“Tunggu Xander, kamu tetap akan menikahi Prudence? Dengar, ini bukan main-main! Kamu jangan seenaknya!” hardik Rodrigo.
“Oom. aku yang merenggut kesucian Prudence!” balas Xander. Prudence yang melihat ayahnya hendak memukul Xander lagi langsung menahan tangan pria paruh baya itu. “Papa, Tenanglah! Biarkan … biarkan aku berpikir …,” pinta Prudence ke Rodrigo. “Sayang, papa hanya ingin yang terbaik untukmu,” ucap Rodrigo sedih. “Papa merasa menyesal tidak bisa melindungi kamu dan ini kesalahan papa yang meminta kamu menemui Xander. Papa kira karena kalian bersaudara sepupu dan di tempat yang sama jadi kenapa tidak. Tidak disangka … Justru papa yang membuat celaka kamu ….” Prudence memeluk ayahnya, “Bukan salah Papa … tidak ada yang salah disini. Bukan papa, bukan aku, tapi memang sudah seperti ini takdir aku.” Rodrigo memeluk erat putrinya dan Prudence merasakan tubuh ayahnya gemetar menahan emosinya. Prudence semakin merasa semakin bersalah karena sudah mengecewakan ayahnya, pria yang sudah menjadi ayah dan ibu untuknya dari usianya keenam karena ibu kandungnya meninggal akibat kanker. “Maafkan aku papa.” bisik Prudence. Xander hanya menatap datar ke arah ayah dan anak itu. Percival yang menyadarinya segera mendekati Xander. “Kamu itu kok tidak ada emosinya sih bang?” bisik Percival dengan wajah geram. Benar dia baru 15 tahun tapi dia tahu situasinya karena di sekolah ada sex education! “Karena ini bukan kemauan aku!” desis Xander ke Percival. “F*** you bang!” umpat Percival, tidak terima kakaknya diperlakukan seperti itu! Meskipun mereka bersaudara tiri, Percival sangat sayang pada Prudence, begitu juga sebaliknya. Xander tak menanggapinya, ia tetap memasang wajah dingin. “Xander, hubungi orang tua kamu! Benar anak laki-laki tidak perlu wali nikah tapi kamu tahu aturannya kan?” ucap Shana dingin. Pengacara senior itu sampai tidak bisa mencerna semuanya karena Shana sangat bingung dengan semuanya ini. Segalanya terasa mendadak dan harus gerak cepat. “Baik Tante Shana.” Xander lalu berjalan menjauhi keluarga Diaz guna menghubungi ayah dan ibunya yang berada di Oslo Norwegia. Shana lalu memeluk Prudence dan Rodrigo, “Maafkan mama ya sayang. Mama tidak berada di sana.” “Bukan salah mama,” jawab Prudence. Gadis itu melerai pelukan ayah dan ibu sambungnya dan melihat ke arah Xander yang sedang menelpon ayahnya. Prudence tahu Xander tidak pernah suka padanya dan kejadian di Mallorca sendiri juga bukan kemauan mereka berdua. Mengingat mereka tidak memakai pengaman, kemungkinan hamil itu besar. Dia harus bisa menentukan dengan bijak. Xander berbalik masih dengan wajahnya yang dingin. “Papaku dan mamaku akan datang ke New York dengan pesawat besok pagi. Mereka bilang harus disegerakan pernikahan.” Prudence menatap Xander, “Xander ….” “Apa Pru?” Prudence menatap ragu ke Xander. “Apa kamu … yakin mau menikahiku?” “For God’s sake Pru!” Xander memandang wajah takut-takut Prudence, “Kamu mau bicara apa?” Rodrigo dan Shana hendak menegur Xander tapi tahu mereka berdua harus bisa menyelesaikan secara dewasa. Sudah waktunya mereka bertanggungjawab atas semua konsekuensinya baik disengaja atau tidak. “Hanya … enam bulan kita menikah,” ucap Prudence dengan nada bergetar. Xander melongo sementara ayah ibu dan adiknya terkejut. “Pru!” seru Rodrigo. “Hanya … hanya sampai … aku tahu hamil atau tidak … A … aku tadinya hanya mau tiga bulan tapi … aku tahu jika baru seumur jagung, skandal lagi bukan?” jawab Prudence ke kedua orang tuanya, “Ji … jika keluarga besar tahu skandal ini, mereka pasti akan syok apalagi jika hanya tiga bulan menikah ….” “Kamu mau nikah kontrak? Macam di novel-novel? Kamu terlalu sok romantis!” cebik Xander. “Setidaknya … aku menunggu hasil itu agar bisa memutuskan apa yang harus aku lakukan ke depannya. Kalau hamil, aku bisa memutuskan apa, kalau tidak pun aku bisa memutuskan apa ….” Prudence menatap dengan teguh ke Xander meski masih takut. Xander menghela napas berat membuat Rodrigo dan Shana saling berpandangan. Kemana Xander yang dulu? Apa yang membuatnya dia seperti ini? Itu yang terucap dalam telepati mereka. Seingat mereka, Xander dulu anak yang konyol dan rusuh. Bukan dingin, arogan, dan egosentris seperti sekarang. “Baiklah! Aku akan menuruti permintaan kamu. Tante Shana kan pengacara, kita bisa buat surat perjanjian di sini. Sekalian!” ucap Xander dengan penuh penekanan, “Dan selama jangka waktu itu, kamu jangan sampai jatuh cinta padaku!” Prudence menatap mata hijau Xander dengan perasaan kesal. Sampai kapanpun, aku tidak akan jatuh cinta padamu, Anak Viking Sombong! *** bersambung ***Xander terus mendampingi Prudence yang sibuk memberikan keterangan tentang semua lukisannya. Xander tidak menyangka jika lukisannya yang diambil dari cerita Savitri, menjadi perhatian para pengunjung. Direktur museum bahkan berencana melakukan lelang bagi penawar tertinggi lukisan Prudence. "Aku tidak menyangka jika lukisan Savitri ini menjadi favorit banyak orang," ucap Direktur Museum ke Xander yang sedang menyesap minumannya. "Anda kan yang meminta untuk membuat lukisan dengan tema dramatis bukan?" ucap Xander.. "Dan dia melakukannya dengan baik. Aku tahu Prudence sangat berbakat tapi dia butuh suatu teguran agar bisa membuat karya yang lebih baik. Prudence terlalu tahu untuk melakukan hal yang baru." Direktur Museum itu menatap Xander. "Aku minta tolong agar kamu sebagai suaminya, bisa memberikan support ke Prudence agar sekali-sekali keluar.dadi zona nyamannya. Prudence kurang karya yang dramatis."Xander tersenyum. "Aku akan membicarakan pada Prudence nanti usai pameran."
Xander menatap Prudence yang sedang meletakkan ponselnya di meja sebelah dirinya. Istrinya pun berdiri untuk merenggangkan punggungnya lalu berjalan menuju dapur dan membuka pintu kulkas. Xander pun berdiri dan berjalan mendekati Prudence. Tangannya terulur untuk menyentuh punggung istrinya. Prudence yang sedang mengambil botol air mineral dingin itu, terkejut saat merasakan sentuhan di punggung bagian bawah. "Apa yang kamu lakukan Xander?" tanya Prudence sambil menengok ke belakang. "Aku tahu kamu pasti pegal dan aku hanya ingin memijat supaya relaks." Xander lalu memijat pelan punggung bawah Prudence yang memejamkan matanya karena merasa relaks. "Ya ampun, enak banget!" gumam Prudence. "Kamu pasti pegal kan Pru?" ucap Xander. "Pegal banget." Xander mendekati Prudence. "Kamu ... masih ingin berpisah Pru?" "Kenapa memang?" "Apa kamu sudah punya rencana jika kita berpisah?" Prudence menghela nafas panjang. "Rencana aku adalah, melukis lagi Xander. Aku ingin
"Oh tidak bisa Xander. Kamu akan menjadi milikku. Lagipula, kamu kan tidak mendapat apapun dari Prudence kan? Ditambah dia memang tidak mencintai kamu karena dia mencintai Asha! Aku yakin, Asha akan normal jika bersama Prudence,". ucap Amelie tanpa malu. "Sorry Ammie. Aku bilang tidak ya tidak. Dan aku yakin Pru tidak akan bersama Asha." Xander melihat ke arah Prudence yang masih sibuk konsentrasi melukis. "Jangan terlalu percaya diri Xander. Aku yakin kamu akan kecewa pada Prudence tapi aku ... Aku akan membuat kamu yang terbaik Xander." Xander tersenyum smirk. "Sorry Ammie, aku tidak pernah suka bekas orang. Dan kamu sudah bersama banyak orang sebelumnya kan?" "Memangnya Prudence masih perawan?" ejek Amelie. "Dia tinggal di New York, Xander. Bahkan perempuan di Indonesia saja sudah banyak yang tidak menjaga kegadisan mereka! Banyak yang jadi toilet umum!" "Kamu salah menilai Prudence, Ammie. Dia masih perawan saat kami melakukannya. Lihat, tanpa harus dia buktikan, aku
Xander meletakan menu sarapan yang dia beli sebelum ke apartemen Prudence dan melihat Asha sedang memasak. Sementara istrinya, menata meja dan meletakkan piring untuk masakan Asha. "Kamu kan bisa bilang sama aku kalau minta dimasakin," ucap Xander. "Aku juga tidak minta dimasakin Asha. Dia sendiri yang sudah datang pagi-pagi sebelum aku keluar kamar," jawab Prudence polos. "Aku akan pergi ke studio dan mungkin akan tinggal disana sekitaran dua Minggu jadi aku tidak bisa setiap hari bersama Pru. Oh, Pru, kamu tenang saja. Aku akan datang ke hari pertama kamu pameran." Asha meletakkan scramble eggs diatas tiga piring di meja dapur. "Tolong Sha. Sebelum kamu ke pameran aku, mandi dulu!" senyum Prudence manis. "Kamu memang pembersih Pru. Sayang, aku tidak tertarik padamu sebagai pria ke wanita dalam hal ini romansa. Aku hanya suka padamu sebagai sahabat." Asha melanjutkan masaknya dengan menggoreng sosis dan daging burger. "Pru ... Ayo kita sarapan." Xander menarik kursi
Xander pun terbangun dan melihat Prudence sedang berdiskusi dengan Asha. Jujur dirinya lebih cemburu melihat Prudence bersama Asha dibandingkan dengan Erhan. Asha seperti sangat mengerti bagaimana Prudence, sangat memahami istrinya dan sangat perhatian. Xander merasa dirinya tidak tahu betapa seriusnya Prudence dengan karyanya. Tak heran jika Asha bilang dirinya tidak tahu apapun soal Prudence. "Lho? Kamu masih disini Sha?" tanya Xander seolah baru bangun tidur. "Sorry. Apakah suara aku terlalu keras? Aku biasa menemani Prudence kalau dia sedang kena blocking. Aku juga seniman, Xander, jadi tahu rasanya saat kita tidak bisa mendapatkan ide atau mood itu sangat menyebalkan!" kekeh Asha. "Kamu sangat tahu soal istriku ya?" ucap Xander sambil lalu tapi baik Asha dan Prudence tahu kalau pria itu cemburu. "Kamu tidak mengenal aku seperti halnya Asha. Jadi kamu tidak boleh protes!" balas Prudence membuat Xander cemberut. "Iya tahu! Kamu di New York, aku di Oslo. Mana pernah ke
Asha melihat sahabatnya dan suaminya seperti ada gencatan senjata hingga mereka tidak ada pertengkaran seperti yang sering dia dengar. "Kalian sudah tidak ribut?" tanya Asha sambil membuka kulkas Prudence dan mengambil bir dingin disana. "Bukannya kamu seharusnya segera mandi?" ucap Xander dingin. "Oh iya. Aku habiskan satu botol bir ini dulu baru mandi." Asha meminum birnya dan keluar dari apartemen Prudence. "Ampun deh teman kamu itu! Susah sekali disuruh mandi!" omel Xander. Prudence tersenyum. "Mungkin karena aku sudah kenal Asha dari kuliah jadi terbiasa deh." Xander menggelengkan kepalanya. "Payah deh!" "Pria payah itu adalah teman baik aku yang tidak pernah pergi meninggalkan aku baik saat aku senang maupun sedih. Bahkan disaat aku dalam posisi paling terpuruk pun karena lukisan aku ditolak sana sini, Asha lah yang selalu ada di sampingku. Jadi, jangan kamu hina Asha. Dia adalah pria yang tulus." Prudence menatap Xander dingin. "Apakah aku bukan sahabat yang bai