Home / Romansa / Dua Tuan Tampan / 2. Di Bawah Tekanan

Share

2. Di Bawah Tekanan

Author: bluaeya
last update Last Updated: 2025-05-05 07:52:51

Raina melangkah memasuki gang sempit yang menuju rumahnya, meninggalkan keramaian jalan utama Jakarta yang perlahan meredup. Aroma masakan rumahan bercampur dengan bau selokan yang samar menyambutnya, kontras sekali dengan parfum mahal Arjuna yang masih terbayang di indranya.

Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga beban pikiran yang menghimpit. Rumah kecil dengan cat yang sudah mengelupas di beberapa bagian itu tampak tenang di balik rimbunnya pohon mangga. Sebuah oase sederhana di tengah hiruk pikuk ibu kota, namun kini terasa terancam.

Ia membuka pintu kayu yang tak pernah terkunci itu dengan hati-hati, mencoba menyembunyikan kekosongan di dadanya. Suara tawa renyah menyambutnya. Rian, adiknya yang baru kelas lima SD, sedang asyik bermain mobil-mobilan di ruang tengah yang tidak begitu luas. Ibunya, Bu Lastri, yang tubuhnya mulai renta sedang menyirami tanaman di teras dengan gerakan pelan.

"Raina sudah pulang?" suara Ibunya terdengar serak, namun penuh kehangatan. Ia menoleh, senyum tipis terukir di wajahnya yang dihiasi keriput. Mata Bu Lastri, yang dulu berbinar cerah, kini agak kusam karena sering sakit-sakitan. Raina mencium tangannya, mencoba mengukir senyum di wajahnya meski terasa sulit.

"Iya, Bu. Baru saja," jawab Raina, berusaha terdengar seceria mungkin. Ia tak sanggup langsung menyampaikan berita buruk itu. Tidak sekarang, tidak di hadapan tawa polos Rian yang masih belum mengerti apa-apa. Biar saja dulu mereka menikmati ketenangan yang semu ini.

Rian segera berlari menghampirinya, memeluk kakaknya dengan erat. "Kak Raina! Tadi Rian dapat nilai bagus di ulangan Matematika!" serunya penuh semangat, menunjukkan selembar kertas dengan angka 95 besar yang melingkar di atasnya.

Hati Raina menghangat, namun juga terasa nyeri. Senyum Rian, kegembiraan polos itu, adalah alasan utamanya untuk terus berjuang. Uang hasil jerih payahnya selama ini selalu ia sisihkan untuk biaya les Rian, buku-buku baru, dan sedikit tabungan untuk masa depannya. Kini, semua itu seperti ditarik paksa darinya. Bagaimana ia akan menjelaskan pada Rian bahwa impiannya untuk masuk SMP favorit bisa jadi terhambat?

"Hebat sekali adik Kakak ini!" Raina mengacak-acak rambut Rian. "Nanti Kakak belikan es krim kesukaan Rian, ya?"

Janji itu terasa pahit di lidahnya. Dengan apa? Kantongnya kini nyaris kosong. Tabungan daruratnya hanya cukup untuk beberapa minggu ke depan, itu pun jika dihemat mati-matian. Tekanan ekonomi keluarga terasa mencekik.

Malam itu, setelah Rian tertidur pulas dan Bu Lastri beristirahat, Raina duduk di meja kecil di sudut kamarnya. Hanya ada cahaya remang dari lampu belajar yang menerangi lembaran-lembaran sketsa di depannya. Ia mengambil pensil dan buku sketsanya, mencoba mencari pelarian seperti biasa. Namun, malam ini, ide-ide seolah enggan datang. Tangannya terasa kaku, pikirannya terlalu penuh dengan kekhawatiran.

Bayangan wajah dingin Arjuna Dirgantara, tatapannya yang tajam, dan suara datarnya terus-menerus muncul di benaknya. Ia tidak suka cara pria itu bicara, terlalu angkuh, terlalu merendahkan. Tapi ada sesuatu yang aneh tentangnya, sesuatu yang membuat Raina tidak bisa benar-benar membencinya. Mungkin karena ia begitu berbeda dari orang-orang yang biasa ia temui, atau karena aura kekuasaannya yang tak terbantahkan.

Raina menghela napas panjang. Ia mengambil selembar kertas kosong dan mulai membuat guratan-guratan abstrak, melampiaskan kekesalannya. Pensilnya menari-nari, membentuk garis-garis tajam dan gelap, mencerminkan gejolak dalam hatinya. Ia mencoba melupakan insiden tabrakan sore itu, menganggapnya sebagai bagian dari hari sial yang ingin ia hapus dari ingatannya. Sosok Arjuna Dirgantara adalah anomali, insiden yang tak berarti. Ia hanya salah satu dari ribuan wajah yang lalu-lalang di Jakarta.

Namun, semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas ingatan itu. Bagaimana Arjuna, dengan setelan jas mahalnya, tanpa ragu membungkuk untuk memunguti sketsanya. Bagaimana tatapan matanya yang dingin itu sempat terpaku pada gambar wajah tersenyum di salah satu lembarannya. Apa yang dipikirkan pria itu? Apakah ia meremehkan mimpinya? Atau ada sedikit rasa penasaran di balik wajah tanpa ekspresi itu?

Raina menghentikan gerakan tangannya. Ia menatap langit-langit kamar yang mulai retak-retak. Sudah lama ia memimpikan sebuah studio kecil, tempat ia bisa bebas berkarya tanpa terganggu. Ia ingin karya-karyanya dikenal, ingin orang lain melihat dunia dari sudut pandangnya. Tapi bagaimana bisa ia mencapai semua itu jika untuk sekadar bertahan hidup saja ia sudah kesulitan?

Ia berbalik, meraih ponsel usangnya di samping bantal. Jarinya menggulir layar, mencari lowongan pekerjaan. Hampir semua iklan yang ia lihat menuntut pengalaman bertahun-tahun atau gelar yang lebih tinggi. Frustrasi mulai menguasainya. Apakah ia harus mengubur mimpinya dan menerima pekerjaan apa pun yang bisa memberinya uang, bahkan jika itu berarti mengkhianati jiwanya sebagai seniman?

Malam semakin larut. Di luar, suara jangkrik mulai terdengar, Raina akhirnya meletakkan pensilnya. Ia mematikan lampu belajar, membiarkan kegelapan memasuki kamarnya. Ia tahu, esok pagi ia harus bangun dan mencari solusi. Ada Rian dan Ibu yang bergantung padanya. Ia tidak boleh menyerah.


Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dua Tuan Tampan   59. Cahaya

    Suara tembakan yang menusuk telinga, kegelapan yang mencekam, dan aura ancaman dari Prakoso kini memudar, digantikan oleh gema sirene polisi yang mendekat. Raina terhuyung, bersandar pada dinding yang dingin, membiarkan napasnya tersengal.Ia mencengkeram erat tangan Arjuna Dirgantara, yang kini berdiri di sampingnya, memandangi Bima Samudra yang menahan Prakoso yang tak sadarkan diri. Mata Raina berkaca-kaca, bukan karena takut, melainkan karena lega yang luar biasa. Mereka berhasil. Mereka selamat. Polisi tiba beberapa menit kemudian, menggeledah rumah Prakoso dan mengamankan Bramantyo yang juga masih terlihat syok. Mereka menemukan pistol Prakoso yang tergeletak di sudut ruangan, dan segera mengambil berkas bukti yang dipegang Arjuna. Rekaman suara kecil dari dalam berkas itu menjadi kunci utama, suara yang merekam percakapan Prakoso dan kaki tangannya mengenai skandal yayasan dan, yang paling mengerikan, perintah untuk membungkam Arya. Seluruh ruangan itu kini dipenuhi petugas y

  • Dua Tuan Tampan   58. Jejak di Dalam

    Rencana Raina untuk memicu alarm kebakaran di kediaman Prakoso bagaikan percikan api yang akan menyulut ledakan. Di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari rumah mewah itu, Arjuna Dirgantara mengangguk, menyetujui strategi berani Raina. Ketegangan memenuhi udara pagi di kota kecil itu, sebuah ketegangan yang hanya bisa dibandingkan dengan bisikan angin dingin yang menyelinap melalui celah jendela mobil. Raina merasakan jantungnya berdebar kencang, setiap detiknya terasa seperti sebuah hitungan mundur menuju momen krusial."Bagaimana Anda akan melakukannya, Raina?" tanya Arjuna, suaranya rendah, matanya menatap Raina penuh kekaguman sekaligus kekhawatiran. Ia melihat tekad di mata Raina, sebuah keberanian yang jauh melampaui tugas seorang asisten.Raina tersenyum tipis, sebuah senyum penuh keyakinan. "Saya sudah mempelajari beberapa sistem keamanan yang biasa digunakan di rumah-rumah mewah. Ada celah kecil yang bisa dimanfaatkan pada panel alarm eksternal. Dengan sedikit modifikasi pa

  • Dua Tuan Tampan   57. Dalang

    Nama yang dibisikkan Arjuna Dirgantara di dalam mobil, nama yang seharusnya menjadi pilar kepercayaan dalam dunia Grup Dirgantara, kini terasa bagai hantaman palu godam bagi Raina. Prakoso. Mitra bisnis terdekat Tuan Dirgantara Senior. Sosok yang selama ini dianggap sebagai tangan kanan keluarga. Kenyataan bahwa dialah dalang di balik pembunuhan Arya adalah pengkhianatan yang paling kejam, sebuah duri yang menusuk hingga ke inti jiwa Arjuna.Raina merasakan darahnya berdesir dingin. Ia menatap Arjuna, wajah pria itu kini lebih pucat dari sebelumnya, matanya memancarkan campuran duka yang mendalam dan kemarahan yang membara. Aura kuat yang biasa menyelimuti Arjuna kini tergantikan oleh kerapuhan yang menyayat hati. Raina tahu, ini adalah titik balik. Arjuna tidak hanya kehilangan adiknya, tetapi juga kepercayaannya pada dunia yang selama ini ia anggap aman."Prakoso..." Raina berbisik, namanya terasa asing di lidahnya, berlumuran pengkhianatan. "Bagaimana mungkin?"Arjuna menggeleng, t

  • Dua Tuan Tampan   56. Terowongan Kegelapan

    Beberapa hari setelah penemuan surat Arya, Arjuna dan Raina menghabiskan waktu luang mereka untuk menggali lebih dalam tentang Bramantyo. Mereka menyadari, nama ini tidak hanya terkait dengan skandal yayasan, tetapi juga dengan kepergian Arya yang misterius.Raina, dengan kemampuannya yang teliti, mulai mencari informasi tentang Bramantyo melalui jaringan internal kantor dan sumber-sumber terbuka. Ia menemukan bahwa Bramantyo, setelah skandal yayasan mereda, tidak benar-benar menghilang. Ia hanya mengubah namanya, dan hidup di bawah radar, jauh dari sorotan publik. Ia memiliki beberapa bisnis kecil di luar kota, yang tidak terkait langsung dengan sektor keuangan atau properti."Dia sengaja bersembunyi," Raina berbisik pada Arjuna saat mereka membahas temuan ini di ruang kerja Arjuna yang sepi. "Dia tahu ada yang mencarinya."Arjuna mengangguk, rahangnya mengeras. "Kita harus menemukannya. Dia pasti tahu sesuatu."Namun, Raina tahu, mendekati Bramantyo adalah langkah yang sangat berbah

  • Dua Tuan Tampan   55. Surat Arya

    Pengakuan Tuan Dirgantara Senior tentang Sinta adalah bom yang telah meledak, menghancurkan tembok kebohongan yang ia bangun selama bertahun-tahun. Namun, penolakannya untuk berbicara tentang kaitan Arya membuat Raina, Arjuna Dirgantara, dan Bima Samudra terdiam. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap, lebih menyakitkan, yang masih terkubur dalam-dalam di benak pria tua itu. Sebuah bayangan yang enggan terungkap, mengisyaratkan tragedi yang lebih besar dari sekadar skandal yayasan.Raina merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Ia kini tahu bahwa perannya tidak hanya sebagai jembatan antara Arjuna dan Bima, melainkan juga sebagai penyelidik kebenaran yang sesungguhnya. Ia harus menemukan apa yang Tuan Dirgantara Senior sembunyikan, bahkan jika itu berarti menggali lebih dalam ke masa lalu yang penuh rasa sakit.Setelah percakapan singkat di kamar rumah sakit, Arjuna dan Bima sepakat untuk tidak menekan Ayah mereka lebih jauh. Mereka tahu, memaksanya dalam kondisi seperti itu tidak

  • Dua Tuan Tampan   54. Sunyi

    Keesokan harinya, suasana di kantor terasa lebih mencekam. Ketidakhadiran Arjuna dan Tuan Dirgantara Senior meninggalkan kekosongan yang terasa berat. Lia, sekretaris senior, tampak lebih sibuk dari biasanya, menjawab telepon-telepon dari media dan kolega yang penasaran. Raina mencoba fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus melayang ke rumah sakit. Bagaimana keadaan Tuan Dirgantara Senior? Bagaimana reaksi Arjuna terhadap semua ini? Apakah ia akan dipecat?Desas-desus mulai beredar di antara karyawan. Ada yang mengasihani Tuan Dirgantara Senior, ada yang menyalahkan Bima karena terlalu gegabah, dan ada pula yang diam-diam menyalahkan Raina karena telah 'membocorkan' rahasia keluarga. Raina merasakan tatapan-tatapan sinis itu, namun ia berusaha mengabaikannya. Ia tahu, ia telah melakukan hal yang benar, terlepas dari konsekuensinya.Ia mencoba menghubungi Arjuna, namun tidak ada jawaban. Pesan singkat yang ia kirimkan juga tak berbalas. Raina merasa putus asa. Ia tahu, kepercay

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status