LOGINLyra menutup pintu rumahnya dengan sedikit terburu-buru. Ia berlari kecil menuju taksi yang sudah menunggunya di depan gerbang. Hatinya berdebar penuh semangat, masih terbawa oleh kabar bahagia yang disampaikan Wina beberapa menit lalu.
“Mr. Neil ... jadi dosen di kampus?” gumamnya, nyaris tak percaya. Senyum kecil merekah di wajah Lyra, matanya berbinar penuh antusiasme. Desainer yang selama ini hanya bisa Lyra kagumi lewat karya-karyanya, kini akan menjadi dosen barunya dan berdiri di depan kelasnya. Hari ini Neil, desainer favoritenya akan mengajar untuk pertama kalinya. Dan Lyra tak ingin melewatkan satu detik pun momen itu. Ia merapatkan tas di pangkuannya, pandangan matanya menatap keluar jendela taksi dengan penuh harap, seolah dunia tiba-tiba menghadiahkannya sebuah keberuntungan besar. Meskipun pikirannya masih melayang pada pernikahan kontrak yang baru saja dijalaninya, kini semangatnya kembali membuncah. Kampusnya menanti, begitu juga sosok yang diam-diam selalu menjadi inspirasinya. Lyra turun dari taksi dengan langkah cepat, hampir berlari menuju gerbang kampus. Begitu melihat sosok sahabatnya berdiri di dekat taman depan gedung, ia langsung berteriak dan melambai penuh semangat. “Wina!” panggilnya. Wina menoleh dan spontan berlari menghampiri. Mereka berdua saling berpelukan erat, bahkan sampai melompat-lompat kecil seperti anak-anak yang tak bisa menahan rasa gembira. “Astaga, Lyra! Kamu harus lihat sendiri! Mr. Neil sudah datang sejak tadi pagi!” suara Wina meninggi, matanya berbinar penuh semangat. “Dia ... gila, Ly! Dia bener-bener ganteng. Berkharisma banget, semua orang di kampus langsung terpesona begitu dia muncul.” Lyra membelalakkan mata, rasa penasarannya semakin membara. Jantungnya berdegup tak karuan. “Beneran? Aku gak percaya, Jadi akhirnya aku bisa bertemu dan melihat wajahnya?” Lyra menggigit bibir bawahnya, menahan senyum yang sulit hilang. Sejak dulu, Neil hanya dikenal melalui karya-karyanya yang luar biasa, tanpa sekalipun memperlihatkan wajahnya ke hadapan publik. Seorang desainer misterius yang membuat banyak orang terpesona dengan karyanya. Kini, hari itu tiba. Dan Lyra tak sabar lagi untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana penampilan dari desainer idamannya. Lyra dan Wina bergegas menuju ruang kelas, langkah mereka berubah menjadi lari kecil karena takut ketinggalan. Begitu tiba di depan pintu, suara heboh sudah terdengar jelas. Kelas dipenuhi mahasiswa, terutama para mahasiswi yang sengaja datang hanya untuk melihat sosok Neil. Barisan kursi sudah hampir penuh, bahkan beberapa orang rela berdiri di belakang hanya untuk bisa menyaksikan dari dekat. Bisik-bisik kekaguman memenuhi udara. Pintu kelas tak bisa ditutup rapat karena kerumunan mahasiswi yang berdesakan di depannya. Suara tawa, bisikan kagum, dan teriakan kecil membuat suasana seperti konser, bukan ruang kuliah. “Cepat, Ly! Kalau kita telat, pasti cuma dapat tempat berdiri,” seru Wina sambil menggenggam erat tangan Lyra. Mereka berdua ikut mendorong tubuh di antara kerumunan, sesekali terdorong mundur lalu kembali maju. Lyra bahkan harus menahan napas ketika bahunya hampir terjepit pintu. "Permisi! Permisi! Yang ngambil mata kuliah ini mau lewat! Yang gak ngambil mata kuliah ini minggir!" teriak Wina sambil menabrakkan diri untuk masuk. “Astaga, ini kampus atau antrian tiket konser?” gumam Lyra setengah kesal namun juga tak bisa menyembunyikan rasa penasaran. Begitu berhasil melewati pintu, Wina langsung menarik Lyra berlari kecil menuruni tangga menuju barisan kursi. Beberapa mahasiswi yang lebih dulu masuk sudah memenuhi bagian depan, membuat Lyra dan Wina harus bergerak cepat. “Di sana, Ly! Masih ada dua kursi kosong!” Wina menunjuk ke baris ketiga. Tanpa pikir panjang, mereka segera berlari, hampir saja terjatuh karena saling dorong dengan mahasiswi lain yang juga mengincar kursi kosong itu. Dengan napas terengah, akhirnya mereka berhasil duduk berdampingan. Wina terkekeh sambil menepuk dadanya. “Huft ... demi apa, rasanya lebih melelahkan dari olahraga.” Lyra ikut tertawa kecil, meski matanya sudah menatap penuh semangat ke arah podium. Ia tidak sabar melihat dengan mata kepala sendiri penampilan dari desainer favoritenya. “Dia benar-benar setampan itu, Ly. Kamu harus lihat sendiri,” ujar Wina sambil mengeluarkan buku-bukunya. Lyra duduk dengan jantung yang berdegup kencang, matanya berkeliling mencari sosok yang selama ini hanya ada dalam imajinasi dan kekagumannya. Semua orang tampak menanti dengan penuh antusias, beberapa bahkan sibuk merapikan rambut atau memoles lipstik tipis agar terlihat lebih menarik. Suara riuh kelas mendadak mereda, berganti dengan desahan kagum dan bisikan-bisikan kecil. Para mahasiswi yang tadi berdesakan di pintu perlahan membuka jalan, seolah memberi ruang bagi seseorang yang baru saja tiba. Wina langsung mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya berbinar. “Ly, pasti itu Mr. Neil! Lihat, semua orang menepi untuk memberi jalan.” Lyra ikut menoleh. Dadanya bergemuruh, jantungnya seakan ingin meloncat keluar dari tubuhnya. Selama ini ia hanya bisa mengagumi karya Neil dari layar kaca, artikel, dan majalah mode. Dan sekarang, ia akan melihat wajah dibalik karya-karya sempurna itu secara langsung. Sosok lelaki itu akhirnya melangkah masuk. Posturnya tegap, langkahnya penuh wibawa, setiap gerakannya memancarkan kharisma yang membuat kelas hening seketika. Semua pasang mata terarah padanya. Ketika ia tiba di tengah ruangan, lelaki itu mengangkat wajah, menatap sekeliling. Seketika pandangannya bertemu dengan sepasang mata Lyra. Waktu seakan berhenti. Lyra terbelalak, napasnya tercekat di tenggorokan. Dunia di sekitarnya seakan mengabur. Lelaki yang berdiri gagah di hadapannya bukan sekadar desainer misterius, Neil yang ia kagumi, melainkan Neilson, pria yang menjadi suami rahasianya. Tubuh Lyra membeku di kursi. Rasa terkejut, tak percaya, dan debaran yang bercampur aduk memenuhi dadanya. Ia masih tak menyangka dengan pemandangan yang ia lihat di hadapannya. Bukan hanya Lyra, mata Neilson pun tak lepas dari gadis itu. Untuk sesaat, sorot matanya yang biasanya dingin ikut membeku, seakan keberadaan Lyra di sana juga mengejutkan baginya. Wina yang duduk di sebelah Lyra sibuk berbisik heboh, tak sadar bahwa sahabatnya sudah kehilangan kata-kata. “Astaga, Ly! Dia tampan banget! Lebih dari bayanganku! Lihat bulu kudukku, aku bener-bener merinding, sumpah!” Sementara Lyra hanya bisa menatap kaku, ia tak mendengarkan ocehan Wina yang duduk di sampingnya. Dirinya masih tenggelam dengan kenyataan bahwa Neilson yang hari ini menjadi suaminya adalah Neil, desainer idolanya sekaligus dosen barunya. "Tidak mungkin ... jadi ... nama Neil itu ... Neilson?"Lyra menutup pintu rumahnya dengan sedikit terburu-buru. Ia berlari kecil menuju taksi yang sudah menunggunya di depan gerbang. Hatinya berdebar penuh semangat, masih terbawa oleh kabar bahagia yang disampaikan Wina beberapa menit lalu. “Mr. Neil ... jadi dosen di kampus?” gumamnya, nyaris tak percaya. Senyum kecil merekah di wajah Lyra, matanya berbinar penuh antusiasme. Desainer yang selama ini hanya bisa Lyra kagumi lewat karya-karyanya, kini akan menjadi dosen barunya dan berdiri di depan kelasnya. Hari ini Neil, desainer favoritenya akan mengajar untuk pertama kalinya. Dan Lyra tak ingin melewatkan satu detik pun momen itu. Ia merapatkan tas di pangkuannya, pandangan matanya menatap keluar jendela taksi dengan penuh harap, seolah dunia tiba-tiba menghadiahkannya sebuah keberuntungan besar. Meskipun pikirannya masih melayang pada pernikahan kontrak yang baru saja dijalaninya, kini semangatnya kembali membuncah. Kampusnya menanti, begitu juga sosok yang diam-diam selalu men
Kotak putih itu adalah kotak P3K. Tangan Lyra terhenti, ia menatap kotak itu dengan tatapan kosong. Perlahan, Lyra menurunkan pandangan ke kakinya. Sepatu yang tadi ia kenakan kembali ia lepaskan, dan barulah ia menyadari rasa perih yang sejak tadi ditahannya. Pergelangan kakinya lecet, sementara lututnya memerah dengan sedikit darah kering akibat dorongan keras ayahnya tadi. Jantung Lyra berdegup aneh. Ada rasa hangat yang muncul dalam dadanya. Kotak P3K itu pasti bukanlah kebetulan, Lyra yang sejak tadi tak menyadari luka itu justru Neilson yang lebih menyadarinya. Lelaki yang hampir tidak mengenalnya ternyata cukup jeli untuk memperhatikan luka kecil di tubuhnya. Tangannya gemetar saat membuka kotak itu. Ia mengeluarkan kasa steril, kapas, dan obat antiseptik. “Dia memperhatikan aku?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Mata Lyra terasa panas, tetapi ia buru-buru menggeleng, menahan air mata agar tidak jatuh. Dengan pelan, ia membersihkan lukanya sendiri. Ia mendesis kecil ke
Lyra membalik halaman demi halaman dengan tangan gemetar. Semakin ia membaca, semakin hatinya tak percaya. Di sana tertulis dengan jelas bahwa setelah pernikahan, keduanya diwajibkan tinggal dalam satu rumah. Namun, dilarang melewati batas dan tidak boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing. Bahkan kamar tidur mereka akan terpisah. Lyra menelan ludah, melirik Neilson yang terlihat duduk tenang di hadapannya, wajahnya dingin tanpa sedikitpun senyuman. Neilson kemudian mengeluarkan sebuah kartu hitam dari sakunya dan meletakkannya di atas meja, tepat di hadapan Lyra. “Sebagai imbalannya, kau akan mendapat ini. Kartu tanpa batas. Kau bisa membeli apa saja, tanpa perlu meminta izin.” Lyra menatap kartu itu seperti menatap harta karun langka. Hatinya berdegup kencang, tak menyangka ada tawaran kemewahan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Suara Neilson terdengar lagi. “Pikirkan baik-baik, Lyra Florency. Aku menawarkan kebebasan finansial. Dan aku hanya perlu satu hal darimu,
Langkah Lyra terhuyung di sepanjang trotoar, tanpa arah yang jelas. Malam semakin gelap, lampu jalan menyinari wajahnya yang masih basah oleh air mata. Sepasang sepatu hak yang ia kenakan terasa semakin menyiksa setiap kali dirinya melangkah. Namun, rasa sakit di hatinya jauh lebih perih daripada lecet di kakinya. Hembusan angin malam menusuk kulitnya, membuat tubuh Lyra menggigil meski sudah memakai jaket. Dengan pikiran kacau, ia akhirnya berhenti di sebuah taman kota yang sepi. Ia menjatuhkan dirinya ke bangku kayu, menengadahkan wajahnya ke langit malam yang terlihat buram karena air matanya. Tangannya merogoh saku jaket, mengambil ponsel yang nyaris kehabisan baterai. Jemarinya gemetar saat menekan nama Sally di daftar kontak—ibunya, satu-satunya orang yang masih ia harapkan bisa menjadi tempat pulang. Ponsel menempel di telinga, nada sambung terdengar panjang. Hatinya berdebar penuh harap, seolah hidupnya bergantung pada jawaban di ujung telepon sana. “Hallo?” Suara perempua
“Nggak, Pa! Lyra gak mau menikah dengan pria itu!” Plakk! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Lyra setelah melontarkan penolakan. Tubuhnya terdorong jatuh ke lantai, ia memegang pipinya yang terasa perih, pandangan matanya mulai berkunang karena tak menyangka akan mendapatkan pukulan dari ayahnya sendiri. “Kurang ajar!” bentak Johan Fernando, ayahnya, dengan wajah yang sudah merah padam. “Kamu pikir hidupmu ini kamu biayai sendiri? Sejak kecil, aku yang membesarkanmu dengan uangku. Saat ibumu membuangmu ke panti asuhan, siapa yang datang menjemputmu? Aku! Dan sekarang kau menolak membalas budiku?” Lyra berusaha keras menahan air matanya, ia menopang tubuhnya dengan tangan yang mulai gemetar. Kata-kata ayahnya tajam, seperti pisau yang menusuk jantungnya. “Papa, aku gak bisa ... aku gak mengenalnya. Bagaimana bisa aku menikah dengan pria yang bahkan belum kukenal?” suaranya terdengar gemetar, penuh rasa takut. Johan berjongkok kemudian meraih kerah kemeja Lyra. Ia menar







