Se connecterWilliam tampak tertegun. Ia tak menyangka kalau Eva memperkenalkan dirinya begitu saja. Lalu bibirnya perlahan membentuk senyuman lembut.
“Eva ya? Nama yang sangat indah.”
Eva langsung menoleh ke arah William, “indah apanya? Namaku ini ‘kan tergolong pasaran dan terdengar biasa saja…”
William mendorong kursi roda Eva dan berkeliling di sekitar taman. Eva hanya duduk diam sambil mengamati bunga-bunga yang melewatinya.
“Kamu tahu nggak kalau nama kamu itu sebenarnya punya arti yang sangat indah, bahkan jauh lebih indah dibandingkan bunga-bunga ini.”
Eva menggelengkan kepalanya, “memangnya ada nama yang lebih bagus daripada nama bunga?”
“Tentu saja ada. Salah satunya adalah namamu sendiri, Nama ‘Eva’ sebenarnya memiliki arti ‘hidup’ atau bisa juga ‘pemberi kehidupan’. Sangat indah ‘kan?”
Eva terkejut mendengarnya, ia tidak mengatakan apapun. Bahkan dirinya sendiri tidak menyangka kalau namanya memiliki makna yang cukup dalam.
William menghentikan langkahnya, lalu ia berlutut sehingga wajahnya sejajar dengan Eva.
“Kamu mau apa?” tanya Eva dengan bingung.
William tidak menjawab, ia hanya tersenyum lalu mengambil bunga yang ada di tangan Eva dan menyelipkannya di telinga Eva.
“Teruslah hidup dan berjuanglah untuk mengejar impianmu sendiri. Masih ada banyak hal yang bisa kamu lakukan kedepannya nanti.”
Bola mata Eva membesar, matanya mulai berkaca-kaca hingga akhirnya air matanya jatuh dari ujung matanya.
“Eh, jangan nangis dong. Nanti kalau ada orang yang lihat dan salah paham gimana?” William mengusap air matanya dengan lembut.
Eva merasa malu dan ia segera memalingkan wajahnya. “Aku nggak nangis kok…”
William terkekeh kecil, “sudah cukup jalan-jalannya? Mau masuk ke dalam?”
Eva mengangguk pelan. William bangkit berdiri dan mendorong kursi roda masuk ke rumah sakit. Eva diam-diam menggenggam erat celananya, di mulutnya terlihat samar-samar senyuman tipis.
----
Dua hari kemudian, dokter memeriksa keadaan Eva.
“Hm. Secara keseluruhan, kondisinya tubuhnya sudah semakin membaik. Luka sudah mulai kering, sudah tidak ada pendarahan lagi. Jadi, kamu sudah bisa keluar dari rumah sakit besok.”
Dokter menoleh ke arah William, “untuk pihak keluarga, dimohon untuk segera membayar biaya pengobatannya ya.”
William mengangguk, “saya mengerti. Terima kasih atas bantuannya.”
Dokter tersebut membungkukkan badan dan pergi keluar dari bangsal. Eva hanya duduk di kasur sambil melamun.
“Kamu sedang memikirkan apa?”
Eva menoleh, “hm? Oh… aku hanya memikirkan cara mengumpulkan uang untuk bayar biaya rumah sakit. Sudah hampir sebulan aku disini, pasti biayanya sangat mahal ya…”
William menghela nafas pelan, “untuk apa kamu memikirkan itu? Aku sudah bayar kok.”
Mata Eva melebar, ia menatap William dengan tak percaya.
“Nggak percaya? Nih bukti pembayarannya.” William mengeluarkan secarik kertas dari saku.
“Berikan padaku,” Eva mengulurkan tangannya dan hendak mengambil kertas tersebut.
William menaikkan tangannya dan membuat Eva tidak bisa meraihnya. William tertawa melihat Eva yang kesulitan mengambilnya.
Eva mencibir, “kenapa sih kamu selalu ikut campur urusanku seperti ini??”
William mendekati Eva perlahan, kedua tangannya bertumpu pada pagar besi kasur. Matanya yang gelap menatap Eva cukup dalam, “karena aku sudah berjanji untuk terus menjagamu. Jadi semua urusanmu akan menjadi urusanku.”
Melihat wajah William yang mendekat, Eva merasakan detak jantungnya mulai tidak beraturan. Ia segera memalingkan wajahnya, “aku nggak butuh bantuanmu.”
“Kenapa nggak? Dengan kondisimu yang seperti ini, apa kamu bisa mencari uang?”
Eva terdiam. Dengan keterbatasan yang ia miliki, mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Pekerjaan seperti apa yang tidak membutuhkan sepasang kaki?
Eva akhirnya menyerah, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding kasur.
“Terserah kamu saja deh…”
William tersenyum dan mengelus kepala Eva dengan lembut, “begitu dong. Nurut yah.”
Eva menepis tangan William, “apa sihh?”
William tertawa dan ia menarik tangannya. Setelah itu, ia melirik ke arah jam di tangannya.
“Karena kamu sudah mulai sembuh, aku keluar sebentar ya. Masih ada urusan yang harus diselesaikan.”
Eva masih memalingkan wajahnya, “kalau ada urusan, pergi saja. Nggak perlu minta izin dariku.”
William tersenyum lembut, “nanti aku akan bawakan makanan kesukaanmu. Istirahat yang cukup ya.”
William balik badan dan pergi keluar meninggalkan Eva seorang diri. Saat pintu sudah ditutup, Eva memandangi bunga yang diberikan oleh William.
“Nama yang lebih indah dari bunga? Heh, lucu sekali…”
Eva memandangi langit yang cerah dari jendela. Ia merasa hatinya terasa hangat. Tanpa sadar, Eva mengenggam bunga tersebut dengan erat.
Perasaan yang nyaman itu membuat Eva mengantuk dan akhirnya tertidur. Beberapa jam kemudian, pintu bangsal tiba-tiba di dobrak cukup kencang. Eva terkejut dan langsung bangun.
Beberapa orang suster masuk ke dalam dan mulai membereskan kasur-kasur busa yang ada di lantai. Eva merasa ada yang sesuatu yang tidak beres.
“Apa yang sedang kalian lakukan?”
“Sebentar lagi ada pasien lain yang akan dimasukkan ke ruangan ini. Anda akan kami pindahkan ke ruang kelas 3.” Jawab Suster sambil membereskan barang-barang.
Eva mengernyitkan dahinya, “apa maksudmu? Kenapa saya tidak mendapatkan pemberitahuan ini sebelumnya?”
Salah satu Suster merasa tidak sabar, ia mendengus kesal.
“Begini ya, bu. Ibu ‘kan sudah disini hampir selama sebulan, ibu juga belum membayar biaya inapnya. Sekarang sedang ada pasien yang perlu dirawat inap, jadi mohon kesadarannya dan jangan mempersulit kami.”
Eva menatap suster itu dengan tajam, “jadi kalian mengusirku?”
"Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?"Eva sedikit menunduk dan meremas kedua tangannya. "Soalnya ... ada seseorang yang menyebarkan informasi kalau aku ini menyontek saat ujian di forum sekolah, terus ... dia juga memasukkan fotoku di postingan itu."Eva sesekali melirik ke arah William, tetapi William hanya diam mendengarkan saja, tetapi dahinya sedikit berkerut. "Dia memasukkan fotomu? Siapa yang berani melakukan hal itu?"Eva menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu, karena akun itu hanyalah akun anonim jadi nggak kelihatan siapa pemilik asli akun tersebut."William mengalihkan pandangannya, ia berpikir sejenak. Lalu, ia menoleh kembali ke arah Eva. "Terus, kamu ada rencana apa?""Untuk saat ini sih ... aku hanya bisa menjalankan kewajibanku sebagai seorang mahasiswa, yaitu belajar untuk ujian. Karena aku pikir, akan lebih baik kalau bisa membuktikkan di depan para dosen kalau aku ini innocent."William tersenyum tipis. "Siapa sangka, se
"Hm ... hanya kebetulan saja. Kebetulan aku sempat lewat Perpustakaan tadi dan sempat melihatmu bertarung dengan pemikiranmu sendiri."William sedikit menunduk dan menempelkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Eva. "Kamu ini benar-benar nggak pernah gagal ya, untuk membuatku merasa kagum padamu."Eva tak bisa menahan air matanya, bibirnya sedikit bergetar. Ia meraih kepala William dan menempelkan bibirnya ke bibir William, William seketika terpaku di tempat. Tidak lama kemudian, Eva melepaskan ciumannya dan memeluk leher William."Terima kasih ... terima kasih sudah mau mempedulikanku sampai sejauh ini. Terima kasih sudah mau menjadi rumah untukku, terima kasih karena sudah mempersiapkan semua ini hanya untuk mengembangkan kemampuanku."Eva tidak bisa mengucapkan kata-kata lain selain berterima kasih. Tidak ada yang tahu seberapa bahagia dirinya yang sekarang, setelah belasan tahun tinggal di sebuah keluarga yang tidak pernah mempedulikannya sedikit pun
Eva merenung sejenak, ia mengalihkan pandangannya ke depan. "Hm ... untuk saat ini, aku masih belum tahu. Tapi satu-satunya hal yang bisa aku lakukan sekarang, paling cuman ... belajar buat ujian besok."Seketika mata Clara berkedut. "Kamu ini ya ... baru juga bisa menenangkan diri, tapi masih berniat buat belajar. Otakmu itu sebenarnya terbuat dari apa sih? Heran deh ..."Eva terkekeh. "Aku bener, 'kan? Memangnya apa tugas kita sebagai seorang mahasiswa? Kalau bukan belajar, terus apa lagi?""Ya, tapi ... kamu nggak mau gitu membersihkan namamu? Postingan itu sudah dilihat oleh semua mahasiswa di kampus ini, lho. Memangnya kamu rela dihujat terus sana sini?"Tentu saja mau, akan sangat merepotkan kalau berita ini bisa tersebar hingga keluar kampus. Tetapi Eva tidak ingin mengatakannya kepada Clara, selama buktinya masih belum ditemukan."Aku tahu kalau kamu sangat mengkhawatirkanku, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu."Clara mengernyitkan dahinya. "Kenapa begitu
Dengan nafas yang terengah-engah, Eva meraih kalung tersebut dan mengangkatnya hingga sejajar dengan matanya. Walau pun matanya mulai memerah, ia mengamati kalung yang ada di telapak tangannya selama beberapa saat. Dengan hati-hati, ia mengelus kalung itu dengan ibu jarinya.Entah bagaimana, ia bisa merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Dengan spontan, ia langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi yang ia temukan hanyalah beberapa mahasiswa yang sedang membaca buku di mejanya masing-masing yang agak jauh darinya.Eva menoleh kembali pada kalung yang ia pegang. Jari tangannya perlahan-lahan menekuk hingga menutupi kalung yang ada di telapak tangannya. Sikutnya bertumpu pada pegangan tangan kursi roda.'Sudah, tenang ya. Kamu itu kuat.'Begitulah kata-kata yang terlintas di benak Eva. Kemudian, ia melepaskan genggamannya dan menyandarkan punggungnya ke kursi roda, kedua tangannya bertumpu pada pegangan tangan kursi roda, lalu ia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya
Setelah Eva keluar dari ruang dosen, Eva menghembuskan nafas lega, Kemudian, ia berencana untuk pergi ke kantin sambil menunggu Clara. Selama perjalanan, banyak mahasiswa yang saling berbisik saat mereka melihat Eva."Eh, lihat itu. Dia itu anak yang katanya menyontek itu, 'kan?""Iya, benar. Kalau nggak salah dia baru saja keluar dari ruang dosen deh ...""Pasti habis dihukum."Eva mengerutkan dahinya, ia merasa bingung kenapa semakin banyak mahasiswa yang mengetahui kejadian itu. Padahal ia sudah membuktikan kejujurannya di depan dosen, lalu kenapa mereka masih saja menyinyir?Namun, Eva berusaha untuk mengatur nafasnya dan tetap bersikap tenang. Ia berusaha untuk tidak memikirkan semua itu, karena apa pun yang dikatakan oleh banyak orang, ia sendiri juga tidak bisa menghentikan mereka. Memang pahit, tapi itulah yang dinamakan kenyataan.Karena mendengar hinaan dari mahasiswa lain, Eva memutuskan untuk berpindah tempat. Ia tidak ingin pergi ke kantin, tetapi ke Perpustakaan. Karena
Eva mulai memfokuskan pikirannya untuk mengerjakan ujian. Seperti biasa, ia melakukan ritualnya dahulu sebelum akhirnya menjawab soal satu per satu. Dosen yang ada di sebelah Eva memperhatikannya dengan seksama, begitupula dengan Surya."Dia nggak ngerasa keganggu ya kalau kita di sini?"Surya menggelengkan kepalanya. "Nggak, tuh lihat saja wajah seriusnya. Mau kita berisik juga nggak akan memecah fokusnya."Dosen itu terkekeh. "Hebat ya, bahkan saya saja nggak bisa mempertahankan fokus seperti itu."'Ya dong ... siapa dulu biangnya.' batin Surya."Mahasiswi lagi ujian, kenapa kalian berdua malah berisik?"Surya dan dosen itu menoleh serentak. Lalu raut wajah Surya berubah menjadi masam."Ngapain kamu ke sini?"Ibu Ruth memegang pinggangnya dengan kedua tangan. "Apa maksud pak Surya? Saya di sini hanya ingin mengawasi mahasiswi saya saja kok, nggak boleh?"Surya memutarkan bola matanya dengan malas. Ibu Ruth mel







