Share

ELLIA
ELLIA
Penulis: Anonim.ina

Westinhorn

“Westinhorn Westinhorn betapa indah dirimu... selalu tampak indah sepanjang hari... sepanjang waktu... oh dudududu... bagiku... kau pujaan hati... bagiku... kau kekasih hati... Westinhorn Westinhorn... kurindu kurindu kurindu.... menjelajah Kota bersamamu... Westinhorn Westinhorn oh surgaku... kutaksabar menikmati hari bersamamu... ajaklah aku menikmati harimu.... yang indah... di bawah matahari... di bawah sorot bulan... di bawah langit biru... di bawah langit gelap.... kau selalu indah... tetap memikat hati.... Westinhorn oh Westinhorn... kau memberi harapan padaku, pada semua manusia, pada binatang di langit dan di bumi oh... dudududu... Westinhorn... pujaan hatiku.... ”

Sebuah lagu yang dimainkan Pemusik jalanan di trotoar yang luas di jantung Kota Westinhorn menyemarakkan pagi yang belum sepenuhnya tersingkap. Decak kagum lalu lalang orang-orang yang melintasi tak ragu merogoh kantong saku, melempar koin ke dalam topi yang disediakan. Senyum-senyum membuncah menikmati suguhan pagi di hari Minggu. Beberapa orang bahkan ikut bernyanyi sambil menggerakkan ujung sepatunya.

Westinhorn, Kota yang selalu dirindukan lantaran tatanan apik dan keramahan lingkungannya kini tampak begitu terang usai mentari pagi beranjak lebih tinggi di atas Kota itu. Bangunan-bangunan berbatu yang dipahat sedemikian rupa dipadukan dengan teknologi tanpa polusi membentuk hunian-hunian mewah dan berkelas menjadi pemandangan yang banyak dijumpai. Deretan pohon rindang bersanding dengan bangunan-bangunan dari bebatuan alam.  Jalan-jalan yang tersusun dari batu-batu datar yang dirapatkan masih ramai dengan kendaraan tanpa mesin di hari Minggu, sesuai dengan peraturan pemerintah Kota Westinhorn yang melarang warganya dan para pendatang menggunakan kendaraan yang menimbulkan polusi pada hari Sabtu dan Minggu. Tak pelak warga dari luar kota yang menggunakan kendaraan bermesin harus memarkir kendaraannya di luar kota Westinhorn atau di perbatasan sebelum memasuki Kota impian Westinhorn.

Di jantung Kota Westinhorns berdiri sebuah kebun binatang yang sangat luas. Kebun binatang itu memiliki 4 gerbang masuk di 4 penjuru; Barat, Timur, Utara dan Selatan. Kebun binatang bernama Planet Zoo itu diklaim sebagai tempat singgah para satwa yang paling nyaman. Karena keberadaan Planet Zoo inilah Kota Westinhorn dikenal sebagai Kota paling ramah dengan Satwa dan pelopor pengendali iklim.

Jauh sebelum perbatasan Kota Westinhorn sebuah jam beker berdering keras tepat pukul 5 pagi dari dalam kamar di lantai dua sebuah rumah kayu. Jam beker di atas meja kayu itu memekik keras, menjerit-jerit, lalu lambat laun menciptakan nada-nada dalam irama layaknya seorang Rocker beraksi di hadapan para fans. Ia pun menari-nari, berdendang ria di bawah sorot lampu meja, menggetarkan benda-benda di sekitarnya, menarik mereka dalam pusaran irama yang dimainkan.

“Kriiinggg... krriinnggg... krrinnngggg...! Ellia Ellia Ellia oh Ellia... bangun bangun bangun oh Ellia... ayo cepat bangun hei Ellia... menarilah bersama kami... berdansalah bersama kami... ow ow ow ow... Ellia Ellia Ellia oh Ellia... bangun bangun bangun oh Ellia... ayo lekas bangun, bernyanyilah bersama kami... berdansalah bersama kami...  menyambut hari Indah... menyapa embun pagi.... sebelum hilang dilahap mentari pagi... menyapa langit biru... sebelum dirundung serakan awan... menyapa semua yang kau lalui... sepanjang hari... hingga datang malam membenamkan lelahmu.... dalam tidur lelapmu... Ellia Ellia Ellia oh Ellia... cepatlah bangun cepatlah bangun... sapalah permulaan harimu... maka bahagia akan datang... dudududu... hei Ellia....”   

Sayup-sayup keributan yang tercipta di dalam kamar, membuat Ellia lekas menarik selimut ke sekujur tubuhnya. la pun lekas menimpakan bantal guling pada wajahnya, kemudian menyumbat kedua telinganya dengan bantal pula. Batinnya meraung-raung tak bisa lelap dalam kantuknya ketika mendengar nyanyian dalam dendang irama yang meloncat-loncat.

Tetiba suara lonceng dari lantai satu menyahut keras. Musik dan nyanyian yang dimainkan para sahabat Ellia seketika itu bungkam.  Kini ganti suara lonceng mengguncang bahkan menusuk-nusuk sepasang gendang telinga milik Ellia, gadis muda yang memasuki dunia baru sebelum genap berusia 17 tahun.

Ellia pun menyingkirkan bantal-bantal bersarung putih dari kepala dan wajahnya. Ia menyingkap selimut motif bunga-bunga sambil menguap lebar. Belum mulutnya menutup kembali, ia mendengar suara sang nenek memanggil namanya. Sang nenek meminta Ellia lekas bangun dan mandi. Lalu merapikan kamar dan merapikan semua ruangan di lantai dua sebelum turun ke lantai satu.

Seambrek pekerjaan rumah yang belum tersentuh sudah terbayang melelahkan. Malas pun mengikat seluruh ototnya. Namun kedua matanya lekas tertuju pada meja belajar di samping kasurnya ketika jam beker bersuara sekali, “Kriingg!”

Kalender duduk di samping jam beker pun bersiul lantaran tertiup sekelebat angin ringan dari ventilasi kamar. Gerakan yang mengalihkan sorot mata Ellia. Dan oh berhasil, Ellia menajamkan kedua matanya melihat angka 11 pada kalender duduk, lalu sepintas membaca tulisan di bawah angka 11 sebelum meraih kalender itu.

Tak pelak, Ellia terkejut bukan main. Sampai-sampai ia melompat dari kasurnya. Lalu tergesa pergi ke kamar mandi di luar kamarnya. Usai mandi dan mengenakan baju yang sama, ia terburu-buru merapikan kamar. Kemudian, tentu saja membersihkan seluruh ruangan di lantai 2 seperti yang selama ini ia lakukan di rumah kayu dua lantai milik dua orang kesayangannya, Kakek Jack dan Nenek Emi.

Di lantai satu sang nenek tampak sibuk mengolah adonan roti, membentuknya, hingga mengoven roti-roti di atas loyang. 20 menit kemudian sebuah kode disuarakan Oven kesayangan sang Nenek, “Ting.” 

Hmmm wangi roti yang khas mendekap penciuman semua makhluk di sekitarnya. Bahkan Ellia hingga menelan ludah terbuai-buai dengan aroma wangi roti. Dan sang Kakek yang tengah mengotak-atik mesin traktor tua bergegas meninggalkan kesibukannya, lalu bersantai di dapur sang nenek. Baginya tidak ada yang lebih nikmat selain menyeruput teh hangat ditemani roti buatan sang istri, tentunya bersama istri tercinta sang belahan jiwa yang menemani hidupnya hingga saat ini.

Melihat Ellia tak lekas turun padahal Roti hangat dan segelas susu sudah tersaji di samping sang kakek, sang nenek memanggil cucunya itu, “Ellia... Ellia... Ellia... cepatlah turun.”

“Cepatlah turun. Kau pasti menyesal melewatkan hari ini, hari minggu pertama di bulan Juli.”

“Iya Nek. Aku mengerti, pasti kuhabiskan Roti dan susu yang Nenek siapkan untukku. Dan jangan biarkan Kakek menghabiskannya.” Suara Ellia terdengar dari lantai dua 

Tawa ringkih kakek nenek terdengar begitu renyah, menertawakan cucu mereka yang masih manja walau sudah beranjak dewasa. Entahlah, mengapa waktu begitu cepat berlalu. Sampai tibalah hari ini, hari dimana Ellia yang belum genap 18 tahun harus memasuki dunia baru, dunia yang keras bagi orang dewasa. Sejujurnya mereka tak rela mengijinkan Ellia menempuh pilihannya usai lulus sekolah, namun tak ada pilihan lain yang diberikan Tuhan yang Maha Pemurah. 

Ellia adalah gadis yatim piatu yang dibesarkan oleh Kakek Jack dan Nenek Emi setelah kedua orang tuanya meninggal karena mengalami kecelakaan. Namun begitu, Ellia tumbuh menjadi gadis yang ceria, bahkan Ellia yang sangat suka menyendiri begitu menyayangi benda-benda di sekitarnya yang dianggap sahabat terbaik, di saat tak ada satupun kawan yang ia miliki. Karena itu Ellia menganggap tidak ada benda mati di sekitarnya, bahkan di dunia ini. Ellia berkeyakinan mereka semua hidup, walau cara hidup mereka tak sama seperti manusia maupun makhluk hidup lainnya.

10 menit berlalu, Ellia mengusap keringat di keningnya seraya membuang nafas yang tertahan di balik dada, “Fhiuuuh.”

Di dalam kamar, ia baru menyadari keringat yang keluar dari tubuhnya telah membuat tubuhnya basah kuyup. Ia pun mencaci keringatnya sendiri, “Adduuuh, kenapa kau selalu tiba-tiba datang ketika aku mulai lelah melakukan banyak pekerjaan!”

Tak sampai 3 detik usai ucapan Ellia, tetiba jendela kamarnya terdorong angin kencang, “Brraak!!”

Seketika itu Ellia menyesali ucapannya. Harusnya ia tak memaki keringat yang ditakdirkan Tuhan selalu merembes keluar dari pori-pori kulit manusia ketika tubuh melakukan banyak aktivitas. Ia pun mengingat ucapan gurunya ketika di sekolah, bahwa adanya keringat menandakan tubuh yang sehat karena tubuh sedang bekerja dalam proses mendinginkan tubuh yang panas karena banyak aktivitas tadi.

Ellia Lekas mengganti baju yang basah karena keringat dengan baju yang kering dan wangi. Selang 5 menit kemudian Ellia turun ke lantai satu, tergesa menghampiri kakek dan neneknya yang masih bercengkrama di atas meja makan bundar.

Melihat jam pagi itu yang tak memungkinkan untuk menghabiskan roti dan Susu yang mulai hangat, Ellia lekas memasukkan roti sarapan miliknya ke dalam kotak makan dan menenggak susu murni yang diambil dari sapi perah yang hampir dingin.

Kakek Jack dan Nenek Emi hanya melempar tawa melihat kepanikan cucu tersayang. “Ellia pelan-pelan, duduk bersama Kakek sebentar.”

Usai menenggak habis segelas susu berwarna putih, Ellia menjawab dengan nafas tersengal, “Baik Kakek, aku janji akan duduk dengan Kakek dan Nenek saat menghabiskan makan malam nanti.”

Seraya tersenyum Ellia mencium dan memeluk sang kakek dan neneknya. Sesudah itu ia tergesa membawa keranjang berisi roti-roti milik sang nenek untuk dititipkan di toko Paman Sam di dekat perbatasan Kota Westinhorn. 

Dahan-dahan pohon dan dedaunan melambai-lambai melepas kepergian Ellia. Bahkan 4 sapi perah dan 3 kambing yang sedang merumput lahan berumput kering ikut bersuara, melepas kepergian Ellia. Di bawah langit yang cerah, Ellia bernyanyi bersama angin yang bertiup, bersama burung-burung yang terbang rendah ke sana ke mari, pohon-pohon yang dilalui, dengan alam tandus yang membentang di sepanjang jalan menuju Westinhorn. 

“Kayuh sepedamu... kayuh, kayuh, ayo kayuh... kayuh sepedamu... riang, riang... dengan riang... supaya tak lelah... tak gelisah... bernyanyilah bersama kami hei Ellia... ooooh....yeaaa... yeaaa... yeaaa.... ”

Ellia sempat berhenti sebelum melewati perbatasan Kota. Sesuai pesan sang nenek, ia mengantar roti-roti buatan sang nenek pada toko sekaligus kafe milik Paman Sam, laki-laki berusia 68 tahun yang masih memiliki tubuh tegap walau seluruh rambutnya sudah memutih. 

Memasuki Kota ternyaman, teramah dan teraman, Ellia disambut oleh sayup-sayup musik jalanan, riuh orang-orang yang bercengkrama menikmati udara dan pemandangan. Benar-benar Kota yang indah, pikir Ellia. Bahkan lantaran kekagumannya terhadap Kota Westinhorn, Ellia tak menyadari laju sepedanya mengendor, begitu pelan roda sepedanya berputar melewati para Pejalan kaki. Bahkan seorang pemuda yang hampir sama dengan usia Ellia melepas tawa melihat Ellia yang kegirangan menjelajah Kota Westinhorn.

Ini memang pertama kalinya Ellia memasuki Kota Westinhorn. Sebelumnya ia hanya mendengar mengenai Westinhorn ketika kawan-kawan semasa sekolah saling bercerita mengenai Kota itu. Ellia mendengar mereka bercerita mengenai kebun binatang terbesar dan menjadi satu-satunya di dunia. Sayangnya Ellia tak mengetahui lebih banyak, lantaran tak ada satupun kawan-kawan sekolahnya mau berbagi cerita dengan dirinya.

Dan pagi ini, ia rasa sungguh bagaikan kejatuhan mimpi. Ia tak menyesal ditolak bekerja di 10 tempat sebelumnya. Planet Zoo adalah satu-satunya tempat yang memberi kesempatan dirinya untuk bekerja. Kebun binatang satu-satunya di Jantung Kota.

Westinhorn itulah yang menjadi tujuan Ellia pagi itu. Ellia pun tak sabar memulai pekerjaannya di kebun binatang Planet Zoo.  

“Westinhorn, semoga aku bisa membalas cintamu.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status