공유

Chapter 2

last update 최신 업데이트: 2025-12-03 19:08:08

Sienna Halim POV

"Sie—"

Sebelum tangan itu menarikku, sudah lebih dulu aku berlarian pergi. Engsel pundakku sedikit terkilir akibat betapa kencang mencoba melarikan diri dari genggaman tangan kekar itu.

Begitu panik saat tetangkap basah mengintip mereka, sampai tak sempat lagi memandang siapa yang menarik tubuhku tadi. Kekuatan tangannya tidak masuk akal. Apa Samuel sekuat itu selama ini? Sambil terus berlarian bak orang sinting, kusentuh pundakku yang berdenyut nyeri. Lalu, memandang horor ke belakang.

'Inikah cowok yang selama ini aku siksa? Maksudku—kalau dia sekuat ini, buat apa dia selalu diam tak melawan setiap kali aku bully?' batinku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.

Merinding. Dan, gelisah.

Dua kata itu mencakar dadaku saat ini. Rasanya lepas mengetahui sifat asli Samuel, secuil bagian di hatiku berteriak ketakutan. Memperingatkan, mungkin saja, selama ini aku telah memilih lawan yang salah.

Namun, gelisah itu sebatas buih di lautan garam. Lepasnya, ombak kemarahan mengepul dalam kepala. Berakhir lift mengantarku pada lantai satu Bar ini, yang pertama kali aku cari adalah bilik telepon umum. Tak ada waktu untuk aku mencari ponselku, sekarang, aku butuh berbicara pada Jo mengenai Angel.

'Sejak kapan dia hire sekretaris OSIS pelacur seperti itu? Aku saja yang anak setan ini, masih pikir-pikir untuk berhubungan seks sebelum menikah!' pekikku dalam hati. Panas di dada sudah tak keruan, kudorong petugas keamanan yang menghalangi jalanku di jalan depan.

Telepon umum kuraih. Keputusan bijak untuk mengingat nomor telepon Jonathan, kendati aku membencinya. Tak kusangka akan kugunakan pertama kalinya, untuk memergoki hubungan zina sepupuku sendiri.

Sambungan telepon mulai menyahut. Gigiku gemeletuk tak keruan menunggu Jonathan mengangkat. Mungkin panik atau apa, tapi sebelah telingaku mendadak tuli. Saat menunggu Jonathan menyahut panggilan, tak sadar ada seorang pria yang sedang berjalan menghampiriku.

Pintu kaca bilik telepon ini, didorong kasar telapak tangannya. Bunyi deritnya, menarik wajahku untuk melihat.

Belum sempat irisku mengerjap memahami, tiba-tiba, sebuah tangan dingin yang tegang menampar pipiku dari arah depan, dan—

—plak.

Wajahku ditampar. Keras. Cukup membuat sudut kanan bibirku robek, meneteskan darah dengan nyeri luar biasa.

"Anak tidak tau diri." Pria itu menghardik. Mulutku tak sempat menghirup apapun, lebih dulu dikalahkan oleh sosok manusia yang paling aku takuti di dunia ini.

"Mau sampai kapan kau terus mempermalukanku? Pagi hari, Mr. James menelpon, katanya kau telat lagi masuk kelas hari ini. Siangnya, Nanny-mu mengeluh. Sejam kemudian, giliran guru les-mu. Bilang apa dia? Katanya kau berbohong soal nilai ujianmu selama ini. Katanya kau gagal ujian nasional, dan kalau bukan karena uangku, kau tidak akan diluluskan. Sorenya, ibumu menerima berita kau sudah menghabiskan 300 juta dalam waktu sehari. Dan sekarang? Bodyguard yang susah payah aku datangkan dari Amerika, bilang padaku, putri satu-satunya yang kupunya, sedang pesta seks di sebuah Bar? Kau mau membuatku gila?"

'Cuma pesta minum, astaga, bukan pesta seks. Berlebihan sekali,' keluhku dalam hati, menyeka sudut bibirku yang terus meneteskan darah segar.

Kuletakkan telepon umum kembali pada induknya. Pria yang menamparku barusan adalah Henri Halim, ayah kandungku.

Kupikir urusannya di Paris belum selesai, maka aku berani pesta minum malam ini sebagai perayaan tahun kedua SMA kami. Siapa sangka bodyguard-ku sendiri yang cepu? Crazy motherfucker.

"Maaf, ayah—" Wajahku, ditampar lagi.

Belum selesai permintaan maaf, pipi kananku yang sudah biru memar, kembali ayahku hajar.

Petugas keamanan yang tadi kudorong sempat mendelik ke arah kami; kurasa ada niatan dia untuk membantu. Mungkin, tapi karena rupanya aku adalah putri semata wayang Henri Halim, dia lebih takut influence ayahku, ketimbang keselamatanku.

"Mana Jo?" ayahku menggeram, matanya menuntut. Pria secerdas dia mustahil absen dengan peraturan lobby untuk tidak menyalakan rokok—tapi, lihatlah. Diangkatnya sepuntung rokok, dan bodyguard-nya langsung memantik api. Arogan sekali.

Kugaruk kepalaku yang tak gatal—malas, tapi terpaksa menjawab, "Kita berpisah di toilet tadi. Mungkin Jo sedang kumpul bareng anak-anak OSIS lainnya," alibiku. Bohong, jelas.

Tapi apapun jawaban yang Henri dapatkan, pada akhirnya dia akan menyiksaku juga.

Dua jam penuh, Henri memberikan 'kuliah' gratis untuk putrinya. Jika ini di rumah, yang menampar wajahku sekarang pastilah tongkat rotan tujuh turunan di ruang kerjanya. Beruntung, saat ini, ayah menemuiku di Bar. Setidaknya, kuliahku kali ini, bisa sedikit 'manis'.

Jonathan datang. Jelas, ayah langsung manis wajahnya. Tak berani dia menunjukkan kumis rubah liciknya di hadapan satu-satunya boneka yang sukses dia manipulasi. Kujalankan peranku seperti biasa, saat mereka berdua sedang bertukar sapaan palsu. Berdiri diam, posisi tangan rapi layaknya calon istri idaman. Berlakon demi hubungan palsu yang hanya sejauh kontrak bisnis semata.

Henri pulang, Jonathan dipercayakan untuk menebar 'suap' kesekian kalinya di bulan ini, ke seluruh penjuru sekolah kami. Agar tak ada yang berani bocor mulut soal kekacauan yang kubuat.

Esoknya, aku tak bisa sekolah. Wajahku babak belur, oke? Lihatlah ke kaca, dan kau akan paham bentukan monster seperti apa.

Sesampainya di rumah, ayah mengurungku di gudang sebagai hukuman tambahan. Ibu juga tidak pernah mau membela—keluaga sampah ini. Apa yang bisa kuharapkan?

Aku yakin satu-satunya alasan mereka masih membiarkanku hidup, adalah karena perjodohanku dengan Jonathan.

Hari-hariku berantakan. Kudengar dari Raya, cowok kutu busuk itu juga ikut-ikutan absen sekolah, selama aku izin sakit. Tebak apa? Angel juga tidak terlihat. Apa mereka sibuk kawin, sampai tak peduli sekolah lagi? Lihat memarku sembuh nanti, akan kubuat mereka menyesal sudah menipu seorang Sienna Halim.

Ponselku disita ayah. Untung, uang dan seluruh fasilitas kartu kredit masih aman. Henri memang bajingan, tapi paling tidak perihal uang, dia tidak pernah perhitungan. Kuputuskan malam ini aku tidur di luar. Toh, mereka tak akan peduli. Be it I slept home or outside, all they care was only my contract marriage with Jonathan.

"Wow! Enggak mimpi, kan? Sienna, pagi-pagi buta sudah ke sini?"

Asam di wajahku surut seketika, di tengah keramaian yang tak pandang bulu menerimaku. Pemilik Bar Lumierre sekaligus sahabat kecilku, Giselle, langsung memeluk dan menarikku ke dalam. Begitu mendapati aku datang sendirian ke rumah keduanya.

"Last kau ke sini, waktu ayahmu mengurungmu di dalam kulkas empat jam penuh. Wow, kalau ingat, rasanya sulit percaya pria sebaik Henri Halim bisa sekejam itu pada anaknya. Jangan bilang, kau ke sini sekarang juga karena habis disiksa?" Giselle mulai berceloteh sambil memberikan tempat duduk VVIP.

Kukibas-kibas tanganku, gerah. Bukan karena udara, tapi karena malas membahas masa lalu. "Kasih aku yang paling strong. Kalau bisa, sampai bikin pingsan. Jangan ada bau atau warna, nanti Henri mengamuk lagi. Intinya buat aku semaput hari ini," pintaku tidak sabar. Giselle mulai ceramah, tapi ending-nya, dia menurut juga.

Khusus aku, hanya Giselle yang boleh melayani. Karena kalau sampai publik tau, gadis minor sepertiku langganan Bar elit seperti ini, mungkin aku sudah dikebiri oleh Henri.

Mataku gatal untuk tidak bertebaran di sekitar lantai satu Bar Lumierre. Tamu yang datang tidak cukup banyak. Tapi, mendadak ada keributan di depan pintu utama. Giselle sampai harus turun tangan. Aku yang tak minat, hanya menghabiskan tiga gelas racikan baru Giselle, lalu kembali tenggelam dalam lamunan.

"Ell," kupanggil Giselle, dalam lanturan, yang baru saja tuntas menenangkan keributan. "Menurutmu, cowok yang harusnya cupu, culun ... mungkin enggak, sih, ternyata aslinya main perempuan?"

"Player, maksudmu?" sahutnya cepat, matanya gerak mengamati wajahku yang mulai sempoyongan mabuk. Tertunduk pada meja Bar. "Cowok umumnya doyan perempuan, player atau bukan. Cupu, bukan berarti enggak ada nafsu. Why, tho? Jo selingkuh?"

Kepalaku tergeleng cepat, merespon sambil merasakan pening. "Bukan," singkatku, "ingat cowok yang sering aku bully di sekolah? Kemarin di Bar tempat kita nongki, aku caught him red-handed lagi nge-seks sama Angel, sepupuku."

"Hah!?" Giselle mendadak menggebrak meja di depanku. "Angel yang itu? Tunggu, hah? Bukannya si Angel itu anak baik-baik? I mean, kamu saja, yang doyan minum, sampai sekarang masih full segel."

"Iya, mereka sex di toilet," ogah-ogahan aku membalas. Agak kesal karna Giselle justru fokus pada sepupuku. "Bukan itu, point-nya. Di sini, cowok yang aku bully harusnya enggak punya akses buat kenal Angel sama sekali. Let alone, seks. Dan tau, apa yang paling gong? Mereka raw. Gila."

Giselle membiarkan suara kagetnya meledak, sampai perhatian para karyawannya, tertuju ke meja kami. "Sinting. Raw, kau bilang? At this economy? Kebobolan, baru tau rasa. Lagian, kenapa harus main-main sama sepupumu, sih? Kayak, enggak ada cewek lain. Belum tau dia, keluargamu galaknya seperti apa."

Saat Giselle menanggapi perkataanku, ada satu keping ingatan dari insiden toilet Bar itu yang sempat aku lupakan.

'Benar juga. Kalau enggak salah ... Samuel, dia sempat menyebut namaku di tengah seks mereka, kan? Salah dengar, atau memang dia sungguhan menyebut namaku?' Begitu teringat, aku mulai larut dalam pikiran.

Si centil, sahabatku Giselle, masih berceloteh, tapi tak satupun komentarnya masuk ke gendang telinga. Pikiranku terlalu kusut untuk terpeleset ke tempat lain, kecuali tanda tanya besar soal Samuel yang masih belum bisa kuurai. Dahiku sampai berkedut nyeri, seminggu dikurung di rumah, kepalaku cooped up padanya sampai insomnia. Terus terbayang momen terakhir di toilet sebelum akhirnya aku kabur ketakutan.

Musik background Bar yang terlalu besar, menyembunyikan ketuk gelas yang bertengger di meja kami, bersama sosok pria berjas hitam di sampingnya. Aku menoleh kaget, temaram lampu membuatku tak bisa melihat siapa yang barusan datang menghampiriku. Pun, entah mengapa, aku tidak bisa mengabaikannya.

Seorang pria potongan rambut klimis, jas hitam formal dipadu Cedarwood fragrance menguar kuat dari tubuhnya. Iris gelapnya menyala terang, menusukku dalam rahangnya yang bertengger diam. Rasanya, seperti melihat tokoh protagonis novel kesukaanku keluar dari buku. Sebelumnya, aku tak tau kota plain kami ini memiliki pria setampan dia. Atau, dia bule nyasar?

Tiba-tiba, pria itu mengambil duduk di sampingku. Dia tersenyum, sambil menyodorkan segelas Cabernet Sauvignon penuh. Embun dinginnya menyentuh lengan polosku.

"Kau Sienna Halim, kan?" Pria itu, menyapa dengan suara bass-nya. Begitu dalam suaranya, sampai tak sadar mataku diam-diam ikut hanyut pada pesonanya.

이 책을.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 6

    Chapter 6Samuel Yudhistira POVSemua berjalan lancar.Begitu Sienna datang, segala phobia dan trauma yang kumiliki, hilang.Aku sedikit berekspektasi Sienna—paling tidak—akan melabrakku, begitu melihatku menyetubuhi sepupu polosnya. Siapa sangka? Di depan kamera pengintai yang William install pada tembok yang memisahkan kami, bisa kulihat ekspresi wajah Sienna dengan jelas.Kedua pipi bersemu, napas memburu. Ekspresi itu, jelas bukan ekspresi yang dikeluarkan ketika dia sedang marah.Kutunda dulu rasa puasku, untuk melakukan eksperimen.Kujambak rambut Angel dari belakang, hingga lehernya tertolak menyerupai busur. Dengan rambutnya ditanganku, bisa dengan mudah aku menggenjot pinggangku di bawah sana. Bunyi benturan kulit, kecipak yang seharusnya tidak terjadi, menggema di toilet kosong ini. Mustahil, Sienna yang sedang bersembunyi di balik dinding, tidak mendengarnya."L-lebih cepat, Samuel ..." Angelina, dia pintar belajar.Tanpa perlu kusuruh, dia membuat desahan-desahan erotis. M

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 5

    Samuel Yudhistira POV"Ini ponsel Sienna yang kujanjikan. Sekarang aku sudah menyerahkannya padamu, kau akan memberikanku uang itu, kan?"Hitam legam tanpa dihiasi apapun, berbeda sekali dengan seleranya pada saat taman kanak-kanak dulu. Seorang gadis berkacamata tebal, membersikan permukaan telapaknya di atas rok biru, berkali-kali. Usai membiarkanku merasakan lempengan metalik berlayar gelap itu, Angelina Halim terpucat-pucat wajahnya.Bahu ringkih gadis di depanku gemetar, mengikuti suaranya yang sarat akan ketakutan. "Kau akan memberikan uang itu persis dengan jumlah yang kau janjikan, bukan, Samuel? Aku sangat membutuhkannya. Hari ini, aku harus menyerahkannya pada orang itu."Hidungku mendengus. Manusia, lelaki atau wanita, sifat aslinya terkuak begitu dihadapkan oleh harta. Kugerakkan jari telunjukku, pada William—pelayan pribadiku. Usai dia menyampirkan jubah hitam panjangnya, William menyeret sekoper besar uang dari dalam mobilku.Koper besar diletakkan tepat di depan sang ga

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 4

    Sienna Halim POVBuru-buru kutarik celana dalamku, mengancingkan rok asal demi mengejar pengintip itu."Jangan kabur kau! Hey! Sialan!" Pengintip itu sudah kabur. Kakiku, justru tersandung pintu toilet yang menghalangi jalan. Sepanjang berlarian kutahan sakit, tapi tak sebanding dengan amarah mencuat untuk menangkap pengintip sialan itu.'Akan kubunuh. Akan kubunuh dia begitu kutangkap. Takkan aku biarkan siapapun melihat matahari besok dengan matanya yang dia pakai untuk mengintipku,' sumpah serapahku bertebaran dalam hati. Lorong gedung SAINTEK aku lewati, kutemukan sepasang jejak basah dari sepatu yang menyambung dari toilet, hingga ke gedung perabotan kimiawi sekolah.'I got you, bitch,' batinku tergelak.Permainan mengejar rubah telah usai. Senyumku mengembang seraya kudapatkan pengintip itu, rambutnya mencuat dari balik jendela kaca—niat sembunyinya berhasil kupatahkan.Hockey Player, Dilan, yang pernah nembak aku tahun lalu, berjalan lewat di depanku. Mereka hendak menuju lapa

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 3

    Sienna Halim POV "Tau namaku darimana?" Aku bertanya. Segelap lampu yang memudarkan wajah tegasnya, pria misterius itu enggan menjawab. Lebih cepat dari hentakan musik pada piringan disc jockey, begitulah pria misterius berkarisma yang saat ini sedang mencuri perhatianku. Giselle dan aku—pandangan kami saling bertukar arahan. Gerakan matanya mengindikasi saran agar aku segera pulang, agar dia bisa 'melayani' tamu barunya ini. Harusnya, itu adalah SOP yang normal. Lainnya, kepalaku justru lebih tertarik untuk memperhatikan pria ini dari dekat wajahnya. "Oh." Baru sadar. Pria ini menyodorkanku segelas kecil wine Cabernet Sauvignon, sebagai salam perkenalan. Semakin kecil gelasnya, semakin tinggi alkoholnya. Kutarik kesimpulan, pria ini tidak tau usiaku masih di bawah umur. "Aku masih sekolah, Pak," ucapku—sengaja. Aku tau lelaki ini belum setua itu, tapi cara pdkt-nya sangat kuno sekali. "Hm," gumamnya, matanya tergulir pada barisan koleksi liquor milik Giselle. Jemari kekar

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 2

    Sienna Halim POV"Sie—"Sebelum tangan itu menarikku, sudah lebih dulu aku berlarian pergi. Engsel pundakku sedikit terkilir akibat betapa kencang mencoba melarikan diri dari genggaman tangan kekar itu.Begitu panik saat tetangkap basah mengintip mereka, sampai tak sempat lagi memandang siapa yang menarik tubuhku tadi. Kekuatan tangannya tidak masuk akal. Apa Samuel sekuat itu selama ini? Sambil terus berlarian bak orang sinting, kusentuh pundakku yang berdenyut nyeri. Lalu, memandang horor ke belakang.'Inikah cowok yang selama ini aku siksa? Maksudku—kalau dia sekuat ini, buat apa dia selalu diam tak melawan setiap kali aku bully?' batinku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Merinding. Dan, gelisah.Dua kata itu mencakar dadaku saat ini. Rasanya lepas mengetahui sifat asli Samuel, secuil bagian di hatiku berteriak ketakutan. Memperingatkan, mungkin saja, selama ini aku telah memilih lawan yang salah.Namun, gelisah itu sebatas buih di lautan garam. Lepasnya, ombak kemarahan mengepul

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 1

    Sienna Halim POV"Siram lagi! Hey, yang banyak! Kau tuli? Aku bilang, siram yang banyak!"Gadis yang menggenggam botol bir keluaran tahun 1980-an itu, menatapku dengan wajah horor penuh air mata. Gemetar di tangannya mewujudkan betapa mustahil request yang kuberikan. Kudorong dengan ujung sepatu, meja yang menghalangi kami berdua itu. Merebut botol kaca se-keruh air selokan, lalu——byur.Menyiram wajah Samuel Yudhistira dengan liquid wine konsentrasi tinggi. Hingga cairan alkohol itu masuk ke matanya."Pfftt." Kugigit punggung jari telunjukku, menahan tawa. "Fucking hell. Sudah se-merah wine pun, aku masih tak sudi melihat wajahmu. Menjijikan. Gimana bisa, manusia melahirkan manusia babi sepertimu? Cih."Ludahku mencuat. Kutembakkan air liurku tepat ke batang hidung lelaki itu—yang parasnya hanya bisa diam semata.Kurasakan sebuah cengkeraman tangan menyapa pundak—dari belakang, tiba-tiba—muncul punggung tegak Jonathan. Tampak sedikit basah kerah kemeja hitamnya, napasnya tersengal. J

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status