Beranda / Romansa / Dua Tuan Tampan / 1. Karina Luna

Share

Dua Tuan Tampan
Dua Tuan Tampan
Penulis: bluaeya

1. Karina Luna

Penulis: bluaeya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-04 16:57:14

Di tengah hiruk pikuk Jakarta yang tak pernah benar-benar tertidur, di sebuah kamar kos berukuran sedang dengan dinding bercat krem yang mulai mengelupas di beberapa sudut, tinggallah Karina Luna. Di usianya 26 tahun kurang beberapa bulan, Karina memiliki paras yang sebenarnya cukup manis. Dengan rambut hitam legam yang sering ia ikat sederhana ke belakang, mata cokelat yang bulat serta senyum tipis yang jarang sekali ia pamerkan karena minder dengan gingsul kecil di salah satu sisi giginya, Karina adalah representasi dari gadis biasa di tengah jutaan penduduk ibu kota.

Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi namun juga tidak pendek, dengan gaya berpakaian yang jauh dari kata modis. Bukan karena tidak ingin tampil menarik, namun prioritas Karina lebih tertuju pada kenyamanan dan isi dompetnya yang pas-pasan sebagai seorang staf administrasi di sebuah perusahaan impor-ekspor yang cukup ternama.

Statusnya? Nah, inilah bagian yang selalu membuat Karina menghela napas panjang setiap kali ditanyakan. "Masih sendiri," adalah jawaban standar yang selalu ia lontarkan dengan senyum getir. Namun, dalam hati kecilnya, ia seringkali menambahkan, "dan kayaknya bakal terus begitu sampai kiamat." Ya, Karina Luna menyandang gelar "jomblo akut" yang sudah bertahun-tahun melekat padanya, sebuah predikat yang sering menjadi bahan candaan teman-temannya, namun menyimpan sedikit perih di hatinya.

Di kantor, Karina dikenal sebagai sosok yang pekerja keras, teliti. Ia lebih suka tenggelam dalam tumpukan dokumen dan angka daripada ikut serta dalam gosip-gosip hangat yang seringkali mewarnai jam istirahat. Sahabatnya, Maya, seorang staf marketing yang ekstrovert dan fashionable, seringkali berusaha menarik Karina keluar dari "kesendiriannya".

"Rin, weekend ini ikut gue yuk? Ada launching produk baru temen gue, siapa tahu ketemu cogan," ajak Maya suatu siang saat mereka makan siang di kantin kantor yang ramai. Maya dengan rambut merah menyalanya dan pakaian yang selalu up-to-date tampak kontras dengan penampilan sederhana Karina.

Karina mengaduk-aduk nasi gorengnya dengan lesu. "Males ah, May. Gue lebih suka tidur di kosan sambil maraton N*****x."

"Ayolah, Rin! Jangan jadi perawan kronis terus! Lo tuh sebenernya manis, cuma kurang percaya diri aja," balas Maya sambil mencubit pipi Karina gemas.

"Percaya diri dari hongkong! Setiap kali gue deketin cowok, ujung-ujungnya mereka malah tertarik sama lo yang jelas-jelas lebih cetar membahana," jawab Karina dengan nada sedikit iri, meskipun ia sangat menyayangi Maya.

Selain Maya, ada juga Elgar, rekan kerja Karina di bagian operasional. Elgar adalah tipikal cowok humoris yang sering melontarkan lelucon-lelucon garing namun berhasil mencairkan suasana tegang di kantor. Elgar diam-diam menaruh simpati pada Karina, namun ia terlalu pengecut untuk mengungkapkannya.

"Hei, Kar! Muka lo kusut kayak baju belum disetrika. Mikirin tagihan ya?" celetuk Elgar suatu sore saat Karina tampak termenung di mejanya.

"Lebih parah dari tagihan, El. Gue lagi mikirin kenapa kutukan jomblo ini nggak berhenti nempel di gue," jawab Karina sambil menghela napas.

"Kutukan apaan sih? Lo tuh terlalu pemilih aja kali," timpal Elgar sambil pura-pura sibuk menyusun berkas di mejanya, menyembunyikan senyum simpatiknya.

Di luar kantor, kehidupan Karina juga tidak jauh berbeda. Ia tinggal di sebuah kamar kos sederhana di kawasan padat penduduk. Teman-teman kosnya mayoritas adalah perantau dengan nasib yang kurang lebih sama. Ada Pak Jono, pemilik kos yang pensiunan dan cerewet namun baik hati, serta Lia, mahasiswi tingkat akhir yang sering curhat padanya soal tugas kuliah dan pacarnya yang moody.

Malam harinya, setelah pulang kerja dan makan malam nasi goreng bungkus di kamar kosnya, Karina seringkali merenung di depan laptop bututnya. Ia sesekali membuka aplikasi kencan daring atas desakan Maya, namun mayoritas profil yang muncul membuatnya mengernyit. Antara pria dengan foto selfie di kamar mandi tanpa baju, atau pria dengan bio yang membosankan, tidak ada satu pun yang berhasil menarik perhatiannya.

"Kayaknya memang nasib gue jadi single fighter seumur hidup," gumam Karina suatu malam sambil menutup laptopya dengan kasar. Ia menatap foto keluarga kecilnya di atas nakas. Ayah dan ibunya di kampung halaman selalu menanyakan kapan ia akan membawa calon suami. Pertanyaan yang selalu berhasil membuatnya merasa bersalah dan semakin tertekan.

Pengalaman romantis pertamanya terjadi saat kuliah. Seorang senior yang aktif di organisasi kampus dan pandai bermain gitar berhasil menarik perhatian Karina yang naif. Namun, hubungan itu kandas setelah beberapa bulan karena perbedaan pandangan dan prioritas hidup. Patah hati pertama itu cukup membekas dan membuat Karina menjadi lebih hati-hati dalam urusan percintaan. Ia mulai membangun tembok pertahanan di sekeliling hatinya, takut untuk merasakan sakit yang sama lagi.

Setelah lulus kuliah dan memutuskan merantau ke Jakarta, Karina berharap lembaran baru kehidupannya akan membawa perubahan, termasuk dalam urusan asmara. Namun, kerasnya kehidupan ibu kota dan fokusnya pada membangun karir membuat urusan mencari pasangan kembali терсампингкан (tersampingkan). Kencan-kencan yang ia jalani melalui rekomendasi teman atau aplikasi daring seringkali berakhir dengan kekecewaan. Ada yang terlalu нарциссический (narsis), ada yang terlalu perhitungan, dan ada pula yang bahkan tidak sesuai dengan foto profilnya. Pengalaman-pengalaman buruk itu semakin memperkuat keyakinannya bahwa kutukan jomblo akut memang benar-benar существует (ada) dalam hidupnya.

Malam-malam di kamar kosnya seringkali diisi dengan fantasi romantis yang ia dapatkan dari novel-novel atau drama Korea yang ia tonton. Ia membayangkan sosok pria ideal yang akan datang dan mengubah hidupnya, seseorang yang bisa melihat kebaikan hatinya di balik penampilan sederhananya. Namun, kenyataan seringkali terasa jauh berbeda dari idealisasi tersebut.

Ketidakpercayaan dirinya dalam urusan cinta juga diperparah oleh komentar-komentar "penyemangat" dari orang-orang di sekitarnya. "Kamu tuh terlalu baik, makanya cowok pada nggak ngeh," ujar Maya suatu kali. Atau, "Kamu harus lebih gaul, jangan ngurung diri terus di kosan," nasihat Elgar dengan nada khawatir. Semua komentar itu bukannya menyemangati, justru semakin menekankan status "berbeda" yang dirasakan Karina.

Dalam benaknya, Karina seringkali bertanya-tanya, apa yang salah dengannya? Apakah ia memiliki standar yang terlalu tinggi? Apakah ia terlalu tertutup? Atau memang benar, ada semacam kutukan aneh yang membuatnya selalu gagal dalam urusan cinta? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya tanpa menemukan jawaban yang memuaskan.

Namun, di balik semua keraguan dan rasa pesimisnya, Karina Luna tetaplah seorang wanita dengan hati yang tulus dan kebaikan yang melimpah. Ia hanya belum menemukan seseorang yang bisa melihat dan menghargai semua itu. Dan tanpa ia sadari, takdir sedang mempersiapkan sebuah kejutan besar yang akan mengguncang kehidupannya yang tenang dan monoton, sebuah kejutan yang mungkin akan mematahkan kutukan jomblo akutnya, dengan cara yang paling tidak terduga.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dua Tuan Tampan   12. Perdebatan

    Malam semakin menghampiri di depan toko bunga "Lavender Dreams", namun ketegangan di antara Julian dan Alex belum juga mereda. Setelah Karina berpamitan dan bergegas menuju halte, keduanya masih berdiri di tempat yang sama, saling menatap dengan sorot mata yang menyimpan berbagai pertanyaan dan kecurigaan. Julian, sebagai pihak yang lebih dulu mengenal Karina (sebagai atasannya), merasa memiliki keunggulan. Ia memandang Alex dengan tatapan dingin, mencoba menunjukkan superioritasnya. "Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini, Tuan...?" Julian menggantungkan kalimatnya, seolah meremehkan Alex yang belum ia ketahui identitasnya secara pasti. Alex menyeringai tipis, tidak terpengaruh sedikit pun oleh nada bicara Julian yang merendahkan. "Rossi. Alex Rossi. Dan saya juga tidak menyangka akan bertemu dengan seorang CEO yang berkeliaran di sekitar toko bunga pada malam hari. Sedang mencari inspirasi untuk buket ucapan selamat atas keberhasilan proyek?" balas Alex dengan nada san

  • Dua Tuan Tampan   11. Dua Tuan Tampan

    Senja merayap turun, membalut jalanan dengan cahaya temaram setelah kesibukan jam kantor mereda. Karina, dengan seulas senyum puas menghiasi wajahnya, baru saja keluar dari toko bunga "Lavender Dreams". Di tangannya tergenggam buket bunga matahari cerah untuk ulang tahun Risa. Namun, kedamaian sore itu terusik oleh kedatangan dua sosok pria secara bersamaan dari arah yang berlawanan. Tepat di sisi kanan Karina, sebuah mobil sedan mewah berwarna grafit berhenti. Pintu pengemudi terbuka, dan dari sana keluar Julian Pratama. Ia mengenakan kemeja biru muda yang digulung lengannya hingga siku, namun aura CEO yang berwibawa tetap melekat padanya. Karina terkejut bukan main. Belum hilang rasa kagetnya, dari sisi kiri Karina, suara deru motor sport yang khas terdengar mendekat. Sebuah motor Ducati berwarna hitam berhenti tepat di sampingnya. Pengendaranya menurunkan visor helm, memperlihatkan wajah tegas namun memikat milik Alex. Jaket kulit hitam yang dikenakannya semakin menambah daya ta

  • Dua Tuan Tampan   10. Kafe Eskrim

    Sore hari, Maya mengajak Karina untuk mencari udara segar sepulang kerja. "Kar, kepala gue udah berasap nih gara-gara brainstorming ide iklan yang nggak jelas. Kita cari es krim yuk di kafe Gelato. Siapa tahu ketemu oppa-oppa ganteng yang lagi nyari inspirasi juga," ajak Maya dengan nada penuh harapan. Karina, yang otaknya juga terasa lelah berjam-jam berkutat dengan angka, menyetujui ajakan Maya. Suasana sore yang ramai dengan lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki sedikit mengalihkan pikirannya dari rutinitas kantor. Sesampainya di kafe Gelato dengan aroma manis yang melekat di udara, Maya langsung memesan dua scoop rasa mint chocolate dan strawberry cheesecake. Karina sendiri memilih rasa salted caramel yang selalu berhasil menghiburnya. Mereka duduk di salah satu meja di sudut kafe, menikmati es krim sambil sesekali mengamati pengunjung lain. "Tuh kan, Kar! Gue bilang juga apa, kafe ini tuh sarangnya cowok-cowok ganteng!" bisik Maya sambil menyikut lengan Karina, matanya berbin

  • Dua Tuan Tampan   9. Hiruk Pikuk Klub Malam

    Dentuman musik menimbulkan vibrasi di lantai dan riuh rendah percakapan menyelimuti malam itu dengan atmosfer yang memekakkan telinga. Di tengah kerumunan pesta yang berjingkrak-jingkrak mengikuti ritme musik, Karina merasa semakin tidak nyaman. Ia seolah menjadi sosok asing di tengah dunia yang menarik namun sedikit mengintimidasi baginya. Meskipun Maya dan Toni tampak menikmati suasana pesta dengan bersemangat, Karina merindukan ketenangan kamar kosnya. Aroma alkohol dan keringat yang bercampur di udara menimbulkan perasaan tidak nyaman. Dengan langkah hati-hati, Karina mulai menepi dari kerumunan yang semakin padat. Ia mencari sudut yang sedikit lebih sepi di mana ia bisa sedikit bernapas dan menjernihkan pikirannya. Matanya menyelidik sekeliling, mencari keberadaan sofa atau kursi kosong yang bisa ia duduki sejenak. Setelah beberapa saat mencari, Karina akhirnya menemukan sofa tersembunyi di sudut ruangan yang remang-remang. Sofa kulit berwarna gelap itu tampak menawarkan sedik

  • Dua Tuan Tampan   8. Kehebohan teman

    Mentari pagi menyusup malu-malu melalui celah ventilasi kamar Karina, membangunkan gadis itu dari tidur lelap yang menyenangkan. Karina menghela napas panjang dan bangkit dari tempat tidur dengan gerakan lemah. Ia masih merasa sedikit lelah namun rasa penasaran tentang kejadian kemarin lebih mendominasi. Ia perlu menceritakan ini pada kedua teman kosnya, Risa dan Beno, meskipun ia yakin reaksinya pasti akan heboh. Setelah menyelesaikan ritual pagi seadanya, Karina keluar dari kamar dan mendapati Risa sudah berkutat di dapur dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Beno, seperti biasa di pagi hari, tampak duduk tenang di meja makan dengan sebuah buku tebal di tangannya. "Pagi, Kar! Muka lo kusut banget kayak cucian belum disetrika," sapa Risa mengalihkan pandangannya dari cangkir kopi merasuk indra penciumannya. "Pagi, Ris. Pagi, Ben," jawab Karina lemah sambil duduk di kursi sebelah Beno. Beno hanya mengangguk singkat tanpa memalingkan wajahnya dari bukunya yang berjudul "Eksistens

  • Dua Tuan Tampan   7. Tumpangan Julian

    Mobil mewah Julian meluncur lembut membelah jalanan Jakarta yang mulai sepi di tengah malam. Lampu-lampu jalan menari di kaca jendela, menciptakan refleksi cahaya di wajah Karina. Karina duduk dengan sedikit kaku di kursi penumpang. Ia melirik Julian yang fokus menyetir dengan ekspresi wajah tenang. Sorot lampu jalan sesekali menerangi garis rahangnya yang tegas. Julian memecah keheningan setelah beberapa saat dengan pertanyaan. "Jadi, kos kamu di daerah mana?" "Di daerah luar kota, Pak," jawab Karina. "Dekat dengan kampus baru." Julian mengangguk pelan, Karina memberanikan diri untuk melirik Julian lagi. Julian tiba-tiba memecah keheningan lagi. "Kamu sudah lama tinggal di sana, Karina?" "Sejak kuliah, Pak," jawab Karina pelan. "Sekitar lima tahunan." Karina memberanikan diri untuk bertanya balik. "Kalau Bapak... sudah lama tinggal di Jakarta?" Julian sekilas tersenyum tipis. "Sejak lahir. Tapi... kadang saya merasa pusat kota Jakarta terlalu ramai dan... melelahkan." "Kamu.

  • Dua Tuan Tampan   6. Pengirim Mawar

    Setelah berjam-jam berkutat dengan angka-angka dan laporan keuangan tanpa akhir, Karina akhirnya menghela napas lega. Pekerjaannya selesai. Rasa lelah menyelimuti tubuhnya, namun kepuasan kecil menangkap hatinya. Ia cepat-cepat merapikan mejanya, mematikan komputer, dan meraih tasnya, tidak sabar untuk segera kembali ke ketenangan kamar kosnya.Suasana kantor di lantai atas benar-benar sepi. Hanya lampu-lampu darurat yang memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang tidak biasa. Langkah kaki Karina menggema pelan di koridor yang kosong saat ia berjalan menuju lift.Dalam lift yang lambat dan sunyi, pikiran Karina kembali melayang pada buket mawar merah dan sikap tidak biasa Julian malam ini. Pertanyaan-pertanyaan itu masih menanti jawaban di benaknya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, mencoba mengusir kebingungan itu dan fokus pada keinginan untuk segera beristirahat.Tiba di lantai dasar, Karina sedikit terkejut melihat lampu lobi masih menyala terang. Biasany

  • Dua Tuan Tampan   5. Mawar

    Keesokan harinya, Karina terbangun dengan perasaan sedikit lelah. Rutinitas pagi di kos berjalan seperti biasa. Risa sudah sibuk dengan ritual dandan sebelum kerja, sementara Beno tampak tenang dengan laptopnya."Muka lo kenapa ditekuk gitu, Kar? Mimpi buruk ketemu Pak Bambang nagih laporan?" celetuk Risa sambil menyisir rambutnya di depan cermin."Nggak kok. Cuma kurang tidur aja," jawab Karina berbohong sambil meraih mug kopinya.Sesampainya di kantor, suasana pagi terasa sedikit lebih ramai dari biasanya. Beberapa karyawan tampak berbisik-bisik dan melihat ke arah pintu masuk. Karina tidak terlalu menghiraukannya dan langsung menuju mejanya."Pagi, Kar! Ada kejutan buat lo!" seru Maya dengan senyum misterius saat Karina baru sampai."Kejutan apaan?" tanya Karina skeptis. Biasanya, "kejutan" ala Maya berkisar antara gosip terbaru yang belum tentu benar atau makanan aneh dari kantin.Maya menunjuk ke arah mejanya dengan gerakan dramatis. Di atas mejanya, Karina melihat sebuket bunga

  • Dua Tuan Tampan   4. Alex Draxler

    Di balik tatapan menyelidik dan aura misterius yang melingkupi Alex Draxler, tersembunyi sebuah dunia yang jauh dari hiruk pikuk kantor biasa dan senyaman kedai kopi. Alex Draxler, nama lengkapnya, bukanlah sekadar pria asing. Ia adalah putra sulung dari keluarga Draxler, sebuah nama yang disegani sekaligus ditakuti dalam lingkaran bisnis yang abu-abu. Apartemen mewah Alex di pusat kota Jakarta menjadi saksi bisu kehidupannya yang diwarnai dengan pertemuan-pertemuan larut malam. Di ruang kerja apartemennya yang mewah dengan pemandangan kota yang gemerlap, ayah Alex, Don Rafael Draxler, sudah menunggunya. Don Rafael, pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih namun tatapan matanya masih setajam elang, duduk di kursi kulit besar di balik meja kerjanya yang dipenuhi dokumen dan telepon antik. Aura kekuasaan dan ketegasan melingkupi figur ayahnya. "Alex, akhirnya kau pulang juga," ujar Don Rafael dengan nada suara berat yang menandakan ketidaksenangan. "Aku menunggumu sejak

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status