Konfrontasi antara Sekar dan Citra Anindita menjadi medan uji yang mengungkap siapa Sekar sebenarnya: bukan sekadar wanita cantik, tetapi pion utama dalam permainan dendam yang berbahaya. Percakapan mereka yang penuh intrik membuka ketegangan baru, sementara di sudut-sudut Batavia, para tokoh bayangan mulai bergerak. Sekar, Rangga, dan pria-pria misterius menyusun rencana di balik peta kota, mempersiapkan Satrio untuk menjadi bidak dalam skenario yang telah lama dirancang.
Sekar tersenyum tipis, senyum yang membuat Citra merasa semakin tidak nyaman. “Citra, jangan bermain sandiwara denganku. Aku tahu lebih banyak daripada yang kau kira.”
Hati Citra berdebar semakin kencang. Ada sesuatu dalam nada bicara Sekar yang membuatnya merasa kecil, seakan dirinya hanyalah bidak kecil dalam permainan besar yang sedang dimainkan oleh wanita di hadapannya ini.
“Aku tidak tahu apakah Satrio menyadari perasaanmu,” Sekar melanjutkan, suaranya kini terdengar lebih lembut, nyaris seperti sebuah bisikan yang penuh dengan ketidakpastian. “Tapi aku ingin kau tahu sesuatu, Citra. Kedekatanku dengannya bukan sesuatu yang bisa kau ganggu. Jika kau peduli padanya, kau sebaiknya menjauh.”
Citra merasa tenggorokannya tercekat. Ia bukanlah seseorang yang biasa berbicara dengan nada menantang, tetapi mendengar kata-kata itu, ada sesuatu dalam dirinya yang memberontak. Sekar mungkin memiliki kecantikan dan status sosial yang lebih tinggi, tetapi ia tidak berhak untuk datang dan mengusirnya begitu saja dari kehidupan Satrio.
Dengan segala keberanian yang tersisa, ia mengangkat wajahnya dan menatap Sekar. “Aku tidak pernah berniat untuk mengganggu hubungan kalian,” katanya dengan nada yang sedikit lebih tegas. “Tapi aku juga tidak akan mengingkari perasaanku sendiri.”
Sekar mengangkat alisnya, tampak sedikit terkejut dengan respons itu. Namun, alih-alih marah atau tersinggung, senyum di wajahnya justru semakin lebar. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, seakan ingin memastikan bahwa Citra benar-benar memahami apa yang akan ia katakan selanjutnya.
“Kau gadis yang baik, Citra,” katanya pelan, hampir seperti bisikan. “Tapi dalam permainan ini, orang baik sering kali berakhir sebagai korban.”
Citra merasa darahnya berdesir dingin. Ada sesuatu dalam cara Sekar berbicara yang membuatnya merinding, seakan wanita itu bukan sekadar memperingatkan, tetapi juga mengancam.
Sebelum ia sempat merespons, Sekar sudah bangkit dari tempat duduknya. Dengan gerakan anggun, ia merapikan selendang yang melingkari bahunya, lalu menatap Citra sekali lagi. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau tahu batasmu,” katanya dengan nada halus. “Jangan terlibat lebih dalam dari yang seharusnya.”
Tanpa menunggu jawaban, Sekar melangkah pergi, meninggalkan Citra yang masih terpaku di tempatnya. Pintu depan tertutup pelan, tetapi suara itu terdengar begitu nyaring di telinga Citra. Ia menatap lantai, merasakan gumpalan emosi yang sulit ia jelaskan.
Ia tahu sejak awal bahwa dirinya bukanlah seseorang yang bisa bersaing dengan Sekar Puspita, tetapi kali ini, ia merasa bahwa yang ia hadapi bukan sekadar perempuan cantik dengan kecerdasan tinggi. Ada sesuatu yang lebih gelap di balik tatapan Sekar—sesuatu yang berbahaya.
Citra sadar bahwa ia harus berhati-hati.
Di tempat lain, di dalam sebuah ruangan yang diterangi oleh lampu minyak yang redup, Rangga Adibrata duduk dengan tubuh santai tetapi matanya penuh perhitungan. Di hadapannya, seorang pria dengan wajah keras dan penuh luka berdiri dengan ekspresi serius.
“Bagaimana perkembangannya?” tanya Rangga sambil menuangkan teh ke dalam cangkir porselen.
“Sejauh ini berjalan sesuai rencana,” jawab pria itu dengan suara berat. “Satrio mulai menggali masa lalu, Sekar telah menemui Citra, dan semua orang mulai memainkan perannya.”
Rangga tersenyum tipis, mengangkat cangkirnya sebelum menyesap isinya dengan santai. “Bagus,” gumamnya. “Semuanya harus bergerak perlahan, jangan terlalu cepat. Aku tidak ingin Satrio menyadari terlalu awal bahwa ia hanya sebuah bidak.”
Pria itu mengangguk. “Apa langkah selanjutnya?”
Rangga meletakkan cangkirnya, lalu menatap pria itu dengan sorot mata dingin. “Pastikan Satrio semakin terjerat dalam keinginannya untuk menemukan kebenaran. Biarkan ia berpikir bahwa ia sedang mengendalikan permainan ini, padahal kita yang mengatur segalanya.”
Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap peta Batavia yang terbuka di atas meja. Jari-jarinya bergerak menyusuri garis-garis jalanan dan bangunan-bangunan penting di kota itu, seolah sedang membaca masa depan yang belum terjadi.
“Dan satu lagi,” katanya, suaranya terdengar lebih pelan, tetapi sarat dengan makna. “Jika saatnya tiba, kita pastikan bahwa Satrio harus memilih: cintanya... atau keluarganya.”
Pria di hadapannya menundukkan kepala. “Akan segera kami atur.”
Rangga tersenyum kecil, lalu menatap ke arah jendela. Di luar sana, Batavia masih hidup dengan segala hiruk-pikuknya, tetapi ia tahu bahwa tidak lama lagi, kota ini akan menjadi saksi dari permainan yang telah ia siapkan sejak lama.
Di tempat lain, Satrio masih berdiri di perpustakaan keluarganya, menatap gulungan kertas yang ada di tangannya. Ia belum tahu bahwa semakin ia mencari kebenaran, semakin ia akan kehilangan segalanya.
Dan di sudut kota Batavia, Sekar Puspita duduk di balik meja kayu, menulis sebuah surat dengan hati-hati. Di sudut bibirnya, sebuah senyum samar terbentuk.
“Permainan ini baru saja dimulai.”
Langit Batavia berwarna keemasan saat mentari mulai turun ke ufuk barat. Jalanan kota yang semula riuh dengan pedagang dan lalu lalang kusir delman kini mulai lengang, menyisakan sisa-sisa percakapan dari mereka yang masih bertahan. Di sebuah kedai kecil di sudut pasar, Satrio duduk diam dengan tangan terlipat di atas meja kayu tua, matanya menatap kosong ke arah cawan teh yang telah mendingin di hadapannya.
Hari ini ia menghabiskan waktu mencari informasi mengenai keluarga Puspita. Ia telah menemui beberapa orang yang masih mengingat kisah lama tentang mereka, tetapi semakin banyak yang ia dengar, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Tidak ada yang mau berbicara terang-terangan. Setiap kali ia menyebut nama ayah Sekar, mereka selalu menghindar atau sekadar berbisik bahwa lebih baik ia tidak mencampuri urusan itu.
Pikirannya masih terjebak dalam kebingungan ketika suara langkah kaki yang familier terdengar mendekat. Satrio mengangkat wajahnya dan melihat Rangga Adibrata berdiri di depannya dengan senyum santai, tangan kirinya menggenggam sebotol arak yang masih tersegel.
“Kau tampak seperti seseorang yang baru saja melihat hantu,” Rangga berujar sambil menarik kursi di seberang Satrio, duduk dengan nyaman seolah tak ada yang lebih menyenangkan selain mengamati kebingungan sahabatnya.
Satrio menghela napas panjang sebelum bersandar di kursinya. “Aku hanya merasa semakin jauh aku mencari, semakin sedikit jawaban yang kudapat.”
Rangga menyandarkan siku di atas meja, menatap sahabatnya dengan mata yang menyelidik. “Kau mencari sesuatu yang orang-orang tak ingin kau temukan, Satrio. Di Batavia, ada rahasia yang lebih baik tetap terkubur.”
“Aku tidak bisa hanya menerima itu, Rangga,” Satrio berkata dengan nada yang lebih dalam. “Ada sesuatu yang harus aku ketahui tentang Sekar dan keluarganya. Aku merasa ada hal yang disembunyikan dariku.”
Rangga menyesap araknya sebelum tersenyum tipis. “Mungkin kau terlalu dalam memikirkannya. Perempuan seindah Sekar? Tentu saja keluarganya memiliki masa lalu yang rumit. Tetapi apakah itu benar-benar penting? Jika kau menyukainya, mengapa kau harus membiarkan masa lalu menghentikanmu?”
Satrio mengernyit, memikirkan kata-kata sahabatnya. Ada benarnya. Ia telah jatuh dalam pesona Sekar sejak pertemuan pertama mereka, tetapi bayang-bayang sejarah keluarganya justru membuatnya semakin ragu. Ia ingin percaya bahwa Sekar bukan bagian dari permainan yang lebih besar, tetapi bisikan-bisikan di sekitarnya mengatakan hal sebaliknya.
“Jika kau ingin jawaban,” Rangga melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini, “kau harus mencarinya di tempat yang tepat. Jangan hanya bertanya pada mereka yang takut. Ada orang-orang yang tahu lebih banyak, tetapi mereka tidak akan berbicara kecuali kau membuat mereka percaya bahwa kau memang ingin mengetahui kebenaran.”
Satrio menatap Rangga dengan mata penuh selidik. “Dan kau tahu siapa yang bisa membantuku?”
Rangga tersenyum samar sebelum meneguk araknya kembali. “Mungkin. Tapi hati-hati, Satrio. Kadang jawaban yang kau cari justru akan membawamu lebih dekat ke dalam bahaya.”
Di rumah sederhana Citra Anindita, gadis itu masih duduk termenung di ambang pintu, matanya menatap jalanan yang mulai gelap. Pertemuannya dengan Sekar Puspita tadi siang masih menghantui pikirannya. Kata-kata Sekar terngiang di telinganya, membentuk lingkaran ketakutan yang tak mudah diabaikan.
Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa dibandingkan Sekar. Wanita itu memiliki segalanya—kecantikan, kecerdasan, dan pesona yang mampu memikat siapa saja, termasuk Satrio. Tetapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Yang membuatnya takut adalah cara Sekar berbicara, seolah ia telah memastikan jalannya sendiri dan tidak akan membiarkan siapa pun menghalanginya.
Pikirannya terpecah ketika ibunya masuk ke dalam ruangan, membawa nampan berisi teh hangat. “Kau terlihat gelisah, Nak,” kata ibunya dengan lembut. “Ada yang mengganggumu?”
Citra menggeleng pelan, berusaha menahan perasaannya. “Tidak, Ibu. Aku hanya lelah.”
Ibunya duduk di sampingnya, menatap wajah anaknya yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya. “Kau masih memikirkan Satrio?”
Citra terdiam, lalu mengangguk perlahan. Ia tidak bisa berbohong kepada ibunya. Ia telah menyukai Satrio sejak lama, tetapi ia juga tahu bahwa cinta mereka tak pernah memiliki tempat di dunia yang dipenuhi oleh nama-nama besar dan intrik yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya.
“Jika kau memang menyayanginya,” suara ibunya lembut, “maka kau harus percaya bahwa takdir akan menuntunmu ke arah yang seharusnya.”
Citra menggenggam cangkir tehnya erat-erat, hatinya masih dipenuhi oleh keraguan. Takdir? Apakah takdir benar-benar ada? Ataukah semua ini hanya permainan yang telah lama ditentukan tanpa ia sadari?
Langit di atas Batavia yang telah runtuh tidak lagi menunjukkan arah. Matahari tenggelam di balik reruntuhan kabut, dan laut, yang dahulu menjadi cermin bagi cahaya surga, kini hanya genangan gelap yang menelan semua bayangan. Sebuah desa kecil berdiri di ambang kehancuran dan kebangkitan, sunyi namun tak pernah sepenuhnya tidur. Di bawah pohon beringin yang tak lagi rimbun, di tengah tanah yang pernah terbelah oleh kutukan dan darah, seorang lelaki duduk bersila dalam diam.Satrio.Tubuhnya tua, tidak hanya oleh waktu tetapi oleh semua beban yang tak pernah benar-benar bisa dilepaskan. Di dadanya, bekas luka lama—luka dari perang, dari cinta, dari pengkhianatan—masih terasa berdenyut. Namun tidak lagi panas. Tidak lagi memohon untuk diperhatikan. Luka itu kini hanya menjadi tanda, bahwa ia pernah bertarung, dan meski kalah dalam banyak hal, ia tidak pernah sepenuhnya menyer
Langit di atas Batavia pagi itu memerah seperti luka yang baru menganga. Matahari menggeliat di balik kabut yang berat, memancarkan sinar samar yang terpecah di antara retakan awan, menciptakan semburat jingga yang pucat. Angin membawa aroma asin laut bercampur tanah hangus, bisikan masa lalu yang masih melekat di udara, seolah dunia ini belum sepenuhnya sembuh dari luka-lukanya.Satrio berdiri sendiri di tepi pantai, kakinya terbenam dalam pasir basah yang dingin. Tubuhnya tampak renta, punggungnya sedikit membungkuk, matanya kosong menatap cakrawala, tapi di sorotannya ada cahaya redup yang tak sepenuhnya padam—cahaya seseorang yang telah kehilangan banyak, namun tetap memilih bertahan. Di dadanya, liontin lama yang tergantung pada seutas benang lusuh bergoyang pelan, memantulkan cahaya samar dari matahari yang enggan.Di pikirannya, wajah-wajah
Langit sore menggantung rendah di atas pantai, sapuan jingga yang merambat perlahan ke kelabu,seolah dunia sedang bernafas pelan, menahan isak tangis yang tak pernah terucapkan. Ombak menggulung perlahan, menghantam pasir dengan irama yang dalam, membawa aroma asin laut bercampur dengan bau tanah basah dan samar-samar jejak darah yang telah lama mengering. Di tepi pantai, Satrio duduk dengan tubuh agak membungkuk, napasnya pendek-pendek, sementara di sampingnya, anak itu—Ananta—menatap cakrawala yang tak berujung, matanya kosong, dalam, seolah menatap sesuatu yang hanya bisa dilihat olehnya.Hening menggantung di antara mereka, bukan ketenangan yang utuh, melainkan semacam jeda di ambang ledakan, di mana setiap detik menjadi pengingat bahwa apa yang tampak damai hanyalah bayangan yang menyamarkan jurang di bawahnya.Satrio akhirnya memecah kesunyian, suaranya ser
Waktu bergerak seperti bisikan yang menelusup di antara cabang-cabang beringin, mengalir melalui udara yang basah oleh embun, menggoreskan jejak-jejak yang tak kasatmata di kulit dan tulang. Matahari menggantung rendah di langit, memancarkan cahaya keemasan yang tampak palsu di balik bayang-bayang kelam yang menempel di tanah—bayang-bayang yang tak sepenuhnya hilang, meski dunia tampak berjalan maju.Anak itu berdiri di tengah lapangan kecil, tubuhnya tegak, mata menatap jauh ke depan, ke batas-batas yang tak terlihat. Di wajahnya terpahat bekas luka yang tidak kasatmata—luka yang bukan berasal dari benturan fisik, melainkan dari ingatan yang mencengkeram, bisikan yang mengendap dalam gelap, dan mimpi-mimpi yang mengiris kesadaran setiap malam.Tapi di sorot matanya, ada api yang tumbuh, bukan api dendam, melainkan cahaya tekad yang membara.
Langit di atas Batavia pagi itu seperti kanvas kelabu yang menahan tangis. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan asap dupa, dan di antara bisikan daun-daun beringin yang bergoyang perlahan, ada rasa yang menggantung di udara—rasa yang samar antara kelegaan dan kesedihan, antara akhir dan awal.Satrio berdiri di bawah pohon beringin tua, tempat semua jejak darah, kutukan, dan pengkhianatan pernah bertaut. Tubuhnya tegak, tapi matanya basah, sorotnya bukan lagi mata seorang pejuang yang haus balas dendam, melainkan mata seorang pria yang telah lelah bertarung dengan dirinya sendiri. Di tangannya, ada seikat bunga kering yang ia kumpulkan dari makam-makam yang dulu ia kunjungi dalam keheningan penuh penyesalan. Di antara jari-jarinya, kain putih yang penuh bercak darah—sisa warisan yang kini ingin ia kubur bersama semua luka masa lalu.
Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pantai, membalut garis horizon dengan kelabu pucat yang samar-samar, seolah dunia sendiri menahan napas. Laut yang semalam mengamuk kini kembali tenang, namun ketenangan itu seperti wajah palsu yang menutupi luka dalam; ombak hanya berdesir pelan, membasahi pasir yang masih retak, sementara angin membawa bau asin bercampur bau hangus yang samar—sisa dari sesuatu yang hampir saja memecah batas antara dunia dan kegelapan.Satrio berdiri di tepi pantai, telapak kakinya terasa dingin di atas pasir basah. Matanya menatap ombak yang bergulung pelan, namun pikirannya melayang jauh, menembus ruang yang tidak bisa dilihat mata: ruang di mana suara Kalina masih bergema, di mana mata merah itu masih menyala di kelam, menunggu, menuntut, menagih janji darah yang belum lunas.Namun ada sesuatu yang berbeda di dada Sa