Share

Chapter 6

“Kamu sebaiknya membawanya ke rumah sakit secepat mungkin!” perintah Daffin.

“Lakukan beberapa pemeriksaan rinci dalam bedah toraks dan penyakit dalam, jadi kamu bisa tau apa yang terjadi,” lanjut Daffin.

“Aduh, sakit … sakit …” ayah Rosa mengeluh kesakitan.

“Dokter Daffin apa seorang ahli bedah toraks atau penyakit dalam?” Rosa menggayuh lengan Daffin.

“Aku dari department bedah umum.”

“Lalu kapan biasanya kamu di rumah sakit?” Rosa mencoba menggoda Daffin.

Daffin membelalakkan matanya merasa risih dengan pertanyaan Rosa dan sikapnya yang sedikit menggelikan itu. Aleena tidak mau kalah dengan Rosa, ia mencoba mengalihkan perhatian Daffin.

“Dokter Daffin, kupikir kamu tidak dapat membantu apapun di sini. Jadi kamu boleh pergi!” Aleena mengusir Daffin secara halus.

“Pak, ingatlah untuk pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan,” Daffin mengingatkan ayah Rosa.

“Baik terimakasih dokter.”

Daffin pun kembali ke rumah sakit untuk bekerja, sementara itu Rosa merasa ada yang janggal di antara Daffin dan Aleena.

“Aleena, kamu membuat pria tampan seperti itu ada di sini pasti punya niat kan?” Rosa mencurigai Aleena.

Aleena membelakangi Rosa kemudian pergi darinya. Rosa yang merasa dirinya di cueki terus protes dan teriak memanggil Aleena. Namun Aleena mengabaikannya.

Di rumah sakit, Daffin sedang makan siang di kantin bersama dengan Edo.

“Daffin, kenapa kamu tidak ikut dengan kita malam ini?” tanya Edo sambil membawa nampan makannya dan membuntuti Daffin

“Aku sudah bilang berkali-kali, aku tidak mau pergi,” Daffin meletakkan nampan makannya di meja.

“Pergi saja denganku, lagian aku yang bayar kok, bukan kamu. Ini cuma kencan buta,” kata Edo sembari mendudukkan badannya di kursi kantin.

“Aku gak mau,” Daffin mulai memasukkan makanannya ke mulut.

“Ya sudah,” Edo sedikit kesal dengan tolakan Daffin.

“Oh iya, masuk akal tak ada yang bisa menjadikanmu popular di departemen bedah melalui kencan buta,” ucap Edo dengan sembarangan.

“Apalagi kamu cowok tercakep yang mendedikasikan hidup demi tim medis. Benarkan?” lanjut Edo.

Daffin tidak menjawab celoteh Edo, ia fokus makan makanan yang sudah ia pesan di kantin rumah sakit.

“Eh, ceritakan dong?! Yang terakhir kali cewek di balik tirai itu siapa? Aku tidak mengenalnya,” Edo mengedipkan matanya sebelah, seolah-olah dia sedang menggoda Daffin.

Daffin sedikit risih, dia juga tidak tahu harus menjawab Edo bagaimana.

“Dia pasti bukan dari departemen kita kan? Karena aku tidak kenal,” Edo terus kepo terhadap Daffin.

“Dan dia juga pasti bukan keluarga pasien kan?”

“Hentikan! Makan saja, jangan banyak bicara!” Daffin mulai kesal dengan semua celoteh dan ke-kepoan Edo.

Edo yang merasa tidak enak terhadap Daffin akhirnya memilih diam. Mereka melanjutkan makannya sampai habis. Beberapa saat kemudian barulah Edo mencoba mengalihkan pembicaraannya agar tidak canggung dengan Daffin.

“Apa terjadi sesuatu di rumah? Aku belum melihatmu untuk waktu yang lama,” ucap Edo.

Daffin menghela nafasnya panjang. Sedikit melirik kea rah Edo kemudian barulah menjawab pertanyaan Edo.

“Memang ada masalah,” singkat Daffin.

“Nomor rekeningmu tetap kan?” Edo mengeluarkan ponselnya.

“Iya, kenapa?”

“Aku akan mengirimkanmu uang. Kemungkinan besar adalah uang yang bisa membuatmu bermasalah,” Edo mencoba menebak masalah yang menimpa Daffin.

“Tidak perlu repot-repot,” Daffin menolak dengan sopan.

“Jumlahnya besar ya? Lebih dari gajimu?”

Daffin mengangguk, memberikan isyarat kepada Edo bahwa yang dia tanyakan memang benar.

“Aku bisa meminjamimu uang,” Edo menawarkan bantuan.

“Tidak perlu, Aku sudah menemukan caranya, meskipun sedikit menekanku,” kata Daffin dengan ragu-ragu.

Edo terus mendesak Daffin untuk membantunya, tapi tetap saja Daffin menolak. Bukan karena tidak menghargai sahabatnya, tapi dia tidak mau menyusahkan. Daffin rela melakukan apapun yang terbaik untuk keluarganya sekalipun itu membuatnya susah.

“Kamu tidak mau aku bantu, jangan-jangan ada perjanjian antara presdir cantik yang akan menikahimu?!”

Daffin yang mendengar perkataan Edo langsung menyemburkan minumannya ke muka Edo. Bagaimana tidak terkejut, Edo seakan paranormal yang tahu semua hal yang menimpa Daffin.

*

Di malam yang dingin, Aleena berlatih tinju di aula. Ia memukul samsaknya dengan sekeras mungkin.

“Dimas?! Apa pendapatmu tentang kemampuan negosiasiku?” tanya Aleena pada Dimas.

“Tidak ada kontrak yang tidak bisa anda menangkan.”

“Lalu apa kemampuanku menurun?” Aleena bertanya kembali.

“Maksud anda negosiasi kemarin dengan perwakilan direktur? Saya pikir kinerja anda sempurna. Dan semua syaratnya sesuai dengan tujuan kita, saya tidak berpikir ada masalah.”

 “Lalu siapa yang punya masalah? Apakah Daffin?” Aleena masih terus memukul samsaknya dengan sekuat tenaga.

“Dokter Daffin? Ada apa dengannya?” Dimas bertanya polos sekali kepada Aleena.

“Aku menawarkan menikah dengannya, dengan menaikkan uang 20-40 juta, tapi dia tidak mau bekerja sama. Kenapa?”

“Nngg … menurut pendapat saya, anda menegosiasikan pernikahan tapi juga berbisnis dengannya. Bayangkan itu, jika seorang pria memberimu uang dan memintamu menikah untuk situasi sama-sama menguntungkan? Apakah anda akan merasa bahagia?” Dimas menjelaskan panjang lebar.

“Aku pasti mau! Kenapa tidak?”

“lalu aku …”

“Apa? Katakan?!” emosi Aleena mulai naik.

“Presdir, liburan dan bonus saya bulan depan …” Dimas mengalihkan pembicaraannya.

“Katakan?!” Aleena menghentikan latihan tinjunya dan sesekali mengatur nafasnya.

“Apapun kecuali uang, bagaimana cara menegosiasikannya?” tanya Aleena penasaran.

“Ya, tentang perasaan yang sebenarnya. Biarkan dia melihat perasaan anda yang sebenarnya dan antusiasme anda.”

Aleena tidak menjawab perkataan Dimas terakhir. Ia melepaskan sarung tinjunya kemudian melemparkannya ke arah Dimas sambil sesekali melotot kepada Dimas. Dimas yang sedikit takut dengan amarah Aleena kali ini, ia menundukkan kepalanya merasa bersalah.

“Kita tidak akan pergi ke perusahaan,” Aleena meninggalkan Dimas.

Sementara itu, pagi-pagi sekali Rosa pergi ke rumah sakit. Ia mondar-mandir di taman rumah sakit. Entah mengapa raut wajahnya terlihat muram, seperti ada sesuatu yang terjadi. Tak lama kemudian, Daffin dan Edo berjalan melewati taman rumah sakit. Rosa yang mengetahui itu, ia langsung menghampiri mereka.

“Dokter Daffin?!” sapa Rosa dengan wajah yang berubah ceria.

“Kamu?” Daffin mencoba mengingat-ingat Rosa.

“Aku Rosa.”

“Oh iya aku ingat. Apa yang bisa kulakukan untukmu, Rosa?” tanya Daffin.

“Terakhir kali kamu pergi, kupikir … banyak yang ingin kubicarakan dan bertukar denganmu” Kata Rosa dengan centil.

“Emm … kalau begitu aku duluan, kalian ngobrol saja dulu,” pamit Edo

Edo mulai berjalan meninggalkan Daffin dan Rosa. Sementara itu, Daffin memberikan isyarat kepada Edo untuk tidak meninggalkannya berdua dengan Rosa.

“Rosa, kamu bukan pasienku. Jadi jika kamu membutuhkan perawatan, kamu bisa pergi ke lantai 5 wilayah timur. Aku duluan,” Daffin meninggalkan Rosa sendiri.

Rosa mencoba menghalangi Daffin untuk tidak pergi, kali ini Rosa memberikan bingkisan kepada Daffin. Namun yang antusias menerimanya adalah Edo.

“Terimakasih ya?!” Edo mengambil bingkisan yang di bawa Rosa, namun Daffin memberikan isyarat untuk tidak menerima bingkisan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status