Di balik pohon, Sekar menyaksikan semuanya, matanya membesar, tubuhnya tertahan oleh ketakutan yang mendalam. Dalam hatinya, rasa bersalah semakin menekan, dan dalam pikirannya, bisikan yang sama kini menghantuinya: “Kau… juga akan memilih… darah atau pengampunan… balas dendam atau kehancuran…” Suara itu seperti gema yang menggema di dalam otaknya, mengguncang kesadarannya.
Tiba-tiba, tanah di bawah kaki Satrio bergetar, retakan kecil menjalar dengan cepat, menciptakan pola yang bercahaya merah samar, seperti urat-urat panas di bawah kulit bumi. Cahaya itu bergerak seperti hidup, melingkar, membentuk simbol aneh yang seolah memancar panas. Sekar mundur satu langkah, wajahnya pucat, sementara Tan Ming menarik Satrio dengan paksa, berteriak, “Satrio, pergi!” Namun Satrio terpaku, matanya terbelalak pada simbol itu, dan tiba-tiba, suara perempuan terdengar dari dalam ke
Malam terasa semakin pekat, seolah kegelapan menebal dengan niat untuk menelannya bulat-bulat. Di luar pondok, angin menderu membawa aroma tanah basah dan anyir laut, melintasi celah-celah dinding kayu reyot, menciptakan suara desis yang mirip desahan makhluk yang menunggu di balik gelap. Cahaya lampu minyak di meja bergoyang perlahan, cahayanya melemparkan bayangan Satrio ke dinding, memperpanjang siluetnya menjadi sosok bengkok yang menggigil, seakan menari dalam perlawanan yang sia-sia.Satrio duduk terpaku di tepi ranjang, surat di tangannya bergetar halus. Mata merahnya menatap kata-kata yang sudah pudar di kertas itu, namun setiap goresan tinta terasa membakar, menorehkan luka baru di daging hatinya yang sudah koyak. Ia membaca ulang kalimat-kalimat itu dengan suara hampir tak terdengar, bibirnya gemetar, napasnya pendek: ”Satrio, jika kau membaca ini, aku mungkin suda
Malam itu menebarkan dingin yang menusuk, bukan hanya di kulit, tetapi juga menembus ke tulang dan menggigit jiwa. Langit menggantung rendah, kelabu, tanpa bintang, seolah Batavia ditelan oleh sesuatu yang lebih besar dari kegelapan biasa—sesuatu yang berbisik di antara celah-celah dinding tua, di sela-sela daun jendela yang berderik, dan di lorong-lorong yang berkelok di bawah kota. Angin malam bergerak seperti roh yang mengintai, membawa desas-desus yang merayap ke telinga Satrio, membisikkan nama yang menggema di dalam hatinya seperti mantra yang tidak bisa dihindari: Sekar.Di warung kopi remang, di sudut gang sempit, di pasar yang basah oleh hujan sisa, nama itu dibisikkan dengan suara serak, seolah setiap kata adalah peluru yang bisa menghancurkan siapa saja yang mendengarnya. Mereka berkata Sekar adalah pemimpin bayangan—perempuan dengan tatapan dingin dan tangan yang tak ragu berlumuran darah. Mer
Ruangan itu sunyi, namun keheningannya bukanlah ketenangan, melainkan ruang yang dipenuhi dengan dengung ketakutan yang menggantung di udara, seperti napas dunia yang tertahan, menunggu untuk meledak. Bau kayu tua, minyak tanah, dan debu yang lembap memenuhi paru-paru, menyesakkan dada. Cahaya lentera menggantung lemah, cahayanya berkedip-kedip, menciptakan bayangan panjang yang merayap di dinding seperti tangan-tangan dari masa lalu yang mencoba meraih, mencengkeram, mencabik mereka yang cukup bodoh untuk mencari kebenaran di tempat ini.Satrio berdiri kaku di depan meja, tubuhnya menegang, matanya terpaku pada peta yang terbentang. Setiap garis, setiap simbol di atasnya seperti urat nadi yang terhubung langsung ke dadanya, mengalirkan sesuatu yang lebih dari sekadar informasi—ini adalah jejak luka yang diwariskan turun-temurun, luka yang kini berdenyut di bawah kulitnya sendiri. Tangannya gemetar ketika menco
Lorong itu terasa seperti liang kubur yang hidup, menganga di perut kota tua Batavia, menelan Satrio ke dalam perut bumi dengan bisikan dingin yang menggerayangi kulit. Setiap langkah kakinya menimbulkan suara gemeretak di lantai batu yang lembap, sementara dinding-dinding lorong yang basah dan berlumut menciumkan bau logam tua dan tanah yang membusuk, bercampur dengan aroma garam laut yang terbawa angin dari kejauhan. Di langit-langit lorong, air merembes dan jatuh dalam tetes-tetes lambat yang terdengar seperti detak jam yang menandai waktu yang terus habis.Napas Satrio berat, terengah, dadanya naik turun dalam upaya menahan gemuruh ketakutan yang mendesak di dalam dada. Keringat dingin bercampur dengan sisa hujan di kulitnya, dan meskipun dingin menusuk, tubuhnya terasa panas, seakan darahnya mendidih oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Dalam benaknya, wajah Citra muncul—matanya penuh luka
Malam di Batavia menjelma menjadi ruang gelap yang menyesakkan, seperti perut binatang raksasa yang mendesah, menelan siapa saja yang melangkah terlalu dalam ke perut kota tua ini. Langit hitam menggantung berat, menutupi bulan dengan selimut kabut yang menebal, dan hanya sesekali kilatan petir yang menyambar jauh di ufuk, menyibak kegelapan cukup lama untuk menunjukkan wajah-wajah yang tak ingin dilihat siapa pun. Bau amis garam bercampur dengan aroma besi tua dan bau tanah basah, mengisi udara dengan sesuatu yang lebih berat daripada sekadar uap malam—sesuatu yang terasa seperti napas maut, mendesis di telinga setiap orang yang cukup berani menelusuri jalan-jalan kecil yang sunyi ini.Satrio berjalan perlahan di gang sempit itu, napasnya berat, kemejanya basah oleh keringat dingin yang bercampur dengan hujan tipis yang turun sejak senja. Matanya menyipit, matanya tajam menelisik setiap bayangan yang bergerak
Udara di pelabuhan terasa berat, dipenuhi kabut asin yang menggantung rendah, membelai kulit seperti bisikan dingin yang datang dari laut. Bau amis ikan bercampur dengan aroma besi karat dan kayu lapuk, menciptakan atmosfer yang membuat dada terasa sesak, seolah setiap napas yang dihirup mengandung sisa-sisa masa lalu yang membusuk. Suara gemeretak kayu, teriakan mandor, dentang besi, dan lolongan buruh berpadu menjadi simfoni yang keras dan kasar, menggema di bawah langit Batavia yang mendung, menggantung seperti ancaman yang tak diucapkan.Satrio berdiri di pinggir dermaga, tubuhnya kaku, matanya merah dan sembab, menyapu kerumunan dengan sorot yang liar—mencari, menelusuri, berharap, atau mungkin takut akan apa yang akan ia temukan. Setiap langkah terasa seperti beban yang semakin berat, seolah setiap inci tanah yang ia pijak menariknya lebih dalam ke dalam kubangan takdir yang sudah lama menunggu untuk mene