi sekarang penjual
Tanpa pikir panjang, Peter mengambil salah satu pil Forging Qi dan mengejar wanita itu."Permisi, Nona," panggil Peter.Wanita itu berhenti dan berbalik, alisnya terangkat dengan ekspresi tidak suka. "Ada apa?""Maaf mengganggu, tapi aku lihat Anda tidak sehat," kata Peter langsung pada intinya. "Aku punya obat yang bisa membantu."Norma tertawa sinis. "Kau mau jual obatmu padaku? Berapa harganya? Satu juta seperti yang tertulis di papanmu itu?""Ini bukan obat biasa," Peter mencoba menjelaskan. "Pil Forging Qi ini bisa memperkuat energi tubuh dan menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk yang Nona derita sekarang.""Oh ya? Dan dari mana kau tahu aku sakit?" Norma melipat tangannya denga pose pertahanan. "Kau dokter? Atau cuma penipu jalanan?""Aku bisa lihat dari cara Nona bernapas dan warna kulit Nona," jawab Peter hati-hati, tidak ingin mengungkapkan kemampuan diagnosisnya yang sebenarnya. "Batuk-batuk yang Nona sembunyikan itu bukan sekadar flu biasa."Norma tampak terkejut sejenak
Malam semakin larut. Peter masih terpaku menatap sepuluh pil Forging Qi yang tak terjual satupun.Rasa kecewa dan frustrasi bercampur dalam dadanya. Bagaimana mungkin ramuan yang begitu berharga di Benua Zicari dianggap sampah di dunia ini? Bahkan pil dasar untuk memperkuat tubuh seperti ini pun tidak ada yang mau.Saat itulah perhatiannya teralih pada cahaya warna-warni yang berkedip-kedip di kejauhan.Sebuah bangunan dua lantai dengan papan nama neon besar bertuliskan "MELODY PARADISE" menyala terang, kontras dengan kegelapan malam di kawasan pinggiran kota.Suara musik dangdut menghentak keras, bahkan terdengar hingga ke tempatnya berdiri."Setidaknya di sana lebih ramai," gumam Peter, mulai membereskan dagangannya yang tak laku. "Siapa tahu ada orang lewat yang mau beli."Peter memindahkan meja kecilnya lebih dekat ke bar, mencari tempat yang strategis di pinggir jalan. Dari sini ia bisa melihat siapa saja yang keluar masuk, sekaligus menawarkan pilnya pada orang yang terlihat sak