Beranda / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 4 Ambisi Sekar dan Pengaruh Rangga

Share

Bab 4 Ambisi Sekar dan Pengaruh Rangga

Penulis: A. Rani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-08 23:59:58

Malam merambat pelan di kediaman Sekar Puspita. Lilin-lilin berpendar lembut di sepanjang ruangan, membiaskan bayangan yang menari di dinding-dinding berhias ukiran halus. Aroma dupa cendana melayang di udara, berpadu dengan wangi melati yang menyeruak dari rambutnya yang tersanggul sempurna. Di balik tirai sutra yang melambai tertiup angin, Sekar duduk dengan anggun di kursinya, matanya tajam menatap cawan teh yang masih mengepulkan uap hangat.

Di hadapannya, Rangga Adibrata duduk dengan santai, tetapi ada sesuatu dalam caranya bersandar yang menunjukkan bahwa ia bukan hanya tamu biasa. Mata lelaki itu menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa hormat—sebuah perhitungan, sebuah kepentingan yang saling menguntungkan.

"Aku harus memastikan posisiku tidak tergoyahkan," kata Sekar akhirnya, suaranya tenang tetapi penuh ketegasan. "Aku tidak akan membiarkan seorang gadis rendahan seperti Citra mengacaukan semua yang telah kususun selama ini."

Rangga mengangkat alis, senyum kecil terukir di bibirnya. "Kau selalu begitu tegas, Nyai Sekar," katanya, tangannya meraih cawan arak di dekatnya, memutarnya perlahan sebelum menyesapnya. "Tapi aku harus bertanya... apakah kau takut?"

Sekar mendongak, menatapnya dengan sorot tajam. "Takut?" ia mengulang dengan nada sinis. "Aku tidak mengenal rasa takut, Rangga. Aku hanya tidak suka melihat sesuatu yang kotor mencemari tempat yang bukan miliknya."

Rangga tertawa pelan. "Tentu saja," katanya. "Dan aku tahu betul bahwa ketika kau menginginkan sesuatu, kau tidak akan membiarkan apa pun menghalangi jalanmu."

Sekar meletakkan cawannya dengan pelan di atas meja kayu jati yang mengkilap. "Satrio adalah milikku. Ia terlahir untuk berdiri di sisiku. Aku telah menunggu terlalu lama untuk posisi ini, dan aku tidak akan membiarkan seorang pun merusaknya, terutama seorang gadis miskin yang bahkan tidak mengerti bagaimana dunia ini bekerja."

Rangga mengangguk, tatapannya penuh pemahaman. "Citra mungkin tidak memiliki kuasa untuk menantangmu secara langsung, tetapi jika ia terus berada di sekitar Satrio, orang-orang akan mulai berbicara. Dan yang lebih berbahaya, Satrio mungkin akan mulai mempertanyakan apa yang sudah ditetapkan untuknya."

Sekar mengerutkan kening, jari-jarinya yang ramping mengetuk pelan meja, seolah sedang menghitung setiap langkah yang harus diambil. "Aku harus memastikan ia tidak lagi memiliki tempat di mata Satrio maupun masyarakat," katanya lirih, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri.

Rangga tersenyum tipis, matanya berbinar dengan sesuatu yang berbahaya. "Kita bisa membuatnya tampak seperti wanita yang tidak bermoral," katanya pelan, membiarkan kata-kata itu mengendap dalam ruangan. "Jika orang-orang percaya bahwa ia tidak pantas dihormati, maka Satrio pun akan menjauh. Dan saat itu terjadi, tak ada lagi yang perlu kau khawatirkan."

Sekar menatapnya, matanya menyipit sedikit. "Bagaimana caramu melakukannya?"

Rangga menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursinya, wajahnya menyiratkan ketenangan seorang pria yang telah merancang permainan ini jauh sebelum lawannya menyadarinya. "Orang-orang selalu percaya apa yang mereka lihat," katanya. "Jika kita membuatnya terlihat berada di tempat yang salah, dengan orang yang salah, pada waktu yang salah... maka tidak ada yang akan memikirkan kemungkinan lain."

Sekar mengangguk pelan, mulai memahami arah permainan yang sedang dirancang Rangga. "Aku ingin sesuatu yang halus, tetapi cukup untuk membuatnya tidak memiliki tempat di kota ini," katanya. "Tidak boleh ada hubungan langsung denganku atau denganmu. Ini harus terlihat seperti sesuatu yang terjadi dengan sendirinya."

Rangga tersenyum lebar. "Tentu saja," katanya. "Aku memiliki beberapa orang yang bisa bekerja tanpa meninggalkan jejak. Dalam beberapa hari, kita akan membuat Citra menjadi bahan pembicaraan yang memalukan. Dan saat itu terjadi, bahkan Satrio pun tidak akan bisa membelanya tanpa mempertaruhkan namanya sendiri."

Sekar menghela napas panjang, tetapi bukan karena keraguan—melainkan karena kepuasan bahwa segalanya akan segera berjalan sesuai keinginannya. Ia telah belajar sejak lama bahwa dunia ini bukan milik mereka yang menunggu. Dunia ini adalah milik mereka yang berani merebutnya.

Ia menyesap tehnya sekali lagi sebelum meletakkannya dengan gerakan anggun. "Pastikan ini berhasil, Rangga," katanya dengan nada rendah tetapi penuh otoritas. "Aku ingin gadis itu lenyap dari kehidupan Satrio selamanya."

Rangga menunduk sedikit, ekspresinya masih menyimpan senyum samar yang penuh arti. "Serahkan padaku," katanya, sebelum berdiri dan berjalan menuju pintu.

Sekar tetap duduk di tempatnya, matanya menatap ke arah jendela yang terbuka lebar. Angin malam berembus pelan, menggoyangkan tirai sutra yang menjuntai di sisi ruangan. Dalam pikirannya, ia bisa melihat gambaran jelas tentang apa yang akan terjadi.

Tak lama lagi, Citra Anindita akan menjadi kenangan.

Dan Satrio Kusumo akan tetap berada di sisinya, seperti yang seharusnya.

Peristiwa Lanjutan: Permainan yang Dimulai

Di suatu tempat di Batavia, di sebuah rumah kecil di tepi sungai, seorang pria duduk di dalam kamar yang remang. Ia baru saja menerima instruksi dari seseorang yang selama ini membayar diamnya dengan harga yang cukup mahal.

Di hadapannya, selembar kertas bertuliskan nama seseorang yang harus ia awasi.

Citra Anindita.

Pria itu menatap nama itu dengan mata yang tajam, lalu mengangkat kepalanya, menatap seseorang yang berdiri di sudut ruangan. "Apa yang kau ingin aku lakukan?" tanyanya dengan suara parau.

Orang itu, seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian sederhana, hanya tersenyum tipis. "Pastikan ia berada di tempat yang salah, dengan orang yang salah," katanya dengan nada datar. "Dan pastikan ada cukup saksi untuk melihatnya."

Pria yang duduk itu mengangguk, lalu memasukkan kertas itu ke dalam sakunya. Ia tahu betul bagaimana permainan ini dimainkan.

Di luar, langit malam semakin gelap, tetapi bagi mereka yang berada di dalam permainan ini, fajar baru akan segera menyingsing.

Dan bagi Citra Anindita, langkah-langkah yang diambil malam ini akan menentukan takdirnya.

Malam telah menjalar di langit Batavia, menyelimuti kota dengan kegelapan yang pekat. Lampu-lampu minyak berpendar redup di sepanjang jalanan, menerangi toko-toko yang masih beroperasi dan para lelaki yang duduk di warung-warung kecil, bercakap-cakap tentang politik dan perdagangan. Namun, di sudut kota yang lebih sepi, di gang-gang yang jarang dilalui orang, sebuah rencana sedang dijalankan dalam senyap.

Di dalam rumah seorang pria bertubuh tegap yang dikenal hanya dengan nama Singgih, beberapa lelaki berkumpul dalam keheningan. Mereka bukan pedagang biasa, bukan pula warga kota yang bekerja mencari nafkah dengan cara yang jujur. Mereka adalah orang-orang bayangan, mereka yang bekerja tanpa meninggalkan jejak, mereka yang menyusun tragedi seolah-olah terjadi secara alami.

"Dengar baik-baik," suara Singgih berat, nadanya penuh dengan perintah. "Gadis itu harus berada di tempat yang kita tentukan, dengan orang yang kita pilih. Kita tidak membutuhkan kekerasan, hanya sebuah keadaan yang cukup untuk membuatnya tak bisa membela diri."

Salah satu dari mereka, seorang lelaki muda dengan mata tajam, bertanya dengan hati-hati, "Dan bagaimana kita memastikan orang-orang akan percaya pada apa yang mereka lihat?"

Singgih tersenyum miring, menyandarkan punggungnya ke kursi kayu yang sudah tua. "Orang-orang Batavia selalu haus akan gosip. Kita hanya perlu memastikan ada saksi yang cukup. Para ibu-ibu pedagang, orang-orang yang setiap hari berbicara tanpa henti. Biarkan mereka yang menyebarkan cerita ini, dan sebelum matahari terbit, nama gadis itu akan hancur."

Para lelaki itu saling bertukar pandang, lalu mengangguk paham. Mereka tidak perlu bertanya lagi. Mereka tahu tugas mereka. Mereka tahu siapa yang membayar mereka. Dan mereka tahu bahwa di Batavia, kehormatan seseorang bisa hancur dalam semalam, cukup dengan sebuah kebohongan yang terdengar cukup meyakinkan.

Di rumahnya, Citra Anindita duduk diam di tepi ranjangnya, tangan mungilnya menggenggam erat sapu tangan tua yang pernah diberikan Satrio kepadanya bertahun-tahun lalu. Udara di dalam kamar terasa lebih berat, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai dari dalam kegelapan. Pikirannya terus menerawang ke peristiwa di pelabuhan, di mana ayahnya dijebak dan ditangkap di depan mata banyak orang.

Ia ingin menangis, tetapi air mata tidak mau keluar. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Apa yang sedang terjadi dalam hidupnya? Mengapa semuanya terasa begitu cepat berubah? Sekar Puspita, wanita yang bahkan tidak pernah ia ganggu, tampaknya memiliki ambisi yang cukup besar untuk menghancurkannya tanpa alasan yang jelas.

Saat pikirannya semakin dalam terperangkap dalam kecemasan, suara ketukan halus di jendela membuatnya terlonjak. Ia bergegas ke arah jendela, lalu dengan hati-hati menyibak tirai. Namun, yang ia lihat hanyalah kegelapan dan bayangan pepohonan yang bergetar ditiup angin.

Ia melangkah mundur, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Namun, sebelum ia sempat menenangkan diri, suara ibunya terdengar dari luar kamar.

"Citra, ada seseorang yang mencarimu."

Ia mengerutkan kening, lalu berjalan ke ruang depan dengan langkah hati-hati. Di sana, seorang pemuda dengan pakaian lusuh berdiri, ekspresinya penuh ketegangan. Ia bukan orang asing bagi Citra—ia adalah Roni, salah satu pekerja di gudang ayahnya.

"Ada apa, Roni?" tanya Citra, mencoba menyembunyikan ketakutannya.

Roni menelan ludah sebelum berbicara. "Nyai, aku tidak bisa bicara lama. Tapi aku harus memberitahumu, ada sesuatu yang aneh. Aku mendengar pembicaraan di pasar—ada orang-orang yang ingin menjebakmu."

Darah Citra berdesir. "Apa maksudmu?"

"Aku tidak tahu pasti," Roni melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Tapi mereka bilang kau harus pergi ke rumah seorang perempuan di pinggir kota malam ini. Katanya, seseorang yang bisa membantu ayahmu ada di sana. Tapi aku tidak percaya begitu saja, Nyai. Aku merasa ini jebakan."

Citra merasa tubuhnya gemetar. Apakah ini benar? Ataukah ini hanya kebetulan? Tapi sejak kapan kehidupannya dikelilingi oleh begitu banyak kebetulan?

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba berpikir jernih. Jika ini jebakan, apa yang sebenarnya mereka rencanakan? Dan jika ia tidak pergi, apakah itu berarti ia telah kehilangan satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan ayahnya?

Ibunya, yang mendengar pembicaraan itu, memegang bahu Citra dengan cemas. "Jangan pergi, Nak," katanya lirih. "Ini terlalu berbahaya."

Citra menatap ibunya, hatinya diliputi kebingungan. Jika ia tinggal, maka ia akan selamat. Tetapi jika ayahnya benar-benar membutuhkan pertolongannya, bagaimana mungkin ia hanya duduk diam?

Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya mengambil keputusan. Ia akan pergi.

Di sebuah gang sempit yang hanya diterangi lampu minyak yang remang, Rangga Adibrata berdiri di bawah bayangan bangunan, matanya menatap tajam ke arah lorong tempat ia tahu Citra akan lewat. Ia telah menyusun semuanya dengan sempurna. Saksi sudah disiapkan, tempat sudah diatur, dan sebentar lagi, nama Citra Anindita akan jatuh di mata masyarakat Batavia.

Langkah kaki terdengar di kejauhan, semakin mendekat ke arah jebakan yang telah ia siapkan. Senyum tipis terbentuk di wajahnya. Ia tidak membenci Citra, tetapi ia juga tidak peduli dengan nasibnya. Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar—ini tentang memastikan bahwa Sekar mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan jika itu berarti menghancurkan seorang gadis yang tidak bersalah, maka biarlah.

Citra akhirnya tiba di tempat yang dimaksud. Rumah itu tampak kosong, pintunya sedikit terbuka. Hatinya ragu, tetapi ia mengingat ayahnya dan langkahnya pun tetap maju. Begitu ia masuk ke dalam rumah itu, pintu di belakangnya tertutup dengan cepat. Sebelum ia sempat bereaksi, seseorang melangkah keluar dari bayangan.

Rangga.

Citra membeku. Ia tidak menyangka akan melihat Rangga di sini. "Apa yang kau lakukan di sini?" suaranya bergetar.

Rangga tersenyum lembut, tetapi di balik senyum itu ada sesuatu yang dingin dan penuh tipu daya. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja, Citra."

Citra mundur selangkah. "Ini jebakan, bukan?"

Rangga menghela napas, lalu mendekatinya perlahan. "Aku tidak ingin menyakitimu, tetapi kau terlalu keras kepala. Aku hanya ingin memastikan kau memahami tempatmu."

Citra menoleh ke pintu, mencoba mencari jalan keluar. Namun, sebelum ia bisa melakukan apa pun, suara langkah kaki di luar semakin mendekat. Beberapa suara terdengar—suara orang-orang yang mulai berkumpul. Hanya butuh satu momen, satu kesalahpahaman, dan reputasinya akan hancur selamanya.

Di luar rumah, seseorang berteriak, "Ada perempuan di dalam rumah ini bersama seorang pria! Apa yang terjadi di sini?"

Wajah Citra memucat. Ia tahu, saat ini, segalanya telah terlambat.

Di rumahnya, Sekar Puspita duduk di depan cermin, membelai rambutnya dengan jari-jari lentiknya. Seorang pelayan masuk ke dalam kamar dengan tatapan sedikit gelisah.

"Nyai," katanya pelan. "Orang-orang sudah mulai membicarakan Citra Anindita."

Sekar tersenyum, tatapannya dingin namun penuh kepuasan. "Bagus," bisiknya. "Semakin cepat, semakin baik."

Ia menatap pantulan dirinya di cermin, senyumnya semakin melebar.

"Tak lama lagi, Satrio akan tahu siapa perempuan yang sebenarnya pantas berdiri di sisinya."

Keributan di luar rumah mulai membesar. Orang-orang berdesakan di depan pintu, wajah-wajah mereka dipenuhi dengan rasa ingin tahu dan praduga yang tak terbendung. Beberapa di antara mereka berbisik-bisik, sementara yang lain mulai berseru, mengajukan pertanyaan yang menusuk kehormatan seorang gadis.

“Siapa perempuan itu?”

“Dia masuk ke rumah ini bersama seorang lelaki!”

Citra berdiri di tengah ruangan dengan tubuh gemetar, jantungnya berdegup kencang dalam ketakutan yang tak dapat ia kendalikan. Ia tahu apa yang sedang terjadi. Ia tahu ini adalah jebakan, bahwa setiap langkahnya sejak ia meninggalkan rumah tadi telah diarahkan ke tempat ini. Namun, mengetahui kebenaran tidak mengubah fakta bahwa ia sekarang terperangkap.

Rangga berdiri tak jauh darinya, tatapannya tenang dan penuh perhitungan. Ia tidak bergerak, tidak pula berusaha menjelaskan, seolah membiarkan waktu mempermainkan keadaan ini. Sekilas, ia tampak seperti seseorang yang tidak terlibat, hanya seorang pria yang kebetulan berada di tempat yang salah pada saat yang tidak tepat. Tetapi Citra tidak tertipu. Ia melihat kilatan kesenangan di balik mata lelaki itu, sesuatu yang mengisyaratkan bahwa semua ini telah ia rencanakan sejak awal.

Citra mencoba menenangkan dirinya, tetapi suara-suara di luar semakin keras. Ia bisa mendengar beberapa orang mendekati pintu, seolah siap mendobraknya kapan saja. Jika mereka melihatnya di dalam rumah ini bersama seorang pria, maka tidak akan ada lagi yang peduli dengan alasan atau penjelasan. Hanya satu hal yang akan dipercaya oleh masyarakat: ia telah mencoreng kehormatannya sendiri.

Ia berbalik cepat, menghadap Rangga dengan sorot mata penuh kemarahan. “Apa yang kau lakukan?!” suaranya nyaris berbisik, tetapi setiap kata mengandung kemarahan yang dalam.

Rangga tetap tersenyum, lalu mengangkat bahu ringan. “Aku hanya ingin memastikan kau belajar sesuatu, Citra,” katanya, suaranya terdengar tenang, seolah ia tengah berbicara tentang hal sepele. “Dunia ini tidak adil bagi mereka yang terlalu lemah untuk mempertahankan tempatnya.”

Citra mengepalkan tangannya. Ia ingin berteriak, ingin memukul lelaki di hadapannya ini, ingin menghancurkan rencana busuk yang telah ia buat. Tetapi ia tahu bahwa saat ini, kemarahan tidak akan menyelamatkannya. Ia harus berpikir cepat.

Di luar, seseorang mulai mendorong pintu. Beberapa suara perempuan terdengar penuh kepuasan, seperti mereka baru saja menemukan bahan gosip yang akan mengisi hari-hari mereka ke depan.

“Citra Anindita ada di dalam sana!”

“Bersama seorang pria?”

“Ya Tuhan, bagaimana bisa dia melakukan ini?”

Citra tersentak. Napasnya memburu, dadanya terasa sesak oleh ketakutan. Jika pintu itu terbuka, jika mereka melihatnya bersama Rangga, maka tak peduli seberapa keras ia mencoba menjelaskan, tidak akan ada yang mempercayainya. Nama baiknya akan hancur dalam sekejap.

Ia menatap sekeliling, mencari jalan keluar. Rumah ini kecil, tak banyak perabotan yang bisa menghalanginya untuk bergerak cepat. Ia melihat sebuah jendela di sisi ruangan, setengah terbuka, tirainya bergoyang ditiup angin. Itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirinya.

Dengan cepat, ia berlari ke arah jendela, tetapi sebelum ia sempat mencapai pegangan kayunya, tangan Rangga menangkap lengannya. Ia menoleh, menemukan mata lelaki itu menatapnya dengan ekspresi penuh kemenangan.

“Kau tidak bisa lari, Citra,” bisiknya, suaranya begitu halus tetapi menusuk.

Citra menelan ludah, mencoba menarik tangannya, tetapi genggaman Rangga terlalu kuat. Ia tahu bahwa jika ia tetap di sini, semuanya akan berakhir. Tetapi jika ia berusaha kabur dan gagal, ia justru akan terlihat semakin bersalah.

Tepat saat pintu mulai terbuka lebih lebar, Citra mengambil keputusan terakhirnya. Dengan gerakan cepat, ia mengangkat kaki dan menghentakkan tumitnya ke kaki Rangga sekuat tenaga. Lelaki itu tersentak, merintih pelan saat cengkeramannya melemah sejenak—cukup bagi Citra untuk melepaskan diri.

Tanpa ragu, ia melompat ke jendela dan menjatuhkan dirinya ke tanah di luar. Malam terasa lebih dingin saat ia menyentuh tanah berpasir, tetapi ia tidak berhenti. Dengan napas tersengal, ia bangkit dan berlari secepat yang ia bisa, meninggalkan rumah itu sebelum siapa pun sempat menangkapnya.

Dari dalam rumah, suara perempuan-perempuan yang baru saja masuk mulai memekik.

“Di mana dia?!”

“Apa benar ada perempuan di sini?”

Seorang wanita tua menatap Rangga yang berdiri di tengah ruangan, wajahnya masih menyiratkan keangkuhan. Namun, tanpa kehadiran Citra, situasi tidak berjalan sesuai rencana. Orang-orang mulai melontarkan pertanyaan, tetapi Rangga hanya tersenyum kecil, lalu melangkah menuju pintu.

“Sepertinya kalian datang terlambat,” katanya dengan nada ringan. “Seharusnya lebih cepat jika ingin melihat sesuatu yang menarik.”

Peristiwa Lanjutan: Bisikan di Balik Kegelapan

Citra berlari tanpa tujuan, melewati gang-gang sempit yang hampir tak berlampu. Napasnya berat, kakinya nyaris tak sanggup lagi menahan laju tubuhnya. Namun, ia tidak bisa berhenti. Tidak sekarang. Tidak saat ancaman masih begitu dekat.

Saat ia akhirnya mencapai sebuah jalan kecil yang lebih sepi, ia bersandar di dinding kayu salah satu rumah, berusaha menenangkan dirinya. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tetapi yang ia tahu, ia tidak bisa pulang. Jika ia kembali ke rumahnya sekarang, orang-orang akan segera datang mencarinya, menuntut jawaban atas apa yang mereka anggap sebagai skandal yang baru saja terjadi.

Air matanya menggenang, tetapi ia menahannya. Ia tidak boleh lemah. Ia harus berpikir.

Namun, sebelum ia sempat menyusun pikirannya, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya. Ia menoleh cepat, dan jantungnya hampir berhenti berdetak saat ia melihat seseorang berdiri di ujung gang.

Sosok itu tidak bergerak, hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.

Lalu, dengan langkah perlahan, sosok itu mendekat.

Citra mundur selangkah, tangannya mencengkeram dinding kayu di belakangnya. Ia ingin berlari, tetapi tubuhnya terasa beku di tempat.

Sosok itu akhirnya berhenti beberapa langkah darinya, dan saat cahaya bulan menyinari wajahnya, Citra menyadari siapa dia.

Satrio.

Napas Citra tertahan di tenggorokan. Ia melihat tatapan pria itu—bukan kemarahan, bukan kekecewaan, tetapi sesuatu yang lebih rumit.

“Satrio…” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Satrio menatapnya dalam-dalam, lalu berkata dengan nada rendah yang nyaris tak terbaca emosinya. “Apa yang terjadi?”

Citra ingin menjawab, ingin menjelaskan, tetapi ia tahu bahwa kata-kata saja tidak akan cukup. Malam ini telah menciptakan luka yang mungkin tidak akan mudah terhapus.

Di suatu tempat, Sekar Puspita menatap ke luar jendela rumahnya, mengetahui bahwa permainan yang ia mulai telah mulai menuai hasil.

Satu langkah lagi, dan ia akan memastikan bahwa Citra Anindita tidak akan pernah bisa kembali berdiri di samping Satrio.

Satrio berdiri di bawah cahaya bulan, tubuhnya tegap namun ada ketegangan di dalam dirinya yang sulit disembunyikan. Matanya menatap Citra dengan sorot yang sulit diartikan, seolah ada pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di benaknya tetapi enggan ia lontarkan begitu saja. Ia bukan pria yang mudah terpancing gosip, tetapi apa yang baru saja ia dengar tidak bisa begitu saja diabaikan.

Citra, yang masih berusaha mengatur napasnya, berdiri di seberang Satrio dengan wajah yang diliputi ketakutan dan kelelahan. Bajunya sedikit berantakan akibat pelariannya, rambutnya yang biasanya tersisir rapi kini lepas dari ikatannya. Namun, yang paling mencolok adalah sorot matanya—mata seorang gadis yang telah melihat dunia berusaha menghancurkannya dalam satu malam.

"Apa yang terjadi?" suara Satrio dalam, berat, tetapi tidak mengandung kemarahan. Ia ingin jawaban, bukan tuduhan.

Citra menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Satrio… aku dijebak," suaranya lirih, hampir seperti bisikan yang takut tersapu angin. "Aku tidak tahu apa yang mereka rencanakan, tetapi tiba-tiba aku berada di sana… dan orang-orang mulai datang."

Satrio tidak langsung menjawab. Matanya tetap terfokus pada wajah gadis itu, mencoba membaca kejujuran di balik setiap gerakannya. Ia telah mengenal Citra sejak lama, ia tahu bagaimana gadis itu berbicara, bagaimana caranya menyembunyikan rasa takut, bagaimana bibirnya selalu bergetar sedikit setiap kali ia terpaksa berkata bohong. Tetapi kali ini, tidak ada kebohongan di sana.

"Siapa yang melakukan ini?" tanyanya, suaranya lebih tenang, tetapi mengandung ketegangan yang berbahaya.

Citra menoleh ke arah jalanan di belakangnya, ke arah gang-gang yang baru saja ia lalui dalam ketakutan. Ia tahu jawabannya, tetapi mengucapkannya berarti memperkeruh keadaan. Namun, jika ia tidak mengatakan apa pun, maka ia akan tetap menjadi korban permainan ini.

"Rangga," katanya akhirnya, dengan suara yang lebih mantap dari yang ia duga. "Dia yang membawaku ke sana. Dia yang memastikan orang-orang melihatku."

Satrio terdiam. Rahangnya mengeras, matanya menyipit sedikit, tetapi selain itu, ia tidak menunjukkan reaksi yang meledak-ledak. Namun, Citra tahu bahwa ketenangan itu bukan tanda bahwa ia tak peduli—justru sebaliknya. Satrio bukan seseorang yang akan membiarkan sesuatu berlalu begitu saja tanpa mencari akar permasalahannya.

"Dan Sekar?" tanya Satrio lagi, meski nadanya lebih seperti sebuah pernyataan yang menuntut pengakuan.

Citra menatapnya dengan ragu. Ia ingin mengatakan bahwa Sekar ada di balik semua ini, tetapi ia tidak memiliki bukti. Sekar tidak pernah muncul, tidak pernah secara langsung melakukan sesuatu yang bisa dijadikan tuduhan. Tetapi setiap langkah dalam peristiwa ini membawa jejaknya.

"Aku tidak tahu pasti," Citra akhirnya berkata dengan nada yang lebih pelan. "Tapi aku merasa ini bukan hanya Rangga."

Satrio menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia mengerti maksud Citra, tetapi ia juga tahu bahwa menghadapi Sekar Puspita bukanlah hal yang bisa dilakukan sembarangan. Wanita itu terlalu licik, terlalu terlatih dalam permainan seperti ini.

"Dengar," kata Satrio akhirnya, suaranya lebih lembut. "Kau tidak bisa tinggal di sini. Orang-orang telah melihatmu di sana. Mereka akan bicara, mereka akan menghakimi. Jika kau kembali ke rumah, mereka akan datang mencarimu, dan kau tahu bagaimana masyarakat Batavia bekerja. Mereka tidak mencari kebenaran. Mereka hanya mencari kisah untuk dipercayai."

Citra mengepalkan jemarinya. Ia tahu Satrio benar. Sekali namanya tercemar, maka selamanya ia akan diingat sebagai gadis yang kehilangan kehormatannya.

"Apa yang harus kulakukan?" suaranya terdengar putus asa.

Satrio menatapnya beberapa saat, lalu akhirnya berkata dengan mantap, "Ikut aku. Untuk sementara waktu, kau tidak bisa kembali ke rumah."

Citra tertegun. Ia ingin menolak, ingin mengatakan bahwa ia bisa menghadapi ini sendiri, tetapi ia tahu bahwa Satrio tidak akan memberinya pilihan.

"Aku tidak bisa—"

"Kau harus," Satrio memotong dengan nada yang lebih tegas. "Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian."

Citra menatap pemuda itu, mencari sesuatu dalam matanya—sebuah kepastian bahwa ini bukan sekadar rasa kasihan. Dan ia menemukannya.

Satrio tidak kasihan padanya. Satrio percaya padanya.

Dengan ragu, Citra mengangguk.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Satrio menggenggam tangannya dan membawanya pergi ke dalam kegelapan malam, menuju tempat di mana tidak ada seorang pun yang bisa menyentuhnya.

Peristiwa Lanjutan: Kemarahan yang Membakar

Di rumah megahnya, Sekar Puspita berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke jalan utama Batavia. Wajahnya diterangi cahaya lilin, membuat matanya yang tajam semakin bersinar dalam kegelapan.

Seorang pelayan masuk, membungkuk sedikit sebelum berbicara. "Nyai, gadis itu melarikan diri. Satrio menemuinya."

Sekar tidak langsung bereaksi. Tangannya yang ramping tetap bertumpu pada meja kayu di hadapannya, tetapi cengkeraman jari-jarinya semakin kuat. Ia telah memperhitungkan segalanya—bagaimana orang-orang akan melihat Citra, bagaimana Satrio akan kecewa dan menjauh darinya. Tetapi ia tidak memperhitungkan bahwa pemuda itu akan membawanya pergi.

Ia mengangkat dagunya sedikit, lalu berbalik menghadap pelayan yang masih menunduk. "Dan bagaimana dengan Rangga?" tanyanya dengan nada datar.

Pelayan itu tampak ragu sebelum menjawab. "Dia sedang menunggu di ruang tamu, Nyai. Dia ingin bicara dengan Anda."

Sekar tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya ada bara yang mulai menyala.

"Katakan padanya aku segera ke sana."

Pelayan itu membungkuk dan pergi.

Sekar menghela napas dalam, lalu mengambil cawan teh yang telah dingin di atas mejanya. Tangannya begitu stabil, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ia telah membuat kesalahan. Ia terlalu meremehkan kekuatan Satrio untuk melihat lebih dari sekadar apa yang tampak di permukaan.

Namun, ini belum berakhir.

Ia masih memiliki banyak cara untuk memastikan bahwa Citra tidak akan pernah bisa kembali.

Dengan langkah mantap, ia berjalan keluar dari kamar, menuju ruang tamu, di mana Rangga telah menunggunya.

Saat ia membuka pintu dan melihat wajah lelaki itu yang masih menyimpan jejak kebingungan, Sekar tersenyum.

"Kita masih punya banyak pekerjaan," katanya pelan.

Dan dalam kegelapan malam Batavia, permainan ini baru saja memasuki babak yang lebih berbahaya.

Malam itu, di ruang tamu yang diterangi cahaya lampu minyak, Rangga duduk dengan tenang di atas kursi ukiran jati, tetapi matanya memancarkan ketidaksabaran. Ia tidak pernah menyangka bahwa rencananya akan meleset. Citra seharusnya tertangkap basah dalam keadaan yang memalukan, bukan melarikan diri dan—lebih buruknya lagi—ditolong oleh Satrio.

Ketika Sekar Puspita masuk ke dalam ruangan dengan langkah pelan namun penuh kewibawaan, Rangga berdiri dan menundukkan kepala sedikit. Namun, di balik gestur sopannya, ia bisa merasakan hawa dingin yang menguar dari wanita itu. Mata Sekar berkilat dalam temaram cahaya, bibirnya mengatup dengan sempurna tanpa sedikit pun senyum tersungging.

"Kau mengecewakanku, Rangga," ucap Sekar tanpa basa-basi, suaranya rendah tetapi tajam seperti bilah pisau.

Rangga mengangkat kepalanya perlahan, menatap wanita itu dengan ekspresi yang tidak sepenuhnya tunduk. "Aku tidak menyangka Satrio akan menemukannya begitu cepat," balasnya, berusaha tetap tenang. "Tapi ini belum berakhir."

Sekar menyipitkan mata, lalu berjalan mendekat, membiarkan keheningan di antara mereka menggantung sebelum akhirnya ia berbicara lagi. "Tidak. Ini memang belum berakhir. Tapi sekarang, aku harus memperbaiki kesalahan yang seharusnya tidak terjadi."

Ia berhenti di depan meja kecil, jari-jarinya dengan lembut menelusuri ukiran di permukaannya. Meskipun ekspresinya tetap terkendali, dalam dirinya berkobar kemarahan yang sulit dijinakkan. Ia telah bekerja keras untuk memastikan bahwa semua berjalan sesuai rencana, tetapi kini, Citra tidak hanya selamat dari jebakan, ia juga mendapatkan perlindungan dari satu-satunya pria yang tidak boleh berada di sisinya.

"Orang-orang sudah mulai berbicara, Nyai," kata Rangga lagi, mencoba menenangkan situasi. "Meski Citra melarikan diri, desas-desus tentang dirinya sudah menyebar. Masyarakat Batavia tidak akan mudah melupakan kejadian tadi malam."

Sekar mengangkat dagunya sedikit, berpikir. "Itu memang benar. Tapi selama Satrio masih berada di sisinya, maka cerita itu tidak akan berarti apa-apa. Orang-orang akan mulai meragukan gosip jika Satrio tetap membelanya."

Ia berbalik, menatap Rangga dengan mata tajam. "Maka kita harus memastikan bahwa Satrio tidak lagi berada di sisinya."

Rangga menyilangkan lengannya di dada, bibirnya sedikit melengkung ke atas. "Dan bagaimana kau berencana melakukan itu?"

Sekar tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak membawa kehangatan. "Kita harus membuat Satrio percaya bahwa Citra bukan hanya gadis yang kehilangan kehormatannya, tetapi juga ancaman bagi dirinya sendiri."

Rangga mengerutkan dahi. "Maksudmu?"

Sekar berjalan mendekat, suaranya hampir seperti bisikan. "Satrio bukan pria yang peduli pada gosip. Ia akan tetap mempertahankan apa yang ia yakini benar, meskipun dunia menentangnya. Tapi bagaimana jika ia mulai percaya bahwa Citra tidak hanya berada dalam bahaya, tetapi juga membawa bahaya bagi dirinya sendiri?"

Rangga mulai memahami arah pembicaraan itu. Jika mereka bisa membuat Satrio percaya bahwa berada di dekat Citra akan merugikannya, maka pemuda itu akan menjauh dengan sendirinya. Satrio tidak bisa dipaksa, tetapi ia bisa dipengaruhi—dan Sekar tahu persis bagaimana caranya.

Sekar menatapnya dengan penuh keyakinan. "Aku ingin kau menyebarkan kabar bahwa ada orang-orang yang tidak senang dengan keberadaan Citra. Katakan bahwa beberapa pihak mulai melihatnya sebagai gangguan, bahkan ancaman. Buat Satrio percaya bahwa jika ia tetap berada di sisinya, maka ia juga akan ikut terseret dalam masalah ini."

Rangga mengangguk pelan, memahami intrik yang sedang dirancang. "Dan jika itu tidak cukup?"

Sekar tersenyum, kali ini dengan lebih banyak ketenangan. "Jika itu tidak cukup, maka kita akan memberinya alasan yang lebih besar untuk meragukan gadis itu. Sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja."

Rangga menatap Sekar selama beberapa detik, sebelum akhirnya berkata dengan nada yang lebih ringan. "Kau benar-benar tidak pernah kehabisan akal, Sekar."

Sekar menyesap tehnya yang telah sedikit mendingin, lalu meletakkan cangkir porselen itu dengan hati-hati di atas meja. "Aku hanya memastikan bahwa apa yang menjadi milikku tetap berada di tempatnya."

Peristiwa Lanjutan: Keraguan yang Ditanamkan

Di rumah persembunyian kecil di tepi kota, Satrio duduk di kursi kayu, menatap api kecil yang berkedip di dalam lampu minyak. Ia telah membawa Citra ke tempat yang aman, jauh dari jangkauan mata-mata Sekar dan Rangga. Namun, meskipun tubuhnya berada di tempat yang aman, pikirannya masih terus bekerja.

Citra duduk di dekat jendela, wajahnya masih menyimpan kelelahan. Matanya menatap ke luar, ke arah jalanan yang gelap dan sepi. Ia tahu bahwa dunia luar sudah berubah baginya. Tidak ada lagi tempat yang bisa ia sebut rumah tanpa merasakan tatapan curiga dari orang-orang yang dulu mengenalnya.

Satrio akhirnya berbicara, suaranya tenang tetapi penuh dengan pertimbangan. "Aku harus mencari tahu siapa yang sebenarnya berada di balik semua ini."

Citra menoleh, ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, "Kau tahu siapa mereka, Satrio."

Satrio menghela napas panjang, lalu menatapnya dengan dalam. "Ya, aku tahu. Tapi mengetahui sesuatu dan membuktikannya adalah dua hal yang berbeda."

Ia berdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Aku tidak bisa membiarkan ini berlalu begitu saja. Jika aku tetap diam, maka mereka akan berpikir bahwa mereka bisa melakukan ini lagi."

Citra menundukkan kepala, menggenggam tangannya sendiri. "Aku tidak ingin membuatmu dalam bahaya," katanya lirih.

Satrio tersenyum kecil, tetapi senyum itu dipenuhi dengan tekad. "Aku tidak peduli dengan bahaya, Citra. Aku hanya peduli dengan kebenaran."

Namun, jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang mengganggunya. Kata-kata yang mulai beredar di kota—tentang bagaimana Citra tidak hanya menjadi korban, tetapi juga mungkin membawa lebih banyak masalah daripada yang terlihat.

Di sudut pikirannya, benih keraguan mulai tumbuh, meski ia tidak ingin mengakuinya.

Sekar tahu bahwa ia tidak bisa langsung menghancurkan kepercayaan Satrio terhadap Citra. Tapi ia tidak perlu melakukannya sekaligus.

Ia hanya perlu menanamkan keraguan kecil.

Dan membiarkannya tumbuh hingga akhirnya menghancurkan segalanya.

Di hari-hari berikutnya, Batavia dipenuhi bisikan-bisikan halus yang menyebar di antara lorong-lorong pasar, kedai kopi, dan bahkan di balai-balai pertemuan para bangsawan. Kabar tentang Citra Anindita, gadis sederhana yang pernah dikenal sebagai anak seorang pedagang jujur, kini berubah menjadi cerita penuh skandal. Tidak ada yang tahu pasti dari mana asalnya, tetapi setiap orang tampaknya telah mendengar bahwa ia bukan lagi gadis yang patut dihormati.

Bagi banyak orang, kebenaran bukanlah hal yang penting. Mereka lebih senang berbicara tentang apa yang tampak benar daripada mencari fakta sesungguhnya. Sekali seorang gadis kehilangan kehormatannya di mata masyarakat, maka hampir mustahil baginya untuk membersihkan namanya kembali.

Di rumah persembunyiannya, Citra merasakan beban itu semakin berat. Setiap kali ia menatap wajah Satrio, ada ketakutan yang tumbuh dalam dirinya. Ia takut bahwa cepat atau lambat, lelaki itu akan mulai meragukannya.

Satrio tidak pernah mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa ia percaya pada gosip-gosip itu, tetapi ada momen-momen ketika ia tampak diam lebih lama dari biasanya, ketika sorot matanya sedikit berubah, seolah-olah ia sedang mempertimbangkan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada dalam pikirannya.

Malam itu, di bawah cahaya temaram lampu minyak, mereka duduk berdua dalam keheningan. Citra menatap ke luar jendela, sementara Satrio duduk dengan tangan bertaut di atas meja kayu yang kasar.

"Aku mendengar sesuatu hari ini," Satrio akhirnya berbicara, suaranya pelan namun sarat makna. "Ada orang-orang yang mulai mengatakan bahwa bukan hanya kau yang dalam bahaya, tetapi juga aku."

Citra menoleh cepat, matanya membesar. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.

Satrio menghela napas dalam, lalu menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Beberapa orang mengatakan bahwa jika aku tetap melindungimu, aku juga akan jatuh. Ada pihak-pihak yang merasa aku seharusnya tidak ikut campur dalam ini."

Citra menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Ia tahu bahwa Sekar dan Rangga tidak akan berhenti hanya dengan mencemarkan namanya. Mereka akan terus berusaha memisahkannya dari Satrio, bahkan jika itu berarti menghancurkan lelaki itu juga.

"Satrio," suaranya pelan, tetapi penuh dengan permohonan, "jangan dengarkan mereka. Kau tahu kebenarannya. Kau tahu siapa aku."

Satrio menatapnya lama, seakan mencari sesuatu dalam sorot matanya. "Aku ingin mempercayaimu, Citra," katanya akhirnya. "Tapi dunia ini tidak sesederhana itu. Aku bisa mengabaikan kata-kata mereka, tetapi bagaimana jika mereka mulai bertindak lebih jauh? Bagaimana jika mereka tidak hanya berusaha mencemarkan namamu, tetapi juga merusak segalanya yang ada di sekitarmu?"

Citra menundukkan kepala, jari-jarinya mencengkeram kain kebayanya dengan erat. Ia ingin berteriak bahwa ini semua tidak adil, bahwa ia tidak pernah melakukan sesuatu yang salah. Tetapi ia juga tahu bahwa keadilan bukanlah sesuatu yang selalu berpihak pada orang yang benar.

"Kau akan meninggalkanku?" pertanyaan itu meluncur dari bibirnya tanpa bisa ia tahan.

Satrio mengangkat wajahnya, sorot matanya sedikit melembut. "Bukan itu yang kumaksud," katanya. "Aku hanya ingin tahu apakah ada jalan lain. Aku ingin melindungimu, tapi jika keberadaanku justru membuat mereka semakin berani menyerangmu, aku tidak tahu apakah itu hal yang benar untuk dilakukan."

Citra menatapnya lama, lalu menggeleng perlahan. "Jika kau pergi sekarang," katanya dengan suara nyaris berbisik, "maka mereka akan menang."

Peristiwa Lanjutan: Kebohongan yang Disempurnakan

Di tempat lain, di sebuah kedai teh yang tersembunyi di balik kompleks bangunan milik para saudagar kaya, Sekar Puspita duduk dengan anggun, memutar-mutar cangkir tehnya dengan ujung jarinya yang lentik. Di seberangnya, Rangga duduk dengan santai, menikmati arak yang baru saja dituangkan pelayan tanpa diminta.

"Bagaimana keadaan di kota?" Sekar bertanya, nadanya ringan tetapi penuh arti.

Rangga tersenyum kecil. "Seperti yang kau harapkan, orang-orang mulai membicarakan betapa bodohnya Satrio karena mempertaruhkan segalanya demi seorang gadis yang bahkan tidak bisa menjaga kehormatannya sendiri."

Sekar mengangkat alis sedikit, lalu tersenyum puas. "Dan bagaimana dengan Satrio sendiri?"

Rangga menghela napas dan meletakkan cawan araknya. "Dia masih bertahan, tetapi kau tahu bagaimana akhirnya. Tidak ada seorang pun yang bisa hidup tanpa meragukan sesuatu, terutama ketika semua orang di sekelilingnya mulai membisikkan hal yang sama."

Sekar menatap keluar jendela, melihat kota Batavia yang mulai tenggelam dalam kegelapan malam. "Aku ingin dia mulai bertanya-tanya," katanya pelan. "Aku ingin dia mulai berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, dia telah membuat keputusan yang salah."

Rangga mengangguk, memahami maksud wanita itu. "Jadi, langkah selanjutnya?" tanyanya.

Sekar menyesap tehnya sebelum meletakkannya dengan perlahan. "Kita buat dia melihat sesuatu yang tidak bisa dia abaikan," katanya, suaranya begitu tenang seolah ia hanya sedang merencanakan sesuatu yang sederhana. "Jika dia mulai meragukan Citra, maka kita hanya perlu memberinya alasan untuk mempercayai keraguannya."

Rangga menyeringai. "Aku bisa mengurus itu."

Sekar mengangguk, lalu mengangkat pandangannya ke arah bulan yang mulai tinggi di langit. "Lakukan dengan hati-hati, Rangga," katanya. "Aku ingin Satrio melihat kebenaran yang kita ciptakan, bukan hanya mendengarnya dari orang lain."

Rangga tertawa pelan. "Jadi kau ingin dia menyaksikan sendiri kehancuran Citra?"

Sekar tersenyum kecil. "Bukan kehancuran," katanya, lalu menatap Rangga dengan penuh keyakinan. "Aku hanya ingin memastikan bahwa dia tidak lagi punya alasan untuk bertahan."

Di luar, angin malam bertiup pelan, membawa aroma laut yang asin dan kabar-kabar yang semakin liar. Batavia akan segera menyaksikan bagaimana kebenaran bisa dibentuk sesuai dengan keinginan mereka yang memiliki kekuasaan.

Dan di tempat persembunyiannya, Citra tidak tahu bahwa malam ini adalah awal dari sesuatu yang lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dosa dalam Cinta    Bab 60 Kepergian Tanpa Kepastian, Luka yang Tertinggal

    Satrio meninggalkan Batavia dengan perasaan kosong, menumpang kapal yang menuju entah ke mana. Ia tak meninggalkan pesan, hanya jejak langkah yang memudar di dermaga. Di dalam biara, Citra tetap di kamarnya, memandang surat tanpa nama yang menyimpan pesan terakhir Satrio—tentang cinta yang tak bisa ditebus dan dosa yang tak bisa dihapus. Mereka berjalan di jalan masing-masing, terpisah oleh dinding, lautan, dan luka yang terlalu dalam untuk sembuh. Namun dalam keheningan, bayangan cinta itu tetap hidup, seperti hantu yang tak pernah benar-benar pergi.Angin malam membawa aroma laut yang samar, bercampur dengan tanah basah sisa hujan sore tadi. Satrio menarik napas dalam, membiarkan udara malam mengisi paru-parunya sebelum perlahan menghembuskannya kembali. Ia mencoba merasakan kekosongan itu, mencoba membiarkan semua perasaan itu larut dalam angin yang membawa dingin ke kulitnya. Tetapi semakin ia berusaha, semakin kuat kenangan itu menyesak di dalam dadanya.Di dalam biara, Citra ber

  • Dosa dalam Cinta    Bab 59 Pertemuan yang Tak Pernah Terjadi

    Di malam penuh kabut Batavia, Satrio berdiri di luar gereja, menatap jendela kecil yang menyala samar. Ia hampir mengetuk pintu, hampir memanggil nama Citra, tetapi keraguan dan rasa bersalah menahannya. Di dalam, Citra membuka pintu, merasakan kehadirannya yang hanya tersisa dalam bayangan. Langkah mereka hanya dipisahkan dinding batu dan jarak beberapa langkah, namun mereka seperti hidup di dunia yang berbeda, tak lagi bisa saling menjangkau.Citra membuka pintu dengan hati-hati, tetapi saat matanya menyapu halaman depan, yang tersisa hanyalah jejak kaki di atas tanah yang basah. Tidak ada siapa pun di sana, hanya bayangan malam yang bergerak mengikuti tiupan angin. Ia berdiri di ambang pintu, merasakan sesuatu di dadanya yang sulit dijelaskan. Ia tahu seseorang telah ada di sana. Ia tahu siapa yang datang, tetapi tidak menemuinya. Ia menundukkan kepalanya, menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan menutup pintu.Satrio, yang telah berjalan menjauh dari gereja, berhenti sejenak sebel

  • Dosa dalam Cinta    Bab 58 Di Balik Dinding Biara, Bayangan Tak Terhapus

    Citra mencoba menjalani hidup baru di balik dinding biara yang sunyi. Namun, doa-doa panjang dan langkah-langkah dalam lorong-lorong batu tidak pernah mampu menghapus bayangan Satrio dari pikirannya. Sementara itu, Satrio pun terjebak dalam kesepian, menyadari bahwa cinta mereka telah terkubur oleh pilihan-pilihan pahit. Meski terpisah jarak dan tembok, mereka masih terhubung oleh rasa yang tak terucapkan, masing-masing membawa luka yang menganga.Denting lonceng gereja tua bergema di atas langit Batavia yang mendung. Suaranya menggema di lorong-lorong sempit dan jalanan berbatu, menandakan waktu doa telah tiba. Di balik dinding tinggi biara, seorang perempuan berdiri dalam keheningan, mengenakan jubah putih sederhana yang kini menjadi satu-satunya identitasnya. Citra menatap ke arah jendela kecil di atas altar, tempat cahaya matahari menyusup melalui kaca berwarna, membentuk siluet samar di lantai batu. Ia telah menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada dunia yang berbeda, dunia yang tid

  • Dosa dalam Cinta    Bab 57 Kembali ke Batavia, Janji yang Harus Dituntaskan

    Satrio memutuskan untuk meninggalkan desa yang memberinya kedamaian sementara. Dengan hati berat, ia berjalan menuju Batavia, menyadari bahwa kota itu bukan sekadar tempat, tetapi panggung di mana takdirnya harus diselesaikan. Di sepanjang perjalanan, kenangan tentang Nyai Rahayu, Citra, dan Rangga menghantui pikirannya. Di gerbang kota, seorang perantara misterius menyerahkan pesan: “Jika kau ingin tahu kebenaran, temui aku di rumah yang dulu kau tinggali.”Satrio melangkah masuk ke Batavia, menatap dinding-dinding kota yang menyimpan luka lama. Kali ini, ia datang bukan untuk melarikan diri, tetapi untuk menghadapi siapa pun yang menantinya—dan menyelesaikan segalanya, meskipun itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.Bagas tersenyum kecil, tetapi tidak menjawab langsung. Ia mengeluarkan sebuah gulungan kain kecil dari balik jubahnya, lalu melemparkannya ke arah Satrio. Satrio menangkapnya dengan cepat, lalu membukanya. Di dalamnya terdapat simbol yang sudah lama ia kenali, lambang

  • Dosa dalam Cinta    Bab 56 Masa Lalu yang Membayangi di Tengah Kedamaian

    Satrio mencoba menjalani hidup baru di desa kecil yang damai, jauh dari hiruk-pikuk Batavia. Setiap hari ia bekerja di ladang, bercengkerama dengan penduduk desa, dan menikmati ketenangan yang sudah lama hilang. Namun, bayangan masa lalunya tidak pernah benar-benar pergi. Pesan rahasia yang diterimanya, kedatangan pria asing dengan luka di wajahnya, dan ancaman samar tentang masa lalu yang akan mengejarnya, memaksa Satrio menghadapi kenyataan: tidak ada tempat yang cukup jauh untuk melarikan diri dari takdir. Ketika seorang utusan dari Batavia muncul di malam yang sunyi, Satrio tahu—pertempuran belum usai, dan masa lalunya telah menunggu di tikungan.Malam di Batavia terasa lebih sunyi daripada biasanya. Awan hitam menggantung di langit, menyelimuti kota dengan kegelapan yang terasa lebih pekat dari sebelumnya. Angin berembus perlahan, membawa hawa dingin yang merayap ke dalam kulit. Namun, di dalam hati Satrio, ada kekosongan yang jauh lebih dingin dari angin malam mana pun.Ia berdi

  • Dosa dalam Cinta    Bab 55 Ancaman Baru dari Bayangan Kota

    Satrio berusaha keluar dari hutan, tetapi bahaya belum selesai. Serangan mendadak dari orang-orang misterius, desingan panah, dan kejaran di lorong-lorong Batavia membuktikan bahwa kematian Rangga hanyalah awal dari pertarungan yang lebih besar. Ada kekuatan yang lebih gelap, lebih berbahaya, yang mengincarnya. Satrio harus menghadapi bayangan musuh yang lebih kuat, kelompok yang bersembunyi di balik kekuasaan kota. Dengan luka yang belum sembuh dan beban dendam yang belum terbalas, Satrio melangkah menuju pertempuran baru—satu langkah menuju nasib yang belum pasti, di bawah langit Batavia yang kelabu.Tiba-tiba, suara derap kuda yang mendekat dari kejauhan menarik perhatiannya. Ia segera bersembunyi di balik semak-semak di tepi jalan, mengintai ke arah sumber suara. Tidak lama kemudian, sekelompok penunggang kuda muncul di ujung jalan. Mereka mengenakan pakaian berwarna gelap dengan lambang kecil di lengan mereka, sebuah tanda yang pernah Satrio lihat sebelumnya.Matanya menyipit saa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status