Satrio berhadapan langsung dengan pria berjubah gelap yang mengungkap lambang Wiranegara dan cincin emas penuh luka sejarah. Malam-malam Batavia menjadi saksi bisu langkah-langkah rahasia dan bisikan dendam yang mendekap. Sekar, sang wanita penuh misteri, menunjukkan bahwa di balik pesonanya tersimpan misi yang berbahaya. Satrio dihadapkan pada pilihan: mencari kebenaran dengan risiko kehancuran atau membiarkan masa lalu terkubur dan menerima takdir buta. Namun, setiap langkah semakin menyeretnya ke dalam labirin yang tak mungkin ia hindari.
Pria itu tersenyum kecil, tetapi ada kesedihan dalam sorot matanya. "Sekar telah dipersiapkan sejak kecil untuk satu tujuan: membawa keadilan bagi keluarga kami. Dan keadilan itu... bisa berarti kehancuran bagi keluargamu."
Satrio merasa jantungnya berdentum lebih keras. Semua perasaan yang ia rasakan terhadap Sekar, semua daya tarik yang begitu cepat tumbuh dalam hatinya, kini terasa seperti perangkap yang telah lama disiapkan. Apakah pertemuan mereka benar-benar sekadar kebetulan? Ataukah semua ini sudah menjadi bagian dari rencana yang jauh lebih besar?
Ia mengingat senyum Sekar, tatapannya yang misterius, kata-kata yang selalu terasa memiliki makna tersembunyi. Jika semua ini benar, maka Sekar bukan hanya seorang wanita yang menarik perhatiannya. Ia adalah musuh yang dikirim dengan wajah seorang kekasih.
Satrio menggenggam kerisnya lebih erat, tetapi ia tidak tahu apakah ia harus melawan atau justru tenggelam lebih dalam. Ia telah kembali ke Batavia dengan harapan untuk menemukan tempatnya kembali. Namun, ia tidak menyangka bahwa kepulangannya justru akan membawanya ke dalam pusaran intrik dan dendam yang telah lama terkubur.
Pria itu melangkah mundur, seolah tahu bahwa malam ini bukan saatnya bagi Satrio untuk memahami semuanya. "Berhati-hatilah, Raden. Jika kau mencintai Sekar, kau harus siap menghadapi kebenaran yang akan mengubah segalanya."
Tanpa menunggu jawaban, pria itu berbalik dan berjalan perlahan ke dalam kegelapan. Satrio tetap berdiri di tempatnya, merasakan angin malam mengalir melewatinya seperti bisikan halus dari masa lalu yang tak bisa ia pahami sepenuhnya.
Langit mulai beranjak ke fajar, tetapi bagi Satrio, malam baru saja dimulai. Ia tidak bisa lagi berpura-pura bahwa ini hanyalah kebetulan. Ia harus menemukan kebenaran—tentang Sekar, tentang keluarganya, dan tentang dirinya sendiri.
Dan di suatu tempat di dalam rumahnya, Nyai Rahayu berdiri di depan jendela kamarnya, menatap ke arah tempat di mana putranya baru saja bertemu dengan pria misterius itu. Matanya yang lelah memancarkan kesedihan yang mendalam.
"Sudah dimulai," bisiknya pelan. "Takdir yang selama ini coba kucegah... kini tak bisa dihindari lagi."
Langit mulai menunjukkan semburat ungu pucat di ufuk timur, tetapi bagi Satrio, malam masih terasa panjang. Pikirannya dihantui oleh kata-kata pria misterius tadi. Sekar Puspita, wanita yang baru saja menarik perhatiannya, ternyata bukan sekadar gadis cantik yang kebetulan hadir dalam hidupnya. Ia adalah bayangan dari masa lalu, perpanjangan tangan dendam yang telah lama mengendap dalam sejarah keluarganya.
Darahnya berdesir saat mengingat senyum Sekar, tatapan matanya yang penuh misteri, kelembutan yang terasa begitu alami tetapi kini ia sadari mungkin adalah bagian dari sandiwara yang telah dirancang sejak lama. Apakah semua itu benar? Apakah Sekar benar-benar bagian dari sebuah permainan yang lebih besar? Ataukah perasaan yang ia rasakan hanya membutakan dirinya dari bahaya yang sesungguhnya?
Ia kembali ke kamar dengan langkah berat. Gulungan kertas dari pria misterius itu masih ada di genggamannya, tetapi kini terasa lebih berat daripada sebelumnya. Ia menyimpannya kembali di dalam laci, seolah dengan menyembunyikan kertas itu, ia bisa menunda kebenaran yang perlahan mulai merayap ke dalam hidupnya.
Di luar, suara ayam jantan terdengar bersahutan dari kejauhan, menandakan bahwa fajar mulai menjelang. Namun, keheningan di dalam rumah masih begitu lekat, hanya sesekali terputus oleh embusan angin yang menerobos melalui celah jendela.
Di balik tembok kamar sebelah, Nyai Rahayu duduk diam dengan mata yang menerawang jauh. Ia tidak bisa memejamkan mata sejak percakapannya dengan Satrio tadi. Tatapan anaknya, penuh tanya dan ketidakpastian, kembali terbayang dalam benaknya. Hatinya digelayuti oleh perasaan bersalah yang begitu mendalam. Ia telah berusaha sekuat tenaga menjauhkan Satrio dari bayang-bayang kelam ini, tetapi tampaknya takdir memang tidak bisa dihindari.
Tangannya yang kurus menggenggam kain batiknya erat-erat. Ia tahu bahwa lambat laun, Satrio akan mengetahui segalanya, dan ketika saat itu tiba, ia tidak bisa memastikan apakah anaknya akan cukup kuat untuk menanggung kebenaran yang selama ini ia sembunyikan.
Perlahan, ia bangkit dan berjalan menuju sebuah lemari kayu tua di sudut kamar. Dengan hati-hati, ia membuka pintunya, menggeser tumpukan kain yang tersusun rapi hingga tangannya menyentuh sesuatu yang telah lama tersembunyi di sana. Sebuah kotak kayu kecil, berukir motif bunga melati yang telah memudar oleh waktu.
Dengan tangan sedikit gemetar, Nyai Rahayu membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat beberapa surat yang telah menguning, sebuah cincin perak dengan ukiran yang tak lagi jelas, dan sebuah kain kecil yang dilipat rapi—kain yang dulunya adalah bagian dari selendang seorang wanita yang pernah ia kenal.
Ia menatap barang-barang itu dengan napas tertahan. Setiap benda dalam kotak itu adalah potongan-potongan dari sebuah cerita yang telah lama ia coba lupakan, sebuah cerita yang seharusnya tetap terkubur. Namun kini, dengan kembalinya Satrio, cerita itu kembali bernafas, mengancam untuk menghancurkan segalanya.
Suara ketukan pelan di pintu mengagetkannya. Ia buru-buru menutup kotak itu dan mengembalikannya ke tempat semula sebelum berjalan menuju pintu.
"Ibu, kau belum tidur?" suara Satrio terdengar dari balik pintu, membuat dada Nyai Rahayu semakin sesak.
Ia menarik napas dalam, menenangkan diri sebelum akhirnya membuka pintu. Di hadapannya, Satrio berdiri dengan wajah yang masih menyimpan kelelahan, tetapi matanya tetap tajam, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
“Ada sesuatu yang mengganggumu, Nak?” suara Nyai Rahayu lembut, tetapi ada sedikit getaran di sana.
Satrio menatap ibunya sejenak sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam kamar, duduk di kursi rotan di dekat jendela. Tangannya saling bertaut, seolah ia tengah menahan sesuatu yang ingin ia ungkapkan.
“Ibu, aku tidak bisa hanya menerima peringatan tanpa tahu alasan di baliknya,” suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya. “Apa yang sebenarnya terjadi antara keluarga kita dan keluarga Sekar?”
Nyai Rahayu menutup pintu dan kembali duduk di tempatnya. Ia menatap Satrio dalam-dalam, mencoba menemukan cara untuk menjelaskan sesuatu yang telah ia pendam selama bertahun-tahun.
"Ada banyak hal yang belum bisa Ibu ceritakan sekarang," jawabnya dengan suara pelan. "Tapi yang harus kau pahami adalah bahwa keluarga Wiranegara bukanlah sekadar bagian dari sejarah yang telah berlalu. Ada darah yang tumpah, ada janji yang terkhianati. Dan sampai hari ini, bayangan dari semua itu masih ada di Batavia."
Satrio menggenggam kedua tangannya lebih erat. "Lalu, apa hubungannya dengan Sekar?"
Nyai Rahayu menghela napas panjang, lalu menatap keluar jendela. “Kau harus lebih berhati-hati dalam menilai orang, Satrio. Tidak semua yang tampak indah bisa kau percayai sepenuhnya.”
Satrio mengerutkan kening. "Jadi, kau yakin bahwa Sekar hanya mendekatiku karena rencana keluarganya?"
Nyai Rahayu tidak langsung menjawab. Ia menatap anaknya dengan mata yang menyimpan kesedihan yang mendalam. "Kadang, seseorang bisa terjebak dalam permainan yang tidak ia pilih sendiri. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa permainan itu tetap berjalan."
Satrio termenung. Kata-kata ibunya menggantung di udara, tetapi ia tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan jawaban yang lebih jelas malam ini. Ia bangkit dari tempat duduknya dan menatap ibunya dengan ekspresi penuh tekad.
"Aku akan mencari tahu sendiri, Ibu," katanya lirih. "Jika ada sesuatu yang harus kuhindari, maka aku ingin melihatnya dengan mataku sendiri."
Nyai Rahayu hanya bisa mengangguk perlahan. Ia tahu bahwa Satrio tidak akan mundur begitu saja. Ia telah mewarisi semangat ayahnya—seorang pria yang dulu juga menolak tunduk pada takdir, tetapi akhirnya harus membayar harga yang terlalu mahal untuk keberaniannya.
Saat Satrio melangkah keluar dari kamar, Nyai Rahayu hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Hatinya bergetar. Ia tidak tahu apakah keputusan Satrio untuk mencari kebenaran akan menyelamatkannya atau justru menjerumuskannya lebih dalam ke dalam jurang yang telah lama mereka coba hindari.
Di tempat lain, Sekar Puspita duduk di ruang pribadinya, menulis sesuatu di atas kertas dengan pena yang bergerak lincah. Matanya berkilat tajam, senyumnya tipis, hampir tidak terlihat.
Dalam cahaya remang, ia menutup surat itu, menyegel dengan lilin merah, lalu menyerahkannya kepada seorang pelayan setia.
"Kirimkan ini pada orang yang harus menerimanya," katanya, suaranya tenang tetapi penuh dengan makna tersembunyi.
Pelayan itu membungkuk, lalu pergi meninggalkan ruangan.
Sekar menatap ke luar jendela, matanya menembus pekatnya malam.
"Permainan baru saja dimulai," bisiknya pelan, hampir seperti doa yang mengancam.
Langit di atas Batavia yang telah runtuh tidak lagi menunjukkan arah. Matahari tenggelam di balik reruntuhan kabut, dan laut, yang dahulu menjadi cermin bagi cahaya surga, kini hanya genangan gelap yang menelan semua bayangan. Sebuah desa kecil berdiri di ambang kehancuran dan kebangkitan, sunyi namun tak pernah sepenuhnya tidur. Di bawah pohon beringin yang tak lagi rimbun, di tengah tanah yang pernah terbelah oleh kutukan dan darah, seorang lelaki duduk bersila dalam diam.Satrio.Tubuhnya tua, tidak hanya oleh waktu tetapi oleh semua beban yang tak pernah benar-benar bisa dilepaskan. Di dadanya, bekas luka lama—luka dari perang, dari cinta, dari pengkhianatan—masih terasa berdenyut. Namun tidak lagi panas. Tidak lagi memohon untuk diperhatikan. Luka itu kini hanya menjadi tanda, bahwa ia pernah bertarung, dan meski kalah dalam banyak hal, ia tidak pernah sepenuhnya menyer
Langit di atas Batavia pagi itu memerah seperti luka yang baru menganga. Matahari menggeliat di balik kabut yang berat, memancarkan sinar samar yang terpecah di antara retakan awan, menciptakan semburat jingga yang pucat. Angin membawa aroma asin laut bercampur tanah hangus, bisikan masa lalu yang masih melekat di udara, seolah dunia ini belum sepenuhnya sembuh dari luka-lukanya.Satrio berdiri sendiri di tepi pantai, kakinya terbenam dalam pasir basah yang dingin. Tubuhnya tampak renta, punggungnya sedikit membungkuk, matanya kosong menatap cakrawala, tapi di sorotannya ada cahaya redup yang tak sepenuhnya padam—cahaya seseorang yang telah kehilangan banyak, namun tetap memilih bertahan. Di dadanya, liontin lama yang tergantung pada seutas benang lusuh bergoyang pelan, memantulkan cahaya samar dari matahari yang enggan.Di pikirannya, wajah-wajah
Langit sore menggantung rendah di atas pantai, sapuan jingga yang merambat perlahan ke kelabu,seolah dunia sedang bernafas pelan, menahan isak tangis yang tak pernah terucapkan. Ombak menggulung perlahan, menghantam pasir dengan irama yang dalam, membawa aroma asin laut bercampur dengan bau tanah basah dan samar-samar jejak darah yang telah lama mengering. Di tepi pantai, Satrio duduk dengan tubuh agak membungkuk, napasnya pendek-pendek, sementara di sampingnya, anak itu—Ananta—menatap cakrawala yang tak berujung, matanya kosong, dalam, seolah menatap sesuatu yang hanya bisa dilihat olehnya.Hening menggantung di antara mereka, bukan ketenangan yang utuh, melainkan semacam jeda di ambang ledakan, di mana setiap detik menjadi pengingat bahwa apa yang tampak damai hanyalah bayangan yang menyamarkan jurang di bawahnya.Satrio akhirnya memecah kesunyian, suaranya ser
Waktu bergerak seperti bisikan yang menelusup di antara cabang-cabang beringin, mengalir melalui udara yang basah oleh embun, menggoreskan jejak-jejak yang tak kasatmata di kulit dan tulang. Matahari menggantung rendah di langit, memancarkan cahaya keemasan yang tampak palsu di balik bayang-bayang kelam yang menempel di tanah—bayang-bayang yang tak sepenuhnya hilang, meski dunia tampak berjalan maju.Anak itu berdiri di tengah lapangan kecil, tubuhnya tegak, mata menatap jauh ke depan, ke batas-batas yang tak terlihat. Di wajahnya terpahat bekas luka yang tidak kasatmata—luka yang bukan berasal dari benturan fisik, melainkan dari ingatan yang mencengkeram, bisikan yang mengendap dalam gelap, dan mimpi-mimpi yang mengiris kesadaran setiap malam.Tapi di sorot matanya, ada api yang tumbuh, bukan api dendam, melainkan cahaya tekad yang membara.
Langit di atas Batavia pagi itu seperti kanvas kelabu yang menahan tangis. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan asap dupa, dan di antara bisikan daun-daun beringin yang bergoyang perlahan, ada rasa yang menggantung di udara—rasa yang samar antara kelegaan dan kesedihan, antara akhir dan awal.Satrio berdiri di bawah pohon beringin tua, tempat semua jejak darah, kutukan, dan pengkhianatan pernah bertaut. Tubuhnya tegak, tapi matanya basah, sorotnya bukan lagi mata seorang pejuang yang haus balas dendam, melainkan mata seorang pria yang telah lelah bertarung dengan dirinya sendiri. Di tangannya, ada seikat bunga kering yang ia kumpulkan dari makam-makam yang dulu ia kunjungi dalam keheningan penuh penyesalan. Di antara jari-jarinya, kain putih yang penuh bercak darah—sisa warisan yang kini ingin ia kubur bersama semua luka masa lalu.
Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pantai, membalut garis horizon dengan kelabu pucat yang samar-samar, seolah dunia sendiri menahan napas. Laut yang semalam mengamuk kini kembali tenang, namun ketenangan itu seperti wajah palsu yang menutupi luka dalam; ombak hanya berdesir pelan, membasahi pasir yang masih retak, sementara angin membawa bau asin bercampur bau hangus yang samar—sisa dari sesuatu yang hampir saja memecah batas antara dunia dan kegelapan.Satrio berdiri di tepi pantai, telapak kakinya terasa dingin di atas pasir basah. Matanya menatap ombak yang bergulung pelan, namun pikirannya melayang jauh, menembus ruang yang tidak bisa dilihat mata: ruang di mana suara Kalina masih bergema, di mana mata merah itu masih menyala di kelam, menunggu, menuntut, menagih janji darah yang belum lunas.Namun ada sesuatu yang berbeda di dada Sa