Share

Namanya Fera

Brian menguap lebar sambil mengubah posisi tidurnya di sebuah sofa butut yang disimpan di loteng sekolah. Hari ini di jam pelajaran keempat Brian memilih membolos untuk tidur siang karena mengantuk gara-gara semalam ia begadang menonton bola sehabis itu bermain game online sampai dini hari.

Tangan Brian merogoh saku celananya lalu menatap ponsel yang bergetar, ternyata ada telepon dari Farid. Teman Brian itu mengatakan kalau pelajaran baru saja selesai dan sekarang waktunya jam pulang meskipun bel belum berbunyi.

Brian tidak langsung bangun, ia memilih untuk kembali melanjutkan tidurnya sampai lima belas menit kemudian ia bangun dalam keadaan yang lumayan segar meskipun kepalanya sedikit pusing.

Tas ransel milik Brian masih tertinggal di kelas karena tadi ia berpesan pada Farid untuk membawanya sendiri supaya nanti kalau tidak sengaja berpapasan dengan guru ia pulang tidak membawa tas bisa-bisa ia diinterogasi, apalagi oleh pak satpam yang selalu ingin mengurusi urusan para murid saja.

Di dalam kelas ternyata masih ada seseorang yang belum pulang. Murid tersebut sedang menyapu lantai. Ah... sepertinya murid itu kebagian jadwal piket sekarang.

"Lo gak pulang?"

Murid itu sedikit terkejut karena tiba-tiba ada orang yang bertanya padanya.

"Eh... lo cewek yang waktu itu kekunci di gudang," ucap Brian. "Lo piket sendiri?"

Kepala murid itu mengangguk pelan sambil kembali menyapu.

Brian berjalan menuju jadwal piket. Hari Rabu ternyata dirinya juga kebagian piket bersama empat orang yang lain, tapi selama satu semester bersekolah di sini, Brian belum pernah piket sama sekali. Jangan-jangan, yang sering piket hanya satu orang saja? Murid itu?

Apa selama satu semester Fera selalu piket sendirian tanpa ada yang membantu?

Betapa tega teman-temannya termasuk Brian.

Brian jadi merasa bersalah.

"Nama lo siapa? Sella? Windi? Fera?" tanya Brian, menyebutkan nama-nama murid perempuan yang tertera di jadwal piket hari ini.

"Fera," ucapnya pelan.

Fera merasa heran karena Brian tidak tahu namanya, padahal mereka satu kelas dan bersekolah di sini sudah cukup lama.

Tanpa berpikir panjang, Bian mengambil pel-an yang tergeletak di pojok kelas dekat jendela. Brian memerasnya dan mulai mengepel dari belakang.

"Kamu mau ngapain?" tanya Fera ketika melihat Brian yang mengambil ember berisi air dan pel-an.

"Mau ngepel, lah. Apalagi."

"Gak usah, biar aku aja."

Brian menarik pel-annya supaya tidak diambil oleh Fera. "Gue juga hari ini kebagian piket. Apa salahnya gue bantu lo bersih-bersih kelas."

"Tapi..."

"Tenang aja, gini-gini juga gue bisa ngepel, kok. Hasilnya juga bersih. Tapi kalau lo gak percaya gue sih gak peduli."

Mau tidak mau Fera membiarkan Brian melakukan semaunya, itung-itung supaya Fera tidak cape karena piket seorang diri.

***

"Hey, Rakyat Jelata!"

Beberapa murid perempuan berdiri di depan meja Fera sambil tersenyum licik.

"Karena lo gak pernah beli makanan di kantin, yah... maklum lah ya, kan lo itu gak punya uang saking jelatanya. Oops!"

"Hahaha!"

Mereka tertawa kencang, terlihat sangat puas saat melihat wajah Fera yang ditekuk itu.

"Kita di sini mau bikin tawaran, nih. Lo mau gak, Rakyat Jelata? Jadi gini, nanti kita-kita ini mau beliin lo makanan di kantin, tapi dengan syarat lo harus ngerjain semua PR kita." Molli melemparkan beberapa buku ke atas meja Fera sampai menimbulkan suara benturan cukup keras.

Mereka kembali tertawa sambil berlalu pergi.

Fera hanya bisa mengembuskan napas. Di jam istirahat dirinya memang selalu menghabiskan waktunya dengan mengerjakan tugas atau membaca buku LKS. Fera sengaja mengerjakan tugas paling awal karena ketika pulang sekolah nanti dirinya tidak memiliki waktu yang cukup untuk memikirkan tugas-tugas sekolah. Sebisa mungkin Fera mengerjakan sampai selesai tugas di buku-buku murid tadi supaya mereka tidak meminjam buku miliknya.

Dulu, mereka pernah merampas buku Fera dan ketika buku Fera dikembalikan, bukunya sudah koyak dan banyak coretan di sana-sini, bahkan mereka menggambar yang tidak-tidak. Dengan terpaksa Fera tidak mengumpulkan buku tugasnya dan pada akhirnya ia dihukum dengan cara tidak diberikan nilai. Padahal Fera lebih memilih diberikan hukuman seperti berdiri di depan kelas atau berjemur menghormat bendera di lapangan.

Tujuh menit lagi jam istirahat tersisa, tetapi Fera baru saja mengerjakan tiga buku termasuk milik dirinya. Masih ada empat buku yang tersisa. Apakah Fera bisa menyelesaikannya sekarang? Tadi mereka bilang kalau sehabis jam istirahat semua tugas harus selesai tanpa terkecuali.

"Udah belum ngerjainnya?" tanya Dera.

Ah... mereka kenapa datang di waktu yang tidak tepat?

"Belum," jawab Fera pelan.

"Hah?! Apa?! Belum? Yang bener aja lo! Masa tugas kayak gini aja gak selesai? Kalau kerja yang bener, dong!" Molli memukul meja dengan cukup keras.

Fera tahu kalau Molli sebenarnya menahan kesakitan di telapak tangannya karena bibir Molli terkatup rapat dan keningnya sedikit mengerut.

"Apa lo liat-liat, hah? Berani lo sama gue?"

Fera menunduk takut sambil menggenggam erat jari-jarinya ketika tangan Dera menarik rambutnya.

Brian yang baru saja datang dari kantin dan hendak masuk kelas menghentikan langkahnya tepat diambang pintu. Matanya mengawasi gerak-gerik orang yang ada di depannya, lebih tepatnya orang-orang yang ada di depan meja Fera.

Mengembuskan napas, Fera pasrah. Ia tidak berharap ada seseorang yang membantu dirinya. Tidak mungkin ada orang yang menolong karena mereka tidak mau ikut terlibat dalam masalah. Mereka tidak mau terkena getahnya.

"Lagi ngapain kalian?" tanya Brian. Ia benar-benar sudah tidak tahan melihat orang-orang itu yang terus menarik dan mematahkan helai perhelai rambut Fera dengan tangan-tangan jahat mereka.

"Ini, Bri. Cewek murahan ini kurang ajar ke gue," jawab Dera.

"Iya tuh bener. Gak sopan banget." Sella mencoba memanasi suasana.

Tapi Brian sama sekali tidak percaya karena ia melihat semuanya dan tidak mungkin juga Fera mencari gara-gara.

"Gue pengen banget nyolok matanya yang sering natap gue sinis. Tuh kan baru diomongin aja kayak gitu. Kurang ajar banget lo!" Molli bersiap menampar Fera.

Brian dengan sigap menahannya. "Lo mau apain pacar gue, hah?"

"A-apa? Pacar? Sejak kapan lo pacaran sama cewek murahan ini? Jangan-jangan lo dipelet ya?" Dera berucap dengan tidak percaya. Karena setahu Dera, Brian dari dulu menjomblo. Kalau pun mereka berpacaran, pasti akan ada momen berduaan. Tapi mereka sama sekali tidak pernah terlihat dekat.

Jangankan dekat dengan Fera, Brian malah tidak tahu nama-nama murid perempuan di kelasnya. Makanya mereka merasa aneh dengan pengakuan sepihak dari Brian.

"Mulut lo dijaga tuh! Murahan kok teriak murahan?" ucap Brian kesal.

"Mana buktinya kalo kalian emang pacaran?"

"Lo pengen bukti?" tanya Brian, "Oke gue buktiin sekarang."

Tanpa diduga, Brian tiba-tiba mencium bibir Fera. Mereka langsung menjerit histeris. Orang-orang yang berada di kelas sama terkejutnya. Salah satu dari orang yang berada di kelas itu memfoto adegan itu.

Sepersekian detik foto adegan ciuman itu menyebar digrup W******p. Kabar tersebut ternyata sudah sampai ke telinga guru BP, Pak Anwar. Brian dan Fera dipanggil untuk menghadap dan diminta untuk menjelaskan semuanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status