Anya merasa sangat sedih berada ditengah-tengah keharmonisan keluarga Kamarudin. Kedekatan mereka semakin membuka lubang menganga di hatinya. Ia telah kehilangan momen berharga tersebut bertahun-tahun lamanya.
Wanita itu tersenyum miris. Ingatan mengenai kebahagiannya bersama kedua orang tuanya masih terekam indah di dalam benaknya. Entah kapan semua itu dapat terulang kembali. Rasanya tak akan mungkin mengingat perseteruan mereka.
Anya tak menginginkan banyak hal. Berharap kedua orang tuanya kembali bersama merupakan sebuah kemustahilan, yang tak mungkin dapat terwujud. Ia sadar diri. Selain sang papa yang begitu membenci mamanya, wanita yang melahirkannya pun telah banyak menelan duri yang sengaja dijejalkan ke dalam tubuhnya. Sakit hati mamanya, sampai kiamat pun, papanya tidak akan bisa menyembuhkannya. Kesalahan pria itu terlalu fatal.
“Lihat loh, Shaf. Dua Mas mu kalau cari pasangan oke-oke semua. Kamu kok dapetnya yang modelan papan catur mukanya! Abstrak!”
“Bapak! Jangan godain Shafa terus. Shafa udah putus tau dari Ruben.” Sewot Shafa, memalingkan muka. Sejak tadi dirinya di roasting habis-habisan. Shafa kan malu. Terlebih sedang ada calon kakak iparnya.
Jari-Jari tangan Anya terkepal di bawah meja. Sakit sekali rasanya. Anya merindukannya— merindukan sosok ayah yang begitu dekat dengan putrinya.
Menggigit bibir dalamnya, Anya mencoba menahan getir yang merasuk di dadanya. Ia ingin menangis. Memeluk sang ibu sembari mengadu, jika di depannya, ada sebuah keluarga yang membuatnya begitu iri.
“Maaf— Lingga baru bisa datang, Bu. Nggak terlalu lama kan telatnya?”
Interupsi seseorang setelah membuka pintu bilik restoran yang mereka reservasi. Diam-Diam Anya mendesah, merasa lega karena interaksi ayah Kamarudin bersama putri tercintanya terhenti.
Anya dapat melihat kemiripan pada wajah pria itu dengan milik dosennya. Mungkin dia merupakan salah satu anggota keluarga lain, yang tadi tak dapat ikut menjadi squad dadakan sang dosen.
“Nggak, Mas. Makanannya belum keluar semua kok.” Tutur Miranti. “Duduk disamping, Papa,” perintah wanita itu membuat sang putra sulung langsung menempati kursi yang disediakan untuk dirinya.
“Anya, kenalin. Itu yang baru dateng, Mas Kalingga namanya. Anak pertama Tante. Dia abangnya Kamaru.”
Anya menganggukan kepalanya, “Anya, Mas,” ucap Anya, memperkenalkan dirinya.
“Pintar Kamaru cari calon istri. Cantik. Seleranya tidak pernah berubah.” Celetuk Kalingga membuat Kamarudin sengaja membatukkan dirinya sendiri. “Mas bicara apa adanya, Kamaru. Biar Anya terbiasa dengan fans-fans brutal kamu.”
“Dia lebih brutal,” nyinyir Kamaru sembari melirik Anya disamping adik perempuannya. “Fans-Fans saya yang harus kuat mental kalau berurusan dengan dia. Saya saja dilawan.”
“Hahaha..” Atalaric tertawa, disusul dengan kekehan Kalingga. Pantas saja Kamarudin ingin segera menikah. Selain untuk bertanggung jawab, Kamarudin sepertinya memang tertarik pada Anya. Apalagi Kamarudin sempat ditolak mentah-mentah olehnya.
“Kalau Kamaru macam-macam, kamu bisa mengadu ke Mas, Anya. Nanti Mas bantuin buat balas dia.”
“Saya bisa sendiri kok,” ucap Anya membuat semua orang tertawa, kecuali Kamarudin tentunya. Pria itu mendelik tajam, mengirim sinyal ancaman seolah berkata, ‘jangan macam-macam kamu!’
“Permisi, Pak, Bu. Hidangan terakhirnya sudah siap.”
“Ya, bawa masuk saja.” Seloroh Atalaric, mempersilahkan.
Kepala keluarga Hasan itu meminta seluruh anaknya untuk menikmati jamuan yang tersaji. Mereka mempelakukan Anya dengan baik. Menawari Anya menu, setiap kali mengambil makanan.
Untuk pertama kalinya, setelah perceraian kedua orang tuanya, Anya dapat merasakan kedamaian di atas meja makan. Tidak ada keributan. Tak ada wanita itu, dan yang lebih penting, ia tak melihat raut penyesalan dari seseorang yang tidak dapat menahan keegoisan ibunya.
“Kak Anya, mau es krim nggak? Es krim disini enak loh, Kak.” Ujar Shafa menawarkan penutup mulut yang biasanya dirinya pesan. “Dijamin lidahnya bergoyang-goyang.”
“Pesenin aja,” bukan Anya, tapi Kamarudin. Pria itu meletakan serbet dari atas pahanya ke meja. “Biar ngobrolnya nggak bikin otak dia ngebul nanti.”
“Kamaru!” tegur Miranti.
“Bentar ya, Shafa pesenin.”
“Ikut.”
Anya bergegas bangkit, menyusul Shafa. Ia tidak ingin ditinggalkan pada kondisi yang mencabik-cabik perasaannya. Anya kira, ayah Kamarudin hanya hangat kepada anak perempuannya. Anya salah. Pria itu memperlakukan seluruh putranya dengan teramat baik.
Langkah kaki Anya terhenti ketika melihat tiga manusia berjalan keluar dari sebuah ruangan. Wanita itu terpaku— menyaksikan sosok sang papa bersama keluarga barunya. Tangan penghancur itu mengalung mesra pada lengan papanya. Mereka tampak seperti keluarga bahagia diatas penderitaannya.
“Anya? Sedang apa kamu disini? Bukannya kamu kuliah?” tanya Tanu. Ia tak menyangka dapat bertemu putrinya di luaran.
“Apa yang dilakukan seorang manusia di restoran, Pah? Nggak mungkin Anya jual diri kan?”
“Anya!” geram, Tanu. Putrinya yang manis, berubah begitu drastis. Tak pernah ada balasan baik yang dirinya terima, keluar dari mulut sang putri.
“Kalau Papa tau kamu ada disini, kita bisa makan berempat.”
“Terima kasih atas tawarannya, tapi Anya nggak sudi.”
“Jaga mulut..”
“Pah, udah. Banyak orang disini.” Soraya mencoba menahan Tanu. Ia tidak mau suaminya viral karena bertengkar dengan anak tirinya di keramaian. Nama baik Tanu harus dijaga.
“Papa tunggu kamu di rumah, Anya! Jangan pul..” belum selesai Tanu mengutarakan perintahnya, Anya sudah memutar tubuhnya, melangkah menjauh untuk meninggalkan pria yang paling dirinya benci. Wanita itu berlalu, tak merasa harus patuh pada seseorang yang bahkan tak patut untuk dirinya letakan penghormatan.
“Josephine, cari tahu dengan siapa Anya kemari.”
“Baik, Om.”
Tanu lantas mengajak istrinya keluar, meninggalkan sang anak tiri yang dirinya berikan tugas.
Anya memilih berdiam sejenak di dalam toilet. Kedua tangannya bertumpu pada pinggiran wastafel. Matanya yang berkilat sebab pertemuan tak terduganya dengan sang papa, perlahan-lahan melemah, menghadirkan cembungan yang mengalirkan air.
Pertahanannya runtuh. Di saat dirinya dihantam oleh rasa iri, posisi yang seharusnya ia tempati bersama sang mama pun, tergantikan begitu apik di depan matanya. Senyum papanya, raut manja mama Joshepin, dan wajah tenang pria itu, Anya sangat-sangat membencinya.
“Mama..” lirih Anya, memukuli dadanya sendiri.
“Mama,” panggilnya berulang kali.
“Kak Anya..” Shafa mendekat. Gadis berseragam SMA itu tak jadi memesan hidangan penutupnya saat Anya tak lagi berada dibelakangnya. Ia kembali menghampiri Anya, tapi yang dirinya temukan justru perseteruan calon kakak iparnya.
Anya menghapus cepat air matanya. Ia tidak ingin disebut lemah oleh orang lain. Namun Shafa yang tiba-tiba saja menabrak tubuhnya, menangis, mengatakan agar dirinya tak berpura-pura dalam kesedihannya.
“Kak, jangan ditahan. Kak Anya boleh nangis kalau sakit. Ada Shafa di sini.”
Bahkan disaat orang lain mengerti kesedihannya, mengapa dua pria yang dirinya cintai tak dapat mengetahui rasa sakitnya? Benarkah mereka ayah dan sahabatnya? atau kah mereka hanya orang asing, yang sebenarnya tak pernah menjadi siapa-siapa dalam hidupnya?
“Gue oke, kok. Nggak apa-apa. Balik ke room lagi yuk. Nanti kelamaan, malah dicariin.”
Seperti dengan apa yang menjadi pendiriannya, Anya tak ingin orang lain mengasihaninya. Ia perempuan kuat. Kala teman-temannya khawatir, mengira mungkin saja dirinya mengambil jalan pintas, ia tetap hidup. Menegakkan dagunya untuk menatap nyalang keluarga yang telah menghancurkan dirinya.
“Kok kalian lama banget?!”
Shafa melihat Anya. Ia sudah berjanji untuk tutup mulut, sedangkan dirinya tak terbiasa berbohong kepada ibunya.
“Saya tadi kebelet pipis, Tan. Maaf ya, Om, Tante jadi nunggu.”
“Saya juga!”
“Nggak tanya!” Sentak Anya, mendengus karena kecaperan dosennya. “Bapak nggak diajak, jadi diem aja!”
Kalingga dan Atalaric lagi-lagi tertawa karena respon calon anggota baru keluarga mereka. Anya sungguhlah wanita yang tepat, untuk mendampingi seorang Kamarudin.
“Jadi Anya, kapan kami boleh datang ke rumah, bertemu Papa kamu?!”
“Harus Papa saya, Om?!”
Atalaric tertegun. Ia bisa merasakan getar pada pertanyaan yang Anya ajukan kepadanya. Begitu pula dengan Kamarudin.
Kamarudin mengangkat dirinya, ia lantas berdiri dibelakang tubuh Anya. “Ada apa?! Terjadi sesuatu?!” Anya tampak berbeda dengan terakhir kali, sebelum wanita itu keluar bersama adiknya.
Jika Kamarudin perhatikan, make up wanita itu menipis. Kedua matanya sembab, seperti orang habis menangis.
Anya menggeleng cepat, “nggak ada.”
“Tidak berbohong?!” Menggunakan ekor matanya, Kamarudin melihat adiknya yang menundukkan kepala. Ada sesuatu yang terjadi— Kamarudin yakin akan hal itu.
“Nggak, Pak. Kita lanjutkan pembicaraan!” Pinta Anya, setengah memaksa, “please!”
Anya tahu, untuk menikah, tetap harus melalui papanya. Pria itulah yang dapat menikahkan dirinya. Namun jika ada seseorang yang harus ia mintai restu, Anya ingin restu itu diberikan oleh sang mama.
“Bolehkah, saya meminta Om dan Tante datang ke apartemen Mama saya terlebih dahulu?! Beliau adalah satu-satunya keluarga yang saya anggap.”
“Restu Papa saya, saya tidak memerlukannya. Laki-Laki itu, hanya ayah di atas kertas saja.”
Dan kedua orang tua Kamarudin membeku di kursinya. Sepertinya mereka akan sulit untuk mempersunting Anya untuk anak tengah mereka.
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik