Beberapa hari setelah acara lelang dan pertemuan tak terduga dengan Bima, kehidupan Raina kembali pada ritme yang sama: pagi hari mencari lowongan kerja, siang membantu Ibu di rumah, sore membantu Rian belajar.
Namun, ada perbedaan halus. Aura optimisme yang diberikan Bima masih terasa, seolah menjadi lilin kecil yang menerangi kegelapan situasinya. Raina mulai aktif kembali menggambar, mengisi buku sketsa dengan ide-ide baru yang terinspirasi dari percakapannya dengan Bima. Ia bahkan sempat mengirim pesan singkat kepada Bima, mengucapkan terima kasih atas referensi buku-buku yang disarankan, dan Bima membalasnya dengan ramah, menawarkan diskusi lebih lanjut kapan pun Raina punya waktu. Hubungannya dengan Maya juga semakin erat. Maya sering mengajaknya makan siang, mendengarkan keluh kesahnya, dan terus memberinya semangat. "Pokoknya, lo jangan pernah nyerah, Rain," ujar Maya suatu siang di warung tenda pecel ayam langganan mereka. "Bakat lo itu langka. Pasti ada jalan." Raina mengangguk, mencoba mempercayai kata-kata itu. Namun, di balik semua dukungan dan optimisme itu, kecemasan akan masa depan tetap menjadi bayangan yang membayangi. Uang tabungan mulai menipis, dan lowongan kerja yang ia temukan masih belum ada yang cocok. Ia merasa waktu terus berputar, dan ia harus segera menemukan solusi. Pada suatu Rabu sore yang tenang, saat Raina sedang membantu ibunya menyiram tanaman di halaman depan, ponsel usang nya bergetar. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Biasanya, Raina tidak akan mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dikenal, takut itu adalah penipuan. Namun, entah mengapa, kali ini ia merasa ada dorongan aneh untuk menjawabnya. "Halo?" suara Raina terdengar sedikit ragu. "Selamat sore. Apakah ini dengan Saudari Raina Atmaja?" suara seorang wanita terdengar dari seberang, nadanya formal dan profesional. "Iya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?" "Saya Lia, sekretaris pribadi Bapak Arjuna Dirgantara dari Grup Dirgantara." Jantung Raina langsung berdebar kencang. Ia nyaris menjatuhkan ponselnya. Arjuna Dirgantara? Ia mengerjapkan mata, seolah tak percaya apa yang baru saja ia dengar. Untuk sesaat, ia berpikir ini adalah lelucon. Tapi suara wanita itu terlalu serius untuk sebuah lelucon. "Grup Dirgantara?" ulang Raina, otaknya berusaha mencerna informasi. "Ada keperluan apa ya, Bu?" "Kami telah menerima informasi tentang Anda dari salah satu staf kami yang membantu acara lelang amal beberapa waktu lalu. Dan juga, Bapak Arjuna secara pribadi tertarik pada bakat dan potensi yang Anda miliki." Raina menahan napas. Bakat? Potensi? Apakah mereka berbicara tentang sketsanya? Tentang insiden tabrakan itu? Pikirannya kacau. "Bapak Arjuna ingin mengundang Anda untuk wawancara di kantor pusat Grup Dirgantara besok pagi pukul sembilan. Apakah Anda bersedia?" lanjut suara Lia, tanpa jeda, seolah sudah terbiasa dengan reaksi terkejut dari calon kandidat. Otak Raina langsung berputar cepat. Wawancara? Dengan Arjuna Dirgantara? Pewaris salah satu grup bisnis terbesar di Indonesia? Apa maksud semua ini? Apakah ini berhubungan dengan kejadian tabrakan itu? Atau sketsanya? Atau kedua-duanya? "Wawancara untuk posisi apa, Bu?" tanya Raina, berusaha menstabilkan suaranya yang sedikit bergetar. "Untuk posisi asisten pribadi Bapak Arjuna Dirgantara," jawab Lia datar. "Detail lebih lanjut akan dijelaskan saat wawancara. Apakah Anda bersedia hadir?" Raina terdiam. Asisten pribadi Arjuna Dirgantara? Ini benar-benar di luar dugaannya. Ia seorang seniman, bukan seorang sekretaris, apalagi asisten pribadi seorang pebisnis kelas kakap. Ia tahu betul reputasi Arjuna yang dingin, kejam, dan menuntut. Pikiran untuk bekerja langsung di bawah pengawasannya saja sudah membuat tengkuknya merinding. Namun, di sisi lain, otak pragmatisnya berteriak: Ini Grup Dirgantara! Pasti gajinya fantastis! Ini kesempatan langka! Ia memikirkan Rian, yang sebentar lagi akan masuk SMP dan membutuhkan biaya lebih. Ia memikirkan Ibu, yang semakin sering mengeluh sakit. Ini adalah solusi instan untuk semua masalah finansial nya. Tapi, apakah ia siap mengorbankan impian seninya demi pekerjaan semacam ini? "Saudari Raina? Apakah Anda masih di sana?" suara Lia terdengar lagi, sedikit tak sabar. Raina menarik napas dalam-dalam, mencoba membuat keputusan cepat. Ini adalah tawaran yang tak bisa ia abaikan. Ini adalah secercah cahaya di tengah kegelapan, meskipun cahaya itu terasa dingin dan misterius. "Iya, Bu. Saya bersedia hadir," jawab Raina, akhirnya. Ia tidak bisa menolak. Demi keluarganya. Demi bertahan hidup. Impiannya bisa menunggu, pikirnya. "Baik. Kami akan mengirimkan detail alamat dan jam wawancara melalui email Anda. Pastikan Anda tiba tepat waktu. Selamat sore." Lia langsung memutus sambungan. Raina menurunkan ponselnya, menatap layar dengan tatapan kosong. Tangan yang tadi memegang selang air kini gemetar. Ia baru saja setuju untuk melangkah masuk ke sarang singa. "Siapa yang telepon, Nak?" tanya Ibu, yang sejak tadi mengamati Raina dengan penasaran. Raina menoleh ke ibunya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ah, itu... tawaran kerja, Bu. Dari Grup Dirgantara." Mata Ibunya membulat. "Dirgantara? Yang punya gedung-gedung besar itu, Nak? Raina! Kamu dapat kesempatan emas!" Senyum cerah terukir di wajah Ibu senyum yang sudah lama tidak Raina lihat. Kebahagiaan ibunya sedikit menenangkan kegelisahan Raina. Malam itu, Raina tak bisa tidur. Ia membuka laptop usang nya, mencari informasi tentang Grup Dirgantara dan Arjuna Dirgantara. Semakin banyak ia membaca, semakin ia merasa kecil dan gentar. Berita-berita tentang Arjuna selalu menyoroti kepintarannya, kekejamannya dalam bisnis, dan ambisinya yang tak terbatas. Ia adalah seorang tycoon muda yang disegani sekaligus ditakuti. Foto-foto Arjuna di internet, di mana ia selalu terlihat tanpa ekspresi, hanya menguatkan kesan dinginnya. Ia melihat foto-foto Arjuna saat menghadiri acara amal, berpose dengan senyum tipis yang terasa dipaksakan. Ia juga melihat beberapa artikel yang menyebutkan bahwa Arjuna adalah sosok yang sangat tertutup tentang kehidupan pribadinya. Raina melihat jam dinding. Pukul satu dini hari. Aroma kopi yang ia seduh tadi sudah menguap, meninggalkan sisa pahit di udara. Ia belum menyiapkan apa pun untuk wawancara besok. Ia tidak tahu harus mengenakan apa, atau apa yang harus ia katakan. Posisi asisten pribadi? Apa saja tugasnya? Apakah ia akan terus berada di bawah pengawasan mata tajam Arjuna sepanjang hari? Ia memejamkan mata. Bayangan Bima yang tersenyum hangat, memujinya dengan tulus, tiba-tiba muncul. Rasa nyaman yang diberikan Bima terasa kontras dengan ketegangan yang ia rasakan saat memikirkan Arjuna. Mengapa dunia harus membawanya ke dalam dua arah yang begitu berbeda? Raina akhirnya menyerah untuk tidur. Ia memutuskan untuk menyiapkan pakaian terbaiknya yang ia miliki: sebuah blus putih bersih dan rok pensil hitam yang sudah sedikit usang. Lalu, ia memeriksa emailnya lagi untuk memastikan alamat kantor dan jam wawancara.Suara tembakan yang menusuk telinga, kegelapan yang mencekam, dan aura ancaman dari Prakoso kini memudar, digantikan oleh gema sirene polisi yang mendekat. Raina terhuyung, bersandar pada dinding yang dingin, membiarkan napasnya tersengal.Ia mencengkeram erat tangan Arjuna Dirgantara, yang kini berdiri di sampingnya, memandangi Bima Samudra yang menahan Prakoso yang tak sadarkan diri. Mata Raina berkaca-kaca, bukan karena takut, melainkan karena lega yang luar biasa. Mereka berhasil. Mereka selamat. Polisi tiba beberapa menit kemudian, menggeledah rumah Prakoso dan mengamankan Bramantyo yang juga masih terlihat syok. Mereka menemukan pistol Prakoso yang tergeletak di sudut ruangan, dan segera mengambil berkas bukti yang dipegang Arjuna. Rekaman suara kecil dari dalam berkas itu menjadi kunci utama, suara yang merekam percakapan Prakoso dan kaki tangannya mengenai skandal yayasan dan, yang paling mengerikan, perintah untuk membungkam Arya. Seluruh ruangan itu kini dipenuhi petugas y
Rencana Raina untuk memicu alarm kebakaran di kediaman Prakoso bagaikan percikan api yang akan menyulut ledakan. Di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari rumah mewah itu, Arjuna Dirgantara mengangguk, menyetujui strategi berani Raina. Ketegangan memenuhi udara pagi di kota kecil itu, sebuah ketegangan yang hanya bisa dibandingkan dengan bisikan angin dingin yang menyelinap melalui celah jendela mobil. Raina merasakan jantungnya berdebar kencang, setiap detiknya terasa seperti sebuah hitungan mundur menuju momen krusial."Bagaimana Anda akan melakukannya, Raina?" tanya Arjuna, suaranya rendah, matanya menatap Raina penuh kekaguman sekaligus kekhawatiran. Ia melihat tekad di mata Raina, sebuah keberanian yang jauh melampaui tugas seorang asisten.Raina tersenyum tipis, sebuah senyum penuh keyakinan. "Saya sudah mempelajari beberapa sistem keamanan yang biasa digunakan di rumah-rumah mewah. Ada celah kecil yang bisa dimanfaatkan pada panel alarm eksternal. Dengan sedikit modifikasi pa
Nama yang dibisikkan Arjuna Dirgantara di dalam mobil, nama yang seharusnya menjadi pilar kepercayaan dalam dunia Grup Dirgantara, kini terasa bagai hantaman palu godam bagi Raina. Prakoso. Mitra bisnis terdekat Tuan Dirgantara Senior. Sosok yang selama ini dianggap sebagai tangan kanan keluarga. Kenyataan bahwa dialah dalang di balik pembunuhan Arya adalah pengkhianatan yang paling kejam, sebuah duri yang menusuk hingga ke inti jiwa Arjuna.Raina merasakan darahnya berdesir dingin. Ia menatap Arjuna, wajah pria itu kini lebih pucat dari sebelumnya, matanya memancarkan campuran duka yang mendalam dan kemarahan yang membara. Aura kuat yang biasa menyelimuti Arjuna kini tergantikan oleh kerapuhan yang menyayat hati. Raina tahu, ini adalah titik balik. Arjuna tidak hanya kehilangan adiknya, tetapi juga kepercayaannya pada dunia yang selama ini ia anggap aman."Prakoso..." Raina berbisik, namanya terasa asing di lidahnya, berlumuran pengkhianatan. "Bagaimana mungkin?"Arjuna menggeleng, t
Beberapa hari setelah penemuan surat Arya, Arjuna dan Raina menghabiskan waktu luang mereka untuk menggali lebih dalam tentang Bramantyo. Mereka menyadari, nama ini tidak hanya terkait dengan skandal yayasan, tetapi juga dengan kepergian Arya yang misterius.Raina, dengan kemampuannya yang teliti, mulai mencari informasi tentang Bramantyo melalui jaringan internal kantor dan sumber-sumber terbuka. Ia menemukan bahwa Bramantyo, setelah skandal yayasan mereda, tidak benar-benar menghilang. Ia hanya mengubah namanya, dan hidup di bawah radar, jauh dari sorotan publik. Ia memiliki beberapa bisnis kecil di luar kota, yang tidak terkait langsung dengan sektor keuangan atau properti."Dia sengaja bersembunyi," Raina berbisik pada Arjuna saat mereka membahas temuan ini di ruang kerja Arjuna yang sepi. "Dia tahu ada yang mencarinya."Arjuna mengangguk, rahangnya mengeras. "Kita harus menemukannya. Dia pasti tahu sesuatu."Namun, Raina tahu, mendekati Bramantyo adalah langkah yang sangat berbah
Pengakuan Tuan Dirgantara Senior tentang Sinta adalah bom yang telah meledak, menghancurkan tembok kebohongan yang ia bangun selama bertahun-tahun. Namun, penolakannya untuk berbicara tentang kaitan Arya membuat Raina, Arjuna Dirgantara, dan Bima Samudra terdiam. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap, lebih menyakitkan, yang masih terkubur dalam-dalam di benak pria tua itu. Sebuah bayangan yang enggan terungkap, mengisyaratkan tragedi yang lebih besar dari sekadar skandal yayasan.Raina merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Ia kini tahu bahwa perannya tidak hanya sebagai jembatan antara Arjuna dan Bima, melainkan juga sebagai penyelidik kebenaran yang sesungguhnya. Ia harus menemukan apa yang Tuan Dirgantara Senior sembunyikan, bahkan jika itu berarti menggali lebih dalam ke masa lalu yang penuh rasa sakit.Setelah percakapan singkat di kamar rumah sakit, Arjuna dan Bima sepakat untuk tidak menekan Ayah mereka lebih jauh. Mereka tahu, memaksanya dalam kondisi seperti itu tidak
Keesokan harinya, suasana di kantor terasa lebih mencekam. Ketidakhadiran Arjuna dan Tuan Dirgantara Senior meninggalkan kekosongan yang terasa berat. Lia, sekretaris senior, tampak lebih sibuk dari biasanya, menjawab telepon-telepon dari media dan kolega yang penasaran. Raina mencoba fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus melayang ke rumah sakit. Bagaimana keadaan Tuan Dirgantara Senior? Bagaimana reaksi Arjuna terhadap semua ini? Apakah ia akan dipecat?Desas-desus mulai beredar di antara karyawan. Ada yang mengasihani Tuan Dirgantara Senior, ada yang menyalahkan Bima karena terlalu gegabah, dan ada pula yang diam-diam menyalahkan Raina karena telah 'membocorkan' rahasia keluarga. Raina merasakan tatapan-tatapan sinis itu, namun ia berusaha mengabaikannya. Ia tahu, ia telah melakukan hal yang benar, terlepas dari konsekuensinya.Ia mencoba menghubungi Arjuna, namun tidak ada jawaban. Pesan singkat yang ia kirimkan juga tak berbalas. Raina merasa putus asa. Ia tahu, kepercay