Iren tidak tahu jika ucapannya itu membuat tubuh Hera membeku. Ada yang salah dengan hatinya saat Iren mengucapkan nama Gama lagi.
Tapi tepukan tangan halus Mentari di pahanya, membuat Hera mengerjap dan menatap bocah mungil itu.
“Ma. Kenapa Mama melamun?” tanya Mentari. Kedua alisnya yang lebat itu menyatu. Mata abunya menatap Hera dengan bingung.
“Iya, Hera. Apa yang sedang kau pikirkan?” Bimo dan Fatma juga bertanya. Hati mereka menduga kalau Hera pasti sedang memikirkan mantan suaminya.
Hera menggeleng. “Enghh, tidak. Aku tidak sedang memikirkan apa-apa,” dusta Hera lalu memaksakan senyum kecil.
Fatma dan Bimo saling tatap. Mereka tahu kalau Hera berbohong. Tampak sekali dari raut wajah Hera saat ini.
Bimo memberi isyarat agar istrinya segera mengajak Mentari bermain. Dan Fatma mengangguk. Digendongnya Mentari menjauhi meja makan sebab Bimo sepertinya ingin berbicara serius dengan Hera.
&l
Matanya masih menyorot pada Gama yang melangkah di teras rumahnya sembari merangkul mesra pinggul wanita itu dari samping.Hera meneguk ludahnya kasar. Lalu menekan dadanya dengan kuat. Ia merasa ada sesuatu yang remuk redam di dalam sana.“Nona? Apa Anda tidak jadi turun? Saya masih harus mencari pelanggan yang lain,” dengan sedikit kesal sopir taksi itu bertanya lagi.Hera mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. Lalu ia berkata. “Jalan saja, Pak. Aku tidak jadi berhenti di sini.”***Di dalam rumahnya, Gama mempersilakan Iren duduk di sofa, sementara Gama duduk di sampingnya. Ia membiarkan Iren menyalakan televisi dan menonton acara apa saja yang wanita itu sukai. Sementara Gama bermain dengan ponselnya.“Rumahmu terlihat sepi sekali.” bukannya fokus menatap TV di depannya, Iren justru mengomentari suasana di dalam rumah Gama sembari mengedarkan pandangan.Gama menganggu
Tak bisa dipungkiri, sebagai sepupu, Hera pun senang mengetahui Iren mendapatkan pasangan yang benar-benar cocok untuknya. Tidak seperti dirinya, ia hanya bisa mencintai sosok Gama suaminya dari jauh, memupuk harapan kalau suatu saat Gama akan menerimanya sebagai istri. Tapi malam itu malah terjadi dan membuat semua harapan yang sudah Hera pupuk menjadi hancur.Hanya tersisa rasa kecewa yang sampai saat ini masih dirasakannya.Fatma kembali menyentuh lengannya, menyadarkan Hera dari lamunannya tentang Gama.“Hera. Kau masih ingat, sejak dulu kau dan Iren seperti sepasang anak kembar. Kemana-mana selalu bersama, bermain bersama, dan kalian dekat seperti saudara kandung. Itu sebabnya, Iren merasa hancur saat kau pergi tanpa kabar. Untuk itu Bibi ingin berpesan sesuatu padamu,” jemari Fatma kini menggenggam tangan Hera. Menatap bola matanya yang bulat itu dengan serius.“Apapun yang terjadi, hubungan persaudaraan kalian harus se
“Kau yakin tidak ingin masuk dulu?” tanya Iren yang berharap Gama berubah pikiran.Namun sayangnya Gama tetap menggeleng dengan tegas. Membuat bibir Iren maju beberapa senti.“Tidak. Aku akan langsung ke rumahku lagi,” jawab Gama dengan senyum kecil.Sembari melepaskan seatbeltnya, Iren mendesah kecewa. Tapi ia tetap mengangguk. “Ya sudah. Sampai jumpa besok, sayang. Semoga mimpimu indah malam ini.”“Kau juga,” balas Gama.Iren mendekatkan wajah, mengecup kilat pipi Gama lalu turun dari mobil.Gamamelambaikan tangan saat Iren melambai padanya. Tapi sebelum melajukan mobil, ia mengarahkan matanya terlebih dahulu ke arah rumah Iren yang tampak terang karena lampu-lampunya yang menyala.Entah mengapa Gama merasa penasaran dengan sosok sepupu Iren yang bernama Hera. Matanya masih memindai bagian pintu rumah, berharap sepupu Iren itu akan muncul di sana. Tapi sampai sa
Duduk di kursi tunggu, Hera saling meremas tangannya gelisah. Matanya memanas. Entah berapa puluh kali Hera berusaha menepis air di sudut matanya. Ia tak ingin menangis.Jangan sampai saat ia menemui Mentari nanti, anak itu akan melihat tangis di matanya.“Apa yang sedang dilakukan dokter di dalam sana. Kenapa dia lama sekali,” cemas Hera bangkit berdiri lalu bergerak mondar-mandir seperti setrikaan.Iren menaikan panakandangan dan menatapnya iba. Iren yakin, ibu manapun pasti merasakan kegelisahan dan kecemasan yang sama jika ada di posisi yang sama dengan Hera.Menghembuskan napas pelan, Iren pun ikut bangkit dan menghentikan langkah Hera dengan menyentuh pundaknya.“Tenang, Hera. Dokter sedang melakukan tugasnya. Dia pasti akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Mentari. Kau harus percaya, Mentari akan baik-baik saja,” hibur Iren.Hera tak mengangguk. Ia hanya menatap lirih pada pintu ruang UGD yang tertut
Iren tidak tahu kalau sebenarnya Gama sedang bersiap mengganti piyamanya dengan jeans dan kaus. Gama berniat datang ke Rumah Sakit ‘Pelita Hati’. Dimana Iren dan keponakannya berada saat ini.Setelah meminta sopirnya menyiapkan mobil, Gama lantas masuk dan mengemudikan mobilnya keluar dari area pelataran rumah.Begitu mobil Gama pergi, satpam langsung kembali menutup pintu gerbang.“Mau ke mana Tuan Gama larut malam begini. Mungkin dia mau pergi ke club malam,” gumam satpam itu menduga-duga sembari menggeser pintu gerbang, lalu menggemboknya.Tak berapa lama setelahnya, Hera menghentikan mobil di depan gerbang dan ia turun lantas berlari memencet bel yang terletak di samping gerbang besar itu.Membuat sopir yang tadinya sudah terkantuk-kantuk, langsung terbangun dan menghampiri Hera.“Anda sedang mencari siapa, Nona? Ini sudah larut malam,” tanya satpam itu yang Hera lihat di papan namanya bertuliska
Iren tertawa kecil mendengar celotehan Mentari.“Pokoknya Om Gama harus menerima boneka kelinci pemberianku. Om juga harus menjaganya dengan baik. Seperti aku yang selalu sayang dengan mereka,” kata Mentari menunjuk pada boneka kelinci yang ia peluk dan pada boneka kucing yang dipegang Gama.Gama tersenyum dan mengangguk. Meski sebenarnya orang dewasa sepertinya tak suka bermain boneka, tapi Gama tak bisa menolaknya.Entah mengapa Gama menerimanya dengan senang hati.“Baiklah. Om Gama akan menjaganya dengan baik. Demi dirimu, Mentari.” Gama mengusap lembut rambut Mentari dan menatapnya dengan senyum terhangat yang belum pernah ia berikan pada orang lain sebelumnya.***Dua jam sudah Hera menunggu Gama yang tak kunjung datang. Sedari tadi matanya juga tak melihat mobil lelaki itu meski berulang kali ia mengamati jalan.Sampai telpon dari Iren yang mengatakan kalau Mentari mulai menanyakannya, m
“Setelah itu jangan bilang kalau kau juga masih mencintainya,” lanjut Iren mengacungkan telunjuknya di depan wajah Hera. Hera menatapnya lurus. Tak mau menanggapi ucapan Iren, Hera menggeleng pelan. Kemudian mengusap wajahnya dengan sebelah tangan.“Aku mau mandi. Habis itu mau ke rumah Bibi sebentar untuk mengambil pakaian gantinya Mentari,” ucap Hera bangkit dari duduknya. “Apa kau tidak akan masuk kantor hari ini, Iren?” tanya Hera.Iren menggeleng. “Gama membebaskanku dari pekerjaan kantor hari ini. Dia mengerti kalau kau butuh aku selama Mentari dirawat.”Hera terenyuh mendengar ucapan Iren barusan. Sejak dulu, Iren memang tidak pernah membiarkannya sendiri melewati setiap masalah. Begitupun sebaliknya. Hera selalu menggenggam tangan Iren selayaknya seorang kakak pada adiknya.Tali persaudaraan di antara mereka sangat erat. Wajar jika Iren merasa kehilangan ketika Hera pergi tanpa ka
“Dokter di sini baik, Om. Tadi aku kemo lagi. Kata dokternya kemo itu agar aku sembuh dan jadi anak yang kuat. Rasanya memang sakit, Om. Tapi tidak apa-apa. Kalau aku sudah sembuh nanti aku bisa seperti sofia. Bisa pergi ke sekolah, punya banyak teman dan bisa main di luar. Iya ‘kan, Om Steve?”Ditanya seperti itu, Steve mengerjapkan matanya, lantas ia segera mengangguk dan tersenyum pada Mentari. Meski ia tahu Hera mati-matian menahan tangisnya di sana.‘Iya, sayang. Itu pasti. Kau adalah sofiaku. Sofia kecilku yang manis.’***“Kenapa di saat sedang bekerja pun, aku masih saja mengingat Mentari?” gumam Gama bertanya-tanya seraya menatap pada boneka kucing yang ia pegang.Saat ini Gama berada di kantor. Ia tengah duduk di balik meja kerjanya. Tadinya ia sibuk berkutat dengan setumpukan berkas yang harus ditandatangani.Tapi entah mengapa rasanya sulit sekali untuk mengabaikan bonek