“Kamu sebaiknya membawanya ke rumah sakit secepat mungkin!” perintah Daffin.
“Lakukan beberapa pemeriksaan rinci dalam bedah toraks dan penyakit dalam, jadi kamu bisa tau apa yang terjadi,” lanjut Daffin.
“Aduh, sakit … sakit …” ayah Rosa mengeluh kesakitan.
“Dokter Daffin apa seorang ahli bedah toraks atau penyakit dalam?” Rosa menggayuh lengan Daffin.
“Aku dari department bedah umum.”
“Lalu kapan biasanya kamu di rumah sakit?” Rosa mencoba menggoda Daffin.
Daffin membelalakkan matanya merasa risih dengan pertanyaan Rosa dan sikapnya yang sedikit menggelikan itu. Aleena tidak mau kalah dengan Rosa, ia mencoba mengalihkan perhatian Daffin.
“Dokter Daffin, kupikir kamu tidak dapat membantu apapun di sini. Jadi kamu boleh pergi!” Aleena mengusir Daffin secara halus.
“Pak, ingatlah untuk pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan,” Daffin mengingatkan ayah Rosa.
“Baik terimakasih dokter.”
Daffin pun kembali ke rumah sakit untuk bekerja, sementara itu Rosa merasa ada yang janggal di antara Daffin dan Aleena.
“Aleena, kamu membuat pria tampan seperti itu ada di sini pasti punya niat kan?” Rosa mencurigai Aleena.
Aleena membelakangi Rosa kemudian pergi darinya. Rosa yang merasa dirinya di cueki terus protes dan teriak memanggil Aleena. Namun Aleena mengabaikannya.
Di rumah sakit, Daffin sedang makan siang di kantin bersama dengan Edo.
“Daffin, kenapa kamu tidak ikut dengan kita malam ini?” tanya Edo sambil membawa nampan makannya dan membuntuti Daffin
“Aku sudah bilang berkali-kali, aku tidak mau pergi,” Daffin meletakkan nampan makannya di meja.
“Pergi saja denganku, lagian aku yang bayar kok, bukan kamu. Ini cuma kencan buta,” kata Edo sembari mendudukkan badannya di kursi kantin.
“Aku gak mau,” Daffin mulai memasukkan makanannya ke mulut.
“Ya sudah,” Edo sedikit kesal dengan tolakan Daffin.
“Oh iya, masuk akal tak ada yang bisa menjadikanmu popular di departemen bedah melalui kencan buta,” ucap Edo dengan sembarangan.
“Apalagi kamu cowok tercakep yang mendedikasikan hidup demi tim medis. Benarkan?” lanjut Edo.
Daffin tidak menjawab celoteh Edo, ia fokus makan makanan yang sudah ia pesan di kantin rumah sakit.
“Eh, ceritakan dong?! Yang terakhir kali cewek di balik tirai itu siapa? Aku tidak mengenalnya,” Edo mengedipkan matanya sebelah, seolah-olah dia sedang menggoda Daffin.
Daffin sedikit risih, dia juga tidak tahu harus menjawab Edo bagaimana.
“Dia pasti bukan dari departemen kita kan? Karena aku tidak kenal,” Edo terus kepo terhadap Daffin.
“Dan dia juga pasti bukan keluarga pasien kan?”
“Hentikan! Makan saja, jangan banyak bicara!” Daffin mulai kesal dengan semua celoteh dan ke-kepoan Edo.
Edo yang merasa tidak enak terhadap Daffin akhirnya memilih diam. Mereka melanjutkan makannya sampai habis. Beberapa saat kemudian barulah Edo mencoba mengalihkan pembicaraannya agar tidak canggung dengan Daffin.
“Apa terjadi sesuatu di rumah? Aku belum melihatmu untuk waktu yang lama,” ucap Edo.
Daffin menghela nafasnya panjang. Sedikit melirik kea rah Edo kemudian barulah menjawab pertanyaan Edo.
“Memang ada masalah,” singkat Daffin.
“Nomor rekeningmu tetap kan?” Edo mengeluarkan ponselnya.
“Iya, kenapa?”
“Aku akan mengirimkanmu uang. Kemungkinan besar adalah uang yang bisa membuatmu bermasalah,” Edo mencoba menebak masalah yang menimpa Daffin.
“Tidak perlu repot-repot,” Daffin menolak dengan sopan.
“Jumlahnya besar ya? Lebih dari gajimu?”
Daffin mengangguk, memberikan isyarat kepada Edo bahwa yang dia tanyakan memang benar.
“Aku bisa meminjamimu uang,” Edo menawarkan bantuan.
“Tidak perlu, Aku sudah menemukan caranya, meskipun sedikit menekanku,” kata Daffin dengan ragu-ragu.
Edo terus mendesak Daffin untuk membantunya, tapi tetap saja Daffin menolak. Bukan karena tidak menghargai sahabatnya, tapi dia tidak mau menyusahkan. Daffin rela melakukan apapun yang terbaik untuk keluarganya sekalipun itu membuatnya susah.
“Kamu tidak mau aku bantu, jangan-jangan ada perjanjian antara presdir cantik yang akan menikahimu?!”
Daffin yang mendengar perkataan Edo langsung menyemburkan minumannya ke muka Edo. Bagaimana tidak terkejut, Edo seakan paranormal yang tahu semua hal yang menimpa Daffin.
*
Di malam yang dingin, Aleena berlatih tinju di aula. Ia memukul samsaknya dengan sekeras mungkin.
“Dimas?! Apa pendapatmu tentang kemampuan negosiasiku?” tanya Aleena pada Dimas.
“Tidak ada kontrak yang tidak bisa anda menangkan.”
“Lalu apa kemampuanku menurun?” Aleena bertanya kembali.
“Maksud anda negosiasi kemarin dengan perwakilan direktur? Saya pikir kinerja anda sempurna. Dan semua syaratnya sesuai dengan tujuan kita, saya tidak berpikir ada masalah.”
“Lalu siapa yang punya masalah? Apakah Daffin?” Aleena masih terus memukul samsaknya dengan sekuat tenaga.
“Dokter Daffin? Ada apa dengannya?” Dimas bertanya polos sekali kepada Aleena.
“Aku menawarkan menikah dengannya, dengan menaikkan uang 20-40 juta, tapi dia tidak mau bekerja sama. Kenapa?”
“Nngg … menurut pendapat saya, anda menegosiasikan pernikahan tapi juga berbisnis dengannya. Bayangkan itu, jika seorang pria memberimu uang dan memintamu menikah untuk situasi sama-sama menguntungkan? Apakah anda akan merasa bahagia?” Dimas menjelaskan panjang lebar.
“Aku pasti mau! Kenapa tidak?”
“lalu aku …”
“Apa? Katakan?!” emosi Aleena mulai naik.
“Presdir, liburan dan bonus saya bulan depan …” Dimas mengalihkan pembicaraannya.
“Katakan?!” Aleena menghentikan latihan tinjunya dan sesekali mengatur nafasnya.
“Apapun kecuali uang, bagaimana cara menegosiasikannya?” tanya Aleena penasaran.
“Ya, tentang perasaan yang sebenarnya. Biarkan dia melihat perasaan anda yang sebenarnya dan antusiasme anda.”
Aleena tidak menjawab perkataan Dimas terakhir. Ia melepaskan sarung tinjunya kemudian melemparkannya ke arah Dimas sambil sesekali melotot kepada Dimas. Dimas yang sedikit takut dengan amarah Aleena kali ini, ia menundukkan kepalanya merasa bersalah.
“Kita tidak akan pergi ke perusahaan,” Aleena meninggalkan Dimas.
Sementara itu, pagi-pagi sekali Rosa pergi ke rumah sakit. Ia mondar-mandir di taman rumah sakit. Entah mengapa raut wajahnya terlihat muram, seperti ada sesuatu yang terjadi. Tak lama kemudian, Daffin dan Edo berjalan melewati taman rumah sakit. Rosa yang mengetahui itu, ia langsung menghampiri mereka.
“Dokter Daffin?!” sapa Rosa dengan wajah yang berubah ceria.
“Kamu?” Daffin mencoba mengingat-ingat Rosa.
“Aku Rosa.”
“Oh iya aku ingat. Apa yang bisa kulakukan untukmu, Rosa?” tanya Daffin.
“Terakhir kali kamu pergi, kupikir … banyak yang ingin kubicarakan dan bertukar denganmu” Kata Rosa dengan centil.
“Emm … kalau begitu aku duluan, kalian ngobrol saja dulu,” pamit Edo
Edo mulai berjalan meninggalkan Daffin dan Rosa. Sementara itu, Daffin memberikan isyarat kepada Edo untuk tidak meninggalkannya berdua dengan Rosa.
“Rosa, kamu bukan pasienku. Jadi jika kamu membutuhkan perawatan, kamu bisa pergi ke lantai 5 wilayah timur. Aku duluan,” Daffin meninggalkan Rosa sendiri.
Rosa mencoba menghalangi Daffin untuk tidak pergi, kali ini Rosa memberikan bingkisan kepada Daffin. Namun yang antusias menerimanya adalah Edo.
“Terimakasih ya?!” Edo mengambil bingkisan yang di bawa Rosa, namun Daffin memberikan isyarat untuk tidak menerima bingkisan itu.
Daffin yang melihat Aleena minum anggur membuatnya tidak tega.“Apa yang kamu lakukan? Jangan minum terus!” perintah Daffin.Tapi Aleena tidak memperdulikan perkataan Daffin, ia terus minum. Untuk tegukan yang kedua, Daffin merampas gelas Aleena.“Biar aku saja yang minum,” kata Daffin dengan ragu.Aleena tersenyum melihat Daffin yang mau minum anggur, Aleena tidak tinggal diam, ia mengambil segelas anggur dan mulai bersulang dengan Daffin.Daffin yang tak pernah minum alcohol akhirnya berhasil menghabiskan segelas anggur. 10 menit, 20 menit efeknya belum terlihat. Namun setelah 1 jam, Daffin akhirnya mabuk. Daffin sangat lucu ketika mabuk, pasalnya dia cerewet bercerita tentang organ tubuh manusia. Hal itu membuat Aleena tertawa lepas. Usai bercerita banyak hal tentang organ tubuh manusia, Daffin tertidur sangat pulas sekali.Keesokan harinya, Daffin merasa sedikit pusing dan terbangun dari tidurnya. Ia membuka matan
“Cantik sekali pengantin wanitanya,” ujar Lisa.“Terimakasih, mari silahkan duduk,” Aleena mempersilahkan semuanya untuk duduk.Ibu mertua, bibi dan Lisa memberikan sebuah hadiah kepada Aleena. Hadiahnya tidak seberapa harganya, tapi mereka sangat tulus memberikan itu semua. Membuat Aleena terlihat beruntung dan banyak terimakasih kepada mereka.“Apa yang kamu rasakan sekarang, Aleena?” tanya bibi.Aleena hanya tersenyum, ia bingung akan menjawab apa.Dari jauh terlihat Rosa memakai gaun yang sangat mewah melebihi Aleena. Namun saat dekat di pintu ruangan, Dimas mengusir Rosa. Semua orang tidak mau jika acara resepsi pernikahan Aleena dan Daffin berantakan hanya karena adanya Rosa.Namun Rosa melawan, ia tetap saja ingin masuk ke dalam acara. Dengan sigap, Aleena langsung menghampiri Rosa.“Rosa, kamu sangat berani kemari?” kata Aleena dengan tegas dan dingin.“Kenapa? Tidak
Semua orang yang ada di rapat membicarakan Aleena dengan bisik-bisik. Aleena merasa kesal, akhirnya ia menyuruh Dimas untuk memberitahu sesuatu kepada semuanya.“Sekarang mari kita pilih proyek kosmetik terbaru dari Mentari Group. Pemungutan suara dimulai,” Dimas mempersilahkan semua orang untuk memberikan pungutan suara.Pemungutan suara dimulai, tetapi hanya satu orang yang mengangkat tangan untuk menyetujuinya. Namun beberapa saat kemudian, datanglah Hendra ke ruang rapat.“Rupanya semua sudah ada di sini,” Hendra membuka pintu ruang rapat, kemudian masuk.Kedatangan Hendra membuat semua anggota rapat menjadi hormat, mereka semua langsung berdiri dan membungkukkan setengah badannya.“Aku mendengar dari Aleena, hari ini ada pemungutan suara penting untuk keputusan proyek kosmetik terbaru dari Mentari Group. Baik silahkan dimulai pemungutan suaranya,” kata Hendra sambil duduk di sebelah Aleena.“Ale
Saat keluarga Daffin dan keluarga Aleena sedang asyik membicarakan bagaimana rencana pernikahan mereka, tiba-tiba datang Rosa.“Aleena … Aleena …” Rosa merajuk kepada Aleena.“Kenapa kamu … “ kata-kata Rosa terpotong oleh Aleena.“Kenapa? Ada yang salah?” Aleena menggandeng lengan Daffin dengan erat, seakan tahu bahwa Rosa akan mengambil Daffin dari Aleena.“Dokter Daffin, kenapa kamu tiba-tiba pergi menikahi Aleena?” Rosa merengek tidak tahu malu.“Apakah kamu berhutang uang kepada Aleena?” Rosa kembali protes.Daffin yang merasa posisinya terancam, ingin menjawab perkataan gadis itu tapi ia takut salah menjawab. Sedangkan Aleena seakan tidak peduli dengan ucapan Rosa. Keluarga Aleena dan keluarga Daffin juga hanya diam menyaksikan kedatangan Rosa yang marah-marah tidak jelas arahnya.“Aleena … kamu sangat tercela, kamu benar-benar melakukan
Di rumah sakit, Daffin dan Edo sedang sibuk membahas pasien mereka. Namun di tengah perjalanan dari ruang pasien menuju ruang kerja mereka, Daffin dihampiri oleh seseorang.“Dokter Daffin,” sapa seseorang.“Saya punya dua tiket untuk konser piano, bukankah anda mengatakan pada saya bahwa anda menyukainya?” seseorang memberikan tiket konser kepada Daffin.“Apakah anda bisa pergi dengan saya?” ajak seseorang.“Maaf, saya punya rencana malam ini,” tegas Daffin.“Oh begitu ya,” seseorang itu terlihat sedih.“Saya sedang tidak ada acara, saya bisa pergi dengan anda?” Edo menawarkan diri.“Tidak mau,” tolak seseorang itu, kemudian pergi meninggalkan Daffin dan Edo.“Sebelumnya, Aku baru mengetahuimu cara menolak dengan sangat baik,” ujar Edo sedikit meledek.“Waktu berubah, harusnya memang seperti itu kan?” Daffin mening
Daffin menghela nafas panjang, kemudian memulai berbicara.“Ibu, bibi, Lisa, ini adalah … “ Daffin menujuk Aleena, namun kata-katanya berhenti.“Tolong biarkan Daffin menandatangani … “ ucap Aleena terpotong.“Tanda tangan?”“Tanda tangan?”“Tanda Tangan?”“Yang dia maksud adalah … “ kata Daffin.“Maksudnya menadatangani kontrak hidup untuk menemani satu sama lain.”“Apa kamu akan menikah?” tanya Santi.“Benar ibu,” jawab singkat Aleena.“Maaf, kami harus membahas ini dulu,” Santi beranjak dari duduknya, mengajak bibi Daffin dan Lisa untuk berdiskusi.Semua orang yang ada di rumah itu sebenarnya syok. Daffin tidak pernah mengenalkan Aleena kepada keluraganya, namun tiba-tiba hari ini mengajak Aleena ke rumah dan ingin menikahinya.“Menikahlah, aku menyetuj