Lala melambai dari atas motor ojeknya yang sudah melaju. Vivi hanya membalas dengan anggukan lesu sebelum naik ke motor yang menunggunya.
Vivi menatap kosong ke keramaian. Lala tidak boleh tahu apa yang sudah terjadi. Vivi memilin ujung kemeja. Kalimat-kalimat dari percakapannya dengan Lala tadi sore terus berputar di kepalanya. Jalanan yang biasa terasa sebentar, kini seperti tak berujung. Vivi terus-menerus melamun. Bagaimana menghadapi esok hari. Motor berhenti persis di depan lobi apartemen yang mewah dan menjulang. Vivi segera membayar, mengucapkan terima kasih sekenanya, dan melangkah masuk. Di dalam lift, bayangan pantulan wajahnya di pintu baja terlihat tegang dan pucat. Dia menghela napas panjang. Vivi tiba di depan unit apartemen. Pintu unit terbuka, dan Vivi melangkah masuk. Melangkah menuju ruang tengah. Dari ruang tengah, aroma masakan yang kaya segera menyambutnya. Di sofa, Giorgio dud"Ya ampun, kamu ini." Giorgio menggeleng pelan sambil berjalan masuk. Pintu kamar tertutup otomatis di belakangnya dengan bunyi yang lembut Vivi duduk di tepi ranjang, punggungnya tegak, tapi bahunya merosot. Ia memegangi celana panjang abu-abu. Wajahnya merah padam, kontras dengan kulit putihnya yang terlihat tegang.“Bantuin,” bisik Vivi lembut. Ia tidak berani menatap suaminya. “Tapi, jangan macem-macem."Giorgio, melihat betapa canggungnya Vivi, menahan tawa. Senyumnya tetap terukir di sudut bibir. Ia berjalan mendekat, lalu menunduk sambil berlutut di depan Vivi, mengambil posisi yang setara di lantai. Terasa terlalu dekat. Aroma maskulin lembut dari kaus Giorgio langsung menyergap indra penciuman Vivi.“Tenang aja,” kata Giorgio, suaranya rendah dan meyakinkan. Matanya yang gelap memancarkan ketulusan yang murni. “Aku liatnya ke perban, bukan yang lain.”“Awas loh ya kalau lihat yang lain.” Vivi kontan menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menyembunyikan rona merah
Giorgio tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Eh, kamu harus istirahat lagi, Vi. Ayo, aku gendong ke kamar.”Vivi hendak menolak, tapi tubuhnya sudah lebih dulu terangkat ke pelukan Giorgio. Kali ini, ia menatap wajah suaminya dari jarak yang begitu dekat.Pria itu memang tampan. Garis rahangnya tegas, matanya dalam, dan setiap gerakan kecil yang ia lakukan seolah penuh makna. Vivi baru menyadari betapa selama ini ia terlalu sibuk menjaga jarak, sampai lupa bahwa di hadapannya ada seseorang yang benar-benar tulus menjaganya.Sesampainya di kamar, Giorgio menurunkan Vivi dengan hati-hati ke atas ranjang. Ia membetulkan posisi bantal, lalu menarik selimut menutupi tubuh istrinya.“Istirahat. Biar kakinya cepat membaik,” katanya lembut.Vivi menatap wajah itu lama, tanpa berkata apa-apa. Ada debar halus yang tak mau reda di dadanya. Ia hanya mengangguk pelan, lalu memejamkan mata.Namun sesaat kemudian, ia merasakan sesuatu. Suara langkah pelan mendekat. Nafas hangat terasa di sisi wajahnya.
Setelah makan siang, piring-piring kotor menumpuk di atas meja, sementara Vivi bersandar di kursinya, menyeka ujung bibir dengan tisu. Giorgio memperhatikan istrinya yang terlihat mulai bosan. Sejak kecelakaan kecil yang membuat kaki Vivi terkilir, Vivi pasti merasa bosan terus-menerus berbaring. “Vi, mau nonton TV nggak?” Giorgio membuka percakapan, suaranya lembut tapi tetap berwibawa. “Barangkali kamu bosen tiduran terus di kamar?”Vivi mengangkat wajahnya, bibirnya melengkung sedikit. “Boleh,” katanya ringan. “Tapi acaranya aku yang milih sendiri ya.”“Ok.” Giorgio tersenyum kecil, lalu bangkit dari kursinya.Tanpa menunggu izin, dia melangkah ke arah Vivi dan membungkuk sedikit. “Sini, aku gendong.”Dengan hati-hati Giorgio mengangkat tubuh istrinya, seperti menggendong sesuatu yang sangat berharga. Kehangatan tubuh Vivi langsung terasa di dadanya, dan aroma lembut sabun mandi dari kulitnya entah kenapa membuat jantung Giorgio berdetak lebih cepat dari biasanya. Vivi berusaha m
Vivi hanya bisa mengangguk. “Iya.”Giorgio melangkah ke pintu, tapi sempat menoleh lagi sejenak untuk memastikan Vivi nyaman di tempatnya. Baru setelah itu, ia keluar dari kamar dan menutup pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara.Begitu pintu tertutup, Vivi menatap ke arah depan beberapa detik. Dadanya terasa hangat, tapi juga aneh seperti tidak terbiasa diperlakukan sedekat itu oleh seorang suami yang selama ini terasa jauh.Tangan Vivi terangkat, menyentuh bagian kepala yang tadi dielus Giorgio. Senyum tipis muncul tanpa sadar.“Masak makan siang," gumamnya pelan, setengah tak percaya.Suara langkah Giorgio yang menjauh ke arah dapur sayup-sayup terdengar. Aroma masakan mulai terbayang di kepala Vivi. Entah menu apa yang akan dimasak Giorgio, tapi hal itu bukan inti utamanya.Yang membuat hatinya hangat adalah perhatiannya. Sesuatu yang tak pernah ia sangka akan dia rasakan dengan cara sesederhana hari ini.Di dapur, Giorgio menata semua bahan masakannya di meja, seikat sawi se
Vivi terdiam sepersekian detik ketika mendengar pertanyaan Lala di seberang telepon. Pertanyaan itu datang terlalu cepat, membuat Vivi bingung. Jantung Vivi melompat. Dia memaksa suaranya tetap tenang. “Salah orang kali, La,” ujarnya sambil mencoba terdengar santai.“Nggak, Vi. Aku lihat sendiri kok. Bajunya sama persis sama yang kamu pakai hari itu.”Vivi mengerutkan kening, memutar otak. “Satu-satunya urusan aku sama Pak Giorgio itu cuma karena tugas. Berarti hari itu aku ada tugas yang harus dikumpulkan. Tugas kuliah dari Pak Giorgio.”“Tapi masa sampai naik mobilnya segala sih?” Lala belum puas dengan jawaban Vivi. “Nggak kok, La. Itu cuma sebentar. Aku langsung turun lagi.”“Kenapa coba ngumpulin tugas harus sampai masuk ke mobil Pak Giorgio? Kan bikin orang mikir macam-macam, Vi.”“Aku tuh lupa ngasih tugasnya. Pak Giorgio udah keburu jalan, jadi aku kejar sampai mobilnya,” jelas Vivi cepat, berharap alasan itu cukup untuk Lala. Hening sejenak. Vivi bisa mendengar debar jantu
Giorgio mempercepat gerakannya, menyambar tumpukan pakaian dalam Vivi yang tersisa di lemari, dan melemparnya ke dalam koper. Matanya menyapu kamar kos itu lagi, memeriksa barang lainnya. Yang tersisa ada berapa buku. Dia ambil semua. Ia menutup lemari, mengunci koper, lalu segera keluar, mengunci pintu kamar kos Vivi dengan kunci yang ia temukan tadi.Langkah Giorgio cepat dan hati-hati. Ia berjalan agak jauh, sampai tiba di mobilnya. Nafasnya terengah saat ia membuka bagasi dan memasukkan koper itu. Ia bergegas masuk ke kursi kemudi, jantungnya masih berdetak kencang."Sudah beres?" tanya Vivi, yang melihat suaminya Kembali dari kosannya. "Sudah. Untung sepi," kata Giorgio, menyerahkan kunci kamar kos Vivi. "Ini, simpan yang baik. Jangan diletakkan di bawah rak sepatu lagi. Itu terlalu berisiko.""Iya, iya. Makasih, Gio," balas Vivi, memasukkan kunci itu ke dalam tas kecilnya.Giorgio melajukan mobilnya menuju apartemen mereka. Kelelahan setelah dirawat di rumah sakit menyera