MasukDi malam hari, Eva tidak bisa tidur. Ia ingin pergi ke toilet, tetapi ia tidak tahu cara untuk menurunkan pagar besi tersebut. Ia terus meraba dan menggoyangkan pagar besinya.
“Kamu mau ngapain?”
Eva terkejut dan langsung menoleh ke belakang. William sedang berdiri di samping kasur dengan mata yang terkantuk.
“Aku… mau ke toilet.”
“Aku sudah pernah bilang ‘kan, kalau perlu sesuatu langsung beritahu aku saja.”
“Kamu saja sedang tidur, bagaimana aku- ahh!”
Tanpa aba-aba, tubuh Eva sudah digendong oleh William. “shh… sudah malam jangan teriak-teriak.”
“Kamuu..” Eva langsung memukul dada William.
William hanya tersenyum melihat tingkahnya, lalu ia segera membawa Eva ke toilet. Pergerakan yang tiba-tiba itu membuat Eva refleks merangkul leher William.
Saat keluar dari bangsal, cahaya lampu mulai menyinari wajah William. Kulitnya yang putih terlihat sangat bersih, hidungnya mancung, bibir tipisnya samar-samar tampak tersenyum. Eva juga bisa mendengar suara detak jantung William yang stabil.
Perlu diakui, pria ini ternyata cukup tampan. Beberapa detik kemudian Eva tersadar, ia segera menggelengkan kepalanya dan menepis semua pikirannya.
“Ada apa?”
Eva menundukkan kepalanya, pipinya sedikit merona. “Ng-nggak, nggak ada apa-apa.”
William melihat wajah Eva yang mulai memerah, ia menghentikan langkahnya. “Kenapa wajahmu jadi merah begitu? Kamu demam?” ia menyentuh dahi Eva dengan satu tangannya.
Eva buru-buru menepis tangannya, “nggak! Aku nggak demam kok…”
“Hm… setelah kita balik nanti, aku coba ukur suhu tubuhmu.”
“Sudah ku bilang, aku nggak demam!”
William tidak mengubris perkataannya, ia lanjut berjalan lagi ke toilet. Bahkan Eva sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Beberapa menit kemudian, mereka kembali ke bangsal.
William mengambil termometer dari kotak P3K yang ia taruh di atas meja, lalu mengukur suhu tubuh Eva. Saat termometer itu sudah berbunyi, William menariknya.
“Hm, nggak demam.”
Dahi Eva berkerut, “aku ‘kan sudah bilang kalau nggak demam, nggak percayaan banget sih?!”
William menyentil dahi Eva, “tentu saja. Karena setiap omongan harus disertai tindakan. Sudah, tidur lagi sana.”
Eva mendengus kesal, tapi perkataannya tadi memang tidak salah. Setiap kata-kata yang tidak disertai dengan tindakan, itu seperti tong kosong nyaring bunyinya. Banyak orang yang bisa berkata manis tetapi tidak bisa membuktikannya.
William mendorong tubuh Eva perlahan, “tubuhmu masih sakit?”
“Enggak.”
“Oke, berarti lukamu sudah mulai sembuh. Seharusnya beberapa hari lagi kamu sudah bisa keluar dari rumah sakit.”
Setelah membaringkan Eva, William berjalan ke pojok ruangan, ia duduk bersandar di dinding, ia memejamkan matanya sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Eva mendongakkan kepalanya dan melirik ke arah William.
‘Kenapa posisi tidur pria ini sangat aneh? Memangnya badan dia nggak bakal pegal? Ah, sudahlah… bukan urusanku ini.’ Pikir Eva.
Eva kembali membenamkan wajahnya ke bantal.
Selama beberapa hari ini, William selalu mengurus Eva dengan baik. Bahkan ia sampai cuti kerja beberapa hari demi menemani Eva. Setiap hari William selalu memastikan Eva makan tepat waktu, saat ingin ke toilet pun ia juga membantunya pergi.
---
Di pagi hari, William sedang mengganti perban Eva. Gerakannya sangat lembut dan juga hati-hati. Eva menatap William, wajahnya terlihat sangat serius.
Eva mengalihkan pandangannya.
‘Cuma ganti perban doang kenapa harus seserius itu sih?’ pikirnya.
“Sudah selesai.”
Lamunan Eva langsung terpecah. Ia melirik ke arah tangannya yang sudah terbungkus perban dengan rapi.
“Ada apa?”
Eva menggelengkan kepalanya, “nggak… nggak ada apa-apa.”
Terdengar suara pintu diketuk.
“Aku buka pintu dulu ya.”
William bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu. Ia membuka pintunya lalu membawa masuk kursi roda. Ia menoleh ke arah Eva sambil tersenyum lembut.
“Kamu pasti bosan ‘kan? Udara diluar sangat sejuk, mau jalan-jalan?”
Eva menyilangkan tangannya di depan dada dan memalingkan wajahnya.
“Nggak perlu. Lagipula di luar juga nggak ada sesuatu yang menarik.”
Setelah berbicara, mata Eva sesekali melirik ke arah kursi roda. William menyadari tingkahnya, lalu ia tertawa.
“Kenapa kamu ketawa?”
William menghampiri Eva, “kamu ini ya… kalau memang mau keluar langsung bilang saja. Kenapa harus pura-pura menolak begitu sih?”
“Aku nggak pura-pura kok- EHH!”
William mengangkat Eva. Eva refleks melingkarkan tangannya ke leher William. Kemudian, William menurunkan Eva di kursi roda.
“Ayo kita keluar.”
William mendorong kursi roda itu keluar dari bangsal. Setelah keluar dari pintu rumah sakit, Eva merasakan angin sepoi-sepoi mengenai kulitnya.
Eva memejamkan matanya dan ujung bibirnya perlahan naik membentuk sebuah senyuman. Ini kali pertama William melihat Eva yang tersenyum lembut, senyuman itu membuat Eva terlihat cantik dan menggemaskan.
“Bagaimana? Udaranya sangat segar ‘kan?”
“Lumayan.”
Walaupun Eva menjawabnya dengan dingin, sebenarnya ia sangat menikmatinya. William membungkukkan badan dan tangannya bertumpu pada pegangan kursi roda.
“Kalau begitu, bersyukurlah karena kamu masih hidup dan bisa merasakan udara segar seperti ini.”
Ekspresi Eva berubah menjadi sedih. Belakangan ini, ia merasa kalau hidup itu bagaikan neraka yang sangat gelap. Tidak ada sesuatu yang bisa dinikmati, hanya ada penderitaan.
Eva teringat kembali akan masa lalunya, dari kecil dia memang sudah seperti seorang budak bagi keluarganya. Dia harus melakukan semua pekerjaan rumah tangga, lalu harus berjualan makanan demi mendapatkan uang jajan.
Namun saat ini, entah mengapa kalau ia merasa William sedikit berbeda. Ia tidak memperlakukannya dengan buruk malah seperti seorang putri. Tetapi Eva terus berusaha untuk tidak mudah luluh, karena banyak orang yang terlihat baik diluar tapi busuk di dalam.
“Coba kamu lihat keatas.”
Eva melirik ke atas melihat langit yang biru dan juga cerah.
“Langitnya sangat indah bukan? Pemandangan seperti ini nggak bisa kamu lihat kalau kamu nggak mau berjuang untuk hidup. Selain itu, masih ada banyak hal di dunia ini yang bisa kamu nikmati.”
Eva tidak berkata apapun, ia terus memperhatikan awan-awan yang bergerak dengan perlahan. Matanya tampak berkaca-kaca.
William mendorong kursi rodanya ke arah taman. Di taman itu terdapat bunga-bunga yang bervariasi. Ia membawa Eva mendekati bunga tersebut.
Eva mendekatkan wajahnya dan tercium aroma bunganya sangat harum sehingga membuat hati menjadi tenang. William hanya berdiri di belakang sambil menatap gadis itu dengan tatapan yang lembut.
William memetik salah satu bunga dan memberikannya kepada Eva, “untukmu.”
Mata Eva membelalak, “kenapa kamu petik sembarangan? Nggak takut dimarahin?”
“Tenang saja, nanti aku akan bilang ke pihak rumah sakitnya.”
Eva mengambil bunga tersebut dengan ragu, ujung bibirnya sedikit terangkat.
“Eva.”
William melirik ke arah Eva, “hm?”
“Namaku adalah Eva Brown. Aku belum kasih tahu namaku padamu ‘kan?”
"Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?"Eva sedikit menunduk dan meremas kedua tangannya. "Soalnya ... ada seseorang yang menyebarkan informasi kalau aku ini menyontek saat ujian di forum sekolah, terus ... dia juga memasukkan fotoku di postingan itu."Eva sesekali melirik ke arah William, tetapi William hanya diam mendengarkan saja, tetapi dahinya sedikit berkerut. "Dia memasukkan fotomu? Siapa yang berani melakukan hal itu?"Eva menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu, karena akun itu hanyalah akun anonim jadi nggak kelihatan siapa pemilik asli akun tersebut."William mengalihkan pandangannya, ia berpikir sejenak. Lalu, ia menoleh kembali ke arah Eva. "Terus, kamu ada rencana apa?""Untuk saat ini sih ... aku hanya bisa menjalankan kewajibanku sebagai seorang mahasiswa, yaitu belajar untuk ujian. Karena aku pikir, akan lebih baik kalau bisa membuktikkan di depan para dosen kalau aku ini innocent."William tersenyum tipis. "Siapa sangka, se
"Hm ... hanya kebetulan saja. Kebetulan aku sempat lewat Perpustakaan tadi dan sempat melihatmu bertarung dengan pemikiranmu sendiri."William sedikit menunduk dan menempelkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Eva. "Kamu ini benar-benar nggak pernah gagal ya, untuk membuatku merasa kagum padamu."Eva tak bisa menahan air matanya, bibirnya sedikit bergetar. Ia meraih kepala William dan menempelkan bibirnya ke bibir William, William seketika terpaku di tempat. Tidak lama kemudian, Eva melepaskan ciumannya dan memeluk leher William."Terima kasih ... terima kasih sudah mau mempedulikanku sampai sejauh ini. Terima kasih sudah mau menjadi rumah untukku, terima kasih karena sudah mempersiapkan semua ini hanya untuk mengembangkan kemampuanku."Eva tidak bisa mengucapkan kata-kata lain selain berterima kasih. Tidak ada yang tahu seberapa bahagia dirinya yang sekarang, setelah belasan tahun tinggal di sebuah keluarga yang tidak pernah mempedulikannya sedikit pun
Eva merenung sejenak, ia mengalihkan pandangannya ke depan. "Hm ... untuk saat ini, aku masih belum tahu. Tapi satu-satunya hal yang bisa aku lakukan sekarang, paling cuman ... belajar buat ujian besok."Seketika mata Clara berkedut. "Kamu ini ya ... baru juga bisa menenangkan diri, tapi masih berniat buat belajar. Otakmu itu sebenarnya terbuat dari apa sih? Heran deh ..."Eva terkekeh. "Aku bener, 'kan? Memangnya apa tugas kita sebagai seorang mahasiswa? Kalau bukan belajar, terus apa lagi?""Ya, tapi ... kamu nggak mau gitu membersihkan namamu? Postingan itu sudah dilihat oleh semua mahasiswa di kampus ini, lho. Memangnya kamu rela dihujat terus sana sini?"Tentu saja mau, akan sangat merepotkan kalau berita ini bisa tersebar hingga keluar kampus. Tetapi Eva tidak ingin mengatakannya kepada Clara, selama buktinya masih belum ditemukan."Aku tahu kalau kamu sangat mengkhawatirkanku, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu."Clara mengernyitkan dahinya. "Kenapa begitu
Dengan nafas yang terengah-engah, Eva meraih kalung tersebut dan mengangkatnya hingga sejajar dengan matanya. Walau pun matanya mulai memerah, ia mengamati kalung yang ada di telapak tangannya selama beberapa saat. Dengan hati-hati, ia mengelus kalung itu dengan ibu jarinya.Entah bagaimana, ia bisa merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Dengan spontan, ia langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi yang ia temukan hanyalah beberapa mahasiswa yang sedang membaca buku di mejanya masing-masing yang agak jauh darinya.Eva menoleh kembali pada kalung yang ia pegang. Jari tangannya perlahan-lahan menekuk hingga menutupi kalung yang ada di telapak tangannya. Sikutnya bertumpu pada pegangan tangan kursi roda.'Sudah, tenang ya. Kamu itu kuat.'Begitulah kata-kata yang terlintas di benak Eva. Kemudian, ia melepaskan genggamannya dan menyandarkan punggungnya ke kursi roda, kedua tangannya bertumpu pada pegangan tangan kursi roda, lalu ia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya
Setelah Eva keluar dari ruang dosen, Eva menghembuskan nafas lega, Kemudian, ia berencana untuk pergi ke kantin sambil menunggu Clara. Selama perjalanan, banyak mahasiswa yang saling berbisik saat mereka melihat Eva."Eh, lihat itu. Dia itu anak yang katanya menyontek itu, 'kan?""Iya, benar. Kalau nggak salah dia baru saja keluar dari ruang dosen deh ...""Pasti habis dihukum."Eva mengerutkan dahinya, ia merasa bingung kenapa semakin banyak mahasiswa yang mengetahui kejadian itu. Padahal ia sudah membuktikan kejujurannya di depan dosen, lalu kenapa mereka masih saja menyinyir?Namun, Eva berusaha untuk mengatur nafasnya dan tetap bersikap tenang. Ia berusaha untuk tidak memikirkan semua itu, karena apa pun yang dikatakan oleh banyak orang, ia sendiri juga tidak bisa menghentikan mereka. Memang pahit, tapi itulah yang dinamakan kenyataan.Karena mendengar hinaan dari mahasiswa lain, Eva memutuskan untuk berpindah tempat. Ia tidak ingin pergi ke kantin, tetapi ke Perpustakaan. Karena
Eva mulai memfokuskan pikirannya untuk mengerjakan ujian. Seperti biasa, ia melakukan ritualnya dahulu sebelum akhirnya menjawab soal satu per satu. Dosen yang ada di sebelah Eva memperhatikannya dengan seksama, begitupula dengan Surya."Dia nggak ngerasa keganggu ya kalau kita di sini?"Surya menggelengkan kepalanya. "Nggak, tuh lihat saja wajah seriusnya. Mau kita berisik juga nggak akan memecah fokusnya."Dosen itu terkekeh. "Hebat ya, bahkan saya saja nggak bisa mempertahankan fokus seperti itu."'Ya dong ... siapa dulu biangnya.' batin Surya."Mahasiswi lagi ujian, kenapa kalian berdua malah berisik?"Surya dan dosen itu menoleh serentak. Lalu raut wajah Surya berubah menjadi masam."Ngapain kamu ke sini?"Ibu Ruth memegang pinggangnya dengan kedua tangan. "Apa maksud pak Surya? Saya di sini hanya ingin mengawasi mahasiswi saya saja kok, nggak boleh?"Surya memutarkan bola matanya dengan malas. Ibu Ruth mel







