Home / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 4 Jejak Bayangan di Balik Buku Tua

Share

Bab 4 Jejak Bayangan di Balik Buku Tua

Author: A. Rani
last update Last Updated: 2025-04-08 23:59:58

Satrio mulai menggali misteri yang menyelimuti keluarga Puspita. Dari lembaran tua yang terjatuh di perpustakaan hingga peringatan samar dari Nyai Rahayu, setiap langkahnya membuka luka masa lalu yang menganga. Kehadiran Rangga Adibrata sebagai sahabat yang siap membantu justru menimbulkan tanya: benarkah ia hanya sahabat, atau ada permainan lain yang sedang ia mainkan? Di sisi lain, tatapan Sekar Puspita menyiratkan rahasia yang lebih gelap dari yang terlihat, menjerat Satrio dalam pesona yang penuh teka-teki.

Batavia perlahan menggeliat dari tidurnya ketika matahari mulai mengintip dari balik cakrawala. Cahaya keemasan membias di atas kanal-kanal yang berliku di antara bangunan-bangunan kolonial. Udara pagi masih segar, belum tercemar debu dan hiruk-pikuk pasar yang sebentar lagi akan memuntahkan riuhnya. Namun, di kediaman keluarga Kusumo, ketenangan itu tidak sejalan dengan pikiran yang bersemayam di kepala Satrio.

Ia berdiri di depan meja kayu di perpustakaan kecil milik ayahnya yang kini sudah tak lagi berpenghuni. Jari-jarinya dengan hati-hati menelusuri punggung buku-buku tua yang tersusun rapi di rak, mencari sesuatu yang mungkin bisa memberinya petunjuk. Ada sejarah yang sengaja dihapus, ada jejak yang ditutupi, dan ia tidak akan bisa tenang sebelum menemukan kebenarannya.

Sejak pertemuannya dengan pria berjubah gelap dan peringatan Nyai Rahayu, Satrio merasa seolah dunia yang selama ini ia kenal mulai runtuh sedikit demi sedikit. Jika Sekar Puspita memang bagian dari keluarga Wiranegara, lalu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Apakah benar ada pengkhianatan yang dilakukan keluarganya? Dan yang lebih penting, apakah Sekar mendekatinya karena perasaan yang tulus ataukah semua ini adalah bagian dari dendam yang telah lama disusun?

Jemarinya berhenti pada sebuah buku dengan sampul yang telah pudar oleh waktu. Buku itu lebih tebal dari yang lain, dan ketika ia menariknya keluar, selembar kertas tua terjatuh dari sela-selanya. Satrio menunduk, mengambilnya, dan matanya membelalak saat ia membaca tulisan yang tertera di sana.

“Pengkhianatan terhadap Wiranegara akan ditebus dengan darah.”

Satrio menelan ludah. Hanya satu kalimat, tetapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.

Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara ketukan terdengar dari luar ruangan. Ia buru-buru menyelipkan kertas itu ke dalam saku bajunya sebelum membuka pintu.

“Satrio!” Rangga Adibrata berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar khasnya. Ia mengenakan baju lurik dengan selendang batik tersampir di bahunya, tampak seperti seorang saudagar muda yang baru saja kembali dari perjalanan panjang.

“Rangga,” Satrio menghela napas, sedikit lega melihat sahabat lamanya. “Kau datang pagi sekali.”

Rangga melangkah masuk tanpa diundang, matanya dengan cepat menyapu ruangan, lalu berhenti di wajah Satrio yang tampak lebih tegang dari biasanya. Ia melipat tangannya di dada dan menyandarkan tubuhnya ke rak buku.

“Kau tampak seperti seseorang yang baru saja menggali kuburan leluhurnya,” Rangga berkata dengan nada bercanda, tetapi ada ketajaman dalam tatapannya.

Satrio tersenyum tipis, tetapi tidak ada keceriaan di sana. “Mungkin memang begitu.”

Rangga menaikkan satu alisnya, tertarik. “Dan kuburan siapa yang kau gali, jika aku boleh tahu?”

Satrio menimbang sejenak. Rangga adalah sahabatnya sejak kecil, seseorang yang selalu ada dalam hidupnya, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mencegahnya untuk menceritakan segalanya.

“Aku sedang mencoba mencari tahu tentang Sekar Puspita,” jawab Satrio akhirnya, matanya mengamati ekspresi sahabatnya.

Alih-alih terkejut atau curiga, Rangga justru tertawa kecil. “Ah, jadi kau benar-benar tertarik padanya. Tak heran ibumu tampak begitu gelisah.”

Satrio mengernyit. “Kau sudah mendengar sesuatu?”

Rangga mengangkat bahu. “Batavia penuh dengan telinga yang suka berbisik. Aku hanya mendengar bahwa keluarganya tidak begitu disukai oleh orang-orang lama di kota ini. Tapi jujur saja, Satrio, apakah itu penting?”

Satrio menatap Rangga dengan mata yang tajam. “Jika yang dikatakan orang-orang benar, maka ini bukan sekadar tentang reputasi buruk. Ini tentang sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mungkin bisa mengubah segalanya.”

Rangga menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya tertawa lagi. “Aku mengerti, kau ingin bermain sebagai pencari kebenaran. Baiklah, kalau begitu, aku akan membantumu. Aku punya beberapa kenalan yang mungkin tahu lebih banyak tentang keluarga Puspita.”

Satrio mengangguk, tetapi dalam hatinya ia bertanya-tanya. Rangga tampak terlalu cepat menawarkan bantuan, terlalu mudah menerima semua ini. Apakah itu hanya karena ia sahabat yang baik, ataukah ada sesuatu yang tidak dikatakan?

Di sudut lain Batavia, seorang gadis berdiri di depan jendela rumahnya yang sederhana. Citra Anindita menatap ke luar, matanya memandangi jalan yang perlahan mulai dipenuhi pedagang yang menata dagangan mereka. Ia menghela napas, tangannya menggenggam erat sebuah kain kecil yang telah lama ia simpan—sebuah sapu tangan yang pernah diberikan Satrio bertahun-tahun lalu.

Hatinya terasa berat, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa melakukan apa-apa. Citra adalah seorang gadis sederhana, anak dari seorang pedagang beras yang tidak memiliki nama besar di Batavia. Tidak seperti Sekar Puspita, yang kecantikannya diakui oleh banyak orang, atau Nyai Rahayu yang berasal dari keluarga terpandang, Citra hanyalah seseorang yang selalu berada di latar belakang.

Sejak Satrio kembali, ia tahu bahwa perasaannya terhadapnya tidak akan pernah mendapatkan tempat. Ia hanya bisa diam, menyimpan perasaannya dalam hati, seperti seseorang yang menunggu badai datang tetapi tahu bahwa ia tidak akan bisa bertahan saat badai itu tiba.

“Citra?”

Suara ibunya memanggil dari dapur. Ia buru-buru menyeka air mata yang hampir jatuh sebelum berbalik. “Ya, Ibu?”

“Ada yang mencarimu di depan.”

Citra mengerutkan kening. Siapa yang akan mencarinya pagi-pagi begini? Dengan langkah ringan, ia berjalan menuju pintu depan, dan saat ia membukanya, matanya membelalak kaget.

Sekar Puspita berdiri di sana dengan senyum tipis di wajahnya.

“Nyai Sekar?” Citra hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Sekar menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. “Kita perlu bicara.”

Di suatu tempat, di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi lampu minyak yang berkedip, seorang pria duduk di atas kursi kayu dengan mata tajam yang menatap peta Batavia di hadapannya. Tangannya bergerak perlahan, menyusuri titik-titik tertentu yang telah ia tandai sebelumnya.

Pintu terbuka dan seorang lelaki berpakaian hitam masuk, membungkuk sedikit sebelum berbicara. “Rangga Adibrata sudah mulai bergerak. Satrio mulai menggali kebenaran, dan Sekar telah menemui Citra.”

Pria di kursi itu mengangguk pelan. “Bagus. Semuanya berjalan sesuai rencana.”

Orang yang berdiri di hadapannya menundukkan kepala. “Apa langkah selanjutnya?”

Pria itu tersenyum tipis, kemudian menyentuh satu titik di peta dengan jarinya. “Pastikan mereka semakin terjerat. Saat mereka menyadari kebenaran, semuanya akan sudah terlambat.”

Lampu minyak berkelap-kelip, bayangannya menari-nari di dinding, seolah menggambarkan kisah lama yang akan segera terulang kembali.

Citra berdiri di ambang pintu dengan jantung berdegup lebih cepat dari biasanya. Mata Sekar Puspita menatapnya lekat-lekat, seakan menelanjangi segala isi pikirannya. Senyum tipis yang menghiasi wajah wanita itu bukan senyum keramahan, melainkan sebuah undangan ke dalam percakapan yang lebih dari sekadar basa-basi.

“Bolehkah aku masuk?” Sekar bertanya dengan nada lembut, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat.

Citra menelan ludahnya, mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang. Ia melirik ke dalam rumah, memastikan ibunya tidak mendengar percakapan ini. Setelah memastikan keadaan aman, ia mengangguk dan membuka pintu lebih lebar. “Silakan masuk, Nyai Sekar.”

Sekar melangkah masuk dengan anggun. Setiap gerakannya terukur, seakan ia terbiasa berada di tempat-tempat yang bukan miliknya tetapi tetap mampu menguasai suasana. Ia mengambil tempat di bangku kayu dekat jendela, lalu menatap Citra yang masih berdiri di dekat pintu, ragu apakah harus duduk atau tetap berdiri.

“Kau tidak perlu takut, Citra,” Sekar memulai, nada suaranya bagai seorang kakak yang hendak menasihati adiknya. “Aku tidak datang untuk mencelakakanmu.”

Citra akhirnya mengambil tempat di seberang Sekar, meski tubuhnya masih terasa tegang. Ia tak bisa mengabaikan fakta bahwa Sekar adalah wanita yang kini paling sering disebut-sebut dalam kehidupan Satrio. Ia tak tahu pasti apa maksud kedatangannya, tetapi ia bisa menebak bahwa ini pasti ada hubungannya dengan Satrio.

“Apa yang ingin Nyai bicarakan?” tanya Citra akhirnya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.

Sekar menghela napas pelan sebelum akhirnya menatap langsung ke mata Citra. “Aku ingin tahu seberapa jauh perasaanmu terhadap Satrio.”

Pernyataan itu membuat Citra terpaku. Ia bisa merasakan tubuhnya menegang, tetapi ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan reaksi berlebihan. “Aku tidak mengerti maksud Nyai,” jawabnya, meski jelas itu bukan jawaban yang jujur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa dalam Cinta    Bab 23 – Janji yang Terucap

    Hujan mengguyur Batavia seperti cambuk, memukul atap-atap rumah, membasahi jalanan berbatu yang penuh genangan darah dan abu. Bau hangus dan logam bercampur dalam udara yang berat, menusuk hidung Satrio hingga membuat napasnya terasa seperti menelan besi panas. Di antara reruntuhan pasar yang hancur, api kecil masih menyala, membisikkan nyanyian kematian yang berbaur dengan tangisan, erangan, dan bisikan yang menggema entah dari mana. Satrio berdiri, tubuhnya lelah, bajunya robek dan basah kuyup, namun matanya menatap tajam ke depan—mata seorang lelaki yang telah kehilangan banyak, namun masih menggenggam janji yang belum ditepati.Di bawah cahaya kilat yang menyambar langit, anak kecil itu berdiri di dekatnya, tubuhnya gemetar, matanya lebar penuh ketakutan. Tangan kecilnya menggenggam ujung baju Satrio, seolah mencari perlindungan di tengah kekacauan yang melanda dunia mereka. Wajah anak

  • Dosa dalam Cinta    Bab 22 – Benteng yang Akan Runtuh

    Angin malam berembus liar di atas atap-atap Batavia, mengantarkan bau anyir darah yang belum sempat mengering, dan bau asap dari api yang membakar kota beberapa malam terakhir. Di dalam sebuah ruangan gelap di gang belakang, suara bisik-bisik berpadu dengan bunyi gesekan kertas peta di atas meja kayu. Lentera kecil menggantung, cahayanya bergoyang diterpa hembusan angin, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di dinding, seakan mengintai dari setiap sudut.Sekar berdiri di ujung meja, tangannya mengepal di pinggir peta, wajahnya setengah terbenam dalam cahaya kuning. Matanya tajam, memindai setiap titik yang telah ditandai dengan tinta merah: gerbang barat benteng, menara jaga, gudang mesiu, dan ruang bawah tanah yang tersembunyi. Suaranya rendah, namun penuh bara, “Kita serang sebelum fajar. Saat mereka lengah. Tidak ada kompromi.” Napasnya terputus-putus, bukan hanya kar

  • Dosa dalam Cinta    Bab 21 – Rencana Mata-Mata

    Malam di Batavia menggantung berat di langit, kelam tanpa bintang, seakan seluruh kota bernafas dalam satu tarikan panjang yang menahan ledakan tak terhindarkan. Di dalam gudang tua yang menjadi markas sementara pemberontak, udara terasa tebal dan panas, meski angin malam meniup celah-celah papan dengan desisan lirih, seperti bisikan rahasia yang menyelinap di telinga-telinga yang cemas.Satrio berdiri di sudut ruangan, punggungnya menempel pada dinding yang dingin dan kasar. Matanya menyapu setiap wajah—pedagang tua dengan sorban lusuh yang terus mengusap keringat di dahinya, Rahman yang duduk gelisah sambil mengetukkan jari-jari di atas tongkat, dan dua pemuda baru yang saling berbisik dengan sorot mata curiga. Tatapan Satrio tajam, seperti elang yang mencium darah di udara. Ia tahu ada yang salah. Sejak pertemuan di Balai Kota, rencana-rencana mereka yang disusun rapi mendadak diketahui pihak kolonial. Seran

  • Dosa dalam Cinta    Bab 20 – Pertemuan di Balai Kota

    Langit Batavia menghitam, awan-awan gelap menggulung seperti tirai neraka yang siap merenggut dunia. Di dalam Balai Kota, udara terasa lebih berat dari baja, seolah ruangan itu menahan napasnya sendiri, menunggu percikan yang akan meledakkan segalanya. Cahaya lentera bergoyang di dinding, menciptakan bayangan-bayangan bergerigi yang menari di wajah-wajah tegang. Satrio berdiri di tengah ruangan, tubuhnya lelah, jiwanya koyak, namun matanya menyala dengan bara yang tak lagi bisa dipadamkan. Di hadapannya, Sekar duduk tegak di kursi tinggi, gaunnya lusuh namun anggun, rambutnya basah oleh keringat dan hujan yang menembus atap, wajahnya keras, dingin, namun retak di sudut-sudutnya—retak yang hanya bisa dilihat oleh seseorang yang pernah mencintainya.Suara langkah kaki terdengar berat di lantai kayu tua, gema dentumnya menggema seperti genderang perang yang menghantam dada. Di sekeliling, wajah-wajah lain menonton

  • Dosa dalam Cinta    Bab 19 – Bayangan Citra

    Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Angin dingin menyelinap melalui celah-celah dinding pondok tua, membawa bisikan-bisikan halus yang seolah berasal dari dunia lain. Di dekat perapian kecil yang nyalanya mulai redup, Satrio duduk membatu, tubuhnya kaku, pandangannya kosong tertuju pada surat yang masih terlipat di tangannya. Api yang tinggal bara memantulkan kilatan samar di wajahnya yang pucat, mempertegas garis-garis lelah dan guratan luka batin yang semakin dalam. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi karena beban yang menggantung di dadanya semakin berat, menghimpit napasnya seperti rantai besi yang tak kasatmata.Pikiran Satrio berputar liar. Bayangan Citra begitu nyata di matanya—gaun putihnya yang berkibar, senyum kecil yang dulu menenangkan, dan tatapan yang kini seperti menuntut, menagih janji yang belum ditepati. Dalam kabut pikirannya, suara itu kembali t

  • Dosa dalam Cinta    Bab 18 – Surat Wasiat Nyai Rahayu

    Di dalam keheningan rumah tua yang seakan menahan napas bersama Satrio, bunyi hujan di atap terdengar seperti detak jam yang memaksa waktu berjalan lambat. Dinding kayu yang lembap memantulkan bayangan tubuhnya yang gemetar, seolah menjadi saksi bisu dari badai yang bergemuruh dalam dadanya. Tetesan minyak dari lampu lentera menguap di udara, menciptakan aroma gosong samar yang bercampur dengan debu tua dan serpihan masa lalu. Satrio duduk membungkuk, tangan-tangannya mengepal di atas meja, mencengkeram surat itu seolah kertas itu adalah jangkar terakhir yang menahannya dari jatuh ke jurang gila. Setiap kata dalam surat itu menggerogoti pikirannya seperti bisikan setan: “Sekar adalah warisan dari darah kita... dia membawa luka dan kutukan... dia harus memilih: membakar dunia atau menyelamatkannya.”Kata-kata itu berputar di kepalanya, membentuk pusa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status