Tiga tahun kemudian.“Kali ini kamu kerjanya di mana, Far?” Emak sedang duduk di kursi rotan sambil memangku putraku yang berumur dua tahun. Hanif namanya. Berkulit putih dengan tubuh yang sedang, tak kurus juga tidak gembul. Bagaimanapun keadaannya, aku tetap mencintainya.Sementara aku duduk di lantai sambil melipat pakaian. “Itu, keponakannya Pak Salim. Rumahnya agak jauh. Mesti tempuh dua jam perjalanan.”Pak Salim adalah ketua RT di kampung ini. Beliau khusus memintaku untuk jadi MUA di pernikahan keponakannya. “Oalah, keponakan yang selalu dia banggakan itu, ya? Yang katanya sarjana dan kerja kantoran?”“Iya, Mak. Katanya nikah sama teman sekantornya.”“Perjaka apa duda?”Aku menertawai kekepoan Emak. “Katanya duda.”“Oalah. Ndak papa itu, yang penting orangnya baik, keluarganya juga baik.” “Semoga aja, Mak.”Hanif tampak tenang dalam pangkuan Emak sambil memainkan kalung emas neneknya. “Nikah itu bukan cuma nikahin orangnya, tapi juga nikahin keluarganya. Kita juga mesti co
Sesampainya di ruangan mempelai pria, aku dihadapkan pada Mas Herman yang memamerkan sorot gelisahnya. Aku duduk di kursi, berdampingan dengannya. Sebab aku tahu pria itu tidak ingin didandani. “Apa kabar, Dek, maksudku Farah?” Aku mengangguk. “Baik. Hanif juga begitu. Sekarang dijaga oleh Emak dan Bapak.” Sejak kepulanganku ke rumah Emak, beberapa kali Mas Herman ingin berkunjung, apalagi setelah mendengar kabar aku sudah melahirkan. Namun, aku melarangnya dan hanya mengizinkan melihat anak kami lewat panggilan video atau telepon saja. “Aku nggak tahu kalau kamu yang jadi MUA-nya.” “Itu nggak penting, Mas. Ini pekerjaanku, aku harus profesional.” “Maaf. Aku nggak bermaksud–” “Nggak usah merasa bersalah. Meski merasa nggak nyaman, tapi aku tidak membencimu. Kamu tidak perlu khawatir.” “Dia rekan kerja. Setiap hari membantu pekerjaanku. Setelah kamu pergi, suatu hari Ibu melihatku berboncengan dengannya–aku cuma memberikan tumpangan seperti waktu itu–lalu berniat mendekatkan
“Yuurrrrr~ sayuurrrrrr~”Senandung panjang seperti bunyi mesin motor itu membuatku bergegas keluar rumah. Dengan daster kuning bermotif bunga sebatas lutut dan rambut yang terikat rapi, aku mendekat ke tukang sayur gerobak yang biasanya memang selalu hadir di pagi hari. “Ada apa aja, Kang Yur?” tanyaku pada tukang sayur yang sebenarnya bernama Yudi itu, dipanggil Kang Yur karena teriakan sayurnya yang khas.“Biasa, Mbak, dipilih aja. Semua sayur ada kok itu. Masih pres!” Aku melongokkan kepala mencari-cari sayur apa yang enak dimasak hari ini. Jari menunjuk beberapa sayuran yang tergantung di gerobak.“Labu sama kacang hijau aja, Mbak. Enak tuh dimasak ama santan. Behhh muantapp!” Sepertinya itu memang perpaduan yang enak. Membayangkannya saja membuat perut berbunyi. Aku memasang senyum tipis. “Mertuaku asam urat, Kang. Gak boleh makan kacang-kacangan.” Kusembunyikan helaan napas kecewa. Padahal kepengin sekali makan kacang panjang.“Perhatian kali kamu, Farah. Jadi, selama ini ka
“Ya jelas, Farah ‘kan nggak mau berkorban, Bu-Ibu. Doi masih kepengin cantik dan berbody aduhai.”“Sebaiknya punya anak aja, Neng. Jangan ditunda terlalu lama. Entar kalau umur udah lewat 30 udah susah lahiran. Anak adalah ladang rezeki buat orang tua.”“Iya, Neng Farah. Lagian nunda-nunda punya anak begitu cuma buat orang kaya. Kita orang miskin nggak usah ikut-ikutan.” Bukankah sebaliknya? Keputusan untuk menunda atau tidak memiliki anak harusnya dipikirkan oleh orang miskin, sebab biaya tidak cukup untuk menghidupi maupun menyekolahkan anak.Dadaku terasa semakin sesak mendengarkan omongan mereka yang terus dikompori oleh Lastri. Entah mengapa Lastri tidak menyukaiku. Mungkin karena sering mendengar curhatan Mbak Yuli tentangku. “Ini uangnya, Kang. Makasih, ya.” Kang Yur menatapku tidak enak sambil menerima uang.“Saya permisi dulu, ya. Mesti masak.” “Cepat amat belanjanya, Farah. Kalau dikasih tahu sama orang tua ya kudu didengerin. Jangan kabur. Kepala batu juga, ya kamu.” S
Aku melongo. Menahan rasa kecewa karena sayur itu belum sempat kumakan. Suasana meja makan yang berbentuk bundar dan berukuran kecil itu jadi semakin heboh. Mbak Yuli mengomel panjang dan memarahi anaknya bahkan sampai memukul tangan mungil anak itu. Fatur terdiam dengan bibir menekuk turun siap menangis, tapi terlihat takut karena Mbak Yuli memelototinya. Ah, kasihan sekali. Padahal dia tidak tahu apa-apa. “Kalau begini terus, kamu nggak Ibu kasih makan lagi! Makan aja tuh bubur yang udah tumpah!”Aku meringis mendengar perkataan kasar itu. Ibu mertua pun tidak menegur. Dia mengambil alih Fatur yang sedang menangis hebat lalu membawanya keluar dari dapur. Setelah sang anak dibawa keluar, Mbak Yuli tak lantas berhenti mengomel. Ia mengisi piringnya dengan sayur yang sudah diremas-remas oleh Fatur lalu memakan semua sisa telur dadar yang ada di piring. Tak menyisakanku sedikit pun. Di balik wastafel, aku hanya bisa memandanginya dengan helaan napas kecewa dan perut yang berbunyi. D
Aku mengambil keranjang cucian yang tergeletak di tengah ruangan, lalu mulai membereskan semua pakaian yang berserakan di atas ranjang. Jika keadaan kamarnya begini, tentu saja si anak akan mudah sakit. Semua mainan kusatukan di dalam kardus lalu meletakkannya di samping lemari yang pintu-pintunya terbuka. Pakaian di dalam acak-acakan. Pintu lemari berdebu sampai ditempeli kotoran cicak yang sudah kering. Aku mengernyit. Menutup pintu lemari dengan kaki lalu kembali membereskan semua pakaian yang masih tersisa di lantai. Sementara di atas ranjang, Fatur mulai bosan dengan mainannya. Ia merangkak hendak turun dari ranjang. Posisiku sedang membereskan pakaian terakhir ketika sedikit lagi Fatur akan terjatuh dari ranjang. Aku membelalak. Dengan panik berlari ke arah anak itu. Aku terpaksa menjatuhkan diri ke lantai untuk menangkap Fatur. Untunglah aksi itu berhasil. Namun, lutut menjadi korbannya. Fatur menangis kencang. Ia meraung-raung sambil memberontak dalam peganganku sampai mem
Aku tahu jika kuteruskan, itu hanya menjadi bumerang untukku. Mereka berdua akan semakin ganas menyalahkan dan mencari-cari celah untuk memojokkanku. Terlebih suara Mbak Yuli semakin kencang. Tetangga bisa mendengar. Aku memberikan waktu tiga detik untuk diriku menghela napas guna menenangkan diri. Tak ada habisnya jika terus meladeni mereka, meski api amarah sedang menggebu-gebu di hati. “Kalau gitu lain kali Mbak nggak usah minta aku jagain Fatur. Nanti bisa celaka lagi.” Aku melangkah hendak keluar. “Menjadi seorang ibu memang mulia, tapi bukan berarti kalian boleh merendahkan perempuan lain seenaknya.”Aku keluar, meninggalkan ibu dan Mbak Yuli yang masih berkutat dengan napas ngos-ngosan gegara amarah. Samar-samar aku mendengar gerutuan Mbak Yuli saat aku meninggalkan pintu kamar itu. “Lihat mantumu itu, Buk. Kurang ajar banget! Bisa-bisanya Ibu bolehin dia tinggal di rumah ini.”Aku mengembuskan napas berulang kali. Sejauh ini aku tak mengerti mengapa para wanita yang menyand
“Udah, Mas. Nggak usah diingetin lagi. Malah nambah masalah. Dijelaskan pun mereka nggak bakal ngerti dan mengakui kesalahan mereka.”“Ya mau bagaimana lagi, Dek. Diabaikan aja kalau Mbak Yuli nyerang kamu lagi. Nggak usah ditanggepin.”Masalahnya wanita itu punya bekingan kuat, yaitu Ibu. Dia akan selalu dibela bagaimanapun keadaannya. Jika bukan Mas Herman yang memihakku, aku tidak akan bisa sabar menghadapi mereka. “Gimana kalau kita ngekos aja? Yang kecil juga masalah, asal hidup kita tenang.”Aku juga merasa sudah lelah terus memahami kondisi Ibu yang sudah tua dan penyakitan serta Mbak Yuli yang mesti mengurus anak hingga aku tak pernah protes mengenai semua pekerjaan rumah dan melayani mereka semua. Jika sapu dan piring bisa bicara, maka mereka akan menjerit bosan dipegang olehku. “Kamu tahu ‘kan, Dek? Kos-kosan di sini cukup mahal, belum lagi bayar lampu dan listriknya. Aku juga nggak tenang biarin Ibu hidup berdua aja dengan Mbak Yuli. Ibu sudah penyakitan. Kalau ada aku, s