LOGIN“Dasar cemen! Anda takut darah? Cih!”
Ejekan yang keluar dari bibir Jimmy membuat Damar langsung memberengut marah, merasa harga dirinya sebagai pria terluka. Pria itu segera berdiri dan menantang sang asisten pribadi.“Kamu tidak tahu saja, menemani istri melahirkan itu saat-saat yang paling sulit. Sebentar lagi, kamu juga akan merasakannya,” balas Damar seolah tengah mencoba menutupi rasa malunya. “Kalau kulihat kamu sampai menangis saat Raline melahirkan nanti, maka ... awas saja! Kamu akan kutertawakan!”Jimmy terkekeh pelan, yakin pada diri sendiri bila dia tidak akan selemah itu. “Saya tidak akan menangis, Tuan!”Damar tidak percaya. Beberapa waktu lalu, dia tahu Jimmy menangisi Raline. Dan kini, pria itu bersikap seolah ia adalah pria tangguh?Hah!Damar menantang, “Oh ya? Berani bertaruh?”“Bagaimana dengan 100 juta cash?” tantang Jimmy tanpa ragu.“Deal! Kalau kamu sampai menangis, kamu harus memberikuKeesokan harinya, Sagara mendapatkan kabar bahwa gadis incarannya sedang berada di kampus untuk kuliah.Pria muda itu sudah menunggu sejak satu jam yang lalu di area parkir. Ia tampak mencolok, bersandar pada mobil Lamborghini Veneno miliknya dengan gaya yang sengaja dibuat sekeren mungkin. Namun, hingga detik ini, belum ada tanda-tanda Ara akan menampakkan batang hidungnya.“Hm, gue nunggu kayak orang tolol di sini! Mana sih gadis idaman gue? Dia angkrem apa ya di kampus sana? Bukannya ini liburan ya?” gerutunya pelan sambil sesekali melirik jam tangan mewahnya.Matanya celingak-celinguk, mengawasi ke arah kanan dan kiri dengan tidak sabar. Alih-alih bertemu dengan wanita yang ia tunggu, Sagara justru menjadi pusat perhatian. Berkali-kali Sagara digoda oleh banyak mahasiswi yang lewat. Ada yang terang-terangan melirik kagum pada ketampanannya, ada yang meninggalkan kartu nama, ada yang mengedipanja, dan ada pula yang matanya berbinar m
Setelah lelah mengitari pusat perbelanjaan kelas atas bersama Diana, Ara akhirnya kembali ke rumah Sagara. Ia turun dari mobil Diana dengan kedua tangan penuh dengan paper bag bermerek ternama, hanya untuk mengambil mobilnya sendiri yang masih terparkir di sana, lalu pulang.Namun, baru saja menginjakkan kaki di teras, ia sudah disambut oleh pemandangan yang menyebalkan. Sagara berdiri di sana sambil berkacak pinggang, bibirnya mencebik sinis menatap rentetan barang belanjaan Ara.“Hm, asyik ya yang baru pulang belanja?” sindir Sagara sarkastik. Matanya memicing tajam. “Udah lupa tugas, hm? Bosnya ditinggal kelaparan, asistennya malah asyik foya-foya.”Ara mengembuskan napas lelah, ia sedang tidak ingin berdebat. “Ini kalau bukan Bunda yang maksa ngajak, aku juga gak bakalan pergi, Gar.”“Oh ya?” Sagara melangkah mendekat, memangkas jarak di antara mereka. Ia menarik salah satu paper bag dari tangan Ara dengan kasar dan melirik
Bibir Diana pun melontarkan pertanyaan tajam pada Ara. Dia pandangi dari atas sampai bawah, sama sekali tak ada tanda-tanda keduanya habis … tidur bersama.“Bener kamu gak diapa-apain sama Sagara, Nak?” katanya. Dia telah berada di dekat Ara, memegangi Ara dan memutar badannya, takut ada sesuatu yang kurang.“Gak, Nyonya. Justru, saya yang mau minta maaf karena tadi … saya ….” Ara menggantung kalimatnya, merasa sangat tidak enak hati. Di depan tubuh, kedua tangannya saling meremas.“Kenapa?” tanya Diana penasaran.“Saya tadi banting Sagara ke lantai sampai dia pingsan karena dia … keterlaluan sama saya. Saya mohon maaf, Nyonya,” jawab Ara jujur sambil menunduk. Takut wanita ini akan memarahinya.Diana terdiam sejenak, lalu matanya berbinar seolah ia baru saja mendapatkan ide brilian. “Apa? Cuma banting doang? Gak kamu tonjok, gak kamu pukul, atau gak kamu tendang titid-nya?”“Hah? M–maksud Nyonya?” Ara melongo, benar-benar tidak
“Siapa yang kamu bawa ke rumah ini pagi-pagi buta, Sagara? Ini tas dan stiletto siapa?! Jawab!” tanya Diana dengan nada rendah namun tajam, menuntut penjelasan segera.Sagara menelan ludah kasar, tenggorokannya mendadak terasa kering. “Bun, itu ... itu punya temen, Bun.”“Temen? Yakin milik temen?” Diana menyipitkan mata, melangkah mendekat ke arah tangga. “Kalau emang cuma temen, buka kamar kamu sekarang! Bunda mau lihat.”“Bunda, jangan! Itu beneran cuma milik temen yang gak sengaja Saga bawa ke sini semalam!” cegat Sagara sambil merentangkan tangan, berusaha menghalangi jalan ibunya meskipun ia hanya berbalut selimut.“Bunda gak percaya! Kamu pikir Bunda anak kemarin sore yang bisa kamu bohongin?”“Beneran, Bun. Suer! Itu cuma temen Saga, gak lebih!” ujar Sagara dengan nada meyakinkan, meski jantungnya berdegup kencang.“Temen satu ranjang, iya?” tembak Diana tepat sasaran.“Iyaaa... eh—gak, Bun! Gak! Aku— AAAAAAA!”
“Lo ... masih di sini?” “Kalau gue gak di sini, terus yang nolongin lo siapa?! Aneh banget lo! Lo hampir mati tahu gak!” semprot Ara, emosinya campur aduk antara marah dan khawatir. Tapi begitu melihat lawan bicaranya yang tengil ini sudah lebih baik, dia baru bisa tenang.“Hm ... thanks, ya …,” gumam Sagara sok tulus.“I–iya. Tapi, badan lo gimana? Udah enakan?” tanya Ara mulai melunak.“Belum sih.” Sagara meringis, ia melirik ke arah bawah dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Tapi, yang itu kegencet, rasanya aneh, deh ….”“Aduh! Yang mana lagi?!” seru Ara panik, ia mulai meraba-raba area perut Sagara untuk mencari bagian yang sakit.“Junior gue ... lo duduki tuh. Lo kira gak sakit apa?” ucap Sagara datar namun dengan kilat jahil di matanya.“Hah?” Ara membeku. Ia refleks menunduk ke arah bawah, tepat ke arah tempatnya duduk sejak tadi. Matanya membelalak sempurna saat menyadari bahwa ia duduk tepat di atas
“Ini cowok kalo dibiarin makin ngelunjak!”Tanpa menunggu Sagara bertindak lebih jauh, Ara mengambil inisiatif. Dengan gerakan yang sangat cepat, dia menarik pergelangan tangan Sagara dan membanting tubuh pria itu ke lantai menggunakan teknik judo dasar.Bugh!Seketika, tubuh Sagara yang tidak siap melayang di udara, lalu punggungnya menghantam lantai dengan bunyi dentuman yang cukup keras.Pria itu langsung mengaduh dan mengerang kesakitan, “Aaarghhh!”Melihat Sagara meringis kesakitan dengan wajah pucat, Ara mendadak panik. Ia langsung berlutut di sampingnya, takut pria tengil itu benar-benar mengalami cedera serius atau bahkan mati. “Gara! Gara! Kamu nggak apa-apa, kan? Kamu nggak mati, kan?!”Melihat wajah Ara yang pucat pasi karena panik, ide jahil seketika muncul di kepala Sagara. Ia sengaja mengaduh lebih panjang dan mulai berakting dramatis. “Aaaargh ... g-gue ... kayaknya mau mati!”







