LOGINKotak putih itu adalah kotak P3K. Tangan Lyra terhenti, ia menatap kotak itu dengan tatapan kosong.
Perlahan, Lyra menurunkan pandangan ke kakinya. Sepatu yang tadi ia kenakan kembali ia lepaskan, dan barulah ia menyadari rasa perih yang sejak tadi ditahannya. Pergelangan kakinya lecet, sementara lututnya memerah dengan sedikit darah kering akibat dorongan keras ayahnya tadi. Jantung Lyra berdegup aneh. Ada rasa hangat yang muncul dalam dadanya. Kotak P3K itu pasti bukanlah kebetulan, Lyra yang sejak tadi tak menyadari luka itu justru Neilson yang lebih menyadarinya. Lelaki yang hampir tidak mengenalnya ternyata cukup jeli untuk memperhatikan luka kecil di tubuhnya. Tangannya gemetar saat membuka kotak itu. Ia mengeluarkan kasa steril, kapas, dan obat antiseptik. “Dia memperhatikan aku?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Mata Lyra terasa panas, tetapi ia buru-buru menggeleng, menahan air mata agar tidak jatuh. Dengan pelan, ia membersihkan lukanya sendiri. Ia mendesis kecil ketika merasakan perih saat mengoleskan antiseptik. Saat akhirnya selesai, Lyra menutup kembali kotak itu dengan hati-hati, seolah benda itu adalah sesuatu yang berharga untuknya. Bibirnya mengulas senyum samar, merasa bersyukur untuk kebaikan kecil yang bahkan tidak diucapkan dengan kata-kata itu. Lyra melangkah keluar dari ruang ganti dengan hati berdebar. Gaun biru pastel yang diberikan Neilson membuat dirinya tampak berbeda dari biasanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit percaya diri dengan penampilannya. Namun, begitu matanya menyapu ruangan, kursi tempat Neilson duduk tadi kini sudah kosong. Lyra berhenti sejenak, kebingungan. Meja yang tadi penuh hidangan mewah sudah hampir dirapikan oleh pelayan, sementara sosok lelaki itu tak terlihat di mana pun. “Dia pergi ... begitu saja?” bisik Lyra, nyaris tidak percaya. Ada sesuatu yang menusuk dadanya. Bukan karena ia ditinggalkan, melainkan karena ia belum sempat mengucapkan terima kasih pada lelaki itu. Neilson menawarkan kontrak yang menguntungkan, mentraktirnya makan, memberinya pakaian, bahkan secara diam-diam memperhatikan lukanya. Tanpa pikir panjang, Lyra meraih tasnya dan berlari kecil keluar restoran. Napasnya terengah saat matanya menyapu sekeliling, mencari sosok Neilson. Ia hanya sempat melihat punggung tegap dengan setelan hitam yang sedang melangkah menuju pintu keluar restoran. Lyra berlari lebih cepat, seakan takut kehilangan kesempatan untuk mengucapkan terima kasih secara langsung. Namun, Neilson sudah masuk ke dalam mobil dan langsung mengendarai mobil meninggalkan parkiran. “Neilson!” panggil Lyra spontan, meski suaranya tenggelam oleh riuhnya orang-orang yang lalu lalang. Lyra berlari sekuat tenaga, sambil terus memanggil nama Neilson, tetapi lelaki itu seakan tidak mendengar sehingga mobilnya terus melaju meninggalkan restoran. Lyra berhenti di tepi jalan, menatap mobil Neilson yang semakin menjauh. Meninggalkan dirinya yang belum sempat menyampaikan rasa terima kasihnya atas kebaikan lelaki itu. _____ Keesokan harinya, suasana di kediaman Fernando tampak berbeda. Johan tersenyum puas, matanya berbinar saat melihat Lyra yang sedang membereskan beberapa barangnya. Ia sudah mendapat kabar dari Alexander bahwa Lyra dan Neilson sudah bertemu dan berencana untuk menikah hari ini. Lyra tampak tenang, tetapi tangannya cekatan menata pakaian dan barang-barang seadanya, siap meninggalkan rumah yang selama ini tak memberinya kebebasan. Lyra tak membawa banyak barang, hanya beberapa pakaian, buku pelajaran, dan benda-benda kecil yang ia anggap penting. Selama tinggal di kediaman Fernando, ia tak pernah mendapatkan perhatian atau hadiah dari ayahnya. Semua fasilitas yang ada murni dibeli oleh uang hasil dari kerja paruh waktunya. Kini, dengan sedikit barang itu, Lyra bersiap keluar dari kediaman Fernando. Lyra keluar dari pintu utama, pandangannya menangkap sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman rumah. Seorang pria mengenakan jas keluar dari mobil kemudian membuka pintu dan tersenyum sopan, dia adalah pria yang ia lihat bersama Neilson semalam. “Selamat pagi, Nona Lyra. Saya belum sempat memperkenalkan diri semalam. Nama saya Mark, saya asisten Tuan Neilson. Saya akan mengantar Anda ke kantor catatan sipil. Tuan Neilson sudah menunggu di sana untuk mengurus surat nikah,” jelasnya dengan suara tenang. Lyra mengangguk, masih sedikit tak percaya dengan situasi ini. Ia menyerahkan kopernya pada Mark dan menaiki mobil dengan gugup. Mark menutup pintu mobil, dan kendaraan itu perlahan melaju meninggalkan halaman, membawa Lyra ke babak baru dalam hidupnya. Setelah sampai di kantor dan menyelesaikan urusan surat-surat pernikahan, Neilson menatap Lyra dengan ekspresi datar kemudian membawa gadis itu keluar dari kantor catatan sipil. Di luar, mobil mewah terparkir menunggu mereka. Neilson memilih mengendarai mobil itu sendiri menuju kediamannya. Perjalanan ke rumah baru itu berlangsung hening, tak ada percakapan diantara mereka, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Lyra menatap jendela, pikirannya campur aduk antara gugup dan cemas. Ia mencuri pandang ke arah Neilson yang terlihat fokus menyetir, gadis itu tak percaya bahwa sekarang dirinya telah resmi menjadi istri dari lelaki itu, meski hanya sebagai istri di atas kertas. Ketika mobil berhenti di depan rumah yang akan menjadi tempat tinggal mereka, Lyra tak bisa menahan decak kagumnya. Rumah itu sangat luas dan megah, dengan taman yang terawat rapi dan arsitektur bangunannya terlihat modern dan elegan. Lyra melangkah masuk ke rumah megah itu dengan mata penuh kekaguman. Ruang tamu luas dengan lantai marmer berkilau dan perabotan mahal membuatnya terpesona, seolah memasuki dunia yang sama sekali berbeda dari rumah ayahnya. Namun, keheningan yang menyelimuti ruangan membuatnya menyadari tidak ada seorang pun pelayan atau penghuni lain yang berada di ruangan itu. Neilson berdiri di dekat pintu, menatapnya dengan ekspresi dingin. “Rumah ini akan menjadi tempat tinggal bersama,” katanya singkat, tanpa tersenyum. Lyra berusaha mengatur napasnya. "B–baiklah." Neilson menatap Lyra dengan tatapan serius. “Asisten rumah tangga hanya akan datang untuk membersihkan ketika kita tidak di rumah, dan mereka pulang setiap sore. Jadi, rumah ini hanya berisi kita berdua.” Lyra menelan ludah gugup, menyadari betapa rahasianya pernikahan mereka akan dijaga. Ia merasa kagum dengan kemewahan yang mengelilinginya. Namun, kenyataan bahwa hanya ada mereka berdua di rumah itu membuat hatinya berdebar tak karuan. Neilson menuntun Lyra menuju kamar yang akan menjadi ruang pribadinya. Lyra melangkah masuk dan mulai membereskan barang-barangnya, menata pakaian dan beberapa buku pelajaran dengan hati-hati. Saat ia selesai dan membuka pintu kamar untuk keluar, rumah terasa sunyi, Neilson sudah meninggalkannya seorang diri di rumah itu. Keheningan itu membuat Lyra menahan napas sejenak, kemudian melangkah ke dapur dan terkejut melihat semua bahan makanan telah tersedia di dalam kulkas. Lyra memutuskan untuk menyiapkan bekal untuk dibawa ke kampus hari ini. Meski pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang pernikahan kontrak yang baru dijalani, ia bertekad untuk tetap berangkat ke kampus, tak ingin membolos demi mempertahankan beasiswanya. Panci di atas kompor mulai mengeluarkan aroma sedap. Suara dering ponsel membuat Lyra tersentak kecil di tengah kesibukannya mengiris sayuran. Ia buru-buru mengelap tangannya di celemek dan melirik layar. Nama sahabatnya, Wina terpampang jelas di layar ponsel. Dengan gerakan cepat, Lyra menggeser ke arah tombol hijau, kemudian menaruh ponsel di dekat telinga sambil menjepitnya dengan bahu agar kedua tangannya tetap leluasa. Suara dari seberang terdengar riuh penuh semangat, hampir membuat Lyra terlonjak. “Lyra! Aku punya kabar bahagia!” seru Wina begitu sambungan tersambung, nadanya begitu heboh seolah tak bisa menahan diri. Lyra mengernyit sambil tetap sibuk memotong sayuran. “Kabar bahagia apa sih, sampai teriak-teriak gitu?”Lyra menutup pintu rumahnya dengan sedikit terburu-buru. Ia berlari kecil menuju taksi yang sudah menunggunya di depan gerbang. Hatinya berdebar penuh semangat, masih terbawa oleh kabar bahagia yang disampaikan Wina beberapa menit lalu. “Mr. Neil ... jadi dosen di kampus?” gumamnya, nyaris tak percaya. Senyum kecil merekah di wajah Lyra, matanya berbinar penuh antusiasme. Desainer yang selama ini hanya bisa Lyra kagumi lewat karya-karyanya, kini akan menjadi dosen barunya dan berdiri di depan kelasnya. Hari ini Neil, desainer favoritenya akan mengajar untuk pertama kalinya. Dan Lyra tak ingin melewatkan satu detik pun momen itu. Ia merapatkan tas di pangkuannya, pandangan matanya menatap keluar jendela taksi dengan penuh harap, seolah dunia tiba-tiba menghadiahkannya sebuah keberuntungan besar. Meskipun pikirannya masih melayang pada pernikahan kontrak yang baru saja dijalaninya, kini semangatnya kembali membuncah. Kampusnya menanti, begitu juga sosok yang diam-diam selalu men
Kotak putih itu adalah kotak P3K. Tangan Lyra terhenti, ia menatap kotak itu dengan tatapan kosong. Perlahan, Lyra menurunkan pandangan ke kakinya. Sepatu yang tadi ia kenakan kembali ia lepaskan, dan barulah ia menyadari rasa perih yang sejak tadi ditahannya. Pergelangan kakinya lecet, sementara lututnya memerah dengan sedikit darah kering akibat dorongan keras ayahnya tadi. Jantung Lyra berdegup aneh. Ada rasa hangat yang muncul dalam dadanya. Kotak P3K itu pasti bukanlah kebetulan, Lyra yang sejak tadi tak menyadari luka itu justru Neilson yang lebih menyadarinya. Lelaki yang hampir tidak mengenalnya ternyata cukup jeli untuk memperhatikan luka kecil di tubuhnya. Tangannya gemetar saat membuka kotak itu. Ia mengeluarkan kasa steril, kapas, dan obat antiseptik. “Dia memperhatikan aku?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Mata Lyra terasa panas, tetapi ia buru-buru menggeleng, menahan air mata agar tidak jatuh. Dengan pelan, ia membersihkan lukanya sendiri. Ia mendesis kecil ke
Lyra membalik halaman demi halaman dengan tangan gemetar. Semakin ia membaca, semakin hatinya tak percaya. Di sana tertulis dengan jelas bahwa setelah pernikahan, keduanya diwajibkan tinggal dalam satu rumah. Namun, dilarang melewati batas dan tidak boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing. Bahkan kamar tidur mereka akan terpisah. Lyra menelan ludah, melirik Neilson yang terlihat duduk tenang di hadapannya, wajahnya dingin tanpa sedikitpun senyuman. Neilson kemudian mengeluarkan sebuah kartu hitam dari sakunya dan meletakkannya di atas meja, tepat di hadapan Lyra. “Sebagai imbalannya, kau akan mendapat ini. Kartu tanpa batas. Kau bisa membeli apa saja, tanpa perlu meminta izin.” Lyra menatap kartu itu seperti menatap harta karun langka. Hatinya berdegup kencang, tak menyangka ada tawaran kemewahan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Suara Neilson terdengar lagi. “Pikirkan baik-baik, Lyra Florency. Aku menawarkan kebebasan finansial. Dan aku hanya perlu satu hal darimu,
Langkah Lyra terhuyung di sepanjang trotoar, tanpa arah yang jelas. Malam semakin gelap, lampu jalan menyinari wajahnya yang masih basah oleh air mata. Sepasang sepatu hak yang ia kenakan terasa semakin menyiksa setiap kali dirinya melangkah. Namun, rasa sakit di hatinya jauh lebih perih daripada lecet di kakinya. Hembusan angin malam menusuk kulitnya, membuat tubuh Lyra menggigil meski sudah memakai jaket. Dengan pikiran kacau, ia akhirnya berhenti di sebuah taman kota yang sepi. Ia menjatuhkan dirinya ke bangku kayu, menengadahkan wajahnya ke langit malam yang terlihat buram karena air matanya. Tangannya merogoh saku jaket, mengambil ponsel yang nyaris kehabisan baterai. Jemarinya gemetar saat menekan nama Sally di daftar kontak—ibunya, satu-satunya orang yang masih ia harapkan bisa menjadi tempat pulang. Ponsel menempel di telinga, nada sambung terdengar panjang. Hatinya berdebar penuh harap, seolah hidupnya bergantung pada jawaban di ujung telepon sana. “Hallo?” Suara perempua
“Nggak, Pa! Lyra gak mau menikah dengan pria itu!” Plakk! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Lyra setelah melontarkan penolakan. Tubuhnya terdorong jatuh ke lantai, ia memegang pipinya yang terasa perih, pandangan matanya mulai berkunang karena tak menyangka akan mendapatkan pukulan dari ayahnya sendiri. “Kurang ajar!” bentak Johan Fernando, ayahnya, dengan wajah yang sudah merah padam. “Kamu pikir hidupmu ini kamu biayai sendiri? Sejak kecil, aku yang membesarkanmu dengan uangku. Saat ibumu membuangmu ke panti asuhan, siapa yang datang menjemputmu? Aku! Dan sekarang kau menolak membalas budiku?” Lyra berusaha keras menahan air matanya, ia menopang tubuhnya dengan tangan yang mulai gemetar. Kata-kata ayahnya tajam, seperti pisau yang menusuk jantungnya. “Papa, aku gak bisa ... aku gak mengenalnya. Bagaimana bisa aku menikah dengan pria yang bahkan belum kukenal?” suaranya terdengar gemetar, penuh rasa takut. Johan berjongkok kemudian meraih kerah kemeja Lyra. Ia menar







