Share

Tangis

Ruangan yang tidak terlalu besar itu sangat menyesakkan dada. Entah karena situasinya yang membuat kepala tidak bisa berpikir jernih dan tubuh bergetar ketakutan.

"Apa betul yang difoto ini kalian berdua?" tanya Pak Anwar setelah beberapa saat terdiam sebentar ketika dua menit yang lalu Brian dan Fera baru saja datang.

"Betul, Pak," jawab Brian.

"Kenapa kalian melakukan hal yang tidak pantas seperti itu di sekolah?"

Brian dan Fera tidak menjawab.

"Bapak tanya sekali lagi, kenapa kalian melakukan tindakan yang tidak senonoh? Kalian tidak merasa malu apa?"

"Maafkan kami, Pak," jawab Brian lagi.

Kepala Fera makin menunduk, menyembunyikan wajahnya dibalik helaian rambutnya yang selalu tergerai bebas.

Sesuai kesepakatan sepihak dari Brian, ia melarang Fera membuka suara. Jadi, setiap kali Pak Anwar bertanya, maka yang menjawab dan menjelaskan semuanya adalah Brian. Cowok jangkung yang sering berpenampilan acak-acakan itu menganggap kalau ini bukan salah Fera, semua ini adalah salah dirinya sendiri. Fera sama sekali tidak terlibat. Fera hanya korban.

Pak Anwar terus menceramahi keduanya sampai empat puluh lima menit kemudian.

Brian dan Fera mendapatkan surat pemanggilan orang tua. Besok orangtua wajib datang. Sanksi untuk keduanya yaitu harus membersihkan WC dan lapangan selama seminggu penuh setelah pulang sekolah.

"Lo jangan dulu ke luar. Lo tunggu di sini sampe orang-orang yang ada di luar bubar semua," ucap Brian pada Fera sebelum mereka meninggalkan Ruang BP.

Begitu keluar, Brian langsung disambut oleh anak-anak teman se-geng-nya. Brian mencoba membuat ekspresi setenang mungkin saat melihat raut wajah Ara, kakak sepupunya, yang dipenuhi dengan amarah.

Brian berusaha menghindar tetapi Ara mengikutinya dari belakang. Brian memilih diam saat Ara bertanya apa yang sebenarnya terjadi, biarlah surat yang ada ditangan Brian yang menjelaskan semuanya.

"Jadi lo bener ciuman sama temen sekelas lo?" tanya Ara setelah membaca sampai habis surat pemanggilan orang tua tersebut.

Brian diam. Sengaja ia menutup wajahnya dengan lengan. Brian benar-benar takut jika melihat Ara sedang marah. Amukan Ara sebelas dua belas seperti amukan ibunya.

"Kronologinya kayak gimana sampe lo bisa ciuman sama cabe-cabean itu?"

"Dia bukan cabe-cabean, Ra," jawab Brian. Terdengar nada yang tidak suka saat ada orang yang selalu menuduh Fera sebagai gadis yang tidak baik.

Brian sekarang ingat kalau beberapa temannya pernah membahas Fera. Yang mereka bahas adalah desas-desus tentang Fera yang katanya bekerja sambilan sebagai penghibur. Tetapi Brian tidak percaya (waktu itu ia tidak peduli dengan gosip) karena dilihat dari penampilan Fera, gadis itu jauh dari apa yang selalu mereka bicarakan.

Memang jangan menilai orang dari sampulnya saja, tetapi Brian bisa tahu mana perempuan yang baik-baik dan mana yang tidak.

Brian mengembuskan napas lalu menceritakan semuanya. Sebentar-sebentar Ara terkejut, kemudian marah-marah karena kebodohan yang dilakukan oleh Brian.

"Terus sekarang lo mau gimana? Lo gak mungkin, kan, ngasih tau tante."

Ya... benar. Kalau ibunya Brian tahu hal ini, beliau pasti marah besar. Lagipula, ibunya sedang tidak ada, beliau sedang berada di luar kota untuk urusan pekerjaan.

"Lo..., bisa nyuruh bude buat jadi wali gue gak?" tanya Brian pelan.

"Ntar gue usahain," jawab Ara.

Brian memeluk tubuh kakak sepupunya itu. Sebagai adik, Brian merasa tidak berguna. Ia tidak bisa menjadi adik yang baik. Saat Ara sedang dalam masalah, ia sama sekali tidak bisa membantunya. Tetapi, ketika Brian sedang dalam kesulitan, Ara selalu setia berada di sampingnya.

Dan sekarang..., padahal Ara sedang memiliki masalah pun, Ara tetap mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri. Inilah yang membuat Brian sangat sayang kepada Ara dan mencoba untuk menjadi adik sepupu yang baik, tetapi semua usahanya sia-sia karena sekarang Brian tidak sengaja membuat Ara merasa kecewa.

***

Esok harinya, ibunya Ara datang ke sekolah. Brian sesekali menoleh ke arah pintu Ruang BP. Fera maupun orang tuanya tidak... um... belum juga datang.

Apa mungkin tidak akan datang? Tapi Brian tadi melihat Fera datang ke sekolah seperti biasa.

"Permisi!"

Dua orang yang ditunggu akhirnya datang juga. Brian mengembuskan napas, lega.

"Silakan duduk, Bu," ucap Pak Anwar.

Brian mengamati wanita yang berpakaian ketat dan terlihat glamor itu. Rambutnya berwarna merah jagung, alis berwarna coklat dan bibir merah merona. Itukah ibunya Fera? Perbandingan penampilannya dengan Fera bagaikan langit dan bumi.

Pak Anwar memulai membahas mengenai masalah Brian dan Fera kemarin.

Brian makin tidak enak duduk karena merasa bersalah dan juga tak nyaman ditatap tajam oleh ibunya Fera. Kalau saja ia bisa kabur, mungkin dari tadi ia tidak ada di sini, membiarkan ibunya Ara datang sendirian. Atau yang lebih baik mereka berdua tidak datang sekalian.

Ah, Brian menyesal karena tidak membolos saja.

Ibunya Ara terus menimpali ucapan Pak Anwar, beliau sesekali mengucapkan kata maaf atas kelakuan keponakannya.

Satu jam yang menegangkan, akhirnya selesai juga. Brian berjalan terlebih dahulu bersama ibunya Ara.

"Bude..."

Ibunya Ara tersenyum sambil mengelus kepala Brian. "Tenang, Bude gak akan ngasih tau ibu kamu. Hah... rasanya lega karena kamu gak dikasih sanksi dikeluarkan dari sekolah."

"Terima kasih, Bude."

"Bude pulang dulu, ya?"

Brian mengangguk, tak lupa ia juga mencium tangan budenya. "Hati-hati, Bude."

Begitu ibunya Ara pergi, Fera dan ibunya keluar Ruang BP lalu menghampiri Brian. "Oh, jadi ini pacar lo Fera?"

Brian menatap kedua orang itu dengan datar. Belum sempat ia membalas, wanita itu kembali berbicara, "Tante, kan, udah pernah bilang sama lo, jangan pacaran sama temen yang seumuran, pacaran aja sana sama orang yang udah kerja seperti Om Ferdy. Cowok macam dia mana bisa ngasih uang ke lo. Dasar anak bodoh!"

Tante? Brian kira wanita itu ibunya Fera.

"Udah bodoh, malu-maluin Tante lagi. Dasar ponakan gak tau diuntung! Jangan deket-deket lagi sama dia." Tantenya Fera meninggalkan mereka berdua.

Mereka menjadi pusat perhatian anak-anak yang sedang pelajaran olahraga. Tapi perhatian mereka lebih terfokus pada tantenya Fera yang masuk ke dalam mobil mewah dengan warna hitam mengkilap.

Brian menatap Fera yang sedari tadi menunduk. Ia mencoba mendekat tapi Fera menghindar.

"Fera..."

"Jangan dekati aku!" Fera setengah berteriak. "Kamu tadi gak denger tante aku ngomong apa?"

"Gue minta maaf," ucap Brian.

"Terlambat dan juga percuma. Permintaan maaf kamu gak bisa mengembalikan keadaan." Fera berlari meninggalkan Brian yang mematung.

Tetes air mata yang jatuh dari mata sayu milik Fera itu menghujam keras hati Brian.

Fera menangis karenanya!

Ternyata Brian memang sudah berbuat salah. Kesalahan yang besar bagi Fera hingga bisa melukai hatinya seperti itu.

Brian sekarang bingung harus bagaimana. Meminta pengampunan saja sepertinya memang tidak cukup.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status