Satrio mulai menggali misteri yang menyelimuti keluarga Puspita. Dari lembaran tua yang terjatuh di perpustakaan hingga peringatan samar dari Nyai Rahayu, setiap langkahnya membuka luka masa lalu yang menganga. Kehadiran Rangga Adibrata sebagai sahabat yang siap membantu justru menimbulkan tanya: benarkah ia hanya sahabat, atau ada permainan lain yang sedang ia mainkan? Di sisi lain, tatapan Sekar Puspita menyiratkan rahasia yang lebih gelap dari yang terlihat, menjerat Satrio dalam pesona yang penuh teka-teki.
Batavia perlahan menggeliat dari tidurnya ketika matahari mulai mengintip dari balik cakrawala. Cahaya keemasan membias di atas kanal-kanal yang berliku di antara bangunan-bangunan kolonial. Udara pagi masih segar, belum tercemar debu dan hiruk-pikuk pasar yang sebentar lagi akan memuntahkan riuhnya. Namun, di kediaman keluarga Kusumo, ketenangan itu tidak sejalan dengan pikiran yang bersemayam di kepala Satrio.
Ia berdiri di depan meja kayu di perpustakaan kecil milik ayahnya yang kini sudah tak lagi berpenghuni. Jari-jarinya dengan hati-hati menelusuri punggung buku-buku tua yang tersusun rapi di rak, mencari sesuatu yang mungkin bisa memberinya petunjuk. Ada sejarah yang sengaja dihapus, ada jejak yang ditutupi, dan ia tidak akan bisa tenang sebelum menemukan kebenarannya.
Sejak pertemuannya dengan pria berjubah gelap dan peringatan Nyai Rahayu, Satrio merasa seolah dunia yang selama ini ia kenal mulai runtuh sedikit demi sedikit. Jika Sekar Puspita memang bagian dari keluarga Wiranegara, lalu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Apakah benar ada pengkhianatan yang dilakukan keluarganya? Dan yang lebih penting, apakah Sekar mendekatinya karena perasaan yang tulus ataukah semua ini adalah bagian dari dendam yang telah lama disusun?
Jemarinya berhenti pada sebuah buku dengan sampul yang telah pudar oleh waktu. Buku itu lebih tebal dari yang lain, dan ketika ia menariknya keluar, selembar kertas tua terjatuh dari sela-selanya. Satrio menunduk, mengambilnya, dan matanya membelalak saat ia membaca tulisan yang tertera di sana.
“Pengkhianatan terhadap Wiranegara akan ditebus dengan darah.”
Satrio menelan ludah. Hanya satu kalimat, tetapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara ketukan terdengar dari luar ruangan. Ia buru-buru menyelipkan kertas itu ke dalam saku bajunya sebelum membuka pintu.
“Satrio!” Rangga Adibrata berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar khasnya. Ia mengenakan baju lurik dengan selendang batik tersampir di bahunya, tampak seperti seorang saudagar muda yang baru saja kembali dari perjalanan panjang.
“Rangga,” Satrio menghela napas, sedikit lega melihat sahabat lamanya. “Kau datang pagi sekali.”
Rangga melangkah masuk tanpa diundang, matanya dengan cepat menyapu ruangan, lalu berhenti di wajah Satrio yang tampak lebih tegang dari biasanya. Ia melipat tangannya di dada dan menyandarkan tubuhnya ke rak buku.
“Kau tampak seperti seseorang yang baru saja menggali kuburan leluhurnya,” Rangga berkata dengan nada bercanda, tetapi ada ketajaman dalam tatapannya.
Satrio tersenyum tipis, tetapi tidak ada keceriaan di sana. “Mungkin memang begitu.”
Rangga menaikkan satu alisnya, tertarik. “Dan kuburan siapa yang kau gali, jika aku boleh tahu?”
Satrio menimbang sejenak. Rangga adalah sahabatnya sejak kecil, seseorang yang selalu ada dalam hidupnya, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mencegahnya untuk menceritakan segalanya.
“Aku sedang mencoba mencari tahu tentang Sekar Puspita,” jawab Satrio akhirnya, matanya mengamati ekspresi sahabatnya.
Alih-alih terkejut atau curiga, Rangga justru tertawa kecil. “Ah, jadi kau benar-benar tertarik padanya. Tak heran ibumu tampak begitu gelisah.”
Satrio mengernyit. “Kau sudah mendengar sesuatu?”
Rangga mengangkat bahu. “Batavia penuh dengan telinga yang suka berbisik. Aku hanya mendengar bahwa keluarganya tidak begitu disukai oleh orang-orang lama di kota ini. Tapi jujur saja, Satrio, apakah itu penting?”
Satrio menatap Rangga dengan mata yang tajam. “Jika yang dikatakan orang-orang benar, maka ini bukan sekadar tentang reputasi buruk. Ini tentang sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mungkin bisa mengubah segalanya.”
Rangga menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya tertawa lagi. “Aku mengerti, kau ingin bermain sebagai pencari kebenaran. Baiklah, kalau begitu, aku akan membantumu. Aku punya beberapa kenalan yang mungkin tahu lebih banyak tentang keluarga Puspita.”
Satrio mengangguk, tetapi dalam hatinya ia bertanya-tanya. Rangga tampak terlalu cepat menawarkan bantuan, terlalu mudah menerima semua ini. Apakah itu hanya karena ia sahabat yang baik, ataukah ada sesuatu yang tidak dikatakan?
Di sudut lain Batavia, seorang gadis berdiri di depan jendela rumahnya yang sederhana. Citra Anindita menatap ke luar, matanya memandangi jalan yang perlahan mulai dipenuhi pedagang yang menata dagangan mereka. Ia menghela napas, tangannya menggenggam erat sebuah kain kecil yang telah lama ia simpan—sebuah sapu tangan yang pernah diberikan Satrio bertahun-tahun lalu.
Hatinya terasa berat, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa melakukan apa-apa. Citra adalah seorang gadis sederhana, anak dari seorang pedagang beras yang tidak memiliki nama besar di Batavia. Tidak seperti Sekar Puspita, yang kecantikannya diakui oleh banyak orang, atau Nyai Rahayu yang berasal dari keluarga terpandang, Citra hanyalah seseorang yang selalu berada di latar belakang.
Sejak Satrio kembali, ia tahu bahwa perasaannya terhadapnya tidak akan pernah mendapatkan tempat. Ia hanya bisa diam, menyimpan perasaannya dalam hati, seperti seseorang yang menunggu badai datang tetapi tahu bahwa ia tidak akan bisa bertahan saat badai itu tiba.
“Citra?”
Suara ibunya memanggil dari dapur. Ia buru-buru menyeka air mata yang hampir jatuh sebelum berbalik. “Ya, Ibu?”
“Ada yang mencarimu di depan.”
Citra mengerutkan kening. Siapa yang akan mencarinya pagi-pagi begini? Dengan langkah ringan, ia berjalan menuju pintu depan, dan saat ia membukanya, matanya membelalak kaget.
Sekar Puspita berdiri di sana dengan senyum tipis di wajahnya.
“Nyai Sekar?” Citra hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Sekar menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. “Kita perlu bicara.”
Di suatu tempat, di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi lampu minyak yang berkedip, seorang pria duduk di atas kursi kayu dengan mata tajam yang menatap peta Batavia di hadapannya. Tangannya bergerak perlahan, menyusuri titik-titik tertentu yang telah ia tandai sebelumnya.
Pintu terbuka dan seorang lelaki berpakaian hitam masuk, membungkuk sedikit sebelum berbicara. “Rangga Adibrata sudah mulai bergerak. Satrio mulai menggali kebenaran, dan Sekar telah menemui Citra.”
Pria di kursi itu mengangguk pelan. “Bagus. Semuanya berjalan sesuai rencana.”
Orang yang berdiri di hadapannya menundukkan kepala. “Apa langkah selanjutnya?”
Pria itu tersenyum tipis, kemudian menyentuh satu titik di peta dengan jarinya. “Pastikan mereka semakin terjerat. Saat mereka menyadari kebenaran, semuanya akan sudah terlambat.”
Lampu minyak berkelap-kelip, bayangannya menari-nari di dinding, seolah menggambarkan kisah lama yang akan segera terulang kembali.
Citra berdiri di ambang pintu dengan jantung berdegup lebih cepat dari biasanya. Mata Sekar Puspita menatapnya lekat-lekat, seakan menelanjangi segala isi pikirannya. Senyum tipis yang menghiasi wajah wanita itu bukan senyum keramahan, melainkan sebuah undangan ke dalam percakapan yang lebih dari sekadar basa-basi.
“Bolehkah aku masuk?” Sekar bertanya dengan nada lembut, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat.
Citra menelan ludahnya, mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang. Ia melirik ke dalam rumah, memastikan ibunya tidak mendengar percakapan ini. Setelah memastikan keadaan aman, ia mengangguk dan membuka pintu lebih lebar. “Silakan masuk, Nyai Sekar.”
Sekar melangkah masuk dengan anggun. Setiap gerakannya terukur, seakan ia terbiasa berada di tempat-tempat yang bukan miliknya tetapi tetap mampu menguasai suasana. Ia mengambil tempat di bangku kayu dekat jendela, lalu menatap Citra yang masih berdiri di dekat pintu, ragu apakah harus duduk atau tetap berdiri.
“Kau tidak perlu takut, Citra,” Sekar memulai, nada suaranya bagai seorang kakak yang hendak menasihati adiknya. “Aku tidak datang untuk mencelakakanmu.”
Citra akhirnya mengambil tempat di seberang Sekar, meski tubuhnya masih terasa tegang. Ia tak bisa mengabaikan fakta bahwa Sekar adalah wanita yang kini paling sering disebut-sebut dalam kehidupan Satrio. Ia tak tahu pasti apa maksud kedatangannya, tetapi ia bisa menebak bahwa ini pasti ada hubungannya dengan Satrio.
“Apa yang ingin Nyai bicarakan?” tanya Citra akhirnya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.
Sekar menghela napas pelan sebelum akhirnya menatap langsung ke mata Citra. “Aku ingin tahu seberapa jauh perasaanmu terhadap Satrio.”
Pernyataan itu membuat Citra terpaku. Ia bisa merasakan tubuhnya menegang, tetapi ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan reaksi berlebihan. “Aku tidak mengerti maksud Nyai,” jawabnya, meski jelas itu bukan jawaban yang jujur.
Langit di atas Batavia yang telah runtuh tidak lagi menunjukkan arah. Matahari tenggelam di balik reruntuhan kabut, dan laut, yang dahulu menjadi cermin bagi cahaya surga, kini hanya genangan gelap yang menelan semua bayangan. Sebuah desa kecil berdiri di ambang kehancuran dan kebangkitan, sunyi namun tak pernah sepenuhnya tidur. Di bawah pohon beringin yang tak lagi rimbun, di tengah tanah yang pernah terbelah oleh kutukan dan darah, seorang lelaki duduk bersila dalam diam.Satrio.Tubuhnya tua, tidak hanya oleh waktu tetapi oleh semua beban yang tak pernah benar-benar bisa dilepaskan. Di dadanya, bekas luka lama—luka dari perang, dari cinta, dari pengkhianatan—masih terasa berdenyut. Namun tidak lagi panas. Tidak lagi memohon untuk diperhatikan. Luka itu kini hanya menjadi tanda, bahwa ia pernah bertarung, dan meski kalah dalam banyak hal, ia tidak pernah sepenuhnya menyer
Langit di atas Batavia pagi itu memerah seperti luka yang baru menganga. Matahari menggeliat di balik kabut yang berat, memancarkan sinar samar yang terpecah di antara retakan awan, menciptakan semburat jingga yang pucat. Angin membawa aroma asin laut bercampur tanah hangus, bisikan masa lalu yang masih melekat di udara, seolah dunia ini belum sepenuhnya sembuh dari luka-lukanya.Satrio berdiri sendiri di tepi pantai, kakinya terbenam dalam pasir basah yang dingin. Tubuhnya tampak renta, punggungnya sedikit membungkuk, matanya kosong menatap cakrawala, tapi di sorotannya ada cahaya redup yang tak sepenuhnya padam—cahaya seseorang yang telah kehilangan banyak, namun tetap memilih bertahan. Di dadanya, liontin lama yang tergantung pada seutas benang lusuh bergoyang pelan, memantulkan cahaya samar dari matahari yang enggan.Di pikirannya, wajah-wajah
Langit sore menggantung rendah di atas pantai, sapuan jingga yang merambat perlahan ke kelabu,seolah dunia sedang bernafas pelan, menahan isak tangis yang tak pernah terucapkan. Ombak menggulung perlahan, menghantam pasir dengan irama yang dalam, membawa aroma asin laut bercampur dengan bau tanah basah dan samar-samar jejak darah yang telah lama mengering. Di tepi pantai, Satrio duduk dengan tubuh agak membungkuk, napasnya pendek-pendek, sementara di sampingnya, anak itu—Ananta—menatap cakrawala yang tak berujung, matanya kosong, dalam, seolah menatap sesuatu yang hanya bisa dilihat olehnya.Hening menggantung di antara mereka, bukan ketenangan yang utuh, melainkan semacam jeda di ambang ledakan, di mana setiap detik menjadi pengingat bahwa apa yang tampak damai hanyalah bayangan yang menyamarkan jurang di bawahnya.Satrio akhirnya memecah kesunyian, suaranya ser
Waktu bergerak seperti bisikan yang menelusup di antara cabang-cabang beringin, mengalir melalui udara yang basah oleh embun, menggoreskan jejak-jejak yang tak kasatmata di kulit dan tulang. Matahari menggantung rendah di langit, memancarkan cahaya keemasan yang tampak palsu di balik bayang-bayang kelam yang menempel di tanah—bayang-bayang yang tak sepenuhnya hilang, meski dunia tampak berjalan maju.Anak itu berdiri di tengah lapangan kecil, tubuhnya tegak, mata menatap jauh ke depan, ke batas-batas yang tak terlihat. Di wajahnya terpahat bekas luka yang tidak kasatmata—luka yang bukan berasal dari benturan fisik, melainkan dari ingatan yang mencengkeram, bisikan yang mengendap dalam gelap, dan mimpi-mimpi yang mengiris kesadaran setiap malam.Tapi di sorot matanya, ada api yang tumbuh, bukan api dendam, melainkan cahaya tekad yang membara.
Langit di atas Batavia pagi itu seperti kanvas kelabu yang menahan tangis. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan asap dupa, dan di antara bisikan daun-daun beringin yang bergoyang perlahan, ada rasa yang menggantung di udara—rasa yang samar antara kelegaan dan kesedihan, antara akhir dan awal.Satrio berdiri di bawah pohon beringin tua, tempat semua jejak darah, kutukan, dan pengkhianatan pernah bertaut. Tubuhnya tegak, tapi matanya basah, sorotnya bukan lagi mata seorang pejuang yang haus balas dendam, melainkan mata seorang pria yang telah lelah bertarung dengan dirinya sendiri. Di tangannya, ada seikat bunga kering yang ia kumpulkan dari makam-makam yang dulu ia kunjungi dalam keheningan penuh penyesalan. Di antara jari-jarinya, kain putih yang penuh bercak darah—sisa warisan yang kini ingin ia kubur bersama semua luka masa lalu.
Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pantai, membalut garis horizon dengan kelabu pucat yang samar-samar, seolah dunia sendiri menahan napas. Laut yang semalam mengamuk kini kembali tenang, namun ketenangan itu seperti wajah palsu yang menutupi luka dalam; ombak hanya berdesir pelan, membasahi pasir yang masih retak, sementara angin membawa bau asin bercampur bau hangus yang samar—sisa dari sesuatu yang hampir saja memecah batas antara dunia dan kegelapan.Satrio berdiri di tepi pantai, telapak kakinya terasa dingin di atas pasir basah. Matanya menatap ombak yang bergulung pelan, namun pikirannya melayang jauh, menembus ruang yang tidak bisa dilihat mata: ruang di mana suara Kalina masih bergema, di mana mata merah itu masih menyala di kelam, menunggu, menuntut, menagih janji darah yang belum lunas.Namun ada sesuatu yang berbeda di dada Sa