Home / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 61 – Citra dalam Lingkaran Api

Share

Bab 61 – Citra dalam Lingkaran Api

Author: A. Rani
last update Last Updated: 2025-07-06 10:00:03

Satrio terhuyung, tubuhnya gemetar hebat, mulutnya terbuka tanpa suara, matanya membelalak seolah menyaksikan mimpi buruk yang menjadi nyata. Dalam pikirannya, bayangan-bayangan berkelebat liar—Citra yang terbaring lemah dengan mata kosong, Sekar yang berteriak dalam kegelapan, dan wajahnya sendiri, pecah, terbelah, menghilang dalam pusaran api merah. Tan Ming mengguncang Satrio keras, suaranya penuh teriakan dan luka, “Satrio! Jangan biarkan dirimu terseret! Kau harus tetap sadar! Dengarkan aku!”

Namun Satrio seperti dihipnotis, matanya terpaku pada mata anak itu yang menyala seperti bara. Anak itu mendekat, langkahnya kecil namun setiap jejak menciptakan riak di tanah, suaranya semakin dingin, menusuk, “Pilihlah… siapa yang akan menjadi tumbal… siapa yang akan kau selamatkan… dan siapa yang akan kau biarkan terbakar bersama dunia ini…”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Dosa dalam Cinta    Bab 32 – Duel di Antara Bara

    Angin malam berhembus membawa serpihan abu dan bara, menggiring aroma hangus dan darah yang menyesakkan ke dalam setiap tarikan napas. Di bawah langit Batavia yang koyak oleh api dan retakan merah yang membelah awan, Satrio dan Sekar berdiri berhadapan di tengah-tengah medan yang terbakar—dua bayangan yang terperangkap di antara puing-puing mimpi dan kenyataan yang retak. Mata mereka terkunci, menembus kabut panas dan rasa sakit, saling membaca luka-luka yang selama ini terpendam, seolah dunia hanya menyisakan mereka berdua.Wajah Sekar basah oleh keringat dan air mata yang bercampur abu, sorot matanya bagaikan belati tumpul yang kehilangan arah. Nafasnya memburu, dada naik-turun, tangan yang memegang belati bergetar, seolah menahan gemuruh di dalam dada yang nyaris pecah. Sementara Satrio, dengan luka terbuka di pelipis dan darah yang mengalir dari bibirnya, berdiri terhuyung namun tetap

  • Dosa dalam Cinta    Bab 31 – Tangis di Tengah Api

    Malam di Batavia terasa seperti neraka yang turun ke bumi. Api menari liar di sepanjang jalanan, menjilat dinding-dinding bangunan yang roboh, memakan kayu dan batu dengan rakus, sementara langit di atas mereka retak oleh semburan cahaya merah yang seperti nadi raksasa berdenyut, memompa kehancuran ke seluruh penjuru kota. Angin malam membawa bau darah, asap, dan daging terbakar, menciptakan simfoni penderitaan yang merobek setiap hati yang mendengarnya.Di tengah amukan itu, Sekar berdiri membatu. Rambutnya basah oleh keringat dan debu, menempel di wajah yang berkilau oleh air mata yang tak ia sadari jatuh. Gaunnya yang koyak berkibar tertiup angin panas, dan di matanya, bayangan-bayangan masa lalu berganti cepat seperti bayang-bayang api di dinding: tawa Citra, senyuman Satrio, anak kecil yang memanggil “Ayah…” dengan suara yang mengiris jiwanya. Semua itu berputar, membakar

  • Dosa dalam Cinta    Bab 30 – Tumbal Masa Lalu

    Malam itu, langit Batavia menghitam, seolah langit pun ikut berduka, merunduk dalam gelap yang pekat. Di bawah langit yang bergemuruh, di antara api yang membara dan debu yang menggantung di udara, Satrio terhuyung, darah mengalir dari luka di pelipisnya, matanya nanar mencari jalan keluar dari kekacauan yang menelannya bulat-bulat. Langkahnya goyah di atas tanah yang retak, retakan yang berdenyut seperti nadi kota yang sekarat, dan di kejauhan, suara tangisan anak kecil bergema, memecah ruang, menyayat dada, mengguncang dasar jiwanya.“Jangan berhenti, Satrio… Kau harus pergi!” suara serak itu datang dari belakang, dan Satrio menoleh dengan sisa tenaganya, hanya untuk melihat Tan Ming berdiri tegak di antara reruntuhan, tongkat kayu di tangannya bergetar, matanya tajam seperti pisau yang mengiris malam. Di sekeliling mereka, makhluk-makhlu

  • Dosa dalam Cinta    Bab 29 – Rahasia di Balik Retakan

    Langit Batavia malam itu bukan sekadar langit—ia menjelma menjadi kanvas merah gelap, penuh gurat api yang meliuk dan memecah udara. Cahaya merah menyembur dari retakan-retakan di tanah seperti akar-akar neraka yang mengoyak bumi, menjalar cepat ke segala arah. Angin panas membawa bau logam terbakar, mencampur aroma darah dan arang, memekakkan telinga dengan bisikan yang bukan hanya suara, tapi juga rasa: rasa getir, rasa kehilangan, rasa keterikatan yang tak bisa dihindari. Di tengah pemandangan itu, Satrio berdiri terhuyung, tubuhnya basah oleh keringat dan darah, napasnya terputus-putus. Matanya nanar, menatap celah di tanah yang menganga, seolah lubang itu bukan sekadar jurang, tapi cermin gelap yang menatap balik ke dalam jiwanya.“Ini... bukan hanya pertempuran,” gumam Satrio, suara seraknya nyaris tenggelam oleh deru api dan dentuman

  • Dosa dalam Cinta    Bab 28 – Jembatan yang Terbakar

    Asap tebal mengepul di langit Batavia, membentuk kabut hitam yang menggantung berat, seperti kutukan yang turun dari langit. Di bawahnya, jembatan utama yang menghubungkan pusat kota dengan pelabuhan terbakar hebat, kobaran api melahap kayu tua yang sudah rapuh, menciptakan suara letupan yang menggetarkan tanah. Bau kayu hangus dan besi terbakar memenuhi udara, menusuk hidung dengan tajam, dan di antara api yang berkobar, siluet-siluet tubuh tergeletak, terinjak-injak dalam kekacauan yang menggila.Satrio terhuyung di tepi jembatan, darah mengalir dari luka di pelipis dan pundaknya, napasnya berat, matanya kabur oleh asap dan rasa sakit yang mendesak tulang. Dunia di sekitarnya berputar, terdistorsi oleh jeritan, dentuman senjata, dan suara runtuhnya bangunan. Di balik tirai asap, samar, ia melihat Sekar berdiri di kejauhan, di atas reruntuhan, gaunnya compang-camping, wajahnya penuh luka dan de

  • Dosa dalam Cinta    Bab 27 – Pertemuan di Rumah Tua

    Rumah tua itu berdiri di ujung gang sempit Batavia, dinding-dinding kayunya retak dimakan waktu, jendela-jendela kaca pecah menciptakan bayangan tajam di lantai yang berdebu. Aroma kayu lapuk bercampur bau tanah basah menyeruak di udara, dan di sudut-sudut ruangan, cahaya lentera yang redup menciptakan bayang-bayang panjang, seolah roh-roh masa lalu mengintai di balik gelapnya sudut-sudut rumah itu. Di tengah ruangan, sebuah meja bulat tua dipenuhi peta yang lecek, catatan-catatan lusuh, dan gelas-gelas yang tak disentuh. Di sanalah Satrio duduk, tubuhnya lelah, matanya merah karena amarah yang ditekan, dan wajahnya tertutup keringat dan debu. Di seberangnya, Sekar berdiri dengan kedua tangan mengepal, dagunya terangkat, namun matanya berkilat, penuh luka yang belum sembuh.Di sekeliling mereka, beberapa tokoh kunci hadir: Parjo dengan napas memburu, wajahnya penuh curiga; Rahman yang matanya te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status