Se connecter“Kenapa harus malu? Aku tidak masalah,” jelas Maxim.
“Kamu memang tidak masalah. Tetapi aku yang merasa tidak pantas masuk ke dalam sini. Maaf, lebih baik aku pulang saja,” tutur Diana. Dirinya mengusap air mata yang terus jatuh membasahi pipi.Kenapa semua orang harus melihat penampilan lebih dulu ketimbang sikap dan perilakunya? Bukankah jika seseorang dinilai dari penampilan, tentu buah durian akan menyakitkan bila dimakan?Diana tidak mempedulikan ucapan Maxim. Dia terus berlalu pergi meninggalkanmu lelaki itu keluar dari dalam cafe.“Diana tunggu!” seru Max.Diana tidak peduli. Dia segera keluar dari halaman cafe tersebut karena malu.Maxim dengan cepat mengejar lalu mencekal pergelangan tangan wanita itu.“Lepaskan aku! Tolong jangan sentuh aku seperti ini, Bang!” sergah Diana mencoba melepas tangan Maxim.Ada yang lebih hancur daripada dicampakkan lelaki yang menghamilinya. Penolakan halus di cafe tersebut membuat kepercayaan dirinya runtuh sek“Assalamualaikum.”“Walaikum salam. Mas, baru pulang?”“Em.” Pukul 8.30 malam, Damar kembali dari pekerjaannya. Begitu tiba di ruang tamu, matanya langsung tertuju ke sisi ruangan. Di sana, keponakannya—Claudia—sedang belajar bersama Diana dan Shanum. Sagara juga ada, tampak aktif bergerak ke sana kemari. Buku-buku dan mainan berserakan di atas karpet, menciptakan pemandangan yang hidup. Keceriaan terpancar dari wajah mereka, tawa kecil sesekali terdengar, membuat hati Damar merasa tenang dan damai."Iya, Sayang, baru saja sampai rumah,” jawab Damar. Kemudian, pandang ia alihkan pada Sagara yang berjalan riang ke arahnya. “Hm, anak Ayah sudah kangen, ya?" “Tentu aja, Yah!” celoteh Diana seperti suara anak kecil. Lalu, Diana tersenyum sambil menuntun Sagara mendekat, "Sini, Nak, ikut Ayah, yuk." Begitu Sagara mencapai kakinya, Damar segera meletakkan tas laptop dan jasnya di lantai. Ia be
“Apa? Kakak punya ide?”"Em, begini aja," ucap Raline seraya mendekatkan diri pada Claudia. Ia membisikkan sesuatu di telinga Claudia, setelah selesai ia menarik diri lagi dan duduk kembali. Suaranya persis seperti bisikan setan yang ingin menyesatkan manusia."Nanti, aku buatkan nota palsu. Kamu bilang aja kalau kamu beli di counter ini, dengan harga segini, gitu. Aku akan bilang ke konternya." Sejenak, Claudia mengernyitkan dahi. Usulan itu memang bagus, tapi perlu dipertimbangkan matang-matang mengenai resikonya. "Terus uangnya gimana? Om dan Tante akan curiga aku dapat uang banyak. Ini masih mahal sih, 3 jutaan aku lihat di marketplace online setengah tahun lalu," sahutnya dengan desah penuh kekhawatiran. Sempat jengkel dengan anak kecil yang banyak tanya ini, Raline pun segera meyakinkan. "Gak mahal, kok. Sekarang hanya 2 jutaan harganya," Raline menimpali dengan cepat. "Kalau Tante dan Om kamu tanya, bilang aja kamu ngumpulin dar
“Ya ampun!” Claudia spontan menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya membulat tak percaya. Seperti pada umumnya anak kecil yang diberi barang berharga, ia menatap takjub. Kedua bola matanya berkaca-kaca seolah mendapatkan keberuntungan bertubi-tubi. Tanpa ia sadari, ada bahaya yang mengancam nyawanya kalau ia terlalu dekat dengan Raline. Di hadapannya, Raline menyodorkan sebuah ponsel! Itu hal yang sangat tak terduga. Nasihat Om-nya tentang bahaya menerima pemberian dari orang asing langsung terngiang di benaknya. “Ingat, tidak ada orang yang memberikan barang cuma-cuma. Kalau kamu diberi barang oleh seseorang, atau uang, maka kamu harus menolak dan tidak boleh menerimanya.” “Kenapa tidak boleh, Om?” “Karena di dunia ini harus ada timbal balik. Memberi dan menerima, pahami dua konsep itu. Kalau ada orang asing
Claudia memasuki rumah dengan langkah riang setelah pintu dibukakan oleh Mbok, pembantu rumah tangga om dan tantenya. Ia bersenandung kecil dan tersenyum-senyum sendiri. Diana yang sedang bersantai di ruang keluarga bersama sagar, lekas menoleh. Ia langsung menegurnya, "Hei, Clau." "Hai, Tante. Assalamualaikum," jawab Claudia ceria. Ia berjalan menghampiri Diana dan mengulurkan telapak tangannya pada tantenya. Sambil menerima salaman Claudia, hati Diana menghangat. Kini, ia penasaran kenapa Claudia begini. "Hm, kelihatannya semangat sekali. Ada apa? Tumben sekali ceria? Dapat teman baru di sekolah tadi?" tanya Diana. Claudia enggan menceritakan tentang uang yang diberikan orang asing tadi. Ia memilih berdalih, "Iya, dong. Teman-temanku baik dan ramah." "Nah, gitu dong, semangat sekolahnya," sahut Diana singkat. Ia mengusap rambut Claudia yang dikepang dua. “Nanti kalau nilainya bagus tanpa ada C-nya, maka Tan
Sebelum turun dari mobil, tangan Raline bergerak cepat membuka dompet, mencari-cari di antara kartu dan uang kertas. Akhirnya, Raline menemukan beberapa lembar uang dan menyodorkannya pada Claudia sebelum turun dari mobil. “Eh, tunggu.” “Apa, Kak?” Claudia memandang penuh rasa tak percaya. Bagaimana tidak? Pasalnya, orang yang tak ia kenal memberinya uang begitu banyak, ada beberapa lembar malah. Orang asing ini terlihat royal, beda jauh dari orang yang merawatnya Sedangkan Diana dan Damar yang notabene keluarganya, hanya memberinya uang 25 ribu sehari. Sangat berbanding terbalik, ‘kan? “Tidak apa. Ini, ambillah buat jajan,” kata Raline berusaha terdengar ramah. Ia memiliki niat tertentu pada Claudia agar bisa melancarkan aksinya. Sejenak, Claudia membeku. Matanya membulat, menatap uang itu seolah benda asing. Dalam hatinya berkecamuk. Ia butuh u
BRAK! Suara benturan keras terdengar begitu memilukan. Mobil itu nyaris menabrak Claudia. Secara refleks, sang sopir membanting setir ke kiri, berusaha keras menghindari gadis itu. Malang tak dapat ditolak, mobil kehilangan kendali dan menabrak pohon besar di tepi trotoar dengan suara yang menggelegar. Decitan ban memekakkan telinga, beradu keras dengan aspal yang panas, meninggalkan bau karet terbakar yang menyengat di udara.Setelah mobil berhenti dengan kerusakan ringan di bagian depan, sang sopir mengumpat kesal, “Sial! Bagaimana bisa dia menyeberang tanpa aturan?! Untung tidak kenapa-napa! Untungnya mobil ini ada airbag-nya, coba kalau tidak!” Sopir itu kemudian melirik ke belakang, memastikan nona nya selamat. “Nona Raline, Anda tidak apa-apa, ‘kan?” Raline menggelengkan kepala. Meski tidak apa-apa, namun ia tetap saja syok. Kemudian, ia teringat anak kecil tadi. “idak apa-apa, Pak. Ayo cepat keluar, kita lih







