Share

[7] Restu yang Tak Diperlukan

Anya merasa sangat sedih berada ditengah-tengah keharmonisan keluarga Kamarudin. Kedekatan mereka semakin membuka lubang menganga di hatinya. Ia telah kehilangan momen berharga tersebut bertahun-tahun lamanya.

Wanita itu tersenyum miris. Ingatan mengenai kebahagiannya bersama kedua orang tuanya masih terekam indah di dalam benaknya. Entah kapan semua itu dapat terulang kembali. Rasanya tak akan mungkin mengingat perseteruan mereka.

Anya tak menginginkan banyak hal. Berharap kedua orang tuanya kembali bersama merupakan sebuah kemustahilan, yang tak mungkin dapat terwujud. Ia sadar diri. Selain sang papa yang begitu membenci mamanya, wanita yang melahirkannya pun telah banyak menelan duri yang sengaja dijejalkan ke dalam tubuhnya. Sakit hati mamanya, sampai kiamat pun, papanya tidak akan bisa menyembuhkannya. Kesalahan pria itu terlalu fatal.

“Lihat loh, Shaf. Dua Mas mu kalau cari pasangan oke-oke semua. Kamu kok dapetnya yang modelan papan catur mukanya! Abstrak!”

“Bapak! Jangan godain Shafa terus. Shafa udah putus tau dari Ruben.” Sewot Shafa, memalingkan muka. Sejak tadi dirinya di roasting habis-habisan. Shafa kan malu. Terlebih sedang ada calon kakak iparnya.

Jari-Jari tangan Anya terkepal di bawah meja. Sakit sekali rasanya. Anya merindukannya— merindukan sosok ayah yang begitu dekat dengan putrinya.

Menggigit bibir dalamnya, Anya mencoba menahan getir yang merasuk di dadanya. Ia ingin menangis. Memeluk sang ibu sembari mengadu, jika di depannya, ada sebuah keluarga yang membuatnya begitu iri.

“Maaf— Lingga baru bisa datang, Bu. Nggak terlalu lama kan telatnya?”

Interupsi seseorang setelah membuka pintu bilik restoran yang mereka reservasi. Diam-Diam Anya mendesah, merasa lega karena interaksi ayah Kamarudin bersama putri tercintanya terhenti.

Anya dapat melihat kemiripan pada wajah pria itu dengan milik dosennya. Mungkin dia merupakan salah satu anggota keluarga lain, yang tadi tak dapat ikut menjadi squad dadakan sang dosen.

“Nggak, Mas. Makanannya belum keluar semua kok.” Tutur Miranti. “Duduk disamping, Papa,” perintah wanita itu membuat sang putra sulung langsung menempati kursi yang disediakan untuk dirinya.

“Anya, kenalin. Itu yang baru dateng, Mas Kalingga namanya. Anak pertama Tante. Dia abangnya Kamaru.”

Anya menganggukan kepalanya, “Anya, Mas,” ucap Anya, memperkenalkan dirinya.

“Pintar Kamaru cari calon istri. Cantik. Seleranya tidak pernah berubah.” Celetuk Kalingga membuat Kamarudin sengaja membatukkan dirinya sendiri. “Mas bicara apa adanya, Kamaru. Biar Anya terbiasa dengan fans-fans brutal kamu.”

“Dia lebih brutal,” nyinyir Kamaru sembari melirik Anya disamping adik perempuannya. “Fans-Fans saya yang harus kuat mental kalau berurusan dengan dia. Saya saja dilawan.”

“Hahaha..” Atalaric tertawa, disusul dengan kekehan Kalingga. Pantas saja Kamarudin ingin segera menikah. Selain untuk bertanggung jawab, Kamarudin sepertinya memang tertarik pada Anya. Apalagi Kamarudin sempat ditolak mentah-mentah olehnya.

“Kalau Kamaru macam-macam, kamu bisa mengadu ke Mas, Anya. Nanti Mas bantuin buat balas dia.”

“Saya bisa sendiri kok,” ucap Anya membuat semua orang tertawa, kecuali Kamarudin tentunya. Pria itu mendelik tajam, mengirim sinyal ancaman seolah berkata, ‘jangan macam-macam kamu!’

“Permisi, Pak, Bu. Hidangan terakhirnya sudah siap.”

“Ya, bawa masuk saja.” Seloroh Atalaric, mempersilahkan.

Kepala keluarga Hasan itu meminta seluruh anaknya untuk menikmati jamuan yang tersaji. Mereka mempelakukan Anya dengan baik. Menawari Anya menu, setiap kali mengambil makanan.

Untuk pertama kalinya, setelah perceraian kedua orang tuanya, Anya dapat merasakan kedamaian di atas meja makan. Tidak ada keributan. Tak ada wanita itu, dan yang lebih penting, ia tak melihat raut penyesalan dari seseorang yang tidak dapat menahan keegoisan ibunya.

“Kak Anya, mau es krim nggak? Es krim disini enak loh, Kak.” Ujar Shafa menawarkan penutup mulut yang biasanya dirinya pesan. “Dijamin lidahnya bergoyang-goyang.”

“Pesenin aja,” bukan Anya, tapi Kamarudin. Pria itu meletakan serbet dari atas pahanya ke meja. “Biar ngobrolnya nggak bikin otak dia ngebul nanti.”

“Kamaru!” tegur Miranti.

“Bentar ya, Shafa pesenin.”

“Ikut.”

Anya bergegas bangkit, menyusul Shafa. Ia tidak ingin ditinggalkan pada kondisi yang mencabik-cabik perasaannya. Anya kira, ayah Kamarudin hanya hangat kepada anak perempuannya. Anya salah. Pria itu memperlakukan seluruh putranya dengan teramat baik.

Langkah kaki Anya terhenti ketika melihat tiga manusia berjalan keluar dari sebuah ruangan. Wanita itu terpaku— menyaksikan sosok sang papa bersama keluarga barunya. Tangan penghancur itu mengalung mesra pada lengan papanya. Mereka tampak seperti keluarga bahagia diatas penderitaannya.

“Anya? Sedang apa kamu disini? Bukannya kamu kuliah?” tanya Tanu. Ia tak menyangka dapat bertemu putrinya di luaran.

“Apa yang dilakukan seorang manusia di restoran, Pah? Nggak mungkin Anya jual diri kan?”

“Anya!” geram, Tanu. Putrinya yang manis, berubah begitu drastis. Tak pernah ada balasan baik yang dirinya terima, keluar dari mulut sang putri.

“Kalau Papa tau kamu ada disini, kita bisa makan berempat.”

“Terima kasih atas tawarannya, tapi Anya nggak sudi.”

“Jaga mulut..”

“Pah, udah. Banyak orang disini.” Soraya mencoba menahan Tanu. Ia tidak mau suaminya viral karena bertengkar dengan anak tirinya di keramaian. Nama baik Tanu harus dijaga.

“Papa tunggu kamu di rumah, Anya! Jangan pul..” belum selesai Tanu mengutarakan perintahnya, Anya sudah memutar tubuhnya, melangkah menjauh untuk meninggalkan pria yang paling dirinya benci. Wanita itu berlalu, tak merasa harus patuh pada seseorang yang bahkan tak patut untuk dirinya letakan penghormatan.

“Josephine, cari tahu dengan siapa Anya kemari.”

“Baik, Om.”

Tanu lantas mengajak istrinya keluar, meninggalkan sang anak tiri yang dirinya berikan tugas.

Anya memilih berdiam sejenak di dalam toilet. Kedua tangannya bertumpu pada pinggiran wastafel. Matanya yang berkilat sebab pertemuan tak terduganya dengan sang papa, perlahan-lahan melemah, menghadirkan cembungan yang mengalirkan air.

Pertahanannya runtuh. Di saat dirinya dihantam oleh rasa iri, posisi yang seharusnya ia tempati bersama sang mama pun, tergantikan begitu apik di depan matanya. Senyum papanya, raut manja mama Joshepin, dan wajah tenang pria itu, Anya sangat-sangat membencinya.

“Mama..” lirih Anya, memukuli dadanya sendiri.

“Mama,” panggilnya berulang kali.

“Kak Anya..” Shafa mendekat. Gadis berseragam SMA itu tak jadi memesan hidangan penutupnya saat Anya tak lagi berada dibelakangnya. Ia kembali menghampiri Anya, tapi yang dirinya temukan justru perseteruan calon kakak iparnya.

Anya menghapus cepat air matanya. Ia tidak ingin disebut lemah oleh orang lain. Namun Shafa yang tiba-tiba saja menabrak tubuhnya, menangis, mengatakan agar dirinya tak berpura-pura dalam kesedihannya.

“Kak, jangan ditahan. Kak Anya boleh nangis kalau sakit. Ada Shafa di sini.”

Bahkan disaat orang lain mengerti kesedihannya, mengapa dua pria yang dirinya cintai tak dapat mengetahui rasa sakitnya? Benarkah mereka ayah dan sahabatnya? atau kah mereka hanya orang asing, yang sebenarnya tak pernah menjadi siapa-siapa dalam hidupnya?

“Gue oke, kok. Nggak apa-apa. Balik ke room  lagi yuk. Nanti kelamaan, malah dicariin.”

Seperti dengan apa yang menjadi pendiriannya, Anya tak ingin orang lain mengasihaninya. Ia perempuan kuat. Kala teman-temannya khawatir, mengira mungkin saja dirinya mengambil jalan pintas, ia tetap hidup. Menegakkan dagunya untuk menatap nyalang keluarga yang telah menghancurkan dirinya.

“Kok kalian lama banget?!”

Shafa melihat Anya. Ia sudah berjanji untuk tutup mulut, sedangkan dirinya tak terbiasa berbohong kepada ibunya.

“Saya tadi kebelet pipis, Tan. Maaf ya, Om, Tante jadi nunggu.”

“Saya juga!”

“Nggak tanya!” Sentak Anya, mendengus karena kecaperan dosennya. “Bapak nggak diajak, jadi diem aja!”

Kalingga dan Atalaric lagi-lagi tertawa karena respon calon anggota baru keluarga mereka. Anya sungguhlah wanita yang tepat, untuk mendampingi seorang Kamarudin.

“Jadi Anya, kapan kami boleh datang ke rumah, bertemu Papa kamu?!”

“Harus Papa saya, Om?!” 

Atalaric tertegun. Ia bisa merasakan getar pada pertanyaan yang Anya ajukan kepadanya. Begitu pula dengan Kamarudin. 

Kamarudin mengangkat dirinya, ia lantas berdiri dibelakang tubuh Anya. “Ada apa?! Terjadi sesuatu?!” Anya tampak berbeda dengan terakhir kali, sebelum wanita itu keluar bersama adiknya. 

Jika Kamarudin perhatikan, make up wanita itu menipis. Kedua matanya sembab, seperti orang habis menangis.

Anya menggeleng cepat, “nggak ada.”

“Tidak berbohong?!” Menggunakan ekor matanya, Kamarudin melihat adiknya yang menundukkan kepala. Ada sesuatu yang terjadi— Kamarudin yakin akan hal itu.

“Nggak, Pak. Kita lanjutkan pembicaraan!” Pinta Anya, setengah memaksa, “please!” 

Anya tahu, untuk menikah, tetap harus melalui papanya. Pria itulah yang dapat menikahkan dirinya. Namun jika ada seseorang yang harus ia mintai restu, Anya ingin restu itu diberikan oleh sang mama. 

“Bolehkah, saya meminta Om dan Tante datang ke apartemen Mama saya terlebih dahulu?! Beliau adalah satu-satunya keluarga yang saya anggap.”

“Restu Papa saya, saya tidak memerlukannya. Laki-Laki itu, hanya ayah di atas kertas saja.”

Dan kedua orang tua Kamarudin membeku di kursinya. Sepertinya mereka akan sulit untuk mempersunting Anya untuk anak tengah mereka. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status