Share

Tidak Ada Kabar

Sepanjang hari ini Fera terus melamun memikirkan ucapan Bianca hari kemarin. Hati Fera masih merasa bimbang antara harus memaafkan Brian atau tidak. Padahal selama ini Fera seorang yang pemaaf. Tetapi kenapa pada Brian ia sangat sulit berhadapan langsung dan mendengar semua penjelasan Brian?

Apakah kali ini Fera harus memberikan kesempatan? Sebenarnya Fera juga tidak mau seperti ini, berlarut-larut marah dalam diam. Fera ingin mencurahkan isi hatinya yang selama ini dipendam sendiri. Fera ingin berbagi kesakitan yang selama ini dirasakannya.

Tidak, Fera tidak jahat, tapi ia hanya ingin seseorang mengerti akan apa yang ia rasakan. Ia tidak tahan di-bully oleh orang-orang.

Fera memang membutuhkan seseorang untuk menjadi tempat ia bercerita.

"Fera!" Brian memanggil Fera yang sedang menyimpan sapu dan sekop di bawah tangga.

Fera melirik sekilas tanpa menjawab panggilan Brian.

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo," ucap Brian lagi. "Gue mau minta maaf."

Fera masih diam. Ia berlalu meninggalkan Brian untuk mencuci tangan di-kran air yang letaknya dekat dengan taman depan sekolah.

"Fera... please, kali ini aja lo mau dengerin gue. Lima menit..., biarkan gue ngomong lima menit sama lo."

Ini kesempatan terakhir untuk Fera. Karena setelah ini ia tidak akan bersama Brian lagi—dan mungkin ini terakhir kalinya juga ia melihat Brian—karena waktu hukuman mereka sudah habis.

"Oke." Hanya itu yang keluar dari mulut Fera.

"Pertama, gue mau minta maaf sama lo karena udah nyium lo sembarangan. Dan gara-gara kelakuan gue itu, lo dapat hukuman dan di-bully sama orang-orang. Jujur, Fer, gue awalnya gak bermaksud begitu. Gue gak ada niatan buat ngelecehin lo. Gue cuma... cuma mau bantuin lo supaya gak di-bully lagi. Gue gak peduli kalo lo benci sama gue. Yang jelas, gue nyesel sama perbuatan gue waktu itu."

"Permintaan maaf kamu gak ada artinya, permintaan maaf kamu gak bisa mengembalikan keadaan. Reputasi aku makin buruk di mata orang-orang. Percuma juga kamu klarifikasi karena orang-orang gak akan percaya. Kamu tau, orang yang selalu menganggap aku perempuan baik-baik udah gak percaya lagi sama aku. Dia sekarang ikut mencap aku sebagai perempuan murahan. Padahal... dia satu-satunya orang yang selalu ada buat aku, dia adalah tumpuan hidupku." Fera mulai terisak.

Brian ingin sekali merengkuhnya, mendekap erat tubuh Fera yang ringkih itu.

"Gara-gara kejadian itu, dia kecewa sama aku. Dan pada akhirnya, dia mutusin aku karena dia malu punya pacar 'murahan' seperti aku!"

Jantung Brian seperti berhenti berdetak. Sakit! Kenapa Brian tidak tahu kalau Fera sudah punya pacar? Bagaimana perasaan pacarnya saat tahu Fera bermesraan dengan laki-laki lain? Pasti hatinya sangat hancur.

"Maafin gue, Fer..."

"Aku kan udah bilang, jangan minta maaf. Percuma. Makasih karena kamu udah buat hidup aku makin menderita." Fera pergi begitu saja dari hadapan Brian. Satu sisi hatinya lega, tapi sisi lain terasa sesak.

Fera tidak tahu yang dilakukannya ini sudah benar atau tidak. Yang jelas Fera hanya mengikuti kata hatinya. Ini pertama kalinya Fera curhat pada seseorang secara gamblang.

Biasanya ia bercerita pada Ari, pacarnya, hanya intinya saja, dua kata 'seperti biasa' yang memiliki banyak arti. Fera selalu menyandarkan kepalanya di bahu Ari saat disuruh bercerita, ia hanya diam membisu, karena Fera bukan tipe orang yang selalu mengumbar kehidupannya. Makanya, saat Ari mengajak pacaran, Fera memutuskan untuk backstreet.

Tapi, tempat sandaran paling nyaman itu kini sudah tidak ada. Fera sudah tidak punya lagi tempat bertumpu. Kalau bisa memilih, Fera tidak ingin ada lagi di tempat sekarang ia berpijak.

***

Sudah dua hari Fera tidak masuk sekolah. Sudah dua hari pula Brian seperti mayat hidup. Brian sedikit pun tidak bisa memikirkan Fera. Bagaimana tidak, Fera sama sekali tidak memberikan keterangan kenapa ia absen. Guru-guru juga tidak membahasnya, seolah sudah tahu apa yang terjadi pada Fera.

Teman-teman sekelasnya tidak ada yang tahu dan tidak ada yang punya nomer telpon Fera, selain itu mereka juga tidak tahu tempat tinggalnya. Fera benar-benar terkucilkan.

"Masa, sih, Fera gak punya tetangga. Masa iya juga dia gak punya hape, emangnya ini lagi di jaman batu?" Fadillah, sang ketua kelas juga ikut kebingungan karena absennya Fera tanpa ada keterangan.

Brian yang sedang menopang dagunya teringat sesuatu, ia teringat ucapan Fera kalau pacarnya kecewa pada Fera. Tunggu, apa pacar Fera sekolah di sini?

Kalau iya, siapa pacarnya Fera? Masa Brian harus bertanya satu persatu pada anak-anak cowok di sekolah ini.

"Dulu, waktu masih semester satu, gue pernah liat Fera dibonceng sama cowok, kalo gak salah dia anak dari kelas sepuluh tujuh," ucap Bagas.

"Siapa cowoknya?" tanya Brian.

"Kalo gak salah namanya Ari," jawab Bagas.

"Apa dia tetangganya? Atau pacarnya? Kalau tukang ojek gak mungkin," ujar Fadillah.

"Gak tau, coba lo tanyain aja."

Sebelum Fadillah bertindak, Brian sudah mendahuluinya. Teman geng Brian yang sedang berkumpul merasa aneh melihat Brian yang tiba-tiba pergi. Mereka tidak mempedulikannya karena Brian sudah sering pergi secara mendadak tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Brian menyambangi kelas bertuliskan 'X-VII'. Matanya mengamati orang-orang yang berada di dalam kelas. Bahu Brian ditepuk, ia menoleh dan mengerutkan kening.

"Lagi nyari siapa, Bro?" tanya cowok bername tag Ari.

"Lo Ari?"

Cowok itu mengangguk. "Iya. Ada apa lo nyariin gue?"

"Gue boleh ngomong sesuatu?"

"Boleh. Mo ngomong apa emang?"

"Apa lo... pacarnya Fera?" tanya Brian hati-hati.

"Gila lo! Gak mungkin lah gue pacaran sama cewek murahan kayak dia. Sorry, dia gak selevel sama gue," jawab Ari. "Kenapa lo nanya ini ke gue? Apa lo udah dikhianatin sama cewek murahan itu? Bro, bisa jadi lo itu pacar kesekian dia. Dan bisa jadi juga bibir dia yang lo cium itu bekas cowok lain."

Brian hampir saja memberikan bogem mentah pada wajah Ari kalau saja ia tidak melihat Ara. Ya, kakak sepupunya itu menyusul Brian karena tadi tak sengaja melihat Brian berjalan dengan tergesa-gesa.

Dalam pikiran Ara pasti ada sesuatu yang terjadi pada Brian.

"Bri!" Ara memanggil Brian.

Ari buru-buru masuk ke kelas karena takut melihat Ara yang menghampiri mereka.

Bukan sebuah rahasia lagi kalau Ara ini disegani oleh satu sekolahan. Selain memiliki wajah yang sangar dan galak, Ara juga memiliki aura yang menyeramkan. Apalagi sekarang iuran kas OSIS ditagih langsung oleh Kak Wiwit dan Ara. Mereka menagih iuran kas dengan sangat tidak manusiawi terutama si sekretaris OSIS, Ara.

Orang-orang tidak bisa protes ketika sekretaris mendampingi bendahara untuk tugas tagih-menagih.

"Lagi ngapain lo di sini?"

"Gue lagi ada perlu, Ra."

"Perlu? Soal apa?"

"Tentang Fera, Ra. Lo tau, udah dua hari Fera gak masuk sekolah tanpa keterangan."

"Kok bisa?"

Brian menggeleng.

Ara kembali bertanya, "Fera, kan, temen sekelas lo, tapi kok lo malah nyari info di kelas lain, sih?"

"Itu dia, Ra. Seorang pun dari kelas gue gak ada yang tau rumah dia di mana. Gue datang ke kelas ini buat nyari yang namanya Ari, kata Bagas si Ari ini pernah bonceng Fera. Siapa tau, kan, Ari itu tetangganya," jelas Brian.

"Lo gak tau ya kalo di kelas ini tu ada dua Ari."

Brian sedikit terkejut. Jadi, Ari yang tadi bukan Ari yang dimaksud Bagas?

"Lo pasti gak tau orangnya, kan?" tebak Ara lagi.

Jawabannya betul.

Ara tertawa kecil. "Mau gue bantu?"

"Gak usah, Ra. Gue gak mau ngerepotin lo terus."

"Adikku tersayang, gue ini anggota OSIS. Jadi gue bisa liat dokumen-dokumen tentang data diri para siswa. Jadi lo gak usah repot-repot nanya ini onoh ke orang lain."

Ah, benar juga. Kenapa Brian tidak kepikiran? Tapi sebelum itu, ia masih harus mencari Ari yang dimaksud Bagas. Brian curiga kalau Ari yang satu lagi adalah pacarnya Fera.

"Yuk ke ruang OSIS sekarang," ajak Ara.

"Gak dulu deh, Ra. Gue masih ada urusan sama Ari satu lagi."

Ara mengerutkan kening, ada apa Brian mencari orang itu? Setahu Ara, Brian tidak pernah punya urusan dengan orang lain.

"Ya udah kalo gitu. Kalo lo butuh, lo langsung hubungi gue aja atau Oji."

***

Brian menghampiri seseorang di parkiran. Kebetulan sekali motor mereka terparkir bersebelahan. Mata Brian mengamati orang itu. Ah, Brian baru ingat, orang itu anak basket.

Merasa risih karena diperhatikan terus, orang itu bertanya pada Brian, "Lo ada perlu sama gue?"

"Lo... pacarnya Fera bukan?" tanya Brian, memastikan.

"Urusannya buat lo apa?"

"Lo tau kenapa Fera gak sekolah?"

"Kenapa lo tanya ke gue? Bukannya lo itu pacarnya, ya? Harusnya elo, kan, yang tau."

"Gue bukan pacarnya!" bantah Brian.

"Kalo lo bukan pacarnya, kenapa lo bisa ciuman sama dia? Sedangkan gue yang dua tahun ini pacaran sama dia, gue gak pernah nyentuh dia sedikit pun."

Brian tertegun. Jadi Ari dan Fera sudah pacaran selama itu. Dan mereka putus karena salah paham. Penyebabnya adalah Brian.

"Gue kira dia itu cewek baik-baik meskipun lingkungannya buruk. Tapi ternyata, dia cuma pura-pura polos. Dia sama aja kayak tantenya, murahan. Dia ngasih tarif berapa ke elo?"

Brian akhirnya melayangkan bogem mentahnya. Ari terhuyung kesamping, ia kehilangan keseimbangan dan hampir saja sepeda motornya menimpa dirinya.

"Lo... kenapa bisa ngomong kayak gitu ke cewek lo sendiri? Dia itu jelas-jelas cewek baik-baik."

"Tau apa lo tentang Fera? Dia emang keliatan kayak cewek baik-baik, tapi aslinya dia itu murahan. Lo tau, gue udah ketipu sama dia! Sama gue aja dia jual mahal, sama lo langsung dikasih."

Brian kembali meninju wajah Ari. Tak terima, Ari balas meninju Brian. Keributan mereka berdua memancing orang-orang yang masih berada di sekolah.

Beberapa orang melerai mereka berdua. Sudah dipisahkan pun, tatapan mereka saling beradu. Ari membuang ludah yang bercampur darah akibat sudut bibirnya sedikit robek.

"Gue yakin, lo bakalan nyesel karena udah bela pe***** kayak dia."

Brian berang, ia kembali ingin menghajar Ari tapi orang-orang menahannya sekuat tenaga. "Lo gak pantes nyebut Fera pe*****."

"Terus aja lo belain dia. Gue gak nyangka lo doyan sama pe*****!"

"Brengsek!" Brian menghempaskan cekalan tangan orang-orang itu. Ia menghajar lagi Ari.

Orang-orang yang melerai mereka sempat terkena pukulan.

Ara yang mengetahui kalau yang sedang berkelahi itu Brian langsung saja menghampiri kerumunan itu.

"BRIAN!!!" Ara berteriak keras dengan penuh emosi.

Brian berhenti menghajar Ari. Mata mereka berdua melotot melihat Ara yang berkacak pinggang. Mereka memang takut pada Ara, tapi mereka lebih takut pada orang yang sedang berdiri di samping Ara yaitu Pak Anwar.

Tamatlah riwayat mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status