Xander dan Prudence keluar dari pintu kedatangan di bandara JFK New York lalu naik ke dalam taksi setelah menempuh perjalanan panjang di New York.
Prudence masih tidak tahu harus bersikap bagaimana karena bagian intimnya masih sakit tapi yang paling sakit adalah hatinya. Prudence tidak menyangka harta yang dia jaga selama 25 tahun ini, akhirnya direnggut oleh pria yang dibencinya dari kecil. Prudence menatap pemandangan dari jendela kaca taksi dan tanpa sadar air matanya mengalir. “Nggak usah mewek! Sudah kejadian juga!” desis Xander ke arah Prudence yang menangis. “Kamu itu tidak mikir apa! Kamu tidak ada bekasnya! Aku ada bekasnya!” balas Prudence. “Tapi kalau kamu tidak datang, kamu aman!” Prudence menatap Xander dengan tatapan terluka dan air mata. “Aku juga tidak mau bertemu denganmu! Papa yang – “ “-- kan kamu bisa tolak permintaan Oom Rodrigo!” potong Xander. “Xander, Papa tahu kita berada di lokasi yang sama! Jadi jangan salahkan Papa!” balas Prudence. “Jadi semua itu salahmu kan? Kamu sendiri yang mau datang ke tempatku!” Bentak Xander. Prudence melongo kemudian menggeram kesal. Ia sudah semakin tersadar dengan keadaan sekarang dan Xander jelas-jelas terlalu menyalahkannya! “Kalau bukan karena papa, aku tidak bakalan ke tempat kamu!” Xander mendengus. “Bawa saja terus alasan disuruh Oom Rodrigo,” sinis Xander kemudian memalingkan pandangan. Rasanya Prudence ingin memukul pria yang sudah dikenalnya dari usia sembilan tahun. Entah kenapa, makin dewasa, Xander semakin menyebalkan dan dingin. Prudence hanya bisa menghela nafas panjang karena tidak bisa membalas Xander. Dirinya terlalu panik menghadapi bagaimana reaksi ayah dan ibu tirinya. Mereka pasti sangat kecewa denganku, batinnya sedih.. Taksi itu pun tiba di sebuah gedung apartemen high end di daerah Manhattan dan keduanya pun turun. Prudence masih merasa tidak nyaman dengan kondisinya, tapi tetap berusaha mengikuti Xander yang berjalan cepat menuju lift. Bahkan Prudence hampir tertinggal oleh Xander. Mereka tiba di lantai 12 apartemen itu dan Xander pun berjalan ke pintu penthouse milik kedua orang tua Prudence. Pria itu memencet bel dan tak lama tampak seorang remaja pria yang berwajah imut khas campuran Asia dan Latin. “Hai bang Xander,” sapanya ramah, “Lho, kok barengan sama mbak Pru?” “Percival, kedua orang tua kamu ada?” tanya Xander tidak sabar. “Ada. Mbak Pru? Apa mbak Pru baik-baik saja?” Percival melihat kakak perempuannya tampak begitu kacau. “Aku baik-baik saja,” Prudence berjalan masuk ke dalam penthouse orang tuanya. Percival menatap bergantian antara Prudence dan Xander, “Ada apa dengan kalian?” “Boleh aku masuk?” tanya Xander. “Oh, silahkan bang,” jawab Percival. Xander pun masuk melewati Percival yang merasa ada sesuatu di antara keduanya. Pasti mereka bertengkar lagi, batinnya sembari menutup pintu. Percival mengikuti pria ganteng itu masuk ke dalam penthouse dan dirinya melihat kakak perempuannya menangis dalam pelukan ibunya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Apa yang sebenarnya terjadi? Rodrigo menatap tajam ke Xander dan pria paruh baya itu langsung menghampiri keponakannya lalu mencengkram bajunya. “Apa yang kamu lakukan? Beraninya kamu tidur dengan Prudence!” bentak Rodrigo. “Aku … Kami tidak ingat, Oom,” jawab Xander sambil menatap ayah Prudence itu. “Jadi kalian mabuk kemarin di Mallorca? Bagaimana bisa?” Xander menggeleng, “Aku tidak tahu Oom. Aku memang sedang bertemu dengan para klien dan Pru datang. Setelahnya kami bangun berdua.” Rodrigo tidak bisa menahan diri dan langsung meninju wajah Xander hingga terhuyung. “Kamu itu sepupu Pru! Bagaimana bisa kamu tidur dengannya!” Xander memegang rahangnya, “Karena aku suka Prudence!” Rodrigo mengacak-acak rambutnya, “Ini tidak benar! Kamu selalu berantem dengan Prudence!” “Oom, aku akan bertanggung jawab.” Rodrigro menatap cepat ke Xander, “Apa maksud kamu?” “Aku akan menikahi Prudence!” jawab Xander tegas. “Tidak mau! Aku tidak mau menikah denganmu!” teriak Prudence. “Mau tidak mau, kamu harus menikah denganku! Apa kamu mau hamil di luar nikah?” balas Xander dingin. Prudence tergagap. Hamil? Punya anak di luar nikah? Ia tidak memikirkan kemungkinan itu! “Pikirkan itu Pru!” lanjut Xander lagi. Prudence menatap ibunya, Shana. “Mama, aku harus bagaimana?” “Sayang, benar kamu salah tapi Xander benar. Kalau kamu hamil bagaimana?” jawab Shana. Prudence terdiam kemudian menjawab, “Aku … aku bisa merawatnya sendirian!”. Tatapan Xander semakin dingin mendengar perkataan Prudence. Dia berdecak pelan. “Kamu tidak mampu! Kamu mau pameran Pru! Kamu akan sibuk!” balas Xander ke Prudence membuat gadis itu terkejut. Darimana Xander tahu aku akan pameran tahun depan - batin Prudence bertanya-tanya. Tapi ia segera menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin orang tuanya yang memberitahu pria itu mengingat keluarga mereka sangat dekat. “Intinya Oom Rodrigo, Tante Shana, aku akan menikahi Prudence! Suka tidak suka!” ucap Xander tegas, membuyarkan lamunan Prudence. *** bersambung ***Xander terus mendampingi Prudence yang sibuk memberikan keterangan tentang semua lukisannya. Xander tidak menyangka jika lukisannya yang diambil dari cerita Savitri, menjadi perhatian para pengunjung. Direktur museum bahkan berencana melakukan lelang bagi penawar tertinggi lukisan Prudence. "Aku tidak menyangka jika lukisan Savitri ini menjadi favorit banyak orang," ucap Direktur Museum ke Xander yang sedang menyesap minumannya. "Anda kan yang meminta untuk membuat lukisan dengan tema dramatis bukan?" ucap Xander.. "Dan dia melakukannya dengan baik. Aku tahu Prudence sangat berbakat tapi dia butuh suatu teguran agar bisa membuat karya yang lebih baik. Prudence terlalu tahu untuk melakukan hal yang baru." Direktur Museum itu menatap Xander. "Aku minta tolong agar kamu sebagai suaminya, bisa memberikan support ke Prudence agar sekali-sekali keluar.dadi zona nyamannya. Prudence kurang karya yang dramatis."Xander tersenyum. "Aku akan membicarakan pada Prudence nanti usai pameran."
Xander menatap Prudence yang sedang meletakkan ponselnya di meja sebelah dirinya. Istrinya pun berdiri untuk merenggangkan punggungnya lalu berjalan menuju dapur dan membuka pintu kulkas. Xander pun berdiri dan berjalan mendekati Prudence. Tangannya terulur untuk menyentuh punggung istrinya. Prudence yang sedang mengambil botol air mineral dingin itu, terkejut saat merasakan sentuhan di punggung bagian bawah. "Apa yang kamu lakukan Xander?" tanya Prudence sambil menengok ke belakang. "Aku tahu kamu pasti pegal dan aku hanya ingin memijat supaya relaks." Xander lalu memijat pelan punggung bawah Prudence yang memejamkan matanya karena merasa relaks. "Ya ampun, enak banget!" gumam Prudence. "Kamu pasti pegal kan Pru?" ucap Xander. "Pegal banget." Xander mendekati Prudence. "Kamu ... masih ingin berpisah Pru?" "Kenapa memang?" "Apa kamu sudah punya rencana jika kita berpisah?" Prudence menghela nafas panjang. "Rencana aku adalah, melukis lagi Xander. Aku ingin
"Oh tidak bisa Xander. Kamu akan menjadi milikku. Lagipula, kamu kan tidak mendapat apapun dari Prudence kan? Ditambah dia memang tidak mencintai kamu karena dia mencintai Asha! Aku yakin, Asha akan normal jika bersama Prudence,". ucap Amelie tanpa malu. "Sorry Ammie. Aku bilang tidak ya tidak. Dan aku yakin Pru tidak akan bersama Asha." Xander melihat ke arah Prudence yang masih sibuk konsentrasi melukis. "Jangan terlalu percaya diri Xander. Aku yakin kamu akan kecewa pada Prudence tapi aku ... Aku akan membuat kamu yang terbaik Xander." Xander tersenyum smirk. "Sorry Ammie, aku tidak pernah suka bekas orang. Dan kamu sudah bersama banyak orang sebelumnya kan?" "Memangnya Prudence masih perawan?" ejek Amelie. "Dia tinggal di New York, Xander. Bahkan perempuan di Indonesia saja sudah banyak yang tidak menjaga kegadisan mereka! Banyak yang jadi toilet umum!" "Kamu salah menilai Prudence, Ammie. Dia masih perawan saat kami melakukannya. Lihat, tanpa harus dia buktikan, aku
Xander meletakan menu sarapan yang dia beli sebelum ke apartemen Prudence dan melihat Asha sedang memasak. Sementara istrinya, menata meja dan meletakkan piring untuk masakan Asha. "Kamu kan bisa bilang sama aku kalau minta dimasakin," ucap Xander. "Aku juga tidak minta dimasakin Asha. Dia sendiri yang sudah datang pagi-pagi sebelum aku keluar kamar," jawab Prudence polos. "Aku akan pergi ke studio dan mungkin akan tinggal disana sekitaran dua Minggu jadi aku tidak bisa setiap hari bersama Pru. Oh, Pru, kamu tenang saja. Aku akan datang ke hari pertama kamu pameran." Asha meletakkan scramble eggs diatas tiga piring di meja dapur. "Tolong Sha. Sebelum kamu ke pameran aku, mandi dulu!" senyum Prudence manis. "Kamu memang pembersih Pru. Sayang, aku tidak tertarik padamu sebagai pria ke wanita dalam hal ini romansa. Aku hanya suka padamu sebagai sahabat." Asha melanjutkan masaknya dengan menggoreng sosis dan daging burger. "Pru ... Ayo kita sarapan." Xander menarik kursi
Xander pun terbangun dan melihat Prudence sedang berdiskusi dengan Asha. Jujur dirinya lebih cemburu melihat Prudence bersama Asha dibandingkan dengan Erhan. Asha seperti sangat mengerti bagaimana Prudence, sangat memahami istrinya dan sangat perhatian. Xander merasa dirinya tidak tahu betapa seriusnya Prudence dengan karyanya. Tak heran jika Asha bilang dirinya tidak tahu apapun soal Prudence. "Lho? Kamu masih disini Sha?" tanya Xander seolah baru bangun tidur. "Sorry. Apakah suara aku terlalu keras? Aku biasa menemani Prudence kalau dia sedang kena blocking. Aku juga seniman, Xander, jadi tahu rasanya saat kita tidak bisa mendapatkan ide atau mood itu sangat menyebalkan!" kekeh Asha. "Kamu sangat tahu soal istriku ya?" ucap Xander sambil lalu tapi baik Asha dan Prudence tahu kalau pria itu cemburu. "Kamu tidak mengenal aku seperti halnya Asha. Jadi kamu tidak boleh protes!" balas Prudence membuat Xander cemberut. "Iya tahu! Kamu di New York, aku di Oslo. Mana pernah ke
Asha melihat sahabatnya dan suaminya seperti ada gencatan senjata hingga mereka tidak ada pertengkaran seperti yang sering dia dengar. "Kalian sudah tidak ribut?" tanya Asha sambil membuka kulkas Prudence dan mengambil bir dingin disana. "Bukannya kamu seharusnya segera mandi?" ucap Xander dingin. "Oh iya. Aku habiskan satu botol bir ini dulu baru mandi." Asha meminum birnya dan keluar dari apartemen Prudence. "Ampun deh teman kamu itu! Susah sekali disuruh mandi!" omel Xander. Prudence tersenyum. "Mungkin karena aku sudah kenal Asha dari kuliah jadi terbiasa deh." Xander menggelengkan kepalanya. "Payah deh!" "Pria payah itu adalah teman baik aku yang tidak pernah pergi meninggalkan aku baik saat aku senang maupun sedih. Bahkan disaat aku dalam posisi paling terpuruk pun karena lukisan aku ditolak sana sini, Asha lah yang selalu ada di sampingku. Jadi, jangan kamu hina Asha. Dia adalah pria yang tulus." Prudence menatap Xander dingin. "Apakah aku bukan sahabat yang bai