Home / Romansa / Dua Tuan Tampan / 2. Senin Memalukan

Share

2. Senin Memalukan

Author: bluaeya
last update Last Updated: 2025-05-05 07:52:51

Pagi di hari Senin menyambut Karina dengan rutinitas yang nyaris sama setiap pekannya. Alarm dari ponsel lawasnya berdering tepat pukul enam pagi, memecah keheningan kamar kos yang masih diselimuti kegelapan. Dengan enggan, Karina meraih ponselnya dan menekan tombol snooze, memberikan dirinya tambahan waktu lima menit untuk bergelut dengan sisa kantuk. Aroma kopi instan yang diseduh Lia dari dapur kos sudah mulai tercium samar, menjadi penanda dimulainya hari yang (semoga saja) lebih baik dari sebelumnya.

Setelah melakukan ritual pagi yang serba cepat, Karina bergabung dengan Risa di ruang makan kecil kos. Beno, seperti biasa, sudah duduk tenang di sudut ruangan dengan headphone terpasang di telinga, fokus pada layar laptopnya. Risa menyodorkan mug berisi kopi kental kepada Karina, lengkap dengan sepotong roti tawar gosong yang diolesi margarin tipis.

"Nih, sarapan para pejuang rupiah," ujar Risa sambil mengunyah rotinya dengan semangat. "Semoga hari ini rezeki kita lancar jaya kayak jalan tol baru."

"Aamiin" jawab Karina singkat sambil menyesap kopinya. Rasa pahit kopi bercampur dengan sisa kantuk di matanya. Pikirannya masih sedikit melayang, membayangkan seandainya saja ada seorang pangeran berkuda putih yang tiba-tiba muncul di hadapannya, mengajaknya pergi dari rutinitas yang membosankan ini. Sosok pangeran itu tentu saja harus tampan, mapan, dan yang paling penting, tulus mencintainya apa adanya.

"Ngalamun aja lo pagi-pagi, Rin. Mikirin THR yang masih jauh ya?" celetuk Risa sambil menyenggol lengan Karina.

"Enak aja! Gue lagi membayangkan masa depan yang cerah," elak Karina, menyembunyikan fantasi romantis yang baru saja melintas di benaknya.

"Masa depan cerah kayak dapet arisan nomer satu?" tanya Risa sambil tertawa kecil.

"Lebih dari itu," jawab Karina lirih, tatapannya menerawang jauh. "Masa depan di mana gue nggak lagi jadi satu-satunya yang jomblo di tongkrongan."

Beno, yang sedari tadi diam, tiba-tiba melepas headphone-nya. "Mungkin Mbak Karina harus coba ikut komunitas yang sesuai dengan minat. Siapa tahu di sana bisa ketemu orang yang cocok."

"Komunitas apaan lagi, Ben? Komunitas korban PHP?" sahut Karina skeptis.

"Ya, nggak harus gitu juga sih, Mbak. Misalnya komunitas pecinta buku, atau mungkin klub fotografi," saran Beno dengan nada lembut.

"Fotografi? Gue mah fotonya cuma selfie di depan kaca kosan," balas Karina sambil terkekeh miris.

Setelah menghabiskan sarapan seadanya, Karina dan Risa berangkat kerja bersama. Di dalam bis kota yang penuh sesak, Karina kembali melamun.

Namun, lamunan indah itu buyar ketika bis mengerem mendadak, membuat Karina hampir terjatuh. Realitas ibu kota yang keras kembali menyapanya. Pangeran berkuda putih hanyalah ilusi, sebuah pelarian sementara dari kenyataan pahit status jomblonya.

Langkah Karina gontai menyusuri trotoar yang ramai. Pikirannya masih berkutat pada nasib percintaannya yang suram dan celotehan Risa yang selalu berhasil membuatnya tertawa sekaligus miris.

Pagi itu terasa sama seperti pagi-pagi lainnya: terburu-buru, penuh dengan suara klakson kendaraan, dan aroma knalpot yang menyesakkan. Karina hanya berharap hari ini pekerjaannya berjalan lancar dan Pak Bambang tidak sedang dalam mood yang buruk.

Sesampainya di kantor, suasana sudah cukup ramai. Rekan-rekan kerjanya tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Karina berjalan menuju mejanya yang terletak di sudut ruangan, dekat dengan jendela yang menghadap ke jalanan. Di mejanya sudah menumpuk beberapa berkas yang harus segera diselesaikan.

"Pagi, Rin!" sapa Sinta, rekan kerjanya yang selalu tampil modis dan memiliki senyum yang menawan. Namun, Karina selalu merasa ada nada sinis tersembunyi di balik keramahan Sinta.

"Pagi, Sin," jawab Karina singkat sambil meletakkan tasnya.

"Semangat ya! Pak CEO tadi datang buat ngecek," ujar Sinta sambil berlalu menuju mejanya sendiri.

Karina menghela napas. Siapa lagi kalau bukan Pak Julian Pratama, sang CEO muda yang terkenal dingin dan perfeksionis. Karina belum pernah berinteraksi langsung dengannya, tapi aura dingin dan tatapan tajam Pak Julian sudah menjadi legenda di kantor.

Saat Karina sedang berkutat dengan berkas-berkasnya, tiba-tiba terdengar keributan kecil di dekat pintu masuk kantor. Beberapa karyawan tampak berbisik-bisik sambil melihat ke arah sana dengan mata membulat.

"Ada apaan sih?" gumam Karina penasaran.

Maya, yang baru saja datang dan melihat kerumunan itu, langsung menghampiri meja Karina dengan wajah heboh. "Rin, lo nggak bakal percaya!" bisiknya dengan mata berbinar-binar.

"Kenapa emangnya, May? Ada diskon gede di kantin?" tanya Karina tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumennya.

"Bukan! Itu loh... ada cowok ganteng banget di lobi!" seru Maya setengah berteriak. "Gue baru pertama kali lihat cowok setampan itu di kantor kita."

Karina akhirnya mendongak, tertarik dengan antusiasme Maya yang berlebihan. "Seriusan? Siapa emangnya? Kenalan lo?"

"Ya bukan lah! Kayaknya bukan orang kantor deh. Gayanya... beda banget. Misterius-misterius gimana gitu. Pokoknya kayak keluar dari film-film mafia!" jawab Maya dengan nada dramatis.

Karena penasaran, Karina ikut berdiri dan mengintip ke arah lobi. Benar saja, di sana berdiri seorang pria dengan aura yang sangat berbeda dari karyawan kantor pada umumnya. Tingginya menjulang, dengan setelan jas hitam yang pas di tubuhnya. Tatapannya tajam dan dingin, namun entah kenapa justru menarik perhatian. Ada sesuatu yang mengintimidasi sekaligus mempesona dari sosok pria itu.

"Wah... lumayan juga," komentar Karina tanpa sadar.

"Lumayan lo bilang? Ini mah level dewa, Rin! Siapa ya dia? Ada urusan apa ke kantor kita?" Maya terus berdecak kagum.

Tiba-tiba, pria misterius itu bergerak dan berjalan menuju arah resepsionis. Karina dan Maya buru-buru kembali duduk di meja masing-masing, pura-pura sibuk bekerja agar tidak ketahuan mengamati.

Siang harinya, saat Karina sedang makan siang di kantin kantor yang ramai, tiba-tiba Sinta menghampirinya dengan senyum manis yang dibuat-buat.

"Karina, kamu kenal sama pria tampan yang tadi pagi datang?" tanyanya dengan nada penasaran.

"Nggak, Sin. Aku juga baru lihat tadi pagi," jawab Karina jujur sambil mengunyah bakso kuahnya.

"Oh, kirain kamu kenal," kata Sinta sambil melirik ke arah pintu kantin.

Karina mengikuti arah pandang Sinta dan melihat pria misterius itu berdiri di ambang pintu, sedang berbicara dengan salah satu petugas keamanan. Tatapannya sekilas bertemu dengan mata Karina, dan untuk sesaat, jantung Karina berdebar lebih kencang dari biasanya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa... diperhatikan.

Pria itu kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, seolah mencari seseorang. Karina buru-buru menundukkan kepalanya, pura-pura fokus pada makanannya. Dia tidak tahu kenapa, tapi dia merasa gugup dan salah tingkah di bawah tatapan pria asing itu.

"Siapa sih dia sebenarnya?" gumam Karina dalam hati.

Sore menjelang, jam dinding kantor menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. Sebagian besar karyawan sudah bergegas pulang, meninggalkan sisa-sisa kesibukan hari kerja yang melelahkan.

Karina masih berkutat dengan beberapa berkas terakhir di mejanya, ditemani secangkir kopi dingin yang sudah kehilangan aromanya. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya agar bisa menikmati malam yang tenang di kos, ditemani novel dan satu-satunya teman setianya, yaitu bantal guling.

Tiba-tiba, Maya menghampiri mejanya dengan wajah sumringah. "Kar, gue duluan ya! Mau happy hour sama anak-anak marketing," pamitnya sambil mengemasi tas modis-nya.

"Oke, hati-hati," jawab Karina tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen.

"Lo nggak ikut?" tanya Maya sedikit heran.

"Lain kali deh, May. Gue lagi pengen cepet pulang," tolak Karina halus.

Setelah Maya pergi, suasana kantor menjadi semakin sepi. Hanya suara kipas angin dan sesekali derit kursi yang terdengar. Karina menghela napas lega.

Setelah Karina membuat kopi yang baru dan menuju lift, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara langkah kaki tergesa-gesa ke arah lift. Seorang pria dengan setelan jas biru gelap dan membawa tas kerja terlihat berlari menuju lift yang pintunya hampir tertutup.

"Tunggu!" seru pria itu dengan nada sedikit panik.

Karina yang berada tidak jauh dari lift secara refleks menekan tombol open. Pintu lift terbuka kembali tepat saat pria itu hampir menabraknya.

"Aduh, maaf! Saya buru-buru," ujar pria itu dengan napas tersengal-sengal sambil masuk ke dalam lift.

Karina ikut masuk ke dalam lift, merasa sedikit canggung berada di ruang sempit itu hanya berdua dengan pria asing yang terlihat terburu-buru. Ia melirik pria itu sekilas. Posturnya tinggi tegap dengan rambut hitam pendek dan wajah yang... lumayan tampan, meskipun ekspresinya terlihat sedikit tidak senang karena terburu-buru.

"Tidak apa-apa," jawab Karina pelan, berusaha tidak menatap pria itu terlalu lama.

Suasana di dalam lift menjadi hening dan canggung. Karina fokus menatap angka lantai yang perlahan berubah. Ia berharap segera sampai di lantai dasar dan bisa keluar dari situasi yang membuatnya sedikit gugup ini.

Tiba-tiba, lift berhenti dengan sedikit sentakan di lantai lima, lantai di mana ruangan CEO berada. Pintu lift terbuka, dan seorang wanita dengan pakaian formal dan membawa beberapa berkas berdiri di depan pintu.

"Maaf, Pak Julian, saya bawakan laporan yang Anda minta," ujar wanita itu dengan nada hormat kepada pria di samping Karina.

"Terima kasih, Sandra," jawab pria itu dengan suara lembut namun tetap terdengar formal.

Karina yang mendengar percakapan itu langsung terkejut. Pak Julian? Jadi, pria yang berdiri di sampingnya ini adalah CEO kantornya?

Selama ini ia hanya melihat sosok bos besarnya itu dari jauh atau mendengar cerita-cerita dingin tentangnya dari rekan-rekan kerja. Penampilannya dari dekat ternyata... cukup berbeda dari image dingin yang selama ini ia bayangkan. Meskipun terlihat sedikit terburu-buru dan tidak senang, ada aura karisma yang kuat terpancar dari dirinya.

Saat Sandra menyerahkan berkas kepada Pak Julian, tanpa sengaja ia menyenggol tas yang dibawa Karina, membuat cangkir kopi dingin di dalamnya oleng dan tumpah mengenai sepatu pantofel mengkilap milik sang CEO.

"Aduh! Maaf, Pak! Ya ampun, maaf sekali!" seru Karina panik, wajahnya langsung memerah karena malu. Ia berusaha membersihkan tumpahan kopi dengan tisu yang ada di tasnya, namun situasi justru semakin kacau.

Pak Julian menatap sepatunya yang kini bernoda kopi dengan ekspresi datar yang sulit dibaca. "Tidak apa-apa," ujarnya singkat, namun ada nada dingin yang menusuk dalam suaranya.

Karina semakin merasa bersalah dan gugup. "Saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya... saya tidak sengaja."

Sandra, yang juga terkejut dengan kejadian itu, ikut meminta maaf. "Maafkan kami, Pak Julian."

Pintu lift kembali tertutup dan lift mulai bergerak turun. Suasana di dalam lift terasa semakin tegang dan canggung. Karina merasa seperti ingin menghilang saja. Pertemuan pertamanya dengan CEO kantornya ternyata terjadi dalam situasi yang sangat memalukan.

Pak Julian menghela napas pelan sambil menatap sepatu bernodanya. Kemudian, tatapannya beralih ke Karina. "Lain kali, hati-hati," ujarnya dengan nada yang lebih tenang, meskipun tatapan matanya masih menyimpan sedikit ketidaksenangan.

Karina hanya bisa mengangguk lemah, merasa sangat bersalah dan malu. Ia berharap lantai dasar segera tiba agar ia bisa segera keluar dari lift dan melupakan kejadian memalukan ini. Pertemuan yang seharusnya biasa saja di dalam lift, kini terasa seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

Lantai dasar akhirnya tiba. Pintu lift terbuka dengan bunyi mekanis yang memecah keheningan canggung di dalamnya. Karina buru-buru melangkah keluar, mengucapkan permintaan maaf sekali lagi dengan suara nyaris berbisik tanpa berani menatap Pak Julian. Ia merasa seluruh mata di lobi kantor tertuju padanya, meskipun kenyataannya sebagian besar karyawan sudah pulang.

Pak Julian dan Sandra mengikuti Karina keluar dari lift. Sandra terlihat sedikit gugup dan beberapa kali melirik ke arah sepatu Pak Julian yang masih terlihat jelas noda kopi.

"Maaf sekali lagi, Pak," ujar Sandra dengan nada menyesal. "Biar saya ambilkan tisu lagi."

Pak Julian mengangkat tangannya, menghentikan langkah Sandra. "Tidak perlu. Saya bisa mengurusnya nanti." Ucapannya singkat namun mengandung otoritas yang membuat Sandra terdiam.

Karina merasa semakin tidak enak hati. Ia berdiri terpaku di dekat pintu keluar, menunggu kesempatan untuk benar-benar menghilang dari pandangan atasannya itu. Namun, Pak Julian tiba-tiba berbalik menghadapnya.

"Kamu... yang tadi menekan tombol lift?" tanya Pak Julian dengan nada datar.

"I-iya, Pak," jawab Karina gugup, menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung.

"Terima kasih," ujarnya singkat sebelum mengalihkan pandangannya dan berjalan menuju pintu keluar kantor. Sandra mengikutinya dari belakang dengan langkah cepat.

Karina menghela napas lega setelah punggung Pak Julian menghilang di balik pintu kaca. Kejadian di lift tadi benar-benar memalukan. Pertemuan pertama dengan CEO yang selama ini hanya ia dengar namanya, berakhir dengan insiden kopi tumpah di sepatu mahalnya. Ia yakin, mulai sekarang, namanya akan tercatat dalam daftar karyawan ceroboh di kantor.

"Ya ampun, Rin! Itu tadi Pak Julian kan?" Suara heboh Maya tiba-tiba mengagetkan Karina yang sedang berusaha menenangkan diri. Ternyata sahabatnya itu belum benar-benar pergi dan masih berada di sekitar lobi sambil menunggu temannya.

"Astaga May, ngagetin aja. Iya, May. Malah gue tumpahin kopi di sepatunya," jawab Karina lesu.

Mata Maya membulat sempurna. "HAH?! Lo numpahin kopi di sepatu CEO?! Ya ampun, Kar! Lo bener-bener... anti-klimaks banget sih!"

"Enak aja! Gue nggak sengaja!" bela Karina kesal. "Lagian, dia juga buru-buru sih tadi."

"Tetep aja! Itu Pak Julian, Kar! CEO kita yang dinginnya kayak kulkas dua pintu! Gue nggak pernah denger dia marah-marah di kantor, tapi tatapannya tadi... kayak mau membekukan lo jadi es batu!" ujar Maya dramatis.

Tiba-tiba, seorang pria dengan tampilan santai namun tetap modis menghampiri Maya. "Hai, Sayang! Udah siap?" sapanya sambil merangkul pinggang Maya.

"Eh, hai, Beb! Ini kenalin, temen gue, Karina," ujar Maya sambil menunjuk Karina. "Kar, ini pacar gue, Kevin."

Kevin mengulurkan tangannya sambil tersenyum ramah. "Hai, Karina! Seneng ketemu lo."

"Hai," jawab Karina singkat, merasa sedikit canggung berada di tengah kemesraan mereka.

Saat Karina hendak berpamitan, matanya tidak sengaja menangkap sosok pria yang berdiri di dekat pintu masuk lobi. Pria itu tampak berbeda dari karyawan kantor lainnya. Dengan jaket kulit hitam dan tatapan mata yang intens, ia terlihat seperti karakter utama dalam film laga. Karina mengerutkan kening, merasa familiar dengan sosok itu.

"Itu... bukannya pria yang waktu itu datang ke kantor ya?" bisik Karina kepada Maya.

Maya mengikuti arah pandang Karina. "Oh iya! Gue juga inget! Dia yang bikin heboh satu kantor waktu itu. Siapa sih dia sebenarnya? Kok kayak bukan orang kantoran?"

Pria misterius itu tiba-tiba bergerak dan berjalan menuju resepsionis. Karina dan Maya kembali pura-pura sibuk berbicara agar tidak terlalu mencolok saat mengamatinya.

Tak lama kemudian, pria itu berbalik dan tatapannya kembali bertemu dengan mata Karina. Kali ini, tidak ada ekspresi dingin seperti saat ia melihat Pak Julian. Tatapannya terasa lebih menyelidik dan... entah kenapa, sedikit membuat jantung Karina berdebar tidak karuan. Ada sesuatu yang menarik dari sosok pria asing itu, meskipun ada juga aura bahaya yang melintas dalam tatapannya.

Pria itu kemudian tersenyum tipis, sebuah senyuman yang tidak mencapai matanya namun tetap berhasil membuat Karina salah tingkah. Setelah itu, ia berbalik dan berjalan keluar kantor, menghilang di tengah ramainya malam Jakarta.

"Siapa sih dia sebenernya, Kar? Kok lo kayak kenal?" tanya Maya penasaran.

"Gue juga nggak yakin, May." jawab Karina gugup, menyembunyikan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di hatinya. Pertemuan canggung di lift dengan Pak Julian dan tatapan misterius dari pria asing itu seolah menjadi dua sisi mata uang yang berbeda, namun sama-sama mengusik ketenangan hidup Karina yang selama ini monoton.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dua Tuan Tampan   12. Perdebatan

    Malam semakin menghampiri di depan toko bunga "Lavender Dreams", namun ketegangan di antara Julian dan Alex belum juga mereda. Setelah Karina berpamitan dan bergegas menuju halte, keduanya masih berdiri di tempat yang sama, saling menatap dengan sorot mata yang menyimpan berbagai pertanyaan dan kecurigaan. Julian, sebagai pihak yang lebih dulu mengenal Karina (sebagai atasannya), merasa memiliki keunggulan. Ia memandang Alex dengan tatapan dingin, mencoba menunjukkan superioritasnya. "Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini, Tuan...?" Julian menggantungkan kalimatnya, seolah meremehkan Alex yang belum ia ketahui identitasnya secara pasti. Alex menyeringai tipis, tidak terpengaruh sedikit pun oleh nada bicara Julian yang merendahkan. "Rossi. Alex Rossi. Dan saya juga tidak menyangka akan bertemu dengan seorang CEO yang berkeliaran di sekitar toko bunga pada malam hari. Sedang mencari inspirasi untuk buket ucapan selamat atas keberhasilan proyek?" balas Alex dengan nada san

  • Dua Tuan Tampan   11. Dua Tuan Tampan

    Senja merayap turun, membalut jalanan dengan cahaya temaram setelah kesibukan jam kantor mereda. Karina, dengan seulas senyum puas menghiasi wajahnya, baru saja keluar dari toko bunga "Lavender Dreams". Di tangannya tergenggam buket bunga matahari cerah untuk ulang tahun Risa. Namun, kedamaian sore itu terusik oleh kedatangan dua sosok pria secara bersamaan dari arah yang berlawanan. Tepat di sisi kanan Karina, sebuah mobil sedan mewah berwarna grafit berhenti. Pintu pengemudi terbuka, dan dari sana keluar Julian Pratama. Ia mengenakan kemeja biru muda yang digulung lengannya hingga siku, namun aura CEO yang berwibawa tetap melekat padanya. Karina terkejut bukan main. Belum hilang rasa kagetnya, dari sisi kiri Karina, suara deru motor sport yang khas terdengar mendekat. Sebuah motor Ducati berwarna hitam berhenti tepat di sampingnya. Pengendaranya menurunkan visor helm, memperlihatkan wajah tegas namun memikat milik Alex. Jaket kulit hitam yang dikenakannya semakin menambah daya ta

  • Dua Tuan Tampan   10. Kafe Eskrim

    Sore hari, Maya mengajak Karina untuk mencari udara segar sepulang kerja. "Kar, kepala gue udah berasap nih gara-gara brainstorming ide iklan yang nggak jelas. Kita cari es krim yuk di kafe Gelato. Siapa tahu ketemu oppa-oppa ganteng yang lagi nyari inspirasi juga," ajak Maya dengan nada penuh harapan. Karina, yang otaknya juga terasa lelah berjam-jam berkutat dengan angka, menyetujui ajakan Maya. Suasana sore yang ramai dengan lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki sedikit mengalihkan pikirannya dari rutinitas kantor. Sesampainya di kafe Gelato dengan aroma manis yang melekat di udara, Maya langsung memesan dua scoop rasa mint chocolate dan strawberry cheesecake. Karina sendiri memilih rasa salted caramel yang selalu berhasil menghiburnya. Mereka duduk di salah satu meja di sudut kafe, menikmati es krim sambil sesekali mengamati pengunjung lain. "Tuh kan, Kar! Gue bilang juga apa, kafe ini tuh sarangnya cowok-cowok ganteng!" bisik Maya sambil menyikut lengan Karina, matanya berbin

  • Dua Tuan Tampan   9. Hiruk Pikuk Klub Malam

    Dentuman musik menimbulkan vibrasi di lantai dan riuh rendah percakapan menyelimuti malam itu dengan atmosfer yang memekakkan telinga. Di tengah kerumunan pesta yang berjingkrak-jingkrak mengikuti ritme musik, Karina merasa semakin tidak nyaman. Ia seolah menjadi sosok asing di tengah dunia yang menarik namun sedikit mengintimidasi baginya. Meskipun Maya dan Toni tampak menikmati suasana pesta dengan bersemangat, Karina merindukan ketenangan kamar kosnya. Aroma alkohol dan keringat yang bercampur di udara menimbulkan perasaan tidak nyaman. Dengan langkah hati-hati, Karina mulai menepi dari kerumunan yang semakin padat. Ia mencari sudut yang sedikit lebih sepi di mana ia bisa sedikit bernapas dan menjernihkan pikirannya. Matanya menyelidik sekeliling, mencari keberadaan sofa atau kursi kosong yang bisa ia duduki sejenak. Setelah beberapa saat mencari, Karina akhirnya menemukan sofa tersembunyi di sudut ruangan yang remang-remang. Sofa kulit berwarna gelap itu tampak menawarkan sedik

  • Dua Tuan Tampan   8. Kehebohan teman

    Mentari pagi menyusup malu-malu melalui celah ventilasi kamar Karina, membangunkan gadis itu dari tidur lelap yang menyenangkan. Karina menghela napas panjang dan bangkit dari tempat tidur dengan gerakan lemah. Ia masih merasa sedikit lelah namun rasa penasaran tentang kejadian kemarin lebih mendominasi. Ia perlu menceritakan ini pada kedua teman kosnya, Risa dan Beno, meskipun ia yakin reaksinya pasti akan heboh. Setelah menyelesaikan ritual pagi seadanya, Karina keluar dari kamar dan mendapati Risa sudah berkutat di dapur dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Beno, seperti biasa di pagi hari, tampak duduk tenang di meja makan dengan sebuah buku tebal di tangannya. "Pagi, Kar! Muka lo kusut banget kayak cucian belum disetrika," sapa Risa mengalihkan pandangannya dari cangkir kopi merasuk indra penciumannya. "Pagi, Ris. Pagi, Ben," jawab Karina lemah sambil duduk di kursi sebelah Beno. Beno hanya mengangguk singkat tanpa memalingkan wajahnya dari bukunya yang berjudul "Eksistens

  • Dua Tuan Tampan   7. Tumpangan Julian

    Mobil mewah Julian meluncur lembut membelah jalanan Jakarta yang mulai sepi di tengah malam. Lampu-lampu jalan menari di kaca jendela, menciptakan refleksi cahaya di wajah Karina. Karina duduk dengan sedikit kaku di kursi penumpang. Ia melirik Julian yang fokus menyetir dengan ekspresi wajah tenang. Sorot lampu jalan sesekali menerangi garis rahangnya yang tegas. Julian memecah keheningan setelah beberapa saat dengan pertanyaan. "Jadi, kos kamu di daerah mana?" "Di daerah luar kota, Pak," jawab Karina. "Dekat dengan kampus baru." Julian mengangguk pelan, Karina memberanikan diri untuk melirik Julian lagi. Julian tiba-tiba memecah keheningan lagi. "Kamu sudah lama tinggal di sana, Karina?" "Sejak kuliah, Pak," jawab Karina pelan. "Sekitar lima tahunan." Karina memberanikan diri untuk bertanya balik. "Kalau Bapak... sudah lama tinggal di Jakarta?" Julian sekilas tersenyum tipis. "Sejak lahir. Tapi... kadang saya merasa pusat kota Jakarta terlalu ramai dan... melelahkan." "Kamu.

  • Dua Tuan Tampan   6. Pengirim Mawar

    Setelah berjam-jam berkutat dengan angka-angka dan laporan keuangan tanpa akhir, Karina akhirnya menghela napas lega. Pekerjaannya selesai. Rasa lelah menyelimuti tubuhnya, namun kepuasan kecil menangkap hatinya. Ia cepat-cepat merapikan mejanya, mematikan komputer, dan meraih tasnya, tidak sabar untuk segera kembali ke ketenangan kamar kosnya.Suasana kantor di lantai atas benar-benar sepi. Hanya lampu-lampu darurat yang memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang tidak biasa. Langkah kaki Karina menggema pelan di koridor yang kosong saat ia berjalan menuju lift.Dalam lift yang lambat dan sunyi, pikiran Karina kembali melayang pada buket mawar merah dan sikap tidak biasa Julian malam ini. Pertanyaan-pertanyaan itu masih menanti jawaban di benaknya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, mencoba mengusir kebingungan itu dan fokus pada keinginan untuk segera beristirahat.Tiba di lantai dasar, Karina sedikit terkejut melihat lampu lobi masih menyala terang. Biasany

  • Dua Tuan Tampan   5. Mawar

    Keesokan harinya, Karina terbangun dengan perasaan sedikit lelah. Rutinitas pagi di kos berjalan seperti biasa. Risa sudah sibuk dengan ritual dandan sebelum kerja, sementara Beno tampak tenang dengan laptopnya."Muka lo kenapa ditekuk gitu, Kar? Mimpi buruk ketemu Pak Bambang nagih laporan?" celetuk Risa sambil menyisir rambutnya di depan cermin."Nggak kok. Cuma kurang tidur aja," jawab Karina berbohong sambil meraih mug kopinya.Sesampainya di kantor, suasana pagi terasa sedikit lebih ramai dari biasanya. Beberapa karyawan tampak berbisik-bisik dan melihat ke arah pintu masuk. Karina tidak terlalu menghiraukannya dan langsung menuju mejanya."Pagi, Kar! Ada kejutan buat lo!" seru Maya dengan senyum misterius saat Karina baru sampai."Kejutan apaan?" tanya Karina skeptis. Biasanya, "kejutan" ala Maya berkisar antara gosip terbaru yang belum tentu benar atau makanan aneh dari kantin.Maya menunjuk ke arah mejanya dengan gerakan dramatis. Di atas mejanya, Karina melihat sebuket bunga

  • Dua Tuan Tampan   4. Alex Draxler

    Di balik tatapan menyelidik dan aura misterius yang melingkupi Alex Draxler, tersembunyi sebuah dunia yang jauh dari hiruk pikuk kantor biasa dan senyaman kedai kopi. Alex Draxler, nama lengkapnya, bukanlah sekadar pria asing. Ia adalah putra sulung dari keluarga Draxler, sebuah nama yang disegani sekaligus ditakuti dalam lingkaran bisnis yang abu-abu. Apartemen mewah Alex di pusat kota Jakarta menjadi saksi bisu kehidupannya yang diwarnai dengan pertemuan-pertemuan larut malam. Di ruang kerja apartemennya yang mewah dengan pemandangan kota yang gemerlap, ayah Alex, Don Rafael Draxler, sudah menunggunya. Don Rafael, pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih namun tatapan matanya masih setajam elang, duduk di kursi kulit besar di balik meja kerjanya yang dipenuhi dokumen dan telepon antik. Aura kekuasaan dan ketegasan melingkupi figur ayahnya. "Alex, akhirnya kau pulang juga," ujar Don Rafael dengan nada suara berat yang menandakan ketidaksenangan. "Aku menunggumu sejak

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status