Ibu mana yang tidak tersayat hatinya, bila melihat putri yang ia besarkan dengan segenap jiwa, ternyata hidup menderita di luar sana. Sandra akui, ia bukanlah seorang wanita yang baik. Namun, sebagai seorang ibu, Sandra berusaha mendidik putrinya untuk selalu berada di jalur yang benar.Dengan membuang semua harga dirinya di depan keluarga Lukito, Sandra berusaha keras memenuhi semua kebutuhan Cita, sedari gadis itu kecil. Memberi pendidikan, lingkungan, dan pergaulan yang terbaik, karena Sandra tidak ingin Cita menjadi seperti dirinya dahulu kala. Yang menghalalkan segala cara, untuk mendapatkan apa yang Sandra inginkan.Akan tetapi, Sandra merasa semua perjuangannya sia-sia belaka. Satu-satunya putri yang sudah ia jaga selama ini, akhirnya hancur di tangan keluarga yang sangat Sandra percaya. Andai Tuhan hendak menjatuhkan karmaNya, mengapa tidak Sandra saja yang mendapatkannya. Kenapa harus Cita?“Besok …” Sambil terus mengusap punggung Cita di pelukan, Sandra berujar, “Mami sendir
“Cita, mobilmu ada di mana?” Setelah mengambil semua barang-barang pentingnya di rumah Harry, Sandra kembali ke kosan putrinya. Sandra mendata semua aset dan investasi yang dimilikinya selama ini. Menghitungnya dengan detail, agar bisa merancang masa depan yang masih berada di angan-angan.Cita menoleh dengan bibirnya yang mengerucut. Menarik kedua tangan dari keyboard laptop, lalu memutar tubuh. Menatap Sandra yang duduk di tempat tidur dan bersandar pada dinding. Sang mami tengah memegang sebuah pulpen dan buku catatan milik Cita. “Masih … di rumah Pandu.”Sandra berdecak, dan meletakkan pulpennya di atas buku. “Biar Mami ambil ke sana sore ini.”“Mami mau ke rumah Pandu?” Cita beranjak menghampiri Sandra, duduk di tepi ranjang. Ia ikut prihatin dengan keadaan sang mami, yang terpaksa harus tinggal di kosan sempit milik Cita. Ia berharap Arya segera memberi kabar, sehingga mereka bisa berangkat ke Surabaya secepatnya. Meninggalkan Jakarta, dan mengubur semua masa lalu dalam-dalam.S
“Silakan …” Arya sedikit membungkukkan tubuhnya, lalu mempersilakan ibu dan anak yang baru saja sampai itu masuk ke dalam mobilnya. Tidak disangka, kedatangan Sandra dan Cita ke Surabaya, ternyata lebih cepat dari perkiraan Arya. Selang dua hari ia memberi kabar tentang rumah kontrakan, keduanya langsung meluncur ke Surabaya.Kendati masih banyak pertanyaan di kepala Arya, tetapi ia tahu diri untuk tidak mempertanyakan itu semua.“Loh, red carpetnya mana?” celetuk Sandra lebih dulu masuk ke dalam mobil. “Dari tadi Tante cariin, nggak ada.”“Lagi dicuci, Tan.” Arya terkekeh sambil menegakkan kembali tubuhnya, saat Cita baru saja melewatinya. “Habis dipake Cannes Film Festival kemarin.”Cita terkekeh sambil menggeleng, mendengar jawaban Arya. Pria itu seolah tidak memiliki beban hidup sama sekali. Padahal, Pras baru saja menskors Arya dan tidak diperkenankan bekerja di Metro Surabaya selama satu bulan.“Sudah siap semua?” tanya Arya setelah masuk mobil, dan memasang sabuk pengamannya. I
“Mi, mas Arya sudah datang.” Cita masuk ke dalam kamar, lalu menyambar tas ransel yang tergeletak di sudut ruang. Karena mereka belum memiliki perabotan apa pun, maka barang yang dibawa sementara masih berada di lantai.Sandra menyalakan layar ponsel, dan melihat jam digital yang tertera di sana. “Kok, cepat banget.”Cita mengendik sambil memakai tas ranselnya. Namun, setelah memikirkan sesuatu, Cita kembali melepas tas tersebut lalu meletakkannya di sudut kasur. “Aku mau ngomong bentar sama mas Arya.”“Hm, Mami ganti baju sebentar.”Cita mengangguk, kemudian keluar dan menutup pintu kamar. Ia keluar, dan menghampiri Arya yang baru saja keluar dari mobil. “Mas, kata Mami, kalau Mas Arya nggak mau dibayar, kami perginya pake taksi yang lain aja.”Rencananya, pria itu akan menemani Cita dan Sandra untuk mencari perabotan rumah. Namun, Cita merasa tidak enak hati karena Arya tidak mau dibayar, atas jasanya menjemput di bandara lalu mengantar sampai rumah kontrakan.Arya menurunkan kacama
“Bu Gemi.” Melihat putrinya mendadak merasa terpojok dan bersalah, Sandra buru-buru memberi penjelasan. “Saya mohon maaf, kalau anak ibu sampai diskors dari tempat kerjanya. Tapi, kejadian waktu itu betul-betul di luar kendali Cita, Bu. Saya sebenarnya juga sangat berterima kasih dengan Nak Arya, karena kalau nggak ada dia, saya mungkin belum bisa ketemu sama Cita.”Gemi tersenyum lembut. “Tenang, Bu. Saya nggak masalah dengan itu, karena sudah biasa. Arya itu, sudah langganan diskors juga waktu di sekolah, tapi tetap nggak tobat-tobat.”“Karena lebih enak diskors, daripada di sekolah,” celetuk Arya dan langsung mendapat tatapan tajam dari Gemi. Namun, Arya santai dan memberi Gemi senyuman lebar. “Jangan marah-marah, nanti kerutannya nambah.”Gemi menarik napas dengan menggeleng. Ketika matanya tertuju sekilas pada pintu restoran, Gemi kembali tersenyum lalu menatap Sandra. “Saya tinggal dulu, ya, Bu Sandra. Sudah ada janji sama orang.” Telunjuk Gemi tertuju ke arah pintu restoran seb
“Sudah sarapan, Ar?” tanya Sandra ketika melihat Arya masuk ke rumah, setelah memberi salam terlebih dahulu. Sandra sudah menganggap Arya seperti anak sendiri, dan pria itu juga sudah biasa keluar masuk rumah tanpa harus meminta izin terlebih dahulu.“Sudah, Tan.”Namun, ucapan itu tidak selaras dengan perut Arya yang kembali bergejolak, saat melihat masakan Sandra di atas meja. Ada semangkuk cumi yang tampak menggiurkan, dan juga udang goreng tepung yang membuat Arya menelan ludah. Belum lagi aroma masakan yang sungguh menggoda indra penciumannya itu, langsung membuat Arya duduk bersila menghadap meja.Sandra terkekeh melihat ekspresi Arya. “Cita, tolong ambilkan piring satu lagi, ada yang makan.”“Yah, Tante, saya jadi enak, kan, kalau dipaksa begini.” Arya terkekeh lalu meneguk air liurnya sendiri. Apalagi, saat melihat Cita datang dan meletakkan sepiring sambal di atas meja. “Masakanmu yang mana, Cit?” ledek Arya karena tahu Cita tidak suka memasak.“Tuhh.” Cita menunjuk udang gor
Sandra segera meraih ponselnya, yang baru saja bergetar di lantai. Keluar kamar, dan menutup pintu dengan perlahan dan sangat hati-hati. Ia tidak ingin membangunkan Cita, yang akhirnya bisa menutup mata. Meskipun, terkadang putrinya itu masih mengigau tidak karuan.Sandra berlari kecil ke dapur, dan menutup pintunya juga. “Halo, Pak Lex, gimana? Apa sudah ada kabar?” tanya Sandra dengan terburu, sambil menatap ke dalam rumah, lewat jendela kaca yang berada di samping pintu dapur.Demi Cita, mau tidak mau Sandra harus membuang semua rasa malu dan tidak enaknya pada Lex. Karena saat ini, tidak ada lagi yang bisa Sandra andalkan, dan dimintai pertolongan untuk membantu putri satu-satunya itu. Sandra hanya punya Cita, dan akan melakukan apa pun demi putri tercintanya itu.“Ya.” Lex menghela panjang. “Saya baru dapat kabar dari pak Abi. Jadi, pak David mengeluarkan Pandu dari jajaran manajemen perusahan, begitu juga dengan pak Harry. Istri Pandu baru melahirkan dan mengalami depresi, karen
“Aku nggak mau anak ini, Mamiii.” Cita berusaha memukul perutnya, tetapi tangan Sandra terus mencegahnya sejak tadi. “Aku nggak mau!”“Cita, lihat, Mam—”“Nggak mauuu.” Cita menggeleng. Berusaha melepas tangannya yang ada di genggaman Sandra. “Dia bukan anakku dan aku nggak mau punya anak dari orang itu!”“Cita.” Sandra balas menggeleng. Mencoba memberi pandangan lain, agar Cita tidak menggugurkan janin di dalam kandungannya. “Mau bagaimanapun, ini anak kamu. Ada darah kamu juga di dalamnya.”“Tapi dia anak orang itu!”“Tapi anakmu juga, Sayang.” Sandra tidak ingin putrinya melakukan sesuatu, yang akan disesalinya dikemudian hari. Ia melepas tangan Cita, lalu menangkup wajah yang sudah basah dengan air mata itu. Dengan perlahan, Sandra mengusap air mata yang masih saja turun membasahi pipi Cita. “Dengar Cita. Dulu, hamil kamu itu adalah cobaan terberat buat Mami. Tapi, nggak pernah satu kali pun Mami berpikir untuk menggugurkan kamu. Mami sendirian, nggak punya penghasilan, dan cuma