Share

Dua

Penulis: Rose
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-21 00:35:43

Naya menelan air liurnya sendiri. "M-Maaf, Pak, tapi saya tidak bisa menikah dengan laki-laki yang tidak saya cintai."

Naya yang sempat terpesona dengan tatapan tajam Dewa, langsung menyadarkan diri. Di kepalanya terbayang bagaimana pernikahannya nantinya, dan Naya tidak siap. Apalagi selama ini Naya hanya mengenal Dewa sebagai atasannya di kantor yang suka menindasnya.

"Lalu, kamu mau menolak pernikahan ini?" tanya Dewa.

Naya mengangguk, karena itulah tujuannya mengajak laki-laki itu bertemu hari ini.

"Iya, karena saya memiliki prinsip menikah sekali seumur hidup! Dan saya tidak bisa menikah dengan laki-laki yang tidak saya cintai."

Dewa tampak menghela nafas. Lalu mengangkat tangan untuk memanggil pelayan. Setelah pelayan memberikan bill, Dewa langsung memberikan kartu kreditnya.

“Kalau berani, kamu bisa katakan itu di depan orangtuamu dan orangtuaku.” Dewa berdiri dari duduknya ketika pelayan kembali dengan membawa kartu kreditnya.

"Malam Sabtu ini, keluarga saya akan datang untuk melamar kamu secara resmi." Setelah itu, ia meninggalkan Naya di cafe dan kembali ke kantor.

***

“Sialan! Sialan! Sialan!”

Naya tidak berhenti menggerutu dalam hati ketika bundanya mendadaninya untuk persiapan malam pertemuan antara dua keluarga. Tidak ada yang mau mendengar pendapatnya soal perjodohan ini. Semua terlalu sat set bagi Naya.

Naya sudah siap dengan kebaya berwarna biru muda yang terlihat anggun di badannya. Tepat pukul 7 malam, keluarga Dewa datang dengan rombongannya. 

Naya melihat Dewa yang mengunakan batik lengan panjang yang sama dengan rok kebaya miliknya. Tidak banyak yang datang dalam acara lamaran Naya dan Dewa, hanya ibu kandung Dewa, dan omnya yang bertugas sebagai pengganti almarhum ayah Dewa.

Dewa adalah anak pertama dari tiga bersaudara, yang memiliki adik perempuan dan laki-laki. Keduanya sudah menikah semua. Hal itu yang membuat Aida selalu meminta Dewa untuk segera menikah karena kedua adiknya sudah memiliki keturunan. Ibunya juga khawatir jika putra pertamanya tidak lagi tertarik untuk menikah karena kegagalannya lima tahun lalu.

Acara berjalan dengan lancar berbagai runtutan acara lamaran. Mulai dari pemasangan cincin, penyerahan seserahan dan penentuan tanggal pernikahan.

Sepanjang acara, Naya terus memaksakan senyum, walaupun sebenarnya ingin berteriak. Apalagi melihat wajah datar Dewa yang terlihat santai mengatakan kalau pernikahan akan berlangsung dua minggu lagi. Makanya, setelah proses selesai, Naya segera menarik Dewa ke halaman belakang.

“Bapak gila, ya!“ protes Naya.

Dewa menoleh menatap Naya. “Maksud kamu?"

“Dua minggu!” Naya menunjukkan angka dua dengan jarinya. Ia pun sesekali menengok ke dalam rumah, khawatir bundanya melihat kalau dia sedang memarahi Dewa. 

“Oh….” Dewa menangguk-angguk, baru paham. “Bukankah hal yang baik itu harus disegerakan?”

“Tapi ngga secepat itu juga dong, Pak! Bapak kira nikah kayak beli tahu bulat, dadakan?“

“Kamu tadi minta pernikahan yang sederhana, saya rasa dua minggu cukup,“ jawab Dewa tenang, kemudian mengambil sebiji anggur yang dibawanya sedari tadi.

"Mau?" tawar Dewa hendak memberikan anggur itu pada Naya.

Sifat ini yang tidak Naya sukai dari Dewa. Menurutnya, orang seperti Dewa itu sangat-sangat menyebalkan. Bagaimana bisa laki-laki itu merespon kekesalannya dengan santai dan setenang itu.

Naya menatap Dewa tajam. "Bapak ngeselin tau nggak!"

Namun, Dewa tidak menanggapinya, hanya mengangkat bahu sambil dengan santai memakan anggur. Naya hampir saja berteriak keras, kalau bundanya tidak memanggil mereka.

“Nay, ajak makan Nak Dewa, yuk," ajak Wina sambil berjalan menghampiri.

Naya mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. “Biarin aja, Bun. Nanti kalau laper ya makan sendiri.“

Wina memukul punggung Naya cukup keras. “Ehh, ngga boleh gitu sama calon suami! Sana ajak makan dulu!”

Naya mencibir lagi ketika bundanya kembali ke dalam rumah. Ia pun menatap Dewa malas. “Bapak mau makan ngga? Ayo saya temenin."

Dewa mengangguk kemudian berdiri mengikuti Naya yang berjalan di depannya. Selama Naya melayani Dewa, pandangan orang tua di sana tampak bahagia. Malah adik-adik Dewa terang-terangan menggoda kakaknya itu.

Setelah piringnya terisi, Naya mengajak Dewa duduk di sofa ruang tamu. Saking kelasnya Naya jadi tidak nafsu untuk makan, padahal dari siang dirinya belum makan sama sekali.

Karena manusia di sebelahnya ini hanya makan dalam diam, Naya menarik toples berisi keripik singkong itu, lalu memakannya.

Dewa yang terusik dengan suara Naya yang berisik di sebelahnya menoleh. "Kamu ngga makan? "

“Udah tadi sebelum acara,“ jawab Naya ketus.

Lalu, hening lagi. Hanya ada obrolan para keluarga yang terdengar dari ruang makan.

“Setelah menikah, kamu tinggal di rumah saya.“ ujar Dewa tiba-tiba, membuat Naya menoleh.

“Ngga bisa tinggal di sini aja?“ tanya Naya.

Dirinya belum siap jika harus serumah berdua saja dengan Dewa. Apalagi jika mengingat sifat Dewa yang kaku dan dingin itu.

“Tidak,“ jawab Dewa.

“Kenapa, sih, Bapak suka banget maksain kehendak?!” ucap Naya kesal. Sekarang, ia benar-benar ingin menangis.

Dewa meletakkan piringnya di meja, lalu berbalik menatap Naya. “Setelah menikah, kamu jadi tanggung jawab saya, Kanaya. Sudah jadi kewajiban saya untuk menjaga kamu.”

“Bapak egois!”

Naya tidak mau lagi mendengar perkataan Dewa. Ia segera bangkit, dan masuk ke kamarnya di lantai dua. Ia juga tidak memedulikan panggilan Dewa. Biar saja nanti Dewa mengadu pada ayah dan bundanya, ia tidak peduli.

Naya hanya ingin menangis sendirian sekarang.

***

Entah bagaimana Dewa menjelaskan kepada orangtua mereka soal kejadian malam itu. Yang pasti, ketika Naya bangun keesokan harinya, mereka bersikap biasa saja. Malah cenderung lebih perhatian. Bundanya juga langsung memberikan teh manis hangat begitu Naya bangun.

Persiapan pernikahan yang mendadak itu membuatnya lelah bahkan uring-uringan karena Dewa menyerahkan segalanya kepada Naya. Mulai dari dekor, cathering, rias pengantin dan undangan semuanya Dewa serahkan ke Naya. Walaupun dirinya di bantu oleh kedua adik iparnya, tapi dirinya tetap merasa lelah karena Dewa justru menyibukan diri dengan pekerjaanya.

Sepuluh hari menyiapkan semuanya sendirian, hari ini adalah hari pertama mereka bertemu kembali setelah lamaran itu. Mereka harus fitting baju, itupun Naya yang harus menyesuaikan waktu Dewa yang kelewat sibuk itu.

"Kalau tau menyiapkan pernikahan seribet ini, aku ngga mau nikah," gerutu Naya pelan.

Ctak!

“Aw!” Naya mengusap dahinya yang baru kena jentikkan Dewa.

"Bicaranya dijaga "

"Bapak!" protes Naya, namun tidak dihiraukan sama sekali oleh Dewa. 

Laki-laki itu kembali fokus menyetir tidak memperdulikan Naya yang masih mengelus dahinya.

"Bapak tuh ngga mikir apa, minta nikah dalam waktu dua minggu, tapi ngga bantuin sama sekali! Jadinya keteteran kan?" ujarnya sambil menatap Dewa kesal.

"Saya hanya ingin pernikahan kita sesuai dengan apa yang kamu inginkan."

Naya mendengus kesal. "Tapi yang menikah kan bukan saya doang, ada Bapak juga. Harusnya Bapak juga ikut andil dalam persiapan pernikahan ini, Pak."

Naya meluapkan segala kekesalannya 10 hari ini menyiapkan pernikahannya sendiri. Untung saja dia sudah resign dan belum mendapat pekerjaan baru. Bisa-bisa dia dipecat duluan karena terlalu banyak absen dan cuti.

Dewa menghela nafas. "Kemarin saya sudah menawarkan kamu untuk memakai jasa WO, tapi kamu tidak mau."

Naya tidak menjawab lagi. Pernikahan yang seharusnya menjadi hari bahagia, justru membuat Naya kesal dari awal. Apalagi respon calon suaminya setiap kali diajak diskusi tentang pernikahan jawabannya sama.

“Kamu urus saja. Saya sibuk.”

‘Cih! Kayak di dunia ini cuma dia doang yang sibuk!’

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Duda Pilihan Ayah   150 :D

    Dewangga menatap Soedrajat dalam diam. Matanya menelusuri wajah tua itu—keriput di ujung mata, tubuh yang kini tampak rapuh, dan sorot mata yang menyimpan sesal mendalam. Di usianya yang sudah senja, seharusnya Soedrajat bisa menikmati hidup dengan tenang. Tapi tidak—ia masih harus menanggung beban dari kesalahan masa lalu, dan barangkali... ibunya benar. “Di usia setua itu, siapa pun pantas hidup dalam damai,” batin Dewangga. Dewangga menarik napas dalam, lalu akhirnya bersuara. Suaranya rendah, namun terdengar jelas dan tegas. “Sejak sudah memaafkan kakek.” Kata-kata itu sederhana, tapi menampar sunyi yang menggantung di ruangan. Soedrajat mendongak, matanya langsung basah. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya—hanya sorot mata yang mengucap lebih banyak dari sekadar terima kasih. Dewangga melanjutkan, menatap sang kakek dengan tatapan tenang. “Mungkin... rasa marah dan kecewa itu belum sepenuhnya hilang. Tapi seperti yang saya bilang waktu itu, saya ingin menjalani

  • Duda Pilihan Ayah   149

    “Kenapa kalian datang ke sini?” tanya Dewangga dingin, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit ditebak.Suasana siang itu yang awalnya tenang seketika berubah saat ia melihat siapa yang berdiri di hadapannya—Rian dan Kakek Soedrajat.“Mas…” suara lembut Kanaya memecah ketegangan. Ia baru saja datang dari arah dapur, membawa senyum hangat di wajahnya. Dengan langkah tenang, ia berdiri di samping suaminya.“Rian, Kakek… silakan masuk,” ujar Kanaya sopan sambil membuka pintu rumah lebih lebar, mengabaikan ketegangan di wajah suaminya.Dewangga menoleh cepat ke arah Kanaya, tatapannya penuh tanya. “Apa maksud kamu, Kanaya?”Kanaya mengelus lengan suaminya dengan lembut, berusaha menenangkannya. “Mas, aku tahu kamu kaget… tapi percayalah, ini semua demi kebaikan.”Ia bisa merasakan ketegangan di tubuh suaminya. Ekspresi wajah Dewangga sudah lama tak sedingin ini. Tapi Kanaya tahu, bukan amarah yang sedang meledak—melainkan luka lama yang kembali digores.“Mas, kita bicara di dal

  • Duda Pilihan Ayah   148

    Ibu dan anak itu akhirnya sampai di kantor Dewangga. Kai berjalan sambil menggenggam tangan Kanaya erat, wajahnya berseri-seri karena tak sabar ingin bertemu sang ayah.Namun, ketenangan lobi kantor langsung pecah oleh teriakan nyaring yang begitu familiar."Kaiii!!"Kanaya langsung menghela napas panjang, nyaris berdecak kesal. Itu lagi...Dari balik meja resepsionis, muncullah seorang wanita dengan setelan kerja rapi namun ekspresi lebay yang tak pernah berubah—Citra.Seperti roket, ia berlari ke arah mereka dan langsung memeluk Kai erat-erat seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu.“Aunty kangeeenn banget sama kamu, Kai!” serunya sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke pipi bocah itu.Padahal, terakhir mereka bertemu… baru minggu lalu.“Aunty, Kai nggak bisa napas…” gerutu Kai, wajahnya cemberut setengah sebal, setengah pasrah.“Maaf, Sayang. Aunty terlalu kangen,” ujar Citra sambil terkekeh, masih menciumi pipi bulat Kai yang kini sudah mulai memerah.“Wah, sekarang udah pake se

  • Duda Pilihan Ayah   147

    Siang itu, matahari bersinar hangat, dan angin berembus pelan membawa aroma pohon-pohon rindang di halaman sekolah. Kanaya duduk di bangku panjang tak jauh dari gerbang, menanti putranya yang sebentar lagi pulang.“Nay.”Sebuah suara familiar memanggil namanya. Kanaya menoleh, dan benar saja—Rian berjalan mendekat dengan senyum menyebalkan yang khas.“Ketemu lagi, kita,” ujarnya ringan, seolah pertemuan itu adalah takdir yang menyenangkan.Kanaya mengangkat alis. “Ngapain lo di sini?”Rian menunjuk ke seberang jalan. “Kebetulan kafe di depan situ, itu punya gue. Tadi dari jendela lihat ibu-ibu cantik duduk sendirian, jadi gue samperin deh.”Kanaya menoleh sejenak, melihat kafe minimalis bergaya modern yang belum lama ia sadari keberadaannya.“Sejak kapan lo buka tempat itu?” tanyanya, masih dengan nada datar.“Baru semingguan, sih,” jawab Rian sambil menyerahkan satu cup kopi ke tangannya. “Caffè latte. Favorit lo, kan? Tenang aja, nggak gue racunin.”Kanaya menatap cup itu dengan ali

  • Duda Pilihan Ayah   146

    Malam itu, udara terasa lebih dingin, sisa hujan yang turun sore tadi masih membekas di langit. Setelah menidurkan Kai di kamarnya, Kanaya menyusul suaminya ke ruang kerja dengan secangkir teh hangat di tangannya."Mas," panggilnya lembut, berdiri di ambang pintu.Dewangga yang tengah sibuk dengan berkas di meja kerjanya menoleh. “Ya?” gumamnya, sedikit terkejut, namun segera tersenyum ketika melihat Kanaya membawa teh hangat untuknya.Kanaya melangkah masuk, meletakkan secangkir teh di meja kecil di dekat sofa tempat Dewangga biasa duduk.Dewangga bangkit dari kursinya, berjalan perlahan mendekat, dan duduk di samping Kanaya. Mereka duduk diam, menikmati keheningan yang terasa nyaman. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, Dewangga belum banyak berbicara. Rasa cemas dan bingung masih terlihat jelas di wajahnya, dan Kanaya tidak ingin memaksanya berbicara sebelum ia siap."Bagaimana keadaan Kakek kamu?" tanya Kanaya pelan, sambil menatap suaminya.Dewangga menghela napas panjang, mengu

  • Duda Pilihan Ayah   145

    Setelah kepergian Dewangga, Soedrajat hanya bisa terpaku. Matanya tak lepas menatap pintu yang kini tertutup, seolah menelan sosok cucunya bersama seluruh luka masa lalu yang belum sempat terobati.“Andai saja aku tak egois... mungkin Dewangga tak akan tumbuh dalam bayang-bayang kebencian,” lirihnya. Air mata menuruni pipi tuanya, pelan tapi pasti, membasuh kesombongan yang selama ini ia pelihara.“Maafkan Kakek, Nak... pasti berat sekali jadi kamu,” ucapnya lagi. Suaranya serak, nyaris tak terdengar, tapi penuh penyesalan. Sosok yang selama ini ia tolak dan curigai, ternyata darah dagingnya sendiri.Benar adanya, penyesalan memang selalu datang terlambat.Tak lama, Rian masuk. Ia sempat melihat Dewangga pergi dengan mata yang nyalang penuh luka. Tapi pemandangan yang membuatnya tercekat adalah kakeknya, orang sosok yang selalu tegar, angkuh dan kuat itu kini menangis terguncang di atas ranjang rumah sakit.“Kek…” panggil Rian pelan. Ia melangkah cepat, lalu memeluk kakeknya erat. Sat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status