Mobil mewah Julian meluncur lembut membelah jalanan Jakarta yang mulai sepi di tengah malam. Lampu-lampu jalan menari di kaca jendela, menciptakan refleksi cahaya di wajah Karina.
Karina duduk dengan sedikit kaku di kursi penumpang. Ia melirik Julian yang fokus menyetir dengan ekspresi wajah tenang. Sorot lampu jalan sesekali menerangi garis rahangnya yang tegas. Julian memecah keheningan setelah beberapa saat dengan pertanyaan. "Jadi, kos kamu di daerah mana?" "Di daerah luar kota, Pak," jawab Karina. "Dekat dengan kampus baru." Julian mengangguk pelan, Karina memberanikan diri untuk melirik Julian lagi. Julian tiba-tiba memecah keheningan lagi. "Kamu sudah lama tinggal di sana, Karina?" "Sejak kuliah, Pak," jawab Karina pelan. "Sekitar lima tahunan." Karina memberanikan diri untuk bertanya balik. "Kalau Bapak... sudah lama tinggal di Jakarta?" Julian sekilas tersenyum tipis. "Sejak lahir. Tapi... kadang saya merasa pusat kota Jakarta terlalu ramai dan... melelahkan." "Kamu... sudah punya seseorang yang spesial di daerah situ, Karina?" Pertanyaan itu menimbulkan keterkejutan dalam diri Karina. Ia tidak menyangka Julian akan menanyakan hal sesensitif ini. Wajahnya sedikit memanas, dan ia sedikit gugup untuk menjawab. "Eh... belum, Pak," jawab Karina pelan, menarik napas sedikit dalam. "Saya... masih fokus dengan pekerjaan." Julian mengangguk pelan, menanggapi dengan singkat namun tatapannya sekilas melirik Karina dengan ekspresi yang sulit diartikan. Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun kali ini diwarnai oleh rasa ingin tahu yang tidak beralasan. Mobil mewah Julian akhirnya melambat dan berhenti di depan gerbang kos-kosan Karina. Lampu jalan memancarkan cahaya redup, menerangi bangunan sederhana namun bersih dengan beberapa kamar berjajar. Suasana di sekitar tenang dan sepi. Karina melepaskan sabuk pengamannya dan melirik Julian yang sudah mematikan mesin mobil. Cahaya dari lampu jalan menerangi sedikit wajahnya. "Sudah sampai," ujar Julian pelan, memecah keheningan yang menyelimuti mereka. "Iya, Pak," jawab Karina formal, meraih tasnya di kursi penumpang. "Terima kasih banyak atas tumpangannya. Saya sangat menghargai kebaikan hati Bapak." Ia tulus dengan ucapan terima kasihnya. Julian mengangguk pelan, "Sama-sama, Karina," jawab Julian akhirnya. "Hati-hati." Karina mengangguk formal lagi dan membuka pintu mobil. Udara malam yang segar merasuk ke dalam mobil. Ia melangkah keluar dan berdiri di depan gerbang kosnya, menatap kembali ke arah Julian yang masih duduk di dalam mobil. "Selamat malam, Pak," ujar Karina pelan, sebuah formalitas terakhir sebelum berpisah. Julian tersenyum tipis lagi, senyuman yang menimbulkan perasaan dalam diri Karina. "Selamat malam, Karina." Setelah mengucapkan selamat malam, Karina berbalik dan berjalan menuju gerbang kosnya. Ia bisa merasakan tatapan Julian mengikutinya hingga ia menghilang di balik pintu gerbang. Setelah pintu tertutup, ia menghela napas panjang. "Karina! Dari mana saja kamu selarut ini?!" Karina terkejut dan tanpa sadar melangkah mundur. Di teras depan, dengan tangan bersedekap di dada, berdiri Pak Jono, pemilik kos yang terkenal ketat dan memiliki naluri seorang ayah yang berlebihan. Cahaya lampu teras yang kuning menimbulkan bayangan menakutkan pada wajah Pak Jono yang sedikit mengantuk namun penuh interogasi. "Eh... Pak Jono? Bapak belum tidur?" tanya Karina sedikit gugup, seolah tertangkap basah melakukan kesalahan besar. "Tidur bagaimana?! Ini sudah hampir tengah malam! Kamu itu perempuan, nggak baik pulang selarut ini! Dari mana saja kamu?!" omel Pak Jono dengan suara sedikit meninggi namun masih berusaha menahan diri agar tidak membangunkan penghuni kos lainnya. Karina menarik napas dalam-dalam, mencoba menjelaskan situasi ini dengan tenang. "Saya lembur, Pak. Ada pekerjaan mendadak yang harus diselesaikan." "Lembur sampai jam segini? Alasan klasik anak muda zaman sekarang! Pasti kamu keluyuran sama teman laki-laki kan?!" tuduh Pak Jono dengan tatapan menyelidik yang membuat Karina semakin tidak nyaman. "Nggak, Pak! Beneran! Saya benar-benar lembur," elak Karina cepat-cepat. "Dan... saya diantar pulang." "Dianter pulang siapa?! Pacarmu yang anak motor itu lagi?! Sudah Bapak bilangin jangan dekat-dekat sama cowok berandalan!" semprot Pak Jono dengan nada suara yang semakin khawatir. "Bukan, Pak! Bukan pacar saya," balas Karina sedikit kesal dengan stereotip Pak Jono tentang teman-teman prianya. "Saya diantar... atasan saya." Pak Jono memicingkan matanya, menatap Karina dengan ekspresi tidak percaya yang lucu namun juga menyebalkan. "Atasanmu?! Jangan ngarang cerita kamu! Mana ada atasan baik hati mau mengantar karyawan kosan jam segini! Pasti kamu dibohongi cowok buaya darat!" "Beneran, Pak! Atasan saya! CEO di kantor!" desak Karina sedikit putus asa mencoba meyakinkan Pak Jono. Pak Jono tertawa sinis. "CEO? Hah! Bapak lebih percaya kalau kamu diantar alien naik UFO! Sudah, akui saja! Kamu pasti habis kencan kan?!" Karina menghela napas panjang, percuma berdebat dengan Pak Jono yang keras kepala dan penuh prasangka. "Terserah Bapak saja. Yang penting saya udah sampai dengan selamat. Saya permisi masuk kamar, Pak. Udah lelah banget." Dengan langkah lelah, Karina melewati Pak Jono yang masih menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bergumam tidak percaya. Pak Jono masih berdiri di teras depan kos dengan tangan bersedekap di dada. Rasa penasaran dan kecurigaan menimbulkan gejolak dalam benaknya. "CEO katanya... mana mungkin!" gumamnya pelan, tidak percaya sedikit pun dengan penjelasan Karina. Dengan langkah hati-hati agar tidak menimbulkan suara berisik yang bisa membangunkan penghuni kos lainnya, Pak Jono mengintip dari balik pilar teras ke arah jalan depan. Jalanan sepi dan gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup lampu jalan. Tidak ada tanda-tanda motor berisik atau mobil mewah yang mencurigakan. Pak Jono kecewa karena tidak menemukan bukti yang bisa memperkuat teorinya. Namun, rasa curiganya belum sepenuhnya padam. "Siapa tahu mobilnya diparkir agak jauh biar nggak ketahuan!" pikirnya sambil melangkah keluar dari halaman kos menuju gerbang. Dengan hati-hati, Pak Jono mengintip ke kiri dan ke kanan jalanan yang gelap. Tidak ada mobil mewah terparkir di sekitar sana. Hanya suara jangkrik. Pak Jono menghela napas sedikit frustrasi. "Aneh... kemana perginya 'CEO' palsu itu?" gumamnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung. Mungkinkah... mungkinkah Karina benar? Ide itu langsung ia tepis jauh-jauh. "Nggak mungkin! Anak kosan biasa diantar CEO jam segini? Ini pasti akal-akalan anak muda zaman sekarang!" Akhirnya, dengan gumaman tidak puas, Pak Jono kembali masuk ke halaman kos. "Awas aja kalau Bapak lihat kamu keluyuran lagi, Karina! Bapak kunci gerbangnya!" ancamnya pelan sebelum akhirnya masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan kegelapan malam.Malam semakin menghampiri di depan toko bunga "Lavender Dreams", namun ketegangan di antara Julian dan Alex belum juga mereda. Setelah Karina berpamitan dan bergegas menuju halte, keduanya masih berdiri di tempat yang sama, saling menatap dengan sorot mata yang menyimpan berbagai pertanyaan dan kecurigaan. Julian, sebagai pihak yang lebih dulu mengenal Karina (sebagai atasannya), merasa memiliki keunggulan. Ia memandang Alex dengan tatapan dingin, mencoba menunjukkan superioritasnya. "Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini, Tuan...?" Julian menggantungkan kalimatnya, seolah meremehkan Alex yang belum ia ketahui identitasnya secara pasti. Alex menyeringai tipis, tidak terpengaruh sedikit pun oleh nada bicara Julian yang merendahkan. "Rossi. Alex Rossi. Dan saya juga tidak menyangka akan bertemu dengan seorang CEO yang berkeliaran di sekitar toko bunga pada malam hari. Sedang mencari inspirasi untuk buket ucapan selamat atas keberhasilan proyek?" balas Alex dengan nada san
Senja merayap turun, membalut jalanan dengan cahaya temaram setelah kesibukan jam kantor mereda. Karina, dengan seulas senyum puas menghiasi wajahnya, baru saja keluar dari toko bunga "Lavender Dreams". Di tangannya tergenggam buket bunga matahari cerah untuk ulang tahun Risa. Namun, kedamaian sore itu terusik oleh kedatangan dua sosok pria secara bersamaan dari arah yang berlawanan. Tepat di sisi kanan Karina, sebuah mobil sedan mewah berwarna grafit berhenti. Pintu pengemudi terbuka, dan dari sana keluar Julian Pratama. Ia mengenakan kemeja biru muda yang digulung lengannya hingga siku, namun aura CEO yang berwibawa tetap melekat padanya. Karina terkejut bukan main. Belum hilang rasa kagetnya, dari sisi kiri Karina, suara deru motor sport yang khas terdengar mendekat. Sebuah motor Ducati berwarna hitam berhenti tepat di sampingnya. Pengendaranya menurunkan visor helm, memperlihatkan wajah tegas namun memikat milik Alex. Jaket kulit hitam yang dikenakannya semakin menambah daya ta
Sore hari, Maya mengajak Karina untuk mencari udara segar sepulang kerja. "Kar, kepala gue udah berasap nih gara-gara brainstorming ide iklan yang nggak jelas. Kita cari es krim yuk di kafe Gelato. Siapa tahu ketemu oppa-oppa ganteng yang lagi nyari inspirasi juga," ajak Maya dengan nada penuh harapan. Karina, yang otaknya juga terasa lelah berjam-jam berkutat dengan angka, menyetujui ajakan Maya. Suasana sore yang ramai dengan lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki sedikit mengalihkan pikirannya dari rutinitas kantor. Sesampainya di kafe Gelato dengan aroma manis yang melekat di udara, Maya langsung memesan dua scoop rasa mint chocolate dan strawberry cheesecake. Karina sendiri memilih rasa salted caramel yang selalu berhasil menghiburnya. Mereka duduk di salah satu meja di sudut kafe, menikmati es krim sambil sesekali mengamati pengunjung lain. "Tuh kan, Kar! Gue bilang juga apa, kafe ini tuh sarangnya cowok-cowok ganteng!" bisik Maya sambil menyikut lengan Karina, matanya berbin
Dentuman musik menimbulkan vibrasi di lantai dan riuh rendah percakapan menyelimuti malam itu dengan atmosfer yang memekakkan telinga. Di tengah kerumunan pesta yang berjingkrak-jingkrak mengikuti ritme musik, Karina merasa semakin tidak nyaman. Ia seolah menjadi sosok asing di tengah dunia yang menarik namun sedikit mengintimidasi baginya. Meskipun Maya dan Toni tampak menikmati suasana pesta dengan bersemangat, Karina merindukan ketenangan kamar kosnya. Aroma alkohol dan keringat yang bercampur di udara menimbulkan perasaan tidak nyaman. Dengan langkah hati-hati, Karina mulai menepi dari kerumunan yang semakin padat. Ia mencari sudut yang sedikit lebih sepi di mana ia bisa sedikit bernapas dan menjernihkan pikirannya. Matanya menyelidik sekeliling, mencari keberadaan sofa atau kursi kosong yang bisa ia duduki sejenak. Setelah beberapa saat mencari, Karina akhirnya menemukan sofa tersembunyi di sudut ruangan yang remang-remang. Sofa kulit berwarna gelap itu tampak menawarkan sedik
Mentari pagi menyusup malu-malu melalui celah ventilasi kamar Karina, membangunkan gadis itu dari tidur lelap yang menyenangkan. Karina menghela napas panjang dan bangkit dari tempat tidur dengan gerakan lemah. Ia masih merasa sedikit lelah namun rasa penasaran tentang kejadian kemarin lebih mendominasi. Ia perlu menceritakan ini pada kedua teman kosnya, Risa dan Beno, meskipun ia yakin reaksinya pasti akan heboh. Setelah menyelesaikan ritual pagi seadanya, Karina keluar dari kamar dan mendapati Risa sudah berkutat di dapur dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Beno, seperti biasa di pagi hari, tampak duduk tenang di meja makan dengan sebuah buku tebal di tangannya. "Pagi, Kar! Muka lo kusut banget kayak cucian belum disetrika," sapa Risa mengalihkan pandangannya dari cangkir kopi merasuk indra penciumannya. "Pagi, Ris. Pagi, Ben," jawab Karina lemah sambil duduk di kursi sebelah Beno. Beno hanya mengangguk singkat tanpa memalingkan wajahnya dari bukunya yang berjudul "Eksistens
Mobil mewah Julian meluncur lembut membelah jalanan Jakarta yang mulai sepi di tengah malam. Lampu-lampu jalan menari di kaca jendela, menciptakan refleksi cahaya di wajah Karina. Karina duduk dengan sedikit kaku di kursi penumpang. Ia melirik Julian yang fokus menyetir dengan ekspresi wajah tenang. Sorot lampu jalan sesekali menerangi garis rahangnya yang tegas. Julian memecah keheningan setelah beberapa saat dengan pertanyaan. "Jadi, kos kamu di daerah mana?" "Di daerah luar kota, Pak," jawab Karina. "Dekat dengan kampus baru." Julian mengangguk pelan, Karina memberanikan diri untuk melirik Julian lagi. Julian tiba-tiba memecah keheningan lagi. "Kamu sudah lama tinggal di sana, Karina?" "Sejak kuliah, Pak," jawab Karina pelan. "Sekitar lima tahunan." Karina memberanikan diri untuk bertanya balik. "Kalau Bapak... sudah lama tinggal di Jakarta?" Julian sekilas tersenyum tipis. "Sejak lahir. Tapi... kadang saya merasa pusat kota Jakarta terlalu ramai dan... melelahkan." "Kamu.
Setelah berjam-jam berkutat dengan angka-angka dan laporan keuangan tanpa akhir, Karina akhirnya menghela napas lega. Pekerjaannya selesai. Rasa lelah menyelimuti tubuhnya, namun kepuasan kecil menangkap hatinya. Ia cepat-cepat merapikan mejanya, mematikan komputer, dan meraih tasnya, tidak sabar untuk segera kembali ke ketenangan kamar kosnya.Suasana kantor di lantai atas benar-benar sepi. Hanya lampu-lampu darurat yang memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang tidak biasa. Langkah kaki Karina menggema pelan di koridor yang kosong saat ia berjalan menuju lift.Dalam lift yang lambat dan sunyi, pikiran Karina kembali melayang pada buket mawar merah dan sikap tidak biasa Julian malam ini. Pertanyaan-pertanyaan itu masih menanti jawaban di benaknya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, mencoba mengusir kebingungan itu dan fokus pada keinginan untuk segera beristirahat.Tiba di lantai dasar, Karina sedikit terkejut melihat lampu lobi masih menyala terang. Biasany
Keesokan harinya, Karina terbangun dengan perasaan sedikit lelah. Rutinitas pagi di kos berjalan seperti biasa. Risa sudah sibuk dengan ritual dandan sebelum kerja, sementara Beno tampak tenang dengan laptopnya."Muka lo kenapa ditekuk gitu, Kar? Mimpi buruk ketemu Pak Bambang nagih laporan?" celetuk Risa sambil menyisir rambutnya di depan cermin."Nggak kok. Cuma kurang tidur aja," jawab Karina berbohong sambil meraih mug kopinya.Sesampainya di kantor, suasana pagi terasa sedikit lebih ramai dari biasanya. Beberapa karyawan tampak berbisik-bisik dan melihat ke arah pintu masuk. Karina tidak terlalu menghiraukannya dan langsung menuju mejanya."Pagi, Kar! Ada kejutan buat lo!" seru Maya dengan senyum misterius saat Karina baru sampai."Kejutan apaan?" tanya Karina skeptis. Biasanya, "kejutan" ala Maya berkisar antara gosip terbaru yang belum tentu benar atau makanan aneh dari kantin.Maya menunjuk ke arah mejanya dengan gerakan dramatis. Di atas mejanya, Karina melihat sebuket bunga
Di balik tatapan menyelidik dan aura misterius yang melingkupi Alex Draxler, tersembunyi sebuah dunia yang jauh dari hiruk pikuk kantor biasa dan senyaman kedai kopi. Alex Draxler, nama lengkapnya, bukanlah sekadar pria asing. Ia adalah putra sulung dari keluarga Draxler, sebuah nama yang disegani sekaligus ditakuti dalam lingkaran bisnis yang abu-abu. Apartemen mewah Alex di pusat kota Jakarta menjadi saksi bisu kehidupannya yang diwarnai dengan pertemuan-pertemuan larut malam. Di ruang kerja apartemennya yang mewah dengan pemandangan kota yang gemerlap, ayah Alex, Don Rafael Draxler, sudah menunggunya. Don Rafael, pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih namun tatapan matanya masih setajam elang, duduk di kursi kulit besar di balik meja kerjanya yang dipenuhi dokumen dan telepon antik. Aura kekuasaan dan ketegasan melingkupi figur ayahnya. "Alex, akhirnya kau pulang juga," ujar Don Rafael dengan nada suara berat yang menandakan ketidaksenangan. "Aku menunggumu sejak