Se connecterDamar kemudian meminta orang kepercayaannya untuk membawa Shanum pergi dari ruang perawatan tersebut.
“Aku tidak mau pergi dari sini, Om. Aku mau bersama ibu.” Shanum menolak permintaan Damar.Damar kemudian mengusap kepala gadis cantik tersebut dengan penuh kasih sayang. Ada es krim menantimu di sana. “Tante Ayu akan membelikanmu es krim yang sangat banyak. Ikut Tante dulu, ya? Om mau bicara sama ibu dan ... Bunda Carol.” Seakan menjelaskan bahwa dia memang tidak mau Shanum mendengar pembicaraan ketika orang di ruangan ini nanti.“Mau ya?” bujuk Caroline pula dengan mengelus sabar penuh kasih.Shanum tampak berpikir dua kali.“Aku tidak akan membiarkan mu membawa anakku pergi dari sini. Jangan pisahkan aku dengan putriku sendiri!” terang Diana menolak. Dia mengucap dengan intonasi nada tinggi.“Dan aku tidak akan membiarkan dia mendengarkan apa yang kita bicarakan bertiga nanti, Diana. Tolong jangan keras kepala seperti itu. Mana mungkin aku akan memisahkan“Anya alias Citra—teman lamamu, kau ingat dia?”“Ya, kenapa?” tanya Damar sambil menatap turis yang lewat. “Anak-anaknya terlantar. Satu anaknya yang berusia 2½ tahun telah dirawat di panti, sedangkan satunya lagi tidak bisa. Karena kamu yang membuat orang tuanya pergi, maka setidaknya kamu harus bertanggung jawab pada mereka, Mar.”“Harus aku, Ndan?”“Siapa lagi? Jangan tutup mata atas kejahatanmu di masa lalu, Mar. Kamu tahu itu tanpa kujelaskan lebih detailnya.”“Lalu, aku harus apa, Ndan?”“Pastikan kamu pulang cepat karena anak pertamanya menangis, tidak mau diantarkan ke panti. Istrimu selaku tante-nya, pasti mau merawatnya. Usahakan rawat mereka, Mar. Hanya kalian keluarganya, kamu dan Diana.”Kalimat itu terngiang dalam benak Damar. Sepulangnya dari Bali, ia segera mengantar Diana pulang.Pukul 1 siang, istrinya telah tidur, dan ia pun memanfaatkan waktu itu menuju ke rumah sakit tempat Carol dirawat.
“Ada apa, Ndan? Apa aku perlu kembali ke sana? Saat ini aku sedang berada di Bali, Ndan. Aku tidak bisa pulang begitu saja, karena aku sedang merayakan anniversary pernikahan dengan istriku.” Damar mengacak rambutnya, ia karuan sambil melihat turis yang sedang berlalu-lalang di hadapannya. Pikirannya resah, ia menduga pasti ada sesuatu yang sangat penting sampai komandan Yudhi menghubunginya di luar jam kerja seperti ini.Suara komandan Yudi terdengar dari seberang telepon dan pria itu terlihat sangat berat membicarakan masalah ini. “Kalau bisa sih kamu segera datang ke sini, Mar. Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa karena aku sudah menunda ini sangat lama.”Jujur saja, Damar tidak suka berbadan basi. Ia tekan Komandan Yudhi lagi. “Sebenarnya ada apa sih, Ndan? Kenapa Anda tidak jujur saja? Katakan apa yang terjadi sebenarnya dan alasan apa yang mengharuskan aku kembali?”Kemudian terdengar helaan nafas panjang dari komandan Yudhi. Pria itu b
“Cepat atau lambat hiu itu akan segera datang menghampirimu! Aku sih tidak masalah melihatmu dicabik-cabik oleh kawanan mereka. Aku justru senang melihatnya. Karena tanpa harus bersusah payah mengotori tanganku, kamu akan mati perlahan.” Ketika Aldo bimbang dengan keputusannya, Jimmy segera menakut-nakuti. Ia tidak akan ambil pusing kalau memang Aldo bersikeras ingin kabur dari sini menggunakan jalur laut. Lagi pula, tempat ini sangatlah jauh dari daratan dan dapat dipastikan Aldo akan kelelahan berenang menuju daratan. Jadi, Jimmy pikir Aldo pasti tidak memiliki pilihan lain. Aldo sendiri termenung dan memikirkan solusi apa yang terbaik untuknya. Tapi setelah ia berdiam selama beberapa saat, nyatanya tidak ada yang bisa ia harapkan selain menyerah pada keadaan. “Kalau aku mati di sini, tubuhku akan dimakan oleh hiu. Apalagi yang diucapkan oleh pria ini benar adanya, tempat ini memang jauh dari daratan dan bisa saja kawanan
“Come on! Come on! Cepatlah!”Speedboat Aldo melaju kencang, membelah air laut yang kini mulai tak bersahabat. Ombak yang diterjang makin besar seiring dengan cepatnya laju speed boat itu.Setiap Aldo menerjang ombak, ia justru menciptakan guncangan yang cukup menguji kemampuannya. Kin,i Aldo berjuang keras mempertahankan kemudi dari rasa sakit di telinganya seolah ikut menari mengikuti setiap hentakan gelombang.Tiba-tiba, di antara deru mesin dan deburan ombak, Aldo mendengar suara mesin speedboat lain mendekat. Suaranya lebih besar, lebih bertenaga, dan datang dari arah samping.“Siapa itu?”Saat mendapati tiga speed boat melaju ke arahnya, seketika wajahnya memucat. Takut jatuh ke tangan penjahat itu lagi, Aldo pun buru-buru menambah kecepatan.Sayangnya, Aldo kalah cepat dengan orang-orang itu yang sepertinya sangat ahli mengendarai speed boat.Ketika Aldo mencoba menghindar, speed boat mereka tiba-tiba menghantamnya dari kanan dengan keras
“Aaaargh!”Anak panah itu melesat dari busur Damar dengan kecepatan mematikan, hanya menyisakan desingan singkat membelah udara. Waktu terasa melambat bagi Aldo yang baru menyadari bahaya sesaat sebelum benda tajam itu tiba ke arahnya.Ujung panah yang runcing itu sempat menggores pipi, kemudian menghantam telinga kanan Aldo begitu brutalnya.Darah seketika menyembur dari luka terbuka itu dan memerciki pasir putih pantai dengan noda merah pekat.Di tengah deru ombak dan angin laut yang biasanya menenangkan, kini terdengar jerit kepedihan Aldo yang memekakkan telinga berulang kali.“Aaaa! Bunuh saja aku, Damar! Bunuh aku! Jangan siksa aku begini! Bajingan! Tolong! Tolong!”Jeritan kesakitan dan permohonan itu melolong tak tertahankan di sepanjang pantai. Namun, suara Aldo hanya menguar begitu saja ke udara tanpa ada yang mempedulikan. Rintihannya hanya menjadi soundtrack bagi eksekusi dingin ini.Di atas semua p
“Damar, aku mohon! Jangan lakukan ini! Aku mohon ampun! Aku tidak bermaksud serius! Aku janji akan memberimu semua yang kau mau! Harta benda, mobil, rumah, uang, atau apa pun yang kau inginkan sebagai kompensasinya!” bujuk Aldo mencoba melakukan negosiasi. “Apa aku terlihat butuh uang, hm?” balas Damar tak kalah sengit. Merasa terhina dengan tawaran Aldo tadi, ia pun balas mengejek. “Kau bahkan tak bisa membayar anak buahmu. Dan kini, kamu menawarkan semua harta bendamu? Apa kamu pikir semua itu bisa membalikkan keadaan seperti sebelumnya? Tidak, ‘kan?” cecar Damar. Baginya, uang ganti rugi tak akan merubah apa pun. Rencananya sudah matang, dan ia harus membuat Aldo menyesal. Tak peduli ini bertentangan dengan hukum, Damar tetap maju untuk memberikan pelajaran setimpal untuk aldo. Jika Damar menyerahkan Aldo pada polisi, maka Aldo bisa saja kambuh. Pria itu akan tetap berambisi pada hubungan rumah tangganya dan Diana. Maka, Damar ingin mencegahnya agar kejadian serupa tak t







