Langit di atas Kota Tua memerah oleh kobaran api dan asap mesiu yang menggantung pekat di udara. Jerit pertempuran memekik, denting baja beradu dengan dentuman senjata, menciptakan simfoni kekacauan yang menelan suara manusia. Jalanan dipenuhi bayangan-bayangan bergerak cepat—pasukan Rangga menerobos barikade, menyerbu dengan sorak sorai liar, sementara tentara VOC terpencar, mundur dengan wajah pucat dan darah membekas di dinding-dinding benteng tua. Bau kematian menyelimuti udara, memukul hidung dengan getir, dan di langit, burung-burung hitam beterbangan liar, seolah menari di atas dunia yang runtuh.
Di jantung Benteng VOC, Satrio terperangkap di dalam ruang bawah tanah, napasnya memburu, tubuhnya berdebu dan basah oleh keringat dan darah. Suara ledakan bergema dari atas, mengguncang langit-langit batu yang retak. Debu berjatuhan, menciptakan kabut kelabu yang menyesakkan. Bau mesiu terbakar menusuk hidung, d
Malam menjerat desa dengan cengkeraman sunyi yang pekat, seolah waktu berhenti di bawah selimut kegelapan yang berat dan lembab. Angin bertiup rendah, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan jejak kematian dan arang yang seolah belum tuntas terbakar. Di bawah langit yang kelabu tanpa bintang, rumah kecil Satrio berdiri bagai perahu rapuh di tengah lautan gelap, setiap sudutnya diterpa bayangan-bayangan yang bergerak seperti bisikan.Satrio terbaring di ranjang bambu tua yang berderit pelan, matanya terbuka, menatap atap anyaman daun kelapa yang remang. Keringat dingin membasahi tubuhnya meskipun udara dingin menggigit kulit, dan napasnya memburu seperti seseorang yang baru saja muncul dari air dalam setelah hampir tenggelam. Ia menutup mata sejenak, berharap gelap akan membawa ketenangan, tapi yang datang justru ledakan gambar-gambar yang menghantam pikirannya dengan kekuatan yang meremu
Pagi itu datang dengan tenang, namun bukan ketenangan yang menyejukkan, melainkan ketenangan yang terasa seperti permukaan danau sebelum badai. Langit di atas desa memancarkan rona kelabu, awan menggantung berat, dan embun masih menempel di pucuk-pucuk daun beringin tua yang berdiri kaku di tepi jalan setapak. Di udara, aroma tanah basah bercampur dengan wangi samar bunga liar, seolah alam mencoba menghapus jejak-jejak luka semalam. Namun, bagi Satrio, udara itu tetap membawa bayangan kelam—bayangan yang tidak akan pergi begitu saja, meski ia telah memilih jalan baru.Satrio berdiri di depan sebuah bangunan kecil yang dulunya bekas lumbung, kini direnovasi menjadi ruang belajar sederhana. Papan tulis lusuh tergantung di dinding, kursi-kursi kayu kasar tersusun rapi, dan di sudut ruangan, tumpukan buku-buku tua yang diwariskan dari rumah-rumah penduduk menjadi saksi bisu tentang usaha berta
Langit di atas Batavia menyapu kelabu yang berat, mendung menggantung rendah seperti tangan raksasa yang siap merenggut setiap jiwa yang tersesat di bawahnya. Hujan mengguyur dengan kekuatan yang tampak seperti murka alam, membasahi jalan-jalan tanah yang sudah berubah menjadi lumpur pekat. Di antara gemuruh hujan itu, langkah Satrio terdengar berat, menjejak bumi dengan kesadaran baru—setiap derapnya bukan hanya sekadar langkah, tetapi beban sejarah, luka, dan pilihan yang belum juga tuntas. Setiap tetes hujan yang membasahi wajahnya seakan membawa bisikan masa lalu, suara-suara yang masih membayang dalam pikirannya: panggilan lirih Citra yang terhenti di antara bara api, tangis Sekar yang menggema di lorong-lorong malam, dan suara anak kecil itu—”Ayah... jangan biarkan aku hilang...”—yang mengiris lebih dalam dari semua luka fisik yang pernah ia rasakan. Satrio berdiri di tep
Hujan turun tanpa jeda, menciptakan suara yang monoton, seperti nyanyian duka yang mengiringi langkah-langkah Satrio di tanah basah yang mulai menyerap bau busuk kematian dan debu kenangan. Udara malam begitu berat, mengandung aroma tanah yang koyak, darah yang mengering, dan jejak keputusasaan yang tak bisa dihapuskan meski oleh ribuan hujan. Pohon beringin tua berdiri muram di belakangnya, menjadi bayangan yang mengawasi dalam diam, seakan mengingatkan bahwa waktu terus bergerak, namun luka yang tertinggal di dada manusia terkadang menetap lebih lama daripada umur bumi itu sendiri.Satrio berjalan dengan langkah yang gontai, tubuhnya lunglai seperti layangan yang kehilangan benang. Helaan napasnya pendek-pendek, dada naik-turun dengan ketukan yang tak beraturan, dan di matanya, terbaca jelas kelelahan yang tak hanya fisik, tetapi juga kelelahan jiwa yang sudah nyaris remuk. Bayangan Citra munc
Kabut tipis menyelimuti tanah basah di kaki pohon beringin tua, menciptakan suasana yang sunyi dan mencekam. Akar-akar menggantung seperti tangan-tangan masa lalu yang mencoba meraih kembali sesuatu yang telah hilang. Di bawah naungan pohon yang telah menjadi saksi bisu sejarah panjang desa itu, Satrio berdiri dengan napas tertahan, menanti sosok yang telah lama dianggapnya hilang.Dari balik kabut, muncul siluet seorang pria tua dengan langkah tertatih. Wajahnya dipenuhi keriput, namun matanya masih memancarkan cahaya kebijaksanaan. Tan Ming, yang selama ini diyakini telah tiada, kini berdiri di hadapan Satrio, membawa serta beban masa lalu yang berat.“Tan Ming...” suara Satrio nyaris tak terdengar.Tan Ming mengangguk pelan, lalu mengeluarkan sebuah gul
Hujan terus mengguyur Batavia yang kini tak lebih dari rangkaian arang dan abu. Angin malam menjerit, membawa serpihan kayu hangus dan sisa-sisa kain yang tercabik, berputar-putar di udara seperti roh gelap yang enggan pergi. Satrio berdiri di tengah reruntuhan, napasnya berat, matanya merah, wajahnya dipenuhi luka dan debu yang melekat basah oleh keringat dan air hujan. Di bawah kakinya, batu-batu runtuh, serpihan besi bengkok, dan di antara semua itu—jejak kecil kaki yang basah, samar, seperti jejak bayangan yang melangkah ringan namun pasti menuju kegelapan.Suara itu—suara anak kecil—masih terngiang di kepalanya, menggema seperti bisikan yang tak ingin hilang: "Ayah... aku masih di sini..."Satrio mengepalkan tangan, menggigil, menatap retakan tanah yang menganga, seperti luka yang tak akan pernah sembuh. Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak, seolah dunia m