Home / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 3: Cincin Kematian dan Takdir yang Terpatri

Share

Bab 3: Cincin Kematian dan Takdir yang Terpatri

Author: A. Rani
last update Last Updated: 2025-04-08 23:58:33

Satrio berhadapan langsung dengan pria berjubah gelap yang mengungkap lambang Wiranegara dan cincin emas penuh luka sejarah. Malam-malam Batavia menjadi saksi bisu langkah-langkah rahasia dan bisikan dendam yang mendekap. Sekar, sang wanita penuh misteri, menunjukkan bahwa di balik pesonanya tersimpan misi yang berbahaya. Satrio dihadapkan pada pilihan: mencari kebenaran dengan risiko kehancuran atau membiarkan masa lalu terkubur dan menerima takdir buta. Namun, setiap langkah semakin menyeretnya ke dalam labirin yang tak mungkin ia hindari.

Pria itu tersenyum kecil, tetapi ada kesedihan dalam sorot matanya. "Sekar telah dipersiapkan sejak kecil untuk satu tujuan: membawa keadilan bagi keluarga kami. Dan keadilan itu... bisa berarti kehancuran bagi keluargamu."

Satrio merasa jantungnya berdentum lebih keras. Semua perasaan yang ia rasakan terhadap Sekar, semua daya tarik yang begitu cepat tumbuh dalam hatinya, kini terasa seperti perangkap yang telah lama disiapkan. Apakah pertemuan mereka benar-benar sekadar kebetulan? Ataukah semua ini sudah menjadi bagian dari rencana yang jauh lebih besar?

Ia mengingat senyum Sekar, tatapannya yang misterius, kata-kata yang selalu terasa memiliki makna tersembunyi. Jika semua ini benar, maka Sekar bukan hanya seorang wanita yang menarik perhatiannya. Ia adalah musuh yang dikirim dengan wajah seorang kekasih.

Satrio menggenggam kerisnya lebih erat, tetapi ia tidak tahu apakah ia harus melawan atau justru tenggelam lebih dalam. Ia telah kembali ke Batavia dengan harapan untuk menemukan tempatnya kembali. Namun, ia tidak menyangka bahwa kepulangannya justru akan membawanya ke dalam pusaran intrik dan dendam yang telah lama terkubur.

Pria itu melangkah mundur, seolah tahu bahwa malam ini bukan saatnya bagi Satrio untuk memahami semuanya. "Berhati-hatilah, Raden. Jika kau mencintai Sekar, kau harus siap menghadapi kebenaran yang akan mengubah segalanya."

Tanpa menunggu jawaban, pria itu berbalik dan berjalan perlahan ke dalam kegelapan. Satrio tetap berdiri di tempatnya, merasakan angin malam mengalir melewatinya seperti bisikan halus dari masa lalu yang tak bisa ia pahami sepenuhnya.

Langit mulai beranjak ke fajar, tetapi bagi Satrio, malam baru saja dimulai. Ia tidak bisa lagi berpura-pura bahwa ini hanyalah kebetulan. Ia harus menemukan kebenaran—tentang Sekar, tentang keluarganya, dan tentang dirinya sendiri.

Dan di suatu tempat di dalam rumahnya, Nyai Rahayu berdiri di depan jendela kamarnya, menatap ke arah tempat di mana putranya baru saja bertemu dengan pria misterius itu. Matanya yang lelah memancarkan kesedihan yang mendalam.

"Sudah dimulai," bisiknya pelan. "Takdir yang selama ini coba kucegah... kini tak bisa dihindari lagi."

Langit mulai menunjukkan semburat ungu pucat di ufuk timur, tetapi bagi Satrio, malam masih terasa panjang. Pikirannya dihantui oleh kata-kata pria misterius tadi. Sekar Puspita, wanita yang baru saja menarik perhatiannya, ternyata bukan sekadar gadis cantik yang kebetulan hadir dalam hidupnya. Ia adalah bayangan dari masa lalu, perpanjangan tangan dendam yang telah lama mengendap dalam sejarah keluarganya.

Darahnya berdesir saat mengingat senyum Sekar, tatapan matanya yang penuh misteri, kelembutan yang terasa begitu alami tetapi kini ia sadari mungkin adalah bagian dari sandiwara yang telah dirancang sejak lama. Apakah semua itu benar? Apakah Sekar benar-benar bagian dari sebuah permainan yang lebih besar? Ataukah perasaan yang ia rasakan hanya membutakan dirinya dari bahaya yang sesungguhnya?

Ia kembali ke kamar dengan langkah berat. Gulungan kertas dari pria misterius itu masih ada di genggamannya, tetapi kini terasa lebih berat daripada sebelumnya. Ia menyimpannya kembali di dalam laci, seolah dengan menyembunyikan kertas itu, ia bisa menunda kebenaran yang perlahan mulai merayap ke dalam hidupnya.

Di luar, suara ayam jantan terdengar bersahutan dari kejauhan, menandakan bahwa fajar mulai menjelang. Namun, keheningan di dalam rumah masih begitu lekat, hanya sesekali terputus oleh embusan angin yang menerobos melalui celah jendela.

Di balik tembok kamar sebelah, Nyai Rahayu duduk diam dengan mata yang menerawang jauh. Ia tidak bisa memejamkan mata sejak percakapannya dengan Satrio tadi. Tatapan anaknya, penuh tanya dan ketidakpastian, kembali terbayang dalam benaknya. Hatinya digelayuti oleh perasaan bersalah yang begitu mendalam. Ia telah berusaha sekuat tenaga menjauhkan Satrio dari bayang-bayang kelam ini, tetapi tampaknya takdir memang tidak bisa dihindari.

Tangannya yang kurus menggenggam kain batiknya erat-erat. Ia tahu bahwa lambat laun, Satrio akan mengetahui segalanya, dan ketika saat itu tiba, ia tidak bisa memastikan apakah anaknya akan cukup kuat untuk menanggung kebenaran yang selama ini ia sembunyikan.

Perlahan, ia bangkit dan berjalan menuju sebuah lemari kayu tua di sudut kamar. Dengan hati-hati, ia membuka pintunya, menggeser tumpukan kain yang tersusun rapi hingga tangannya menyentuh sesuatu yang telah lama tersembunyi di sana. Sebuah kotak kayu kecil, berukir motif bunga melati yang telah memudar oleh waktu.

Dengan tangan sedikit gemetar, Nyai Rahayu membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat beberapa surat yang telah menguning, sebuah cincin perak dengan ukiran yang tak lagi jelas, dan sebuah kain kecil yang dilipat rapi—kain yang dulunya adalah bagian dari selendang seorang wanita yang pernah ia kenal.

Ia menatap barang-barang itu dengan napas tertahan. Setiap benda dalam kotak itu adalah potongan-potongan dari sebuah cerita yang telah lama ia coba lupakan, sebuah cerita yang seharusnya tetap terkubur. Namun kini, dengan kembalinya Satrio, cerita itu kembali bernafas, mengancam untuk menghancurkan segalanya.

Suara ketukan pelan di pintu mengagetkannya. Ia buru-buru menutup kotak itu dan mengembalikannya ke tempat semula sebelum berjalan menuju pintu.

"Ibu, kau belum tidur?" suara Satrio terdengar dari balik pintu, membuat dada Nyai Rahayu semakin sesak.

Ia menarik napas dalam, menenangkan diri sebelum akhirnya membuka pintu. Di hadapannya, Satrio berdiri dengan wajah yang masih menyimpan kelelahan, tetapi matanya tetap tajam, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.

“Ada sesuatu yang mengganggumu, Nak?” suara Nyai Rahayu lembut, tetapi ada sedikit getaran di sana.

Satrio menatap ibunya sejenak sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam kamar, duduk di kursi rotan di dekat jendela. Tangannya saling bertaut, seolah ia tengah menahan sesuatu yang ingin ia ungkapkan.

“Ibu, aku tidak bisa hanya menerima peringatan tanpa tahu alasan di baliknya,” suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya. “Apa yang sebenarnya terjadi antara keluarga kita dan keluarga Sekar?”

Nyai Rahayu menutup pintu dan kembali duduk di tempatnya. Ia menatap Satrio dalam-dalam, mencoba menemukan cara untuk menjelaskan sesuatu yang telah ia pendam selama bertahun-tahun.

"Ada banyak hal yang belum bisa Ibu ceritakan sekarang," jawabnya dengan suara pelan. "Tapi yang harus kau pahami adalah bahwa keluarga Wiranegara bukanlah sekadar bagian dari sejarah yang telah berlalu. Ada darah yang tumpah, ada janji yang terkhianati. Dan sampai hari ini, bayangan dari semua itu masih ada di Batavia."

Satrio menggenggam kedua tangannya lebih erat. "Lalu, apa hubungannya dengan Sekar?"

Nyai Rahayu menghela napas panjang, lalu menatap keluar jendela. “Kau harus lebih berhati-hati dalam menilai orang, Satrio. Tidak semua yang tampak indah bisa kau percayai sepenuhnya.”

Satrio mengerutkan kening. "Jadi, kau yakin bahwa Sekar hanya mendekatiku karena rencana keluarganya?"

Nyai Rahayu tidak langsung menjawab. Ia menatap anaknya dengan mata yang menyimpan kesedihan yang mendalam. "Kadang, seseorang bisa terjebak dalam permainan yang tidak ia pilih sendiri. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa permainan itu tetap berjalan."

Satrio termenung. Kata-kata ibunya menggantung di udara, tetapi ia tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan jawaban yang lebih jelas malam ini. Ia bangkit dari tempat duduknya dan menatap ibunya dengan ekspresi penuh tekad.

"Aku akan mencari tahu sendiri, Ibu," katanya lirih. "Jika ada sesuatu yang harus kuhindari, maka aku ingin melihatnya dengan mataku sendiri."

Nyai Rahayu hanya bisa mengangguk perlahan. Ia tahu bahwa Satrio tidak akan mundur begitu saja. Ia telah mewarisi semangat ayahnya—seorang pria yang dulu juga menolak tunduk pada takdir, tetapi akhirnya harus membayar harga yang terlalu mahal untuk keberaniannya.

Saat Satrio melangkah keluar dari kamar, Nyai Rahayu hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Hatinya bergetar. Ia tidak tahu apakah keputusan Satrio untuk mencari kebenaran akan menyelamatkannya atau justru menjerumuskannya lebih dalam ke dalam jurang yang telah lama mereka coba hindari.

Di tempat lain, Sekar Puspita duduk di ruang pribadinya, menulis sesuatu di atas kertas dengan pena yang bergerak lincah. Matanya berkilat tajam, senyumnya tipis, hampir tidak terlihat.

Dalam cahaya remang, ia menutup surat itu, menyegel dengan lilin merah, lalu menyerahkannya kepada seorang pelayan setia.

"Kirimkan ini pada orang yang harus menerimanya," katanya, suaranya tenang tetapi penuh dengan makna tersembunyi.

Pelayan itu membungkuk, lalu pergi meninggalkan ruangan.

Sekar menatap ke luar jendela, matanya menembus pekatnya malam.

"Permainan baru saja dimulai," bisiknya pelan, hampir seperti doa yang mengancam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa dalam Cinta    Bab 25 – Malam Penyerangan

    Malam turun dengan gemuruh yang mengerikan, mengguncang kota Batavia hingga ke tulang-tulangnya. Api melahap atap-atap rumah, menghitamkan langit dengan asap tebal, sementara teriakan bercampur dentingan senjata menciptakan orkestra kekacauan yang menusuk jiwa. Di jalanan yang dulu dipenuhi tawa dan kesibukan para pedagang, kini hanya ada darah, tubuh-tubuh yang terkapar, dan tangisan yang hilang dalam debu. Satrio berlari di antara reruntuhan, napasnya memburu, matanya liar mencari sosok kecil itu—anak yang menjadi pusaran di tengah badai ini, anak yang memegang liontin perak, anak yang kini menghilang di antara kobaran neraka.Keringat bercampur darah menetes di wajahnya, dan setiap langkah terasa seperti berjalan di atas bara. Hati Satrio mencengkeram—rasa bersalah menghantam dadanya keras, setiap jeritan menjadi bisikan Citra di t

  • Dosa dalam Cinta    Bab 24 Sekar yang Meragu

    Di dalam ruangan yang remang, di sudut gudang tua yang kini menjadi markas para pemberontak, Sekar duduk di kursi kayu usang, tatapannya kosong menembus bayangan yang bergoyang di dinding akibat cahaya lentera yang berkedip lemah. Rambutnya basah oleh keringat, menempel di kening, dan napasnya pendek-pendek, seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Di luar, suara gemuruh langkah kaki dan desingan besi bertabrakan terdengar, namun di dalam pikirannya, hanya ada bisikan-bisikan yang lebih keras dari teriakan perang: suara Citra, suara Satrio, suara masa lalu yang terus menghantui.“Apa kau yakin, Sekar? Ini jalan yang kau pilih?” Bisikan itu samar, nyaris seperti hembusan angin, namun terasa nyata, menghujam di antara denyut jantung yang berpacu. Sekar menggenggam kursi dengan kuat, buku-buku jarinya memutih, namun matanya memanas oleh air mata yang ia tahan denga

  • Dosa dalam Cinta    Bab 23 – Janji yang Terucap

    Hujan mengguyur Batavia seperti cambuk, memukul atap-atap rumah, membasahi jalanan berbatu yang penuh genangan darah dan abu. Bau hangus dan logam bercampur dalam udara yang berat, menusuk hidung Satrio hingga membuat napasnya terasa seperti menelan besi panas. Di antara reruntuhan pasar yang hancur, api kecil masih menyala, membisikkan nyanyian kematian yang berbaur dengan tangisan, erangan, dan bisikan yang menggema entah dari mana. Satrio berdiri, tubuhnya lelah, bajunya robek dan basah kuyup, namun matanya menatap tajam ke depan—mata seorang lelaki yang telah kehilangan banyak, namun masih menggenggam janji yang belum ditepati.Di bawah cahaya kilat yang menyambar langit, anak kecil itu berdiri di dekatnya, tubuhnya gemetar, matanya lebar penuh ketakutan. Tangan kecilnya menggenggam ujung baju Satrio, seolah mencari perlindungan di tengah kekacauan yang melanda dunia mereka. Wajah anak

  • Dosa dalam Cinta    Bab 22 – Benteng yang Akan Runtuh

    Angin malam berembus liar di atas atap-atap Batavia, mengantarkan bau anyir darah yang belum sempat mengering, dan bau asap dari api yang membakar kota beberapa malam terakhir. Di dalam sebuah ruangan gelap di gang belakang, suara bisik-bisik berpadu dengan bunyi gesekan kertas peta di atas meja kayu. Lentera kecil menggantung, cahayanya bergoyang diterpa hembusan angin, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di dinding, seakan mengintai dari setiap sudut.Sekar berdiri di ujung meja, tangannya mengepal di pinggir peta, wajahnya setengah terbenam dalam cahaya kuning. Matanya tajam, memindai setiap titik yang telah ditandai dengan tinta merah: gerbang barat benteng, menara jaga, gudang mesiu, dan ruang bawah tanah yang tersembunyi. Suaranya rendah, namun penuh bara, “Kita serang sebelum fajar. Saat mereka lengah. Tidak ada kompromi.” Napasnya terputus-putus, bukan hanya kar

  • Dosa dalam Cinta    Bab 21 – Rencana Mata-Mata

    Malam di Batavia menggantung berat di langit, kelam tanpa bintang, seakan seluruh kota bernafas dalam satu tarikan panjang yang menahan ledakan tak terhindarkan. Di dalam gudang tua yang menjadi markas sementara pemberontak, udara terasa tebal dan panas, meski angin malam meniup celah-celah papan dengan desisan lirih, seperti bisikan rahasia yang menyelinap di telinga-telinga yang cemas.Satrio berdiri di sudut ruangan, punggungnya menempel pada dinding yang dingin dan kasar. Matanya menyapu setiap wajah—pedagang tua dengan sorban lusuh yang terus mengusap keringat di dahinya, Rahman yang duduk gelisah sambil mengetukkan jari-jari di atas tongkat, dan dua pemuda baru yang saling berbisik dengan sorot mata curiga. Tatapan Satrio tajam, seperti elang yang mencium darah di udara. Ia tahu ada yang salah. Sejak pertemuan di Balai Kota, rencana-rencana mereka yang disusun rapi mendadak diketahui pihak kolonial. Seran

  • Dosa dalam Cinta    Bab 20 – Pertemuan di Balai Kota

    Langit Batavia menghitam, awan-awan gelap menggulung seperti tirai neraka yang siap merenggut dunia. Di dalam Balai Kota, udara terasa lebih berat dari baja, seolah ruangan itu menahan napasnya sendiri, menunggu percikan yang akan meledakkan segalanya. Cahaya lentera bergoyang di dinding, menciptakan bayangan-bayangan bergerigi yang menari di wajah-wajah tegang. Satrio berdiri di tengah ruangan, tubuhnya lelah, jiwanya koyak, namun matanya menyala dengan bara yang tak lagi bisa dipadamkan. Di hadapannya, Sekar duduk tegak di kursi tinggi, gaunnya lusuh namun anggun, rambutnya basah oleh keringat dan hujan yang menembus atap, wajahnya keras, dingin, namun retak di sudut-sudutnya—retak yang hanya bisa dilihat oleh seseorang yang pernah mencintainya.Suara langkah kaki terdengar berat di lantai kayu tua, gema dentumnya menggema seperti genderang perang yang menghantam dada. Di sekeliling, wajah-wajah lain menonton

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status