Share

Perantara

"Lo punya otak gak sih, Bri? Lo bukannya nolong Fera tapi malah menjatuhkan Fera. Lo tau, setelah kejadian ini Fera bakal makin di-bully habis-habisan."

Kata-kata Ara terus terngiang-ngiang di kepalanya. Sudah dua hari sejak kejadian itu, Brian tidak bisa melupakannya. Apalagi mengingat pandangan orang-orang pada Fera tadi, Brian miris melihatnya.

Brian juga mendengar kabar kalau Fera dicap sebagai perempuan murahan, rumor yang beredar kalau Fera sebagai wanita penghibur itu makin meyakinkan orang-orang, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Setiap orang yang melihat Fera, mereka langsung mencibir Fera dengan kata-kata yang tidak pantas.

Fera seharusnya tidak mendapatkan cibiran itu. Harusnya Brian lah yang dikata-katai, karena sebenarnya Brian di sini yang salah. Sekali lagi, Fera hanya korban. Korban!

"Gue kasian liat Fera, dia makin dikucilkan."

Brian menatap Fera yang sedang menunduk membaca buku sambil bersandar pada dinding. "Terus gue harus gimana, Don?"

"Lo minta maaf lagi gih sana," jawab Doni.

"Gue udah puluhan bahkan ratusan kali minta maaf sama dia, tapi dia gak pernah sedikit pun maafin gue. Lo tau, setiap gue mau bantuin dia buat nyapu lapangan, dia selalu menghindar. Dia benci sama gue, Don."

"Lo emang pantas dibenci," ujar Farid.

Hati Brian sama sekali tidak tersinggung, toh memang faktanya memang harus seperti itu.

"Coba lo ngomong baik-baik. Atau ajak orang buat jadi perantara lo. Ara misalnya."

Brian tidak mungkin mengandalkan Ara lagi, kakak sepupunya itu sedang dalam keadaan yang tidak baik. Ia juga punya masalah yang belum diselesaikan, ia juga sibuk dengan latihan voli dan vokal untuk pertandingan dan lomba nanti yang akan diselenggarakan kurang lebih dua bulan lagi.

Apa mengajak ketua kelas yang sekaligus sohib Brian saja? Tapi sepertinya tidak akan berhasil. Yang harus jadi perantara itu perempuan, karena sesama perempuan pasti akan mengerti.

Lalu Brian harus mengajak siapa? Ia tidak dekat dengan perempuan mana pun kecuali Ara dan juga Bianca. Ah, apa mungkin mengajak Bianca saja?

Brian mengambil ponselnya. Ia segera menghubungi Bianca. Tidak berapa lama Bianca menjawab teleponnya. Sepertinya di sekolahan sana juga masih jam istirahat.

["Halo, Yan?"]

"Halo. Ca, lo bisa bantuin gue gak?" tanya Brian.

["Bantuin apa, nih? Tumben."]

Brian menceritakan semua permasalahannya. Tanpa diduga, Bianca menyetujui untuk menjadi perantara Brian. Nanti sepulang jam sekolah, Bianca akan langsung pergi ke sekolah Brian untuk menjalankan misi.

Sesuai janji, Bianca datang setelah semua murid yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler meninggalkan sekolah. Brian menghampiri Bianca lalu menyuruhnya untuk mendekati Fera yang sedang membersihkan toilet perempuan.

"Gue mengandalkan lo, Ca."

Bianca tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Brylian. "Lo percaya sama gue. Gue gak akan mengecewakan lo. Tapi jangan lupa sama janji yang udah kita berdua sepakati, ya!"

Bianca memulai aksinya. Ia masuk ke toilet dan berdiri di depan cermin. Fera sedikit terkejut melihat Bianca, pasalnya ia tidak pernah melihat Bianca sebelumnya. Dan juga, ia kaget melihat badge sekolah Bianca yang berbeda dengan sekolahnya.

Murid baru? Atau musuh yang sedang menyusup? pikir Fera.

"Hai, ganggu ya?" tanya Bianca.

Fera menggeleng, ia kembali melanjutkan mengepel lantai.

"Lo rajin banget. Lagi kebagian piket ya?" tanya Bianca lagi.

"Ah, iya." Dusta Fera.

"Kenalin, gue Bianca temannya Ara. Lo tau dia, kan? Gue ke sini gak berniat buat tawuran, kok. Gue mau jemput si Ara."

"Oh, ya... salam kenal," balas Fera.

"Lo piketnya masih lama? Temenin gue ya? Mau, kan? Gue takut di sini, gak ada temen. Ntar kalau tiba-tiba gue diseret paksa ke Ruang Guru gimana, coba, gara-gara gue seenaknya masuk ke sekolahan orang."

Fera mengangguk pelan. "Iya, aku piketnya masih lama. Nanti aku temenin."

"Makasih," ucap Bianca. Ia menunggu Fera di luar toilet.

Ibu jari Bianca terangkat ke atas begitu melihat Brian. Kode dari Bianca itu membuat Brian tersenyum. Ya, Brian tak salah memilih Bianca sebagai perantara.

"Lo mau piket di mana lagi? Kelas?" tanya Bianca begitu Fera menutup pintu toilet.

"Di lapangan," jawab Fera.

Bianca mengangguk. Mereka berdua berjalan beriringan menuju lapang yang sedang dipakai oleh anak-anak ekskul voli putri.

"Btw dari tadi gue liat lo piket cuma sendirian, temen lo yang lain ke mana? Gak ada yang bantu kah?"

Fera hanya tersenyum kecil mendengar pertanyaan Bianca. Ia tak niat menjawab, karena Bianca adalah orang yang tidak dikenalinya. Jadi orang asing tidak seharusnya tahu tentang masalah dirinya.

"Lo piket bareng sama Brian? Cuma kalian berdua aja piketnya?"

Mata Fera melirik sekilas Brian yang baru saja datang ke lapangan. Harusnya Fera tidak kaget saat tahu Bianca kenal Brian. Jelas saja, Bianca adalah teman Ara, otomatis Bianca dekat juga dengan gengnya Ara.

"Ayo, ayo, yang bersih, yang bersih, yang bersih!"

Brian menyawer Bianca dengan dedaunan yang sudah disapu oleh Fera. Cantika tertawa geli karena sukses menjahili Brian. "Bawel! Bantuin gue napa!"

"Ih, sorry ya, gue bukan murid sekolah sini," balas Bianca.

Brian berjalan ke sisi kanan lapangan. Fera dan Brian membagi dua lapangan ini supaya cepat selesai disapu.

Bianca mengikuti Fera yang sedang menyapu. "Lo tau gak, katanya Brian kepergok lagi ciuman di sekolah. Itu berita bener gak, sih?"

Fera terdiam. Keningnya sedikit mengkerut. Bianca menanyakan hal ini padanya? Apa tidak salah?

"Ya gitu," jawab Fera pelan.

"Lo tau siapa ceweknya?"

Kebingungan Fera terjawab, Bianca tidak tahu siapa dirinya.

"Lo tau gak, awalnya gue gak percaya sama gosip itu. Karena apa, Brian selama dua tahun terakhir itu gak pernah deket sama satu pun cewek. Ya bisa dibilang dia itu anti cewek. Tapi waktu anak-anak se-geng nge-iya-in, gue akhirnya percaya. Gue gak tau alasan dia cium tuh cewek, apalagi tu cewek bukan pacarnya."

Bianca memperhatikan Fera yang sedari tadi diam. Wajahnya juga menggambarkan sedikit gurat kecemasan. "Itu cewek kasian, pasti dia kaget karena tiba-tiba dicium. Kalo gue jadi cewek itu, gue bakal marahin Brian habis-habisan, gue bakal keluarin unek-unek gue sampe hati gue tenang. Abis itu gue maafin deh. Karena apa? Pasti Brian gak sengaja nyium. Lo tau, sebesar apapun kesalahan seseorang, kita harus memaafkannya. Kita jangan egois, coba kita liat sudut pandang orang itu juga, kita rasain gimana jadi dia, enak apa nggak gak dimaafin sama seseorang."

Perkataan Bianca itu sangat menohok hati Fera. Apa iya Fera egois? Tapi memaafkan Brian yang sudah semakin merusak reputasinya itu sangat sulit. Tidak di rumah, tidak di sekolah, Fera diperlakukan dengan tidak baik. Fera tidak bisa menerimanya.

"Perasaan dari tadi gue curcol mulu ya? Hehehe... maaf ya, soalnya gue kalo lagi bosen suka kek gini. Oh ya, btw gue belum tau nama lo. Nama lo siapa?" tanya Bianca.

"Nucifera," gumam Fera.

"Fera? Itu asli nama lo? Unik ya? Jarang loh orang pake nama bunga lotus, biasanya juga mawar, melati, dahlia dan banyak lagi."

"Makasih." Fera memang tidak berbohong soal namanya. Nama asli Fera adalah Lotus Nucifera. Memang jarang orang memakai nama bunga dengan nama ilmiahnya.

Sejujurnya Fera tidak suka nama itu karena bunga lotus ditanam di tempat yang kotor. Lingkungan tempat bunga lotus hidup sama dengan lingkungan tempat tinggal Fera.

Fera benci dengan hidupnya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status