Home / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 5 Perang Dingin di Bawah Langit Batavia

Share

Bab 5 Perang Dingin di Bawah Langit Batavia

Author: A. Rani
last update Last Updated: 2025-04-09 00:00:29

Konfrontasi antara Sekar dan Citra Anindita menjadi medan uji yang mengungkap siapa Sekar sebenarnya: bukan sekadar wanita cantik, tetapi pion utama dalam permainan dendam yang berbahaya. Percakapan mereka yang penuh intrik membuka ketegangan baru, sementara di sudut-sudut Batavia, para tokoh bayangan mulai bergerak. Sekar, Rangga, dan pria-pria misterius menyusun rencana di balik peta kota, mempersiapkan Satrio untuk menjadi bidak dalam skenario yang telah lama dirancang.

Sekar tersenyum tipis, senyum yang membuat Citra merasa semakin tidak nyaman. “Citra, jangan bermain sandiwara denganku. Aku tahu lebih banyak daripada yang kau kira.”

Hati Citra berdebar semakin kencang. Ada sesuatu dalam nada bicara Sekar yang membuatnya merasa kecil, seakan dirinya hanyalah bidak kecil dalam permainan besar yang sedang dimainkan oleh wanita di hadapannya ini.

“Aku tidak tahu apakah Satrio menyadari perasaanmu,” Sekar melanjutkan, suaranya kini terdengar lebih lembut, nyaris seperti sebuah bisikan yang penuh dengan ketidakpastian. “Tapi aku ingin kau tahu sesuatu, Citra. Kedekatanku dengannya bukan sesuatu yang bisa kau ganggu. Jika kau peduli padanya, kau sebaiknya menjauh.”

Citra merasa tenggorokannya tercekat. Ia bukanlah seseorang yang biasa berbicara dengan nada menantang, tetapi mendengar kata-kata itu, ada sesuatu dalam dirinya yang memberontak. Sekar mungkin memiliki kecantikan dan status sosial yang lebih tinggi, tetapi ia tidak berhak untuk datang dan mengusirnya begitu saja dari kehidupan Satrio.

Dengan segala keberanian yang tersisa, ia mengangkat wajahnya dan menatap Sekar. “Aku tidak pernah berniat untuk mengganggu hubungan kalian,” katanya dengan nada yang sedikit lebih tegas. “Tapi aku juga tidak akan mengingkari perasaanku sendiri.”

Sekar mengangkat alisnya, tampak sedikit terkejut dengan respons itu. Namun, alih-alih marah atau tersinggung, senyum di wajahnya justru semakin lebar. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, seakan ingin memastikan bahwa Citra benar-benar memahami apa yang akan ia katakan selanjutnya.

“Kau gadis yang baik, Citra,” katanya pelan, hampir seperti bisikan. “Tapi dalam permainan ini, orang baik sering kali berakhir sebagai korban.”

Citra merasa darahnya berdesir dingin. Ada sesuatu dalam cara Sekar berbicara yang membuatnya merinding, seakan wanita itu bukan sekadar memperingatkan, tetapi juga mengancam.

Sebelum ia sempat merespons, Sekar sudah bangkit dari tempat duduknya. Dengan gerakan anggun, ia merapikan selendang yang melingkari bahunya, lalu menatap Citra sekali lagi. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau tahu batasmu,” katanya dengan nada halus. “Jangan terlibat lebih dalam dari yang seharusnya.”

Tanpa menunggu jawaban, Sekar melangkah pergi, meninggalkan Citra yang masih terpaku di tempatnya. Pintu depan tertutup pelan, tetapi suara itu terdengar begitu nyaring di telinga Citra. Ia menatap lantai, merasakan gumpalan emosi yang sulit ia jelaskan.

Ia tahu sejak awal bahwa dirinya bukanlah seseorang yang bisa bersaing dengan Sekar Puspita, tetapi kali ini, ia merasa bahwa yang ia hadapi bukan sekadar perempuan cantik dengan kecerdasan tinggi. Ada sesuatu yang lebih gelap di balik tatapan Sekar—sesuatu yang berbahaya.

Citra sadar bahwa ia harus berhati-hati.

Di tempat lain, di dalam sebuah ruangan yang diterangi oleh lampu minyak yang redup, Rangga Adibrata duduk dengan tubuh santai tetapi matanya penuh perhitungan. Di hadapannya, seorang pria dengan wajah keras dan penuh luka berdiri dengan ekspresi serius.

“Bagaimana perkembangannya?” tanya Rangga sambil menuangkan teh ke dalam cangkir porselen.

“Sejauh ini berjalan sesuai rencana,” jawab pria itu dengan suara berat. “Satrio mulai menggali masa lalu, Sekar telah menemui Citra, dan semua orang mulai memainkan perannya.”

Rangga tersenyum tipis, mengangkat cangkirnya sebelum menyesap isinya dengan santai. “Bagus,” gumamnya. “Semuanya harus bergerak perlahan, jangan terlalu cepat. Aku tidak ingin Satrio menyadari terlalu awal bahwa ia hanya sebuah bidak.”

Pria itu mengangguk. “Apa langkah selanjutnya?”

Rangga meletakkan cangkirnya, lalu menatap pria itu dengan sorot mata dingin. “Pastikan Satrio semakin terjerat dalam keinginannya untuk menemukan kebenaran. Biarkan ia berpikir bahwa ia sedang mengendalikan permainan ini, padahal kita yang mengatur segalanya.”

Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap peta Batavia yang terbuka di atas meja. Jari-jarinya bergerak menyusuri garis-garis jalanan dan bangunan-bangunan penting di kota itu, seolah sedang membaca masa depan yang belum terjadi.

“Dan satu lagi,” katanya, suaranya terdengar lebih pelan, tetapi sarat dengan makna. “Jika saatnya tiba, kita pastikan bahwa Satrio harus memilih: cintanya... atau keluarganya.”

Pria di hadapannya menundukkan kepala. “Akan segera kami atur.”

Rangga tersenyum kecil, lalu menatap ke arah jendela. Di luar sana, Batavia masih hidup dengan segala hiruk-pikuknya, tetapi ia tahu bahwa tidak lama lagi, kota ini akan menjadi saksi dari permainan yang telah ia siapkan sejak lama.

Di tempat lain, Satrio masih berdiri di perpustakaan keluarganya, menatap gulungan kertas yang ada di tangannya. Ia belum tahu bahwa semakin ia mencari kebenaran, semakin ia akan kehilangan segalanya.

Dan di sudut kota Batavia, Sekar Puspita duduk di balik meja kayu, menulis sebuah surat dengan hati-hati. Di sudut bibirnya, sebuah senyum samar terbentuk.

“Permainan ini baru saja dimulai.”

Langit Batavia berwarna keemasan saat mentari mulai turun ke ufuk barat. Jalanan kota yang semula riuh dengan pedagang dan lalu lalang kusir delman kini mulai lengang, menyisakan sisa-sisa percakapan dari mereka yang masih bertahan. Di sebuah kedai kecil di sudut pasar, Satrio duduk diam dengan tangan terlipat di atas meja kayu tua, matanya menatap kosong ke arah cawan teh yang telah mendingin di hadapannya.

Hari ini ia menghabiskan waktu mencari informasi mengenai keluarga Puspita. Ia telah menemui beberapa orang yang masih mengingat kisah lama tentang mereka, tetapi semakin banyak yang ia dengar, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Tidak ada yang mau berbicara terang-terangan. Setiap kali ia menyebut nama ayah Sekar, mereka selalu menghindar atau sekadar berbisik bahwa lebih baik ia tidak mencampuri urusan itu.

Pikirannya masih terjebak dalam kebingungan ketika suara langkah kaki yang familier terdengar mendekat. Satrio mengangkat wajahnya dan melihat Rangga Adibrata berdiri di depannya dengan senyum santai, tangan kirinya menggenggam sebotol arak yang masih tersegel.

“Kau tampak seperti seseorang yang baru saja melihat hantu,” Rangga berujar sambil menarik kursi di seberang Satrio, duduk dengan nyaman seolah tak ada yang lebih menyenangkan selain mengamati kebingungan sahabatnya.

Satrio menghela napas panjang sebelum bersandar di kursinya. “Aku hanya merasa semakin jauh aku mencari, semakin sedikit jawaban yang kudapat.”

Rangga menyandarkan siku di atas meja, menatap sahabatnya dengan mata yang menyelidik. “Kau mencari sesuatu yang orang-orang tak ingin kau temukan, Satrio. Di Batavia, ada rahasia yang lebih baik tetap terkubur.”

“Aku tidak bisa hanya menerima itu, Rangga,” Satrio berkata dengan nada yang lebih dalam. “Ada sesuatu yang harus aku ketahui tentang Sekar dan keluarganya. Aku merasa ada hal yang disembunyikan dariku.”

Rangga menyesap araknya sebelum tersenyum tipis. “Mungkin kau terlalu dalam memikirkannya. Perempuan seindah Sekar? Tentu saja keluarganya memiliki masa lalu yang rumit. Tetapi apakah itu benar-benar penting? Jika kau menyukainya, mengapa kau harus membiarkan masa lalu menghentikanmu?”

Satrio mengernyit, memikirkan kata-kata sahabatnya. Ada benarnya. Ia telah jatuh dalam pesona Sekar sejak pertemuan pertama mereka, tetapi bayang-bayang sejarah keluarganya justru membuatnya semakin ragu. Ia ingin percaya bahwa Sekar bukan bagian dari permainan yang lebih besar, tetapi bisikan-bisikan di sekitarnya mengatakan hal sebaliknya.

“Jika kau ingin jawaban,” Rangga melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini, “kau harus mencarinya di tempat yang tepat. Jangan hanya bertanya pada mereka yang takut. Ada orang-orang yang tahu lebih banyak, tetapi mereka tidak akan berbicara kecuali kau membuat mereka percaya bahwa kau memang ingin mengetahui kebenaran.”

Satrio menatap Rangga dengan mata penuh selidik. “Dan kau tahu siapa yang bisa membantuku?”

Rangga tersenyum samar sebelum meneguk araknya kembali. “Mungkin. Tapi hati-hati, Satrio. Kadang jawaban yang kau cari justru akan membawamu lebih dekat ke dalam bahaya.”

Di rumah sederhana Citra Anindita, gadis itu masih duduk termenung di ambang pintu, matanya menatap jalanan yang mulai gelap. Pertemuannya dengan Sekar Puspita tadi siang masih menghantui pikirannya. Kata-kata Sekar terngiang di telinganya, membentuk lingkaran ketakutan yang tak mudah diabaikan.

Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa dibandingkan Sekar. Wanita itu memiliki segalanya—kecantikan, kecerdasan, dan pesona yang mampu memikat siapa saja, termasuk Satrio. Tetapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Yang membuatnya takut adalah cara Sekar berbicara, seolah ia telah memastikan jalannya sendiri dan tidak akan membiarkan siapa pun menghalanginya.

Pikirannya terpecah ketika ibunya masuk ke dalam ruangan, membawa nampan berisi teh hangat. “Kau terlihat gelisah, Nak,” kata ibunya dengan lembut. “Ada yang mengganggumu?”

Citra menggeleng pelan, berusaha menahan perasaannya. “Tidak, Ibu. Aku hanya lelah.”

Ibunya duduk di sampingnya, menatap wajah anaknya yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya. “Kau masih memikirkan Satrio?”

Citra terdiam, lalu mengangguk perlahan. Ia tidak bisa berbohong kepada ibunya. Ia telah menyukai Satrio sejak lama, tetapi ia juga tahu bahwa cinta mereka tak pernah memiliki tempat di dunia yang dipenuhi oleh nama-nama besar dan intrik yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya.

“Jika kau memang menyayanginya,” suara ibunya lembut, “maka kau harus percaya bahwa takdir akan menuntunmu ke arah yang seharusnya.”

Citra menggenggam cangkir tehnya erat-erat, hatinya masih dipenuhi oleh keraguan. Takdir? Apakah takdir benar-benar ada? Ataukah semua ini hanya permainan yang telah lama ditentukan tanpa ia sadari?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa dalam Cinta    Bab 23 – Janji yang Terucap

    Hujan mengguyur Batavia seperti cambuk, memukul atap-atap rumah, membasahi jalanan berbatu yang penuh genangan darah dan abu. Bau hangus dan logam bercampur dalam udara yang berat, menusuk hidung Satrio hingga membuat napasnya terasa seperti menelan besi panas. Di antara reruntuhan pasar yang hancur, api kecil masih menyala, membisikkan nyanyian kematian yang berbaur dengan tangisan, erangan, dan bisikan yang menggema entah dari mana. Satrio berdiri, tubuhnya lelah, bajunya robek dan basah kuyup, namun matanya menatap tajam ke depan—mata seorang lelaki yang telah kehilangan banyak, namun masih menggenggam janji yang belum ditepati.Di bawah cahaya kilat yang menyambar langit, anak kecil itu berdiri di dekatnya, tubuhnya gemetar, matanya lebar penuh ketakutan. Tangan kecilnya menggenggam ujung baju Satrio, seolah mencari perlindungan di tengah kekacauan yang melanda dunia mereka. Wajah anak

  • Dosa dalam Cinta    Bab 22 – Benteng yang Akan Runtuh

    Angin malam berembus liar di atas atap-atap Batavia, mengantarkan bau anyir darah yang belum sempat mengering, dan bau asap dari api yang membakar kota beberapa malam terakhir. Di dalam sebuah ruangan gelap di gang belakang, suara bisik-bisik berpadu dengan bunyi gesekan kertas peta di atas meja kayu. Lentera kecil menggantung, cahayanya bergoyang diterpa hembusan angin, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di dinding, seakan mengintai dari setiap sudut.Sekar berdiri di ujung meja, tangannya mengepal di pinggir peta, wajahnya setengah terbenam dalam cahaya kuning. Matanya tajam, memindai setiap titik yang telah ditandai dengan tinta merah: gerbang barat benteng, menara jaga, gudang mesiu, dan ruang bawah tanah yang tersembunyi. Suaranya rendah, namun penuh bara, “Kita serang sebelum fajar. Saat mereka lengah. Tidak ada kompromi.” Napasnya terputus-putus, bukan hanya kar

  • Dosa dalam Cinta    Bab 21 – Rencana Mata-Mata

    Malam di Batavia menggantung berat di langit, kelam tanpa bintang, seakan seluruh kota bernafas dalam satu tarikan panjang yang menahan ledakan tak terhindarkan. Di dalam gudang tua yang menjadi markas sementara pemberontak, udara terasa tebal dan panas, meski angin malam meniup celah-celah papan dengan desisan lirih, seperti bisikan rahasia yang menyelinap di telinga-telinga yang cemas.Satrio berdiri di sudut ruangan, punggungnya menempel pada dinding yang dingin dan kasar. Matanya menyapu setiap wajah—pedagang tua dengan sorban lusuh yang terus mengusap keringat di dahinya, Rahman yang duduk gelisah sambil mengetukkan jari-jari di atas tongkat, dan dua pemuda baru yang saling berbisik dengan sorot mata curiga. Tatapan Satrio tajam, seperti elang yang mencium darah di udara. Ia tahu ada yang salah. Sejak pertemuan di Balai Kota, rencana-rencana mereka yang disusun rapi mendadak diketahui pihak kolonial. Seran

  • Dosa dalam Cinta    Bab 20 – Pertemuan di Balai Kota

    Langit Batavia menghitam, awan-awan gelap menggulung seperti tirai neraka yang siap merenggut dunia. Di dalam Balai Kota, udara terasa lebih berat dari baja, seolah ruangan itu menahan napasnya sendiri, menunggu percikan yang akan meledakkan segalanya. Cahaya lentera bergoyang di dinding, menciptakan bayangan-bayangan bergerigi yang menari di wajah-wajah tegang. Satrio berdiri di tengah ruangan, tubuhnya lelah, jiwanya koyak, namun matanya menyala dengan bara yang tak lagi bisa dipadamkan. Di hadapannya, Sekar duduk tegak di kursi tinggi, gaunnya lusuh namun anggun, rambutnya basah oleh keringat dan hujan yang menembus atap, wajahnya keras, dingin, namun retak di sudut-sudutnya—retak yang hanya bisa dilihat oleh seseorang yang pernah mencintainya.Suara langkah kaki terdengar berat di lantai kayu tua, gema dentumnya menggema seperti genderang perang yang menghantam dada. Di sekeliling, wajah-wajah lain menonton

  • Dosa dalam Cinta    Bab 19 – Bayangan Citra

    Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Angin dingin menyelinap melalui celah-celah dinding pondok tua, membawa bisikan-bisikan halus yang seolah berasal dari dunia lain. Di dekat perapian kecil yang nyalanya mulai redup, Satrio duduk membatu, tubuhnya kaku, pandangannya kosong tertuju pada surat yang masih terlipat di tangannya. Api yang tinggal bara memantulkan kilatan samar di wajahnya yang pucat, mempertegas garis-garis lelah dan guratan luka batin yang semakin dalam. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi karena beban yang menggantung di dadanya semakin berat, menghimpit napasnya seperti rantai besi yang tak kasatmata.Pikiran Satrio berputar liar. Bayangan Citra begitu nyata di matanya—gaun putihnya yang berkibar, senyum kecil yang dulu menenangkan, dan tatapan yang kini seperti menuntut, menagih janji yang belum ditepati. Dalam kabut pikirannya, suara itu kembali t

  • Dosa dalam Cinta    Bab 18 – Surat Wasiat Nyai Rahayu

    Di dalam keheningan rumah tua yang seakan menahan napas bersama Satrio, bunyi hujan di atap terdengar seperti detak jam yang memaksa waktu berjalan lambat. Dinding kayu yang lembap memantulkan bayangan tubuhnya yang gemetar, seolah menjadi saksi bisu dari badai yang bergemuruh dalam dadanya. Tetesan minyak dari lampu lentera menguap di udara, menciptakan aroma gosong samar yang bercampur dengan debu tua dan serpihan masa lalu. Satrio duduk membungkuk, tangan-tangannya mengepal di atas meja, mencengkeram surat itu seolah kertas itu adalah jangkar terakhir yang menahannya dari jatuh ke jurang gila. Setiap kata dalam surat itu menggerogoti pikirannya seperti bisikan setan: “Sekar adalah warisan dari darah kita... dia membawa luka dan kutukan... dia harus memilih: membakar dunia atau menyelamatkannya.”Kata-kata itu berputar di kepalanya, membentuk pusa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status