Malam di Batavia menggantung seperti kelambu hitam pekat, langit tanpa bulan menciptakan kesan seolah-olah kota ini tertelan oleh kehampaan. Lampu-lampu minyak yang berjajar di sepanjang jalan membentuk cahaya temaram yang bergerak pelan diterpa angin, menciptakan bayangan panjang di dinding-dinding bangunan tua. Di sudut kota, di sebuah rumah yang jarang dikunjungi orang, dua sosok duduk berhadapan dalam ruangan yang hanya diterangi satu lilin.
Sekar Puspita bersandar di kursi kayu berukir, tubuhnya tetap anggun meskipun ia tahu pertemuan ini bukan pertemuan biasa. Cawan teh di hadapannya telah dingin, tetapi ia tak kunjung menyentuhnya. Malam ini, ia tidak hanya berbicara sebagai seorang wanita yang menginginkan posisinya tetap aman, tetapi sebagai seorang pemain dalam permainan yang jauh lebih besar dari sekadar memperebutkan seorang pria.
Di seberangnya, Rangga Adibrata duduk dengan kaki bersilang, wajahnya penuh dengan kepercayaan diri. Lelaki itu tidak pernah terlihat terlalu tegang atau terlalu santai, selalu di antara dua batas yang samar. Sekar tahu bahwa Rangga bukan orang yang bisa dipercaya, tetapi saat ini, ia membutuhkan keahliannya.
"Aku ingin Citra benar-benar hilang dari kehidupan Satrio," Sekar membuka pembicaraan dengan suara yang tenang tetapi tak terbantahkan. "Tidak cukup hanya dengan mencemarkan namanya. Aku ingin ia pergi dari Batavia, selamanya."
Rangga tersenyum miring, seolah telah menunggu kalimat itu. "Dan kau tahu bahwa untuk mencapai itu, kau membutuhkan seseorang yang memiliki lebih banyak akal daripada sekadar membangun desas-desus," katanya sambil memainkan cincin di jari tengahnya. "Sesuatu yang lebih kuat, sesuatu yang tak bisa ia lawan."
Sekar menatapnya tanpa berkedip. "Aku tak peduli bagaimana caranya, selama kau bisa memastikan ia pergi dan tak pernah kembali."
Rangga memiringkan kepalanya sedikit, ekspresinya kini lebih serius. "Permintaan seperti itu tidak datang tanpa harga, Sekar."
Sekar tersenyum tipis. "Aku sudah memperkirakan itu."
Rangga menyandarkan punggungnya pada kursi, jari-jarinya mengetuk ringan permukaan meja. "Jika aku berhasil menyingkirkan Citra dari Batavia—bukan hanya mencemarkan namanya, tetapi benar-benar menghilangkannya—aku ingin sesuatu darimu."
Sekar tetap tenang. "Apa yang kau inginkan?"
Rangga menatapnya dalam, lalu dengan suara pelan namun penuh keyakinan, ia berkata, "Aku ingin posisi di pemerintahan Belanda. Sebuah jabatan yang cukup tinggi untuk memberiku kuasa, sesuatu yang bisa membuat orang-orang berhenti memandangku hanya sebagai anak seorang pedagang."
Sekar mengangkat alisnya sedikit, tetapi tidak menunjukkan keterkejutan yang berlebihan. Ia sudah menduga bahwa Rangga tidak akan melakukan ini hanya untuk membantunya mendapatkan Satrio.
"Kau ingin menjadi bagian dari pemerintahan Belanda?" tanyanya, suaranya penuh dengan kehati-hatian.
Rangga tersenyum. "Kau tahu bahwa aku selalu berpikir lebih jauh dari sekadar menguasai satu kota. Aku tidak hanya ingin dihormati oleh para pedagang atau bangsawan pribumi. Aku ingin kuasa yang nyata, kuasa yang bisa mengubah nasib seseorang dengan satu tanda tangan."
Sekar menatap pria itu lebih lama kali ini, mencoba mencari niat tersembunyi di balik kata-katanya. Rangga selalu berbahaya, tetapi kali ini, ada sesuatu yang lebih dalam dalam permintaannya. Ia bukan hanya seorang pria yang ingin mempermainkan keadaan demi keuntungan sesaat. Ia menginginkan sesuatu yang permanen.
"Aku bisa mengusahakannya," Sekar akhirnya berkata, dengan suara yang masih tenang tetapi mengandung peringatan. "Aku memiliki hubungan dengan beberapa orang yang cukup dekat dengan pejabat di pemerintahan kolonial. Tapi ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan dalam semalam."
Rangga mengangkat bahu. "Aku bisa bersabar, selama kau memenuhi bagianmu dari kesepakatan ini."
Sekar menghela napas pelan, lalu mengulurkan tangannya. "Jika kau berhasil membuat Citra pergi selamanya, aku akan memastikan kau mendapatkan yang kau inginkan."
Rangga menatap tangan itu selama beberapa detik, lalu tersenyum sebelum menjabatnya dengan mantap.
"Kesepakatan sudah dibuat," katanya.
Namun, saat jari-jari mereka bertaut, Sekar merasakan sesuatu yang aneh dalam genggaman Rangga. Seolah-olah ia baru saja menyerahkan lebih dari sekadar kesepakatan—ia baru saja menyerahkan dirinya ke dalam kendali seseorang yang lebih licik dari yang pernah ia bayangkan.
Malam semakin larut ketika Sekar akhirnya meninggalkan kediaman Rangga, langkahnya masih anggun meskipun pikirannya dipenuhi dengan berbagai perhitungan. Ia tahu bahwa ia telah melakukan sesuatu yang berisiko, tetapi ia juga tahu bahwa dalam permainan seperti ini, tidak ada jalan untuk mundur.
Di dalam rumahnya, Rangga tetap duduk di tempatnya, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Ia menyesap araknya perlahan, matanya bersinar dengan kilatan yang sulit diartikan.
Seorang pria berpakaian gelap masuk ke dalam ruangan, membungkuk sedikit sebelum berbicara. "Apakah dia menerima persyaratanmu?"
Rangga mengangguk pelan. "Sekar berpikir bahwa ia mengendalikan permainan ini," katanya, suaranya penuh dengan nada kepuasan. "Tapi pada akhirnya, dialah yang baru saja menyerahkan hidupnya ke tanganku."
Pria itu tidak menjawab, hanya mengangguk dengan penuh pengertian.
Rangga memutar cawannya di antara jemarinya, menatap permukaannya yang berkilauan di bawah cahaya lilin. "Citra akan segera jatuh," katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Tetapi setelah itu, giliran Sekar. Tak ada tempat bagi dua pemain yang ingin berkuasa di Batavia."
Ia menyesap araknya sekali lagi, lalu tertawa pelan.
Permainan ini baru saja memasuki babak yang lebih menarik.
Sekar kembali ke kediamannya dengan hati yang masih dipenuhi kegelisahan. Biasanya, setelah ia menyusun sebuah rencana, ia akan merasa tenang, seolah segalanya sudah berada dalam kendali. Tetapi kali ini berbeda. Ia telah bekerja sama dengan seseorang yang memiliki ambisi yang lebih besar daripada sekadar membantunya mendapatkan Satrio. Rangga bukan orang yang bisa dikendalikan sepenuhnya, dan itu adalah sebuah bahaya yang ia sadari terlambat.
Di dalam kamarnya, Sekar berdiri di depan cermin besar berbingkai emas, menatap bayangannya sendiri dalam cahaya redup lilin. Wajahnya masih cantik, kulitnya masih sehalus porselen, tetapi di balik tatapan matanya, ada sesuatu yang perlahan berubah. Ini bukan lagi tentang cinta, bukan lagi tentang harga diri. Ini adalah tentang kekuasaan. Ia telah melangkah terlalu jauh untuk berbalik.
Pintu kamar terbuka pelan, seorang pelayan masuk dengan langkah hati-hati. "Nyai, seseorang ingin bertemu dengan Anda," katanya dengan suara rendah.
Sekar menoleh, matanya menyipit sedikit. "Siapa?"
Pelayan itu tampak ragu sebelum akhirnya menjawab, "Seorang pria yang mengaku memiliki informasi tentang Citra Anindita."
Hati Sekar berdegup lebih cepat. Ia menarik napas dalam sebelum berkata, "Bawa dia ke ruang tamu. Pastikan tidak ada yang mendengar percakapan kami."
Pelayan itu mengangguk, lalu segera berlalu. Sekar menatap bayangannya sekali lagi di cermin sebelum berbalik dan melangkah keluar dari kamar dengan kepala tegak.
Di ruang tamu yang diterangi lampu minyak, seorang pria bertubuh kurus dengan wajah penuh bekas luka berdiri menunggu. Ia bukan pria yang biasa ditemui oleh wanita dari kalangan atas seperti Sekar, tetapi ia telah membawa sesuatu yang penting, sesuatu yang mungkin bisa menjadi senjata terakhirnya.
Sekar mendekatinya dengan langkah anggun, tetapi sorot matanya tajam. "Kau bilang kau memiliki informasi tentang Citra Anindita?"
Pria itu mengangguk, lalu berbicara dengan nada pelan, seolah takut ada yang menguping. "Aku tahu ke mana dia pergi. Aku tahu dengan siapa dia bersembunyi."
Sekar tersenyum tipis. "Itu bukan hal baru. Aku sudah tahu dia bersama Satrio."
Pria itu menggeleng. "Ya, tapi yang kau tidak tahu adalah sesuatu yang lebih menarik. Ada seseorang yang ingin membantunya keluar dari Batavia. Dan orang itu... bukan orang sembarangan."
Sekar menegang. "Siapa?"
Pria itu mendekat, suaranya semakin lirih. "Seseorang dari dalam pemerintahan Belanda."
Darah Sekar berdesir. Jika Citra memiliki perlindungan dari orang-orang kolonial, maka itu bisa menjadi masalah besar. Ia bisa kehilangan kendali atas permainan ini.
Matanya menyala dengan perhitungan. "Siapa orang itu?"
Pria itu tersenyum licik. "Aku bisa memberitahumu. Tapi tidak secara cuma-cuma."
Sekar menghela napas pelan, lalu menatap pria itu dengan dingin. "Berapa yang kau inginkan?"
Pria itu menyebutkan jumlah yang cukup besar, tetapi Sekar tidak berkedip. Ia memberi isyarat pada pelayan di sudut ruangan, dan dalam hitungan detik, sekantong koin emas diletakkan di atas meja.
Pria itu mengambil kantong itu, merasakan beratnya sebelum akhirnya berbicara. "Orang yang ingin membantu Citra keluar dari Batavia adalah seorang pejabat dari kantor dagang VOC. Namanya... Pieter Van Rijn."
Sekar menggertakkan giginya. Pieter Van Rijn bukan orang sembarangan. Ia adalah seorang pejabat tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam perdagangan dan kebijakan di Batavia. Jika Pieter memutuskan untuk membantu Citra, maka bukan hanya sekadar namanya yang akan selamat—ia mungkin akan mendapatkan perlindungan penuh.
Sekar harus bertindak cepat sebelum semuanya terlambat.
Peristiwa Lanjutan: Strategi Terakhir
Di rumahnya, Rangga duduk di balkon dengan segelas arak di tangannya, menatap ke arah langit malam yang gelap. Ia tahu bahwa Sekar akan segera menyadari sesuatu yang penting—bahwa semakin dalam ia terlibat, semakin ia kehilangan kendali atas permainan yang ia mulai sendiri.
Seorang anak buahnya datang, membungkuk sedikit sebelum berbicara. "Tuan, semuanya berjalan sesuai rencana. Orang-orang mulai mempertanyakan apakah Satrio benar-benar bisa dipercaya setelah ia memilih membela Citra."
Rangga tersenyum kecil. "Bagus. Dan bagaimana dengan Sekar?"
Pria itu tampak ragu. "Nyai Sekar baru saja mendapat informasi tentang seseorang yang mencoba membantu Citra keluar dari Batavia. Ia tampaknya mulai panik."
Rangga tertawa pelan, lalu menyesap araknya dengan santai. "Tepat seperti yang kuharapkan," katanya. "Sekar berpikir dia bisa mengendalikan permainan ini. Tapi dia lupa satu hal."
Anak buahnya menatapnya penuh tanda tanya.
Rangga meletakkan gelasnya, lalu berdiri, menatap ke arah kota yang tertidur dalam gelapnya malam. "Dalam permainan ini, yang paling berbahaya bukanlah musuh yang terlihat. Yang paling berbahaya adalah mereka yang berpura-pura menjadi sekutumu."
Ia tersenyum dingin.
Sekar berpikir bahwa ia telah mengikat perjanjian dengannya. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya—ia telah menyerahkan hidupnya kepada orang yang lebih licik dari yang pernah ia bayangkan.
Dan tak lama lagi, ia akan menyadari itu.
Namun, saat kesadaran itu datang, segalanya sudah terlambat.
Sekar Puspita berdiri di balkon rumahnya, jari-jarinya mencengkeram pagar besi yang dingin. Matanya menatap kota Batavia yang terbentang di hadapannya, tetapi pikirannya jauh tertuju pada satu hal—nama Pieter Van Rijn. Ia tahu lelaki itu, seorang pejabat tinggi yang selama ini lebih banyak berada di balik meja perundingan dagang dengan para penguasa pribumi dan saudagar kaya. Pieter bukan orang yang mudah digoyahkan, tetapi jika benar ia berniat menolong Citra, maka ini bisa menjadi ancaman besar bagi seluruh rencananya.
Langkah pelan terdengar di belakangnya, dan Sekar menoleh, mendapati pelayan setianya berdiri dengan kepala tertunduk. "Nyai, seseorang ingin menemui Anda. Ia bilang ini mengenai Pieter Van Rijn," katanya pelan.
Sekar berbalik dengan cepat, wajahnya berubah serius. "Bawa dia masuk. Aku ingin mendengarnya sendiri."
Di ruang tamu yang remang, seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun duduk menunggu. Wajahnya setengah tersembunyi dalam bayangan, tetapi Sekar mengenalnya. Ia adalah Willem, seorang informan bayaran yang kerap bekerja untuk siapa pun yang memiliki cukup uang.
"Katakan padaku apa yang kau tahu," ujar Sekar tanpa basa-basi, mengambil tempat di seberangnya.
Willem menyesap arak dari cawannya, lalu menatapnya dengan mata penuh perhitungan. "Pieter Van Rijn memang terlibat," katanya, suaranya serak seperti seseorang yang terlalu banyak menghabiskan malam di tempat-tempat minum murahan. "Tapi kau tidak akan suka mendengar alasannya."
Sekar menyipitkan matanya. "Apa maksudmu?"
Willem tersenyum tipis, lalu mengeluarkan selembar kertas dari balik jaket lusuhnya dan meletakkannya di atas meja. Sekar mengambilnya, matanya segera membaca setiap baris yang tertulis di sana. Semakin jauh ia membaca, semakin wajahnya menegang.
"Dia ingin membawa Citra keluar dari Batavia," Willem melanjutkan, mengamati ekspresi Sekar dengan penuh minat. "Bukan hanya untuk menyelamatkannya dari gosip, tapi untuk sesuatu yang lebih besar."
Sekar meletakkan kertas itu dengan gerakan halus, meskipun hatinya sedang dipenuhi gelombang amarah yang hampir tidak bisa ia kendalikan. "Pieter ingin menjadikannya istri simpanannya?" tanyanya dengan suara yang terdengar datar, tetapi berbahaya.
Willem mengangguk. "Bukan sekadar istri simpanan, Nyai. Pieter memiliki ambisi lebih dari itu. Ada rumor bahwa ia ingin membangun kekuatan sendiri di Batavia, lepas dari pengaruh para petinggi VOC lainnya. Dan ia membutuhkan seseorang seperti Citra di sisinya—seseorang yang tidak memiliki latar belakang kuat, seseorang yang bisa ia bentuk sesuai keinginannya."
Sekar tersenyum tipis, tetapi dalam hatinya, ia tahu ini adalah pukulan telak. Jika Citra benar-benar dibawa ke dalam lingkaran Pieter, maka namanya akan kembali bersih. Pieter akan menggunakan pengaruhnya untuk membungkam siapa pun yang telah mencemarkan nama gadis itu. Dan jika itu terjadi, maka semua yang telah ia susun dengan susah payah akan sia-sia.
Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi.
"Kau bisa menghubungi orang-orang yang bisa menghentikan ini?" tanyanya, suaranya hampir seperti bisikan.
Willem mengangkat bahu. "Tentu. Tapi kau harus membayar lebih dari biasanya. Pieter bukan orang sembarangan. Jika kau ingin menghancurkan rencananya, maka kau butuh sesuatu yang lebih dari sekadar gosip di pasar."
Sekar menatap pria itu, lalu mengangguk pelan. "Katakan saja berapa."
Di tempat lain, Rangga duduk di ruang pribadinya, menatap selembar surat yang baru saja diterimanya. Berita tentang Pieter Van Rijn telah sampai ke telinganya, tetapi tidak dengan cara yang diharapkan Sekar.
Ia tersenyum kecil. Sekar berpikir bahwa ia sedang bermain dalam permainan yang bisa ia kendalikan, tetapi ia tidak menyadari bahwa ia sendiri telah masuk dalam perangkap yang lebih besar.
Seorang anak buahnya masuk, membawa sebuah laporan singkat. "Tuan, Nyai Sekar telah menghubungi orang-orang untuk menggagalkan rencana Pieter."
Rangga tertawa pelan. "Bagus," katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi pastikan Pieter tahu tentang ini."
Pria di hadapannya tampak bingung. "Anda ingin Pieter mengetahui bahwa Sekar sedang mencoba menghancurkannya?"
Rangga mengangguk, lalu menuangkan arak ke dalam cawan. "Sekar terlalu percaya diri. Ia tidak sadar bahwa semakin banyak musuh yang ia buat, semakin besar kemungkinan ia akan jatuh. Aku hanya perlu memastikan bahwa saat itu terjadi, aku sudah berada di tempat yang lebih tinggi darinya."
Anak buahnya mengangguk dan segera pergi, meninggalkan Rangga dengan pikirannya yang semakin tajam.
Sekar telah membuat kesepakatan dengannya, tetapi ia tidak pernah menyadari bahwa sejak awal, ia telah menjadi bidak di papan permainan ini.
Rangga tidak hanya ingin menguasai Batavia. Ia ingin memastikan bahwa tidak ada satu pun orang yang bisa menyainginya.
Dan Sekar Puspita akan menjadi korban berikutnya.
Langit Batavia berwarna kelabu saat hujan turun dengan deras, menghantam atap-atap rumah dan membasahi jalanan berbatu yang kini tampak licin dan berkilauan di bawah cahaya lampu-lampu minyak. Udara malam yang dingin menyelimuti kota, tetapi di dalam rumah megah milik Sekar Puspita, hawa panas ketegangan memenuhi udara.
Sekar duduk di ruang pribadinya, wajahnya tetap tenang meski pikirannya dipenuhi perhitungan. Di hadapannya, seorang lelaki berpakaian sederhana berdiri dengan ekspresi waspada. Ia adalah salah satu orang kepercayaannya yang baru saja kembali dengan kabar mengenai Pieter Van Rijn.
"Van Rijn sudah mengetahui bahwa seseorang mencoba menggagalkan rencananya," lelaki itu melaporkan dengan suara rendah. "Orang-orangnya mulai mencari tahu siapa yang berada di balik semua ini."
Sekar menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangannya menggenggam lengan sandaran dengan erat. Ia tahu Pieter bukan orang yang bisa dipermainkan begitu saja. Lelaki Belanda itu memiliki koneksi yang luas, dan lebih dari itu, ia memiliki kuasa. Namun, Sekar juga tidak akan membiarkan dirinya tersudut begitu saja.
"Apa reaksinya?" tanyanya, suaranya tetap terkendali.
Lelaki itu menghela napas. "Ia marah, tetapi belum bertindak. Ia masih mencari tahu siapa yang berani menentangnya secara diam-diam."
Sekar tersenyum tipis, meski dalam hatinya, ia menyadari bahwa langkahnya kali ini lebih berisiko daripada sebelumnya. "Baik. Kita harus memastikan bahwa sebelum ia bisa menemukan siapa pun, ia sudah kehilangan minat pada Citra."
Pria itu mengangguk pelan. "Apa yang harus kami lakukan?"
Sekar berpikir sejenak sebelum menjawab, "Sebarkan kabar bahwa Citra bukan sekadar gadis yang membutuhkan perlindungan, tetapi seseorang yang membawa bahaya bagi siapa pun yang berusaha menolongnya. Gunakan cara yang lebih halus. Pastikan Pieter berpikir dua kali sebelum melibatkan dirinya lebih jauh."
Lelaki itu segera berlalu setelah menerima perintahnya. Sekar menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Permainan ini semakin rumit, dan ia harus memastikan bahwa ia tetap berada di atas.
Di tempat lain, di sebuah kedai kecil yang tersembunyi di balik lorong sempit, Rangga Adibrata duduk bersama seorang pria Belanda dengan seragam VOC yang sedikit basah oleh hujan. Suara percakapan mereka nyaris tidak terdengar, tetapi sorot mata Rangga menunjukkan bahwa apa pun yang sedang dibicarakan adalah sesuatu yang penting.
"Pieter sudah tahu," kata pria itu, suaranya terdengar waspada. "Ia mulai mencurigai bahwa seseorang sedang mencoba menjatuhkannya."
Rangga mengangguk perlahan. "Bagus. Itu berarti dia akan semakin waspada. Tapi sekarang, kita perlu memastikan bahwa ia tidak hanya kehilangan minat pada Citra, tetapi juga melihat Sekar sebagai ancaman yang nyata."
Pria Belanda itu menatapnya dengan penuh tanya. "Kau ingin Pieter menyerang Sekar?"
Rangga tersenyum kecil sambil menyesap araknya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa ketika Pieter melawan, ia tidak melihat ke arahku."
Pria itu tertawa pelan, lalu mengangguk. "Aku bisa mengaturnya. Pieter hanya butuh sedikit dorongan untuk berpikir bahwa Sekar telah mengkhianatinya."
Rangga menaruh cawannya dengan pelan di atas meja kayu yang basah oleh embun. "Pastikan itu terjadi secepatnya. Aku tidak ingin ini berlarut-larut."
Setelah pertemuan itu selesai, Rangga berjalan keluar dari kedai, membiarkan hujan membasahi wajahnya. Ia tahu bahwa Sekar mulai merasakan tekanan, tetapi ia juga tahu bahwa wanita itu tidak akan menyerah begitu saja.
Namun, yang Sekar tidak sadari adalah bahwa ia sedang bertarung melawan musuh yang tidak terlihat—seseorang yang selalu satu langkah di depannya.
Peristiwa Lanjutan: Musuh dalam Selimut
Di kediaman Pieter Van Rijn, suasana terasa lebih gelap daripada biasanya. Sang pejabat VOC itu duduk di kursi besar dengan ekspresi serius, matanya menatap secarik kertas yang baru saja diberikan kepadanya.
Di hadapannya, seorang pria dengan pakaian khas pribumi berdiri dengan sikap hormat. "Tuan, informasi yang kami dapatkan menunjukkan bahwa seseorang di dalam kota ini berusaha menghalangi rencana Anda."
Pieter menghela napas panjang. "Dan siapa yang kau duga?"
Pria itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Nyai Sekar Puspita."
Pieter mendongak, matanya menyipit sedikit. "Sekar Puspita?"
Pria itu mengangguk. "Kami mendengar bahwa ia telah mengirim orang-orangnya untuk menyebarkan desas-desus yang dapat merusak nama Anda. Ia tampaknya tidak ingin Anda membantu gadis itu."
Pieter bersandar ke kursinya, jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu di hadapannya. Sekar Puspita memang wanita cerdas, tetapi jika benar ia mencoba menantangnya, maka itu adalah sebuah kesalahan besar.
Ia tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada rendah, "Jika itu benar, maka aku harus memastikan bahwa ia mendapatkan akibatnya."
Di luar, hujan masih turun, menyapu jalanan Batavia yang dipenuhi rahasia dan pengkhianatan yang belum terungkap. Permainan ini semakin dalam, dan para pemainnya semakin dekat menuju kehancuran mereka masing-masing.
Hujan telah reda, meninggalkan jalan-jalan Batavia dalam kelembaban yang lengket. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi laut yang terbawa angin malam. Di balik jendela berukir rumah Pieter Van Rijn, nyala lilin menerangi ruangan besar yang dihiasi peta-peta perdagangan dan lembaran dokumen yang berserakan di meja. Pieter duduk di kursinya, rahangnya mengeras saat membaca laporan yang baru saja ia terima.
Di sudut ruangan, seorang pria pribumi dengan pakaian sederhana menunggu dengan sabar. Ia tidak bergerak, membiarkan Pieter mencerna isi surat yang telah membuatnya memanggil pria itu ke rumahnya malam ini.
"Aku sudah cukup lama berada di Batavia untuk memahami bagaimana permainan ini dimainkan," kata Pieter akhirnya, suaranya datar namun penuh dengan ketegasan. "Aku tidak masalah dengan adanya perlawanan, tetapi aku tidak pernah menyukai seseorang yang mencoba menusuk dari belakang."
Pria itu tetap diam, menunggu kelanjutan kata-kata Pieter.
Pieter mengangkat wajahnya, sorot matanya dingin. "Kau yakin Sekar Puspita yang berada di balik semua ini?"
Pria itu mengangguk. "Sumber kami mengatakan bahwa dialah yang memerintahkan penyebaran desas-desus. Ia ingin Tuan kehilangan minat pada gadis itu sebelum Tuan sempat bertindak lebih jauh."
Pieter tersenyum kecil, tetapi tidak ada tanda kepuasan dalam ekspresi itu. "Jadi dia berpikir bahwa aku cukup mudah digoyahkan hanya dengan omongan pasar?"
Pria itu mengangguk. "Tampaknya ia tidak ingin mengambil risiko jika Tuan benar-benar membawa Citra keluar dari Batavia."
Pieter mengetukkan jarinya ke meja, pikirannya mulai menyusun langkah berikutnya. Sekar Puspita memang dikenal cerdas dan licik, tetapi kali ini, ia telah memilih musuh yang salah. Jika ia mengira bisa menggoyahkan Pieter Van Rijn dengan permainan kecilnya, maka ia akan segera menyadari bahwa langkahnya telah menuntunnya ke jurang yang lebih dalam.
Pieter menegakkan tubuhnya, lalu menatap pria di hadapannya dengan tatapan yang tajam. "Aku ingin kau menyebarkan pesan baru di pasar. Pastikan orang-orang tahu bahwa siapa pun yang mencoba menghalangi urusanku, akan menyesalinya."
Pria itu mengangguk, lalu dengan cepat meninggalkan ruangan. Pieter tetap duduk di tempatnya, tetapi dalam benaknya, roda-roda permainan sudah mulai bergerak lebih cepat. Jika Sekar ingin bermain kotor, maka ia akan memastikan bahwa permainan ini tidak lagi berpihak padanya.
Peristiwa Lanjutan: Jerat yang Kian Mengencang
Di kediamannya, Sekar duduk di dalam kamarnya, menatap pantulan dirinya di cermin besar yang terpasang di dinding. Wajahnya tetap cantik, tetapi matanya menyiratkan kelelahan yang tak bisa disembunyikan. Ia telah menjalankan permainan ini dengan hati-hati, tetapi kini, ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—ketidakpastian.
Pintu kamar terbuka tanpa ketukan. Rangga melangkah masuk, wajahnya dipenuhi ekspresi penuh kemenangan yang membuat Sekar semakin waspada.
"Kau tampak gelisah, Sekar," ujar Rangga dengan suara ringan, seolah-olah ia sedang berbicara dengan seorang teman lama. "Apakah karena Pieter mulai membalas?"
Sekar menatapnya tajam. "Apa yang kau tahu?"
Rangga menyeringai, lalu berjalan mendekat, mengambil tempat di kursi di dekatnya. "Aku tahu bahwa Pieter tidak menyukai pengkhianatan. Dan aku tahu bahwa ia tidak akan tinggal diam jika seseorang mencoba mengusik urusannya."
Sekar menghela napas panjang. "Aku tidak mengusiknya. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia tidak mengganggu apa yang telah kusiapkan."
Rangga tertawa pelan. "Sekar, kau selalu berpikir bahwa kau bisa mengendalikan segalanya. Tapi kali ini, kau lupa satu hal."
Sekar mengangkat alisnya, menunggu jawaban.
"Kau tidak lagi hanya melawan Citra," kata Rangga dengan nada yang lebih serius. "Kau telah menarik perhatian Pieter, dan itu jauh lebih berbahaya daripada yang kau bayangkan."
Sekar mengencangkan rahangnya, tetapi dalam hatinya, ia tahu Rangga tidak salah. Ia telah bertarung melawan banyak orang sebelumnya, tetapi Pieter Van Rijn adalah sesuatu yang berbeda. Ia bukan sekadar pria yang terobsesi pada seorang wanita—ia adalah seorang penguasa dalam dunianya sendiri.
"Kau datang ke sini hanya untuk mengingatkanku akan kesalahanku?" tanya Sekar dingin.
Rangga tersenyum miring. "Aku datang untuk memberimu pilihan."
Sekar menyipitkan matanya. "Pilihan apa?"
Rangga mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya menurun menjadi bisikan. "Bekerja sama denganku untuk menjatuhkan Pieter sebelum ia menjatuhkanmu."
Sekar menatapnya lama, mencoba membaca niat tersembunyi di balik kata-kata itu. Ia tahu bahwa Rangga tidak pernah melakukan sesuatu tanpa perhitungan. Jika ia menawarkan bantuan, maka sudah pasti ada harga yang harus dibayar.
"Apa keuntunganmu?" tanyanya akhirnya.
Rangga tersenyum lebar. "Aku hanya ingin memastikan bahwa Batavia berada di tangan orang yang tepat. Dan aku yakin, kau juga menginginkan hal yang sama."
Sekar terdiam, pikirannya berpacu dengan cepat. Ia tidak pernah menyukai ketergantungan pada orang lain, tetapi kali ini, ia harus mengakui bahwa posisinya tidak lagi sekuat sebelumnya. Jika Pieter mulai bergerak, maka hanya ada dua kemungkinan—ia bertahan, atau ia jatuh.
Dengan berat hati, ia akhirnya berkata, "Baiklah, Rangga. Aku akan mendengarkan rencanamu."
Rangga tertawa pelan, lalu berdiri. "Kau membuat keputusan yang tepat, Sekar. Aku akan memastikan bahwa kita berdua keluar sebagai pemenang."
Sekar menatapnya pergi, tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah kesepakatan yang berbahaya. Ia telah menyerahkan sebagian kendalinya kepada seseorang yang bahkan lebih licik darinya.
Dan jika ia tidak berhati-hati, maka ia bukan hanya akan kehilangan Satrio—ia akan kehilangan segalanya.
Malam semakin pekat, dan Batavia diselimuti kabut tipis yang berarak dari laut. Di sepanjang jalan utama, lampu-lampu minyak berpendar redup, membentuk bayangan panjang yang menari di dinding bangunan-bangunan tua. Di salah satu rumah yang tersembunyi di jantung kota, sebuah pertemuan rahasia tengah berlangsung, pertemuan yang akan menentukan arah permainan yang semakin tak terkendali.
Sekar Puspita duduk di ruang tamunya yang luas, jari-jarinya mengetuk permukaan meja kayu dengan ritme pelan. Matanya tertuju pada Rangga, yang berdiri di dekat jendela dengan ekspresi santai, seolah-olah ia adalah seorang pengamat yang tidak terlibat langsung dalam pusaran konflik ini.
"Kau yakin Pieter akan menyerangku?" tanya Sekar akhirnya, suaranya penuh kewaspadaan.
Rangga tersenyum tipis. "Aku tidak hanya yakin, aku tahu itu pasti terjadi," jawabnya tanpa ragu. "Pieter bukan pria yang bisa diatur seperti pion di papan catur. Ia memiliki kuasa dan ambisi, dan kau telah memberinya alasan untuk bertindak."
Sekar menarik napas panjang. Ia telah menghadapi banyak lawan dalam hidupnya, tetapi Pieter berbeda. Ia bukan sekadar pedagang atau bangsawan pribumi yang bisa ia kendalikan dengan siasat halus. Pieter adalah bagian dari sistem yang lebih besar, seorang pria yang terbiasa memegang kendali dan tidak menyukai tantangan terhadap otoritasnya.
"Apa yang kau sarankan?" tanya Sekar akhirnya, meskipun ia membenci kenyataan bahwa ia harus meminta saran dari Rangga.
Rangga melangkah mendekat, matanya berkilat penuh perhitungan. "Kita buat Pieter percaya bahwa musuhnya bukan kau," katanya. "Kita alihkan perhatiannya kepada seseorang yang lebih pantas dijadikan target."
Sekar mengangkat alisnya. "Seseorang seperti siapa?"
Rangga menyeringai. "Satrio."
Sekar menegang. "Satrio tidak ada hubungannya dengan ini."
"Tidak secara langsung," sahut Rangga, duduk di kursi di hadapannya. "Tapi pikirkan ini, Sekar. Pieter tidak akan menyerangmu secara langsung kecuali ia yakin kau adalah ancaman yang nyata. Tapi jika ia berpikir bahwa Satrio adalah orang yang sebenarnya menghalangi jalannya, maka dia akan mengalihkan fokusnya."
Sekar menggeleng. "Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Satrio bukan hanya bagian dari rencanaku, dia adalah tujuanku."
Rangga menatapnya lama, lalu akhirnya tertawa kecil. "Sekar, kau terlalu sentimental. Ini bukan tentang siapa yang kau inginkan, ini tentang siapa yang harus kau korbankan agar kau bisa tetap berdiri."
Sekar mengencangkan rahangnya, tetapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ada logika dalam kata-kata Rangga. Jika Pieter melihat Satrio sebagai ancaman, maka ia akan mengalihkan serangannya kepada lelaki itu. Tapi apakah ia benar-benar siap membiarkan Satrio berada dalam bahaya hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri?
"Kau punya cara untuk melakukannya?" tanyanya akhirnya, suaranya lebih pelan, nyaris enggan.
Rangga mengangguk. "Tentu. Kita hanya perlu memastikan bahwa Pieter menemukan sesuatu yang membuatnya percaya bahwa Satrio adalah ancaman bagi kepentingannya."
Sekar menatapnya, lalu menghela napas. "Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya."
Rangga tersenyum puas. "Jangan terlalu lama mempertimbangkan, Sekar. Pieter tidak akan menunggu."
Sementara itu, di sebuah rumah kecil di pinggir Batavia, Satrio duduk di dekat jendela, menatap kegelapan di luar. Ia merasa ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan tetapi terus menghantui pikirannya.
Citra, yang duduk di seberangnya, menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Apa yang kau pikirkan, Satrio?" tanyanya pelan.
Satrio menghela napas dan mengalihkan pandangannya kepadanya. "Aku merasa kita tidak bisa terus bersembunyi seperti ini. Batavia semakin berbahaya, dan aku tidak bisa membiarkanmu terus menjadi sasaran mereka."
Citra menggigit bibirnya, lalu berkata, "Aku tidak takut, Satrio. Selama kau ada di sini, aku merasa aman."
Satrio tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. "Aku takut tidak bisa melindungimu, Citra. Aku takut bahwa semakin lama aku berada di sisimu, semakin besar bahaya yang akan datang."
Citra meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Jangan berpikir seperti itu. Kau satu-satunya yang percaya padaku. Jika kau pergi, aku tidak akan punya siapa-siapa."
Satrio menatapnya dalam, lalu mengangguk perlahan. "Aku tidak akan pergi. Aku hanya harus mencari cara untuk mengakhiri semua ini."
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan mereka, suara langkah kaki terdengar di luar rumah. Satrio langsung berdiri, tubuhnya menegang. Ia melirik ke arah Citra, memberi isyarat agar ia tetap diam.
Pintu depan diketuk dua kali, lalu sebuah suara berat terdengar dari luar. "Satrio Kusumo. Kami tahu kau ada di dalam. Keluar dan bicaralah dengan kami."
Citra menatapnya dengan mata penuh ketakutan. "Siapa mereka?" bisiknya.
Satrio menatap ke arah pintu, lalu berbisik, "Aku tidak tahu, tapi aku akan mencari tahu."
Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju pintu, sementara di luar, ancaman yang selama ini mengintai akhirnya tiba di ambang gerbangnya.
Satrio berdiri diam di depan pintu, tubuhnya tegang mendengar ketukan yang kini terdengar lebih mendesak. Di dalam ruangan yang redup, Citra menatapnya dengan wajah penuh ketakutan, jemarinya mencengkeram erat lengan bajunya seolah takut ia akan menghilang dalam sekejap.
"Satrio Kusumo," suara di luar semakin keras, bercampur dengan hembusan angin malam yang menelusup melalui celah-celah jendela. "Kami tahu kau ada di dalam. Kami hanya ingin bicara."
Satrio menarik napas panjang. Ia tidak suka dipaksa, apalagi oleh orang-orang yang bahkan tidak memperkenalkan diri. Tapi ia juga tahu bahwa jika ia tetap diam, mereka mungkin akan mendobrak pintu, dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa ia biarkan terjadi.
Ia berbalik, menatap Citra dengan lembut, berusaha menenangkan kegelisahan gadis itu. "Tetap di sini. Jangan lakukan apa pun sampai aku kembali."
Citra menggeleng, matanya dipenuhi kekhawatiran. "Aku tidak suka ini, Satrio. Jangan pergi."
Satrio menggenggam tangannya sebentar, merasakan betapa dinginnya jemari gadis itu. "Aku harus menghadapi mereka," katanya lirih. "Jika aku tidak keluar, mereka akan masuk. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi."
Citra masih ingin mencegahnya, tetapi ia tahu bahwa Satrio tidak akan berubah pikiran. Dengan berat hati, ia mengangguk perlahan, meskipun ia bisa merasakan jantungnya berdetak semakin cepat.
Satrio melepaskan genggamannya, lalu berjalan menuju pintu dengan langkah mantap. Ia membuka daun pintu perlahan, dan di hadapannya berdiri tiga orang lelaki dengan pakaian khas pegawai VOC. Mereka mengenakan topi lebar dan mantel panjang, tanda bahwa mereka bukan sekadar bawahan biasa.
Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh tinggi dengan mata setajam elang, melangkah maju. "Tuan Pieter Van Rijn menginginkan pertemuan denganmu," katanya tanpa basa-basi.
Satrio mengangkat alis, tidak menunjukkan ketakutan meskipun ia tahu siapa Pieter dan betapa berbahayanya terlibat dengan pria itu. "Dan apa alasannya?" tanyanya dengan nada dingin.
Pria itu menyipitkan mata. "Tuan Pieter ingin berbicara langsung denganmu. Ini bukan undangan, Satrio Kusumo. Ini perintah."
Satrio tetap diam, menimbang situasi. Jika ia menolak, orang-orang ini tidak akan segan-segan menggunakan kekerasan untuk membawanya. Tetapi jika ia setuju, ia harus memasuki sarang serigala tanpa mengetahui jebakan apa yang telah menantinya.
"Aku akan ikut," katanya akhirnya, meskipun dalam benaknya, ia sudah mulai menyusun langkah-langkah untuk keluar dari situasi ini dengan selamat.
Pria itu tersenyum tipis, lalu memberi isyarat kepada kedua rekannya. "Bagus. Mari kita berangkat."
Satrio menoleh sebentar ke arah pintu yang masih sedikit terbuka. Dari balik bayangan, ia bisa melihat Citra berdiri dengan mata yang penuh kecemasan. Ia tidak mengatakan apa pun, tetapi tatapan mereka cukup untuk menyampaikan pesan yang tidak terucapkan.
Tanpa kata, Satrio melangkah keluar, membiarkan pintu tertutup di belakangnya.
Peristiwa Lanjutan: Pieter yang Menanti
Di dalam ruangan besar yang dipenuhi aroma tembakau dan kayu mahoni, Pieter Van Rijn duduk dengan tenang di kursinya. Cahaya lampu minyak menerangi wajahnya yang dipenuhi garis-garis usia, tetapi sorot matanya tetap tajam seperti elang yang sedang mengamati mangsanya.
Seorang pelayan masuk dengan langkah tergesa, membungkuk sedikit sebelum berbicara. "Tuan, Satrio Kusumo telah tiba."
Pieter tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya. "Bawa dia masuk."
Pintu besar berderit ketika terbuka, dan Satrio masuk dengan langkah tegap, tidak menunjukkan sedikit pun ketakutan di hadapan pria yang kini menatapnya dengan penuh minat.
"Kau akhirnya datang," Pieter berkata sambil mengisap cerutunya. "Aku sudah lama ingin berbicara denganmu, Satrio Kusumo."
Satrio tetap berdiri, tidak menunjukkan rasa hormat seperti yang dilakukan banyak orang di hadapan Pieter. "Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya tanpa basa-basi.
Pieter menghembuskan asap cerutunya perlahan, lalu meletakkannya di atas nampan perak. "Aku ingin tahu," katanya dengan nada santai, "apa yang membuatmu begitu berani untuk menentang permainan yang sedang berlangsung di kota ini."
Satrio menatapnya dengan mata tajam. "Aku tidak bermain dalam permainan siapa pun," jawabnya. "Aku hanya melindungi seseorang yang tidak seharusnya menjadi korban intrik kalian."
Pieter tertawa kecil, suaranya bergema di ruangan itu. "Kau naif, Satrio. Kau berpikir kau bisa melindungi Citra hanya dengan keberanian dan kata-kata? Dunia ini tidak bekerja seperti itu. Ada aturan yang harus diikuti, dan kau telah melanggar banyak di antaranya."
Satrio tetap diam, tetapi di dalam benaknya, ia tahu bahwa Pieter tidak akan membiarkannya pergi dengan mudah.
Pieter berdiri, berjalan perlahan ke arahnya. "Aku tidak akan membuang waktumu dengan ancaman yang sia-sia," katanya. "Aku hanya akan memberimu satu pilihan."
Satrio mengangkat dagunya sedikit, menunggu.
"Serahkan Citra padaku," Pieter berkata dengan nada rendah, tetapi penuh tekanan. "Biarkan aku yang mengurusnya, dan kau akan selamat."
Satrio menahan napas sejenak, lalu tertawa kecil. "Jadi ini yang kau inginkan? Kau pikir aku akan menyerah begitu saja?"
Pieter tersenyum, tetapi senyum itu penuh bahaya. "Aku tidak pernah berpikir kau akan menyerah dengan mudah, Satrio. Tapi kau harus ingat, aku memiliki kekuasaan. Aku bisa membuatmu menghilang dari Batavia dalam semalam, dan tidak ada yang akan mempertanyakan ke mana kau pergi."
Satrio tetap diam, tetapi di dalam dirinya, kemarahan mulai membara. Ia tahu Pieter tidak main-main. Lelaki ini memiliki semua yang dibutuhkan untuk menghancurkannya, tetapi ia tidak akan membiarkan itu terjadi.
Dengan suara yang mantap, ia berkata, "Aku tidak akan menyerahkan Citra kepadamu. Kau bisa mengancamku sepuasmu, tapi aku tidak akan tunduk."
Pieter menatapnya lama, lalu menghela napas pendek. "Aku menghargai keberanianmu, Satrio. Tapi kau akan menyesalinya."
Ia memberi isyarat kepada pengawalnya, dan dalam sekejap, dua orang pria besar bergerak maju, meraih lengan Satrio dengan kasar.
Satrio berusaha melawan, tetapi mereka terlalu kuat. Ia merasakan pukulan keras di perutnya, membuatnya tersungkur ke lantai.
Pieter mendekat, berjongkok di sampingnya. "Kau punya waktu hingga besok pagi untuk berubah pikiran," katanya pelan, suaranya hampir terdengar lembut. "Jika tidak, aku akan memastikan bahwa kau tidak akan pernah melihat Citra lagi."
Dengan itu, Pieter berdiri, meninggalkan Satrio yang tergeletak di lantai, napasnya terengah-engah dalam keheningan yang penuh ancaman.
Di luar, malam semakin pekat, membawa hawa bahaya yang semakin dekat.
Satrio meninggalkan Batavia dengan perasaan kosong, menumpang kapal yang menuju entah ke mana. Ia tak meninggalkan pesan, hanya jejak langkah yang memudar di dermaga. Di dalam biara, Citra tetap di kamarnya, memandang surat tanpa nama yang menyimpan pesan terakhir Satrio—tentang cinta yang tak bisa ditebus dan dosa yang tak bisa dihapus. Mereka berjalan di jalan masing-masing, terpisah oleh dinding, lautan, dan luka yang terlalu dalam untuk sembuh. Namun dalam keheningan, bayangan cinta itu tetap hidup, seperti hantu yang tak pernah benar-benar pergi.Angin malam membawa aroma laut yang samar, bercampur dengan tanah basah sisa hujan sore tadi. Satrio menarik napas dalam, membiarkan udara malam mengisi paru-parunya sebelum perlahan menghembuskannya kembali. Ia mencoba merasakan kekosongan itu, mencoba membiarkan semua perasaan itu larut dalam angin yang membawa dingin ke kulitnya. Tetapi semakin ia berusaha, semakin kuat kenangan itu menyesak di dalam dadanya.Di dalam biara, Citra ber
Di malam penuh kabut Batavia, Satrio berdiri di luar gereja, menatap jendela kecil yang menyala samar. Ia hampir mengetuk pintu, hampir memanggil nama Citra, tetapi keraguan dan rasa bersalah menahannya. Di dalam, Citra membuka pintu, merasakan kehadirannya yang hanya tersisa dalam bayangan. Langkah mereka hanya dipisahkan dinding batu dan jarak beberapa langkah, namun mereka seperti hidup di dunia yang berbeda, tak lagi bisa saling menjangkau.Citra membuka pintu dengan hati-hati, tetapi saat matanya menyapu halaman depan, yang tersisa hanyalah jejak kaki di atas tanah yang basah. Tidak ada siapa pun di sana, hanya bayangan malam yang bergerak mengikuti tiupan angin. Ia berdiri di ambang pintu, merasakan sesuatu di dadanya yang sulit dijelaskan. Ia tahu seseorang telah ada di sana. Ia tahu siapa yang datang, tetapi tidak menemuinya. Ia menundukkan kepalanya, menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan menutup pintu.Satrio, yang telah berjalan menjauh dari gereja, berhenti sejenak sebel
Citra mencoba menjalani hidup baru di balik dinding biara yang sunyi. Namun, doa-doa panjang dan langkah-langkah dalam lorong-lorong batu tidak pernah mampu menghapus bayangan Satrio dari pikirannya. Sementara itu, Satrio pun terjebak dalam kesepian, menyadari bahwa cinta mereka telah terkubur oleh pilihan-pilihan pahit. Meski terpisah jarak dan tembok, mereka masih terhubung oleh rasa yang tak terucapkan, masing-masing membawa luka yang menganga.Denting lonceng gereja tua bergema di atas langit Batavia yang mendung. Suaranya menggema di lorong-lorong sempit dan jalanan berbatu, menandakan waktu doa telah tiba. Di balik dinding tinggi biara, seorang perempuan berdiri dalam keheningan, mengenakan jubah putih sederhana yang kini menjadi satu-satunya identitasnya. Citra menatap ke arah jendela kecil di atas altar, tempat cahaya matahari menyusup melalui kaca berwarna, membentuk siluet samar di lantai batu. Ia telah menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada dunia yang berbeda, dunia yang tid
Satrio memutuskan untuk meninggalkan desa yang memberinya kedamaian sementara. Dengan hati berat, ia berjalan menuju Batavia, menyadari bahwa kota itu bukan sekadar tempat, tetapi panggung di mana takdirnya harus diselesaikan. Di sepanjang perjalanan, kenangan tentang Nyai Rahayu, Citra, dan Rangga menghantui pikirannya. Di gerbang kota, seorang perantara misterius menyerahkan pesan: “Jika kau ingin tahu kebenaran, temui aku di rumah yang dulu kau tinggali.”Satrio melangkah masuk ke Batavia, menatap dinding-dinding kota yang menyimpan luka lama. Kali ini, ia datang bukan untuk melarikan diri, tetapi untuk menghadapi siapa pun yang menantinya—dan menyelesaikan segalanya, meskipun itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.Bagas tersenyum kecil, tetapi tidak menjawab langsung. Ia mengeluarkan sebuah gulungan kain kecil dari balik jubahnya, lalu melemparkannya ke arah Satrio. Satrio menangkapnya dengan cepat, lalu membukanya. Di dalamnya terdapat simbol yang sudah lama ia kenali, lambang
Satrio mencoba menjalani hidup baru di desa kecil yang damai, jauh dari hiruk-pikuk Batavia. Setiap hari ia bekerja di ladang, bercengkerama dengan penduduk desa, dan menikmati ketenangan yang sudah lama hilang. Namun, bayangan masa lalunya tidak pernah benar-benar pergi. Pesan rahasia yang diterimanya, kedatangan pria asing dengan luka di wajahnya, dan ancaman samar tentang masa lalu yang akan mengejarnya, memaksa Satrio menghadapi kenyataan: tidak ada tempat yang cukup jauh untuk melarikan diri dari takdir. Ketika seorang utusan dari Batavia muncul di malam yang sunyi, Satrio tahu—pertempuran belum usai, dan masa lalunya telah menunggu di tikungan.Malam di Batavia terasa lebih sunyi daripada biasanya. Awan hitam menggantung di langit, menyelimuti kota dengan kegelapan yang terasa lebih pekat dari sebelumnya. Angin berembus perlahan, membawa hawa dingin yang merayap ke dalam kulit. Namun, di dalam hati Satrio, ada kekosongan yang jauh lebih dingin dari angin malam mana pun.Ia berdi
Satrio berusaha keluar dari hutan, tetapi bahaya belum selesai. Serangan mendadak dari orang-orang misterius, desingan panah, dan kejaran di lorong-lorong Batavia membuktikan bahwa kematian Rangga hanyalah awal dari pertarungan yang lebih besar. Ada kekuatan yang lebih gelap, lebih berbahaya, yang mengincarnya. Satrio harus menghadapi bayangan musuh yang lebih kuat, kelompok yang bersembunyi di balik kekuasaan kota. Dengan luka yang belum sembuh dan beban dendam yang belum terbalas, Satrio melangkah menuju pertempuran baru—satu langkah menuju nasib yang belum pasti, di bawah langit Batavia yang kelabu.Tiba-tiba, suara derap kuda yang mendekat dari kejauhan menarik perhatiannya. Ia segera bersembunyi di balik semak-semak di tepi jalan, mengintai ke arah sumber suara. Tidak lama kemudian, sekelompok penunggang kuda muncul di ujung jalan. Mereka mengenakan pakaian berwarna gelap dengan lambang kecil di lengan mereka, sebuah tanda yang pernah Satrio lihat sebelumnya.Matanya menyipit saa