Share

Tiga

Author: Rose
last update Last Updated: 2024-03-22 15:55:19

Hari pernikahan tiba, dan Naya sebisa mungkin mempertahankan senyum bisnisnya dari pagi. Ini sangat melelahkan untuk Kanaya yang harus berdiri di atas pelaminan dengan heels. Apalagi harus berpura-pura bahagia, ini lebih melelahkan daripada mengejar deadline yang diberi Dewa dulu.

Naya menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya.

“Capek?” Dewa, yang berdiri di sebelahnya tiba-tiba bertanya.

“Eh?” Naya menoleh. “Ya, lumayan.”

“Mau saya ambilkan makan?”

“Ambilin pudding atau buah aja deh, Pak. Buat ganjel.”

Dewa mengangguk, lalu beranjak dari pelaminan. Kini, hanya Naya yang tinggal di situ. Orang tua dan mertuanya sibuk sendiri, menyambut tamu-tamu kenalannya. Naya akhirnya kembali duduk sambil memainkan jari-jarinya.

“Oh, ini ISTRI barunya Mas Dewa.” Ucapan itu sontak membuat Naya mengangkat kepala. “Ternyata emang sukanya daun muda, ya?”

Naya mengerutkan dahi. Ia kenal wanita ini, itu adalah mantan istri Dewa yang sering keluar-masuk kantor seenaknya. Kenapa dia ada di sini? Seingatnya, Dewa tidak mengundang wanita ini.

Naya berdiri, berhadapan dengan wanita itu. “Iya, dong. Kan kalau daun muda, masih seger, gak peyot kayak Tante.”

Naya melihat wanita itu menatapnya tajam, tapi dengan cepat dia bisa kembali berkata sarkas. “Ya, cocok sih. Kan anak kecil sukanya main rumah-rumahan.”

“Ya lebih baik, daripada sukanya ngerusak rumah tangga orang lain, kan?” balas Naya tidak kalah tajam.

Naya boleh lebih muda dari wanita itu, tapi dia tidak akan mudah dikalahkan. Dia sudah terlatih bertengkar dengan Risky, kakak kandungnya, sejak kecil. Menghadapi ucapan sinis Savira, adalah hal yang mudah.

“Eh! Jangan sok kamu! Bagaimana pun orang lama yang akan jadi pemenangnya!”

“Coba aja!”

Wanita itu tampak akan mengangkat tangannya. Namun, begitu melihat tamu-tamu undangan dan para orangtua melihat ke arah mereka, dia buru-buru turun dari pelaminan.

Melihat itu, Naya mendengus, antara sebal dan merasa bangga.

“Kanaya,” suara Dewa tiba-tiba muncul dari samping, Naya pun menoleh. “Terima kasih.”

Padahal itu kata-kata sederhana, tapi Naya langsung merasa pipinya memanas. Ia pun segera mengambil piring berisi buah yang Dewa bawa, dan memakannya. Jantungnya berdetak tidak karuan sekarang.

***

Acara selesai pukul 5 sore, Naya dan Dewa pulang ke rumah orangtua Naya untuk malam pengantin. Sebenarnya, Dewa menyarankan menginap di hotel saja, tapi karena Naya terlalu takut, ia pun menolak.

‘Gila aja mau berduaan doang sama om-om itu!’ gerutu Naya sambil menghapus makeup ketika mengingat pembicaraan mereka waktu itu.

Naya sudah membaringkan badannya di atas kasur yang sudah dirinya rindukan sejak pukul 5 pagi. Karena kelelahan, dengan mudah ia pergi ke alam mimpi.

Sedangkan Dewa masih mengobrol dengan beberapa saudara-saudaranya dari luar kota. Ia baru masuk ke dalam kamar pukul 10 malam. Saat Dewa masuk sudah melihat istrinya yang meringkuk di atas kasur dengan wajah damainya.

Dewa kira, Naya belum tidur karena kamar itu masih terang benderang. Setelah mandi dan berganti pakaian, Dewa menyusul istrinya untuk istirahat. Ia meraih saklar lampu dan mematikannya, sebelum berjalan ke arah kasur.

"Aaa!"

Teriakan Naya membuat Dewa yang baru mendekat satu langkah, langsung mundur lagi. Dia buru-buru menyalakan saklar lampu lagi.

"Kenapa berteriak?" tanya Dewa.

"Siapa?"

"Kamu lupa jika sudah memiliki suami?"

Naya seketika tersadar jika dirinya sudah menjadi istri orang. Saat terbangun karena terusik kamarnya gelap gulita, ia duduk dan melihat siluet hitam yang berdiri di depannya. Tentu saja dia terkejut.

"Kenapa harus dimatikan lampunya?" tanya Naya.

"Saya ngga terbiasa," jawab Dewa sambil mematikan kembali lampu.

Tanpa rasa bersalah sama sekali, Dewa melangkahkan kakinya dan menaiki ranjang. Ia berbaring sebelah Naya yang masih gemetaran dan memeluk guling.

"Pak! Nyalakan lampunya!" pinta Naya sudah dengan mata yang berkaca-kaca karena dirinya benar-benar takut.

Dewa menoleh melihat Naya duduk dengan mata berair. Dewa menghela nafas, lalu kembali bangun dan menyalakan lampu tidur di sebelah Naya.

"Sudah?"

Naya mengangguk.

"Sekarang tidur, Kanaya."

Naya kembali membaringkan badannya di sebelah Dewa dengan ragu. Namun, ketika melihat Dewa yang memejamkan matanya, akhirnya Naya juga bisa memejamkan matanya dengan tenang.

Paginya, Naya baru bangun ketika Bunda dan kakak iparnya sedang menyiapkan sarapan. Untuk kali ini mereka tidak protes. Mungkin paham kalau Naya sangat lelah kemarin.

"Suami kamu mana?" tanya bundanya saat Naya mengambil air di dapur, tapi Naya hanyaa mengendikan bahunya.

‘Aku sendiri aja ngga lihat dia pas bangun tadi,’ jawab Naya dalam hati sambil meneguk minumnya.

"Jogging sama Ayah, dan Mas Risky, Bun." jelas Amel, kakak iparnya.

"Jogging? Sejak kapan ayah dan kakakmu suka jogging?" tanya Wina heran karena selama ini suaminya sangat jarang berolahraga.

"Sejak Naya punya suami sih, Bun." Amel menggoda sang adik ipar.

Tidak lama kemudian, ketiga laki-laki itu pun masuk ke rumah. Mereka tampak penuh dengan keringat. Bahkan Ayah sudah sangat kelelahan dengan wajah memerah.

Naya menoleh melihat Dewa yang datang dengan wajah yang berkeringat. Kaos hitam yang dipakainya semakin melekat ke tubuh atletisnya itu. Naya bisa melihat samar bentukan otot di sana.

Rambutnya yang basah, dan wajah sedikit memerah membuat Naya tidak bisa berkedip. Sekarang akhirnya ia tahu, apa yang membuat para wanita itu mengejar Dewa. Laki-laki itu terlihat seperti sarapan pagi yang lezat.

"Nay, ambilkan minum dong untuk suaminya," perintah Wina membuat Naya mengerjap untuk menyadarkan diri.

Ia segera berdeham. "Udah gede, Bun, bisa ngambil sendiri." jawab Naya cuek.

"Udah, ngga papa, Bun. Dewa mandi dulu." pamitnya kemudian dibalas anggukan oleh Wina.

Setelah kepergian ketiga laki-laki itu, Wina menatap Naya marah. "Bunda ngga pernah ngajarin kamu untuk nggak sopan kaya gitu ya, Nay!"

"Bunda selama ini selalu ngajarin kamu untuk menjadi perempuan yang baik. Apa kamu ngga pernah memperhatikan Bunda kalau sedang melayani ayah kamu?" tanya Wina marah.

"Pak Dewa juga ngga masalah kok, Bun." Naya mulai kesal.

"Kanaya! Sekarang tanggung jawab kamu itu ada pada suamimu, karena ayah sudah menyerahkan kamu pada Dewa. Jadi hormati dan layani suamimu."

Kanaya hanya diam, kemudian beranjak dari dapur menuju kamarnya lagi. Sejak dirinya mulai remaja, ia memang sudah diajarkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah, dan belajar memasak.

Bundanya selalu memberikan nasihat untuk menjadi seorang istri yang baik. Namun dulu Naya selalu mengabaikannya karena menurutnya tidak penting karena dirinya belum kepikiran untuk menikah.

‘Jadi istri kenapa harus ribet sih!’ Naya berjalan sambil menghentakkan kaki. Dia pun hanya duduk di atas ranjang sembari menunggu suaminya bersiap.

"Bapak ngga cuti? Biasanya kan kalau habis nikah ada jatah cuti," tanya Naya.

"Mereka ambil cuti karena ada yang mereka lakukan. Kalau kita kan ngga."

Naya langsung terdiam. Ia bingung harus menjawab Dewa bagaimana.

"Ayo, cepet. Kita ditunggu Bunda di bawah, sarapan dulu." ujar Naya mengalihkan pembicaraan, tidak ingin memperpanjang perdebatan mereka.

Dewa mengangguk kemudian berjalan keluar kamar. Naya mengikuti suaminya hingga meja makan. Di sana sudah ada Ayah, Bunda, dan kakaknya.

Sebelum kembali ditegur oleh bundanya, Naya segera mengambilkan sarapan untuk Dewa.

"Ngga cuti kamu, Mas?" tanya Risky.

Dewa adalah senior Risky di kampus dulu, dan karena umur Dewa lebih tua darinya sehingga Risky memanggil Dewa dengan sebutan mas.

"Tidak, kerjaan lagi banyak," jawab Dewa.

Naya, yang tadi bersiap mendengar ucapan ketus Dewa seperti di kamar, kini tertegun. Ucapan Dewa sangat berbeda dengan ketika dia bertanya tadi. Apa Dewa sedang melindungi image nya di depan keluarganya sendiri?

"Iya kan pernikahan Naya sama Dewa juga cukup mendadak, pasti susah untuk Nak Dewa ambil cuti," sahut Aslan.

"Kamu diet dek?" tanya amel yang sedari tadi hanya melihat Naya memakan 1 buah apel saja.

"Engga."

"Ngga usah jaim kali, Nay, biasanya kalau sarapan juga makan banyak," ejek Risky, membuat Naya melempar sepotong apel ke kakaknya.

"Jangan melempar makanan," tegur Dewa seketika membuat Naya menghentikan aksinya saat akan melemparkan kembali apelnya.

Naya pun terdiam. Bagaimana tidak diam orang tangannya digengam oleh Dewa agar tidak kembali melemparkan apel.

Seketika, Naya merasakan aliran panas mengalir dari tangannya, dan membuat jantungnya berdegub sangat cepat. Ia pun melirik tangannya yang digenggam Dewa. Apa tangan Dewa memang sebesar itu, ya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Duda Pilihan Ayah   150 :D

    Dewangga menatap Soedrajat dalam diam. Matanya menelusuri wajah tua itu—keriput di ujung mata, tubuh yang kini tampak rapuh, dan sorot mata yang menyimpan sesal mendalam. Di usianya yang sudah senja, seharusnya Soedrajat bisa menikmati hidup dengan tenang. Tapi tidak—ia masih harus menanggung beban dari kesalahan masa lalu, dan barangkali... ibunya benar. “Di usia setua itu, siapa pun pantas hidup dalam damai,” batin Dewangga. Dewangga menarik napas dalam, lalu akhirnya bersuara. Suaranya rendah, namun terdengar jelas dan tegas. “Sejak sudah memaafkan kakek.” Kata-kata itu sederhana, tapi menampar sunyi yang menggantung di ruangan. Soedrajat mendongak, matanya langsung basah. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya—hanya sorot mata yang mengucap lebih banyak dari sekadar terima kasih. Dewangga melanjutkan, menatap sang kakek dengan tatapan tenang. “Mungkin... rasa marah dan kecewa itu belum sepenuhnya hilang. Tapi seperti yang saya bilang waktu itu, saya ingin menjalani

  • Duda Pilihan Ayah   149

    “Kenapa kalian datang ke sini?” tanya Dewangga dingin, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit ditebak.Suasana siang itu yang awalnya tenang seketika berubah saat ia melihat siapa yang berdiri di hadapannya—Rian dan Kakek Soedrajat.“Mas…” suara lembut Kanaya memecah ketegangan. Ia baru saja datang dari arah dapur, membawa senyum hangat di wajahnya. Dengan langkah tenang, ia berdiri di samping suaminya.“Rian, Kakek… silakan masuk,” ujar Kanaya sopan sambil membuka pintu rumah lebih lebar, mengabaikan ketegangan di wajah suaminya.Dewangga menoleh cepat ke arah Kanaya, tatapannya penuh tanya. “Apa maksud kamu, Kanaya?”Kanaya mengelus lengan suaminya dengan lembut, berusaha menenangkannya. “Mas, aku tahu kamu kaget… tapi percayalah, ini semua demi kebaikan.”Ia bisa merasakan ketegangan di tubuh suaminya. Ekspresi wajah Dewangga sudah lama tak sedingin ini. Tapi Kanaya tahu, bukan amarah yang sedang meledak—melainkan luka lama yang kembali digores.“Mas, kita bicara di dal

  • Duda Pilihan Ayah   148

    Ibu dan anak itu akhirnya sampai di kantor Dewangga. Kai berjalan sambil menggenggam tangan Kanaya erat, wajahnya berseri-seri karena tak sabar ingin bertemu sang ayah.Namun, ketenangan lobi kantor langsung pecah oleh teriakan nyaring yang begitu familiar."Kaiii!!"Kanaya langsung menghela napas panjang, nyaris berdecak kesal. Itu lagi...Dari balik meja resepsionis, muncullah seorang wanita dengan setelan kerja rapi namun ekspresi lebay yang tak pernah berubah—Citra.Seperti roket, ia berlari ke arah mereka dan langsung memeluk Kai erat-erat seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu.“Aunty kangeeenn banget sama kamu, Kai!” serunya sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke pipi bocah itu.Padahal, terakhir mereka bertemu… baru minggu lalu.“Aunty, Kai nggak bisa napas…” gerutu Kai, wajahnya cemberut setengah sebal, setengah pasrah.“Maaf, Sayang. Aunty terlalu kangen,” ujar Citra sambil terkekeh, masih menciumi pipi bulat Kai yang kini sudah mulai memerah.“Wah, sekarang udah pake se

  • Duda Pilihan Ayah   147

    Siang itu, matahari bersinar hangat, dan angin berembus pelan membawa aroma pohon-pohon rindang di halaman sekolah. Kanaya duduk di bangku panjang tak jauh dari gerbang, menanti putranya yang sebentar lagi pulang.“Nay.”Sebuah suara familiar memanggil namanya. Kanaya menoleh, dan benar saja—Rian berjalan mendekat dengan senyum menyebalkan yang khas.“Ketemu lagi, kita,” ujarnya ringan, seolah pertemuan itu adalah takdir yang menyenangkan.Kanaya mengangkat alis. “Ngapain lo di sini?”Rian menunjuk ke seberang jalan. “Kebetulan kafe di depan situ, itu punya gue. Tadi dari jendela lihat ibu-ibu cantik duduk sendirian, jadi gue samperin deh.”Kanaya menoleh sejenak, melihat kafe minimalis bergaya modern yang belum lama ia sadari keberadaannya.“Sejak kapan lo buka tempat itu?” tanyanya, masih dengan nada datar.“Baru semingguan, sih,” jawab Rian sambil menyerahkan satu cup kopi ke tangannya. “Caffè latte. Favorit lo, kan? Tenang aja, nggak gue racunin.”Kanaya menatap cup itu dengan ali

  • Duda Pilihan Ayah   146

    Malam itu, udara terasa lebih dingin, sisa hujan yang turun sore tadi masih membekas di langit. Setelah menidurkan Kai di kamarnya, Kanaya menyusul suaminya ke ruang kerja dengan secangkir teh hangat di tangannya."Mas," panggilnya lembut, berdiri di ambang pintu.Dewangga yang tengah sibuk dengan berkas di meja kerjanya menoleh. “Ya?” gumamnya, sedikit terkejut, namun segera tersenyum ketika melihat Kanaya membawa teh hangat untuknya.Kanaya melangkah masuk, meletakkan secangkir teh di meja kecil di dekat sofa tempat Dewangga biasa duduk.Dewangga bangkit dari kursinya, berjalan perlahan mendekat, dan duduk di samping Kanaya. Mereka duduk diam, menikmati keheningan yang terasa nyaman. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, Dewangga belum banyak berbicara. Rasa cemas dan bingung masih terlihat jelas di wajahnya, dan Kanaya tidak ingin memaksanya berbicara sebelum ia siap."Bagaimana keadaan Kakek kamu?" tanya Kanaya pelan, sambil menatap suaminya.Dewangga menghela napas panjang, mengu

  • Duda Pilihan Ayah   145

    Setelah kepergian Dewangga, Soedrajat hanya bisa terpaku. Matanya tak lepas menatap pintu yang kini tertutup, seolah menelan sosok cucunya bersama seluruh luka masa lalu yang belum sempat terobati.“Andai saja aku tak egois... mungkin Dewangga tak akan tumbuh dalam bayang-bayang kebencian,” lirihnya. Air mata menuruni pipi tuanya, pelan tapi pasti, membasuh kesombongan yang selama ini ia pelihara.“Maafkan Kakek, Nak... pasti berat sekali jadi kamu,” ucapnya lagi. Suaranya serak, nyaris tak terdengar, tapi penuh penyesalan. Sosok yang selama ini ia tolak dan curigai, ternyata darah dagingnya sendiri.Benar adanya, penyesalan memang selalu datang terlambat.Tak lama, Rian masuk. Ia sempat melihat Dewangga pergi dengan mata yang nyalang penuh luka. Tapi pemandangan yang membuatnya tercekat adalah kakeknya, orang sosok yang selalu tegar, angkuh dan kuat itu kini menangis terguncang di atas ranjang rumah sakit.“Kek…” panggil Rian pelan. Ia melangkah cepat, lalu memeluk kakeknya erat. Sat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status