Share

5

Author: Mustacis
last update Last Updated: 2023-10-21 13:32:52

Aku tahu jika kuteruskan, itu hanya menjadi bumerang untukku. Mereka berdua akan semakin ganas menyalahkan dan mencari-cari celah untuk memojokkanku. Terlebih suara Mbak Yuli semakin kencang. Tetangga bisa mendengar. 

Aku memberikan waktu tiga detik untuk diriku menghela napas guna menenangkan diri. Tak ada habisnya jika terus meladeni mereka, meski api amarah sedang menggebu-gebu di hati. 

“Kalau gitu lain kali Mbak nggak usah minta aku jagain Fatur. Nanti bisa celaka lagi.” Aku melangkah hendak keluar. “Menjadi seorang ibu memang mulia, tapi bukan berarti kalian boleh merendahkan perempuan lain seenaknya.”

Aku keluar, meninggalkan ibu dan Mbak Yuli yang masih berkutat dengan napas ngos-ngosan gegara amarah. Samar-samar aku mendengar gerutuan Mbak Yuli saat aku meninggalkan pintu kamar itu. 

“Lihat mantumu itu, Buk. Kurang ajar banget! Bisa-bisanya Ibu bolehin dia tinggal di rumah ini.”

Aku mengembuskan napas berulang kali. Sejauh ini aku tak mengerti mengapa para wanita yang menyandang gelar ‘ibu’ itu selalu saja menghakimi wanita lain yang tidak punya gelar yang sama. 

Padahal semua orang punya pilihan yang berbeda. Keistimewaan yang mereka miliki sebagai seorang ibu justru membuatku muak. Dari merekalah aku belajar bahwa memiliki anak adalah pertempuran hingga akhir hayat. Peperangan melawan diri sendiri, menghadapi lingkungan, dan juga keadaan. Salah-salah si anak bisa menjadi korban ketidakmampuan seorang ibu untuk menjaga kewarasan. 

Aku tak ingin seperti itu. Tidak mau anakku kelak menjadi pelampiasan dari kekesalanku. Aku harus pandai mengatur emosi sebelum memutuskan memiliki anak, mesti berdamai dengan diri sendiri, serta membuat diriku bahagia terlebih dahulu.

Namun, rasa-rasanya jika terus berada di rumah ini, aku tak akan bisa membahagiakan diriku. Tiap hari sibuk dengan pekerjaan rumah dan menyaring semua nasihat serta penghakiman karena keputusanku yang enggan memiliki anak. 

Sorenya saat Mas Herman datang, aku mengeluhkan kejadian tadi siang sembari menggantung pakaian yang habis dia pakai, sebab besok mesti digunakan lagi. Kuseterika lagi sambil menyemprotkan pelicin dan pewangi. 

Mas Herman sudah selesai mandi ketika aku menceritakan bagaimana Mbak Yuli dan Ibu menyalahkanku habis-habisan. 

“Nggak usah dipeduliin kamarnya, Dek. Biar aja berantakan. Kan bukan kewajiban kamu. Dia mah emang gitu suka emosian, biasalah bawaan anak. Mungkin ibu-ibu yang anaknya masih kecil emosinya gampang naik.”

“Aku cuma bantuin, Mas. Nggak enak banget mataku liat hal-hal yang berantakan. Maunya dirapiin. Seenggaknya dia bilang terima kasih atau apa. Fatur juga nggak jatuh kok, malahan aku yang luka karena nangkap Fatur.” Kutunjuk lutut yang lecet, masih terasa perih hingga sekarang.

“Loh, kamu sampai luka, Dek?”

Aku mengangguk. Melihat Mas Herman berjongkok dan memeriksa lututku. 

“Memar ini, Dek. Aduh, lain kali ditolak aja. Kamu ‘kan udah capek ngerjain pekerjaan rumah.” Dia mengambil betadin di dalam laci meja lalu mengoleskannya ke lututku. 

Betapa beruntungnya aku memiliki suami yang pengertian seperti Mas Herman. Dialah alasanku tetap bertahan di rumah ini. 

“Nanti aku kasih tahu ke Mbak Yuli. Kalau perlu abis masak dan bersih-bersih kamu di kamar aja, nggak usah keluar.”

“Iya, Mas. Makasih, ya.”

Saat tiba waktu makan malam, kami berempat duduk melingkar di meja makan dengan lauk dan sayur yang kumasak. Suasananya tidak enak sebab masih ada jejak kemarahan karena insiden tadi siang. 

“Fatur udah tidur, Mbak?” tanya Mas Herman, meruntuhkan keheningan di meja makan itu. 

“Udah.” Mbak Yuli menjawab seadanya. Kali ini dia makan dengan tenang, tapi tetap saja berantakan. Nasi berhambur di sekitar piringnya. 

“Di ranjang tidurnya?”

“Hm?”

Mas Herman mengangguk-angguk, menghentikan kunyahannya dan menatap sang kakak dengan intens. “Nggak takut jatuh?”

“Nggak, udah biasa tidur begitu.”

“Oh gitu? Kalau gitu Mbak nggak perlu mempermasalahkan soal yang tadi siang, ‘kan? Fatur juga nggak jatuh. Lutut istriku sampai lecet nangkap dia. Farah udah bantu beresin kamarmu. Nggak perlu diperbesar juga. Kalau Mbak nggak mau berterima kasih, nggak usah disalahkan sampai sebegitunya.”

Mbak Yuli langsung melirikku tajam. “Jadi kamu ngadu ke suamimu, Far? Maksudmu apa sih begitu? Mau merusak hubungan persaudaraan kami? Masalah yang tadi ‘kan udah selesai. Walaupun nggak jatuh, anakku kaget jadi nangis kejer begitu. Aku sebagai ibu jadi paniklah.”

“Dia nggak ngadu, cuma curhat,” bela Mas Herman.

“Jadi istri jangan suka dikit-dikit ngadu ke suami. Masalah di antara perempuan diselesaikan sendiri. Suamimu udah capek kerja. Kalau pulang mau istirahat dengan tenang. Lagipula curhatanmu itu menjelek-jelekkan mertua dan ipar. Lain kali jangan begitu, ya.” Ibu Mertua menimpali.

Aku tidak habis pikir dengan dua kombo mertua dan iparku ini. Jika saja Mas Herman tidak memihak padaku, maka aku sudah pasti akan segera minggat dari sini. 

“Ibu juga jangan begitu. Farah ‘kan sudah membantu pekerjaan rumah. Masak, ngurus aku, bersih-bersih, semuanya dia yang kerjain, jadi tolong mengerti juga. Jadilah pihak yang netral, Bu. Jangan cuma berdiri di satu pihak aja.”

“Sudahlah, Buk. Anakmu itu nggak nganggap kita lagi! Yang paling baik cuma istrinya. Kita beban doang. Yang paling berjasa itu istrinya. Yang paling capek itu istrinya.”

Kulirik Mas Herman yang menghela napas pelan.

“Kalau gitu kita nggak usah makan masakan istrinya. Kan istrinya capek ngurus kita. Nanti beli di luar aja. Aku nggak sempat masak karena punya anak, nggak kayak istrinya yang bebas masak dan ngerjain apa pun.” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Enggan Punya Anak   34 (End)

    Sesampainya di ruangan mempelai pria, aku dihadapkan pada Mas Herman yang memamerkan sorot gelisahnya. Aku duduk di kursi, berdampingan dengannya. Sebab aku tahu pria itu tidak ingin didandani. “Apa kabar, Dek, maksudku Farah?” Aku mengangguk. “Baik. Hanif juga begitu. Sekarang dijaga oleh Emak dan Bapak.” Sejak kepulanganku ke rumah Emak, beberapa kali Mas Herman ingin berkunjung, apalagi setelah mendengar kabar aku sudah melahirkan. Namun, aku melarangnya dan hanya mengizinkan melihat anak kami lewat panggilan video atau telepon saja. “Aku nggak tahu kalau kamu yang jadi MUA-nya.” “Itu nggak penting, Mas. Ini pekerjaanku, aku harus profesional.” “Maaf. Aku nggak bermaksud–” “Nggak usah merasa bersalah. Meski merasa nggak nyaman, tapi aku tidak membencimu. Kamu tidak perlu khawatir.” “Dia rekan kerja. Setiap hari membantu pekerjaanku. Setelah kamu pergi, suatu hari Ibu melihatku berboncengan dengannya–aku cuma memberikan tumpangan seperti waktu itu–lalu berniat mendekatkan

  • Enggan Punya Anak   33

    Tiga tahun kemudian.“Kali ini kamu kerjanya di mana, Far?” Emak sedang duduk di kursi rotan sambil memangku putraku yang berumur dua tahun. Hanif namanya. Berkulit putih dengan tubuh yang sedang, tak kurus juga tidak gembul. Bagaimanapun keadaannya, aku tetap mencintainya.Sementara aku duduk di lantai sambil melipat pakaian. “Itu, keponakannya Pak Salim. Rumahnya agak jauh. Mesti tempuh dua jam perjalanan.”Pak Salim adalah ketua RT di kampung ini. Beliau khusus memintaku untuk jadi MUA di pernikahan keponakannya. “Oalah, keponakan yang selalu dia banggakan itu, ya? Yang katanya sarjana dan kerja kantoran?”“Iya, Mak. Katanya nikah sama teman sekantornya.”“Perjaka apa duda?”Aku menertawai kekepoan Emak. “Katanya duda.”“Oalah. Ndak papa itu, yang penting orangnya baik, keluarganya juga baik.” “Semoga aja, Mak.”Hanif tampak tenang dalam pangkuan Emak sambil memainkan kalung emas neneknya. “Nikah itu bukan cuma nikahin orangnya, tapi juga nikahin keluarganya. Kita juga mesti co

  • Enggan Punya Anak   32

    “Bapak ndak liat suamimu. Sendiri kamu, Nak?”Betapa berat mulutku terbuka untuk memberitahu mereka. Sementara Farel berjalan ke arah kami sambil membawa semua tasku. Bibirnya tersenyum ramah lalu menyalami Bapak dan Emak. “Ini siapa, Nak? Kok ndak datang sama suamimu? Masih bertengkar kalian? Dia ndak datang menjemputmu?”Farel melemparkan tatapan canggung padaku. “Anu, Pak. Bisa nggak bantuin Farel nurunin motorku? Aku mau masukin barang-barang.”“Ah, iya.” Kening Bapak mengerut bingung, tapi tetap menuruti permintaanku. Sementara Emak mengekor masuk dan membantu mengangkat tas besar milikku. Ia lalu berdiri diam dengan pandangan menerawang. “Barangmu banyak begini, ditambah dengan bawa motor, pulang bersama orang lain. Sepertinya masalah dengan suamimu memang sangat besar.”Aku menarik napas sebisaku. Melihat raut Emak yang tiba-tiba menjadi murung menambah rasa sesak di dadaku. “Nanti akan Farah ceritakan, Mak. Bisa nggak Farah ajak teman Farah masuk dulu minum teh? Dia pasti

  • Enggan Punya Anak   31

    Akhirnya aku menerima tawaran Farel. Duduk di sampingnya dan diam selama perjalanan. Kami menaiki mobil pick up. Karena Farel bersikeras ingin mengangkut motorku juga. “Sepertinya Mbak berniat menetap.”Aku hanya menoleh sekilas sekalian memberikan senyum tipis sebagai jawaban. “Aku nggak mau ikut campur. Mbak ada masalah dengan suaminya, ya?”Kali ini aku tetap menatap ke luar jendela. “Tahu dari mana kosku?” Lalu mengalihkan pembicaraan. “Dari Mbak Keke. Kebetulan ketemu dan sekalian tanya-tanya soal Mbak.”Lalu suasana di antara kami kembali disisipi keheningan. Tak ada pembicaraan lagi selama satu jam perjalanan. Farel menghentikan mobil dan masuk ke dalam minimarket. Kembali membawa sekantong camilan dan air mineral. “Minum dulu, Mbak.” Ia membukakan tutup botol lalu mengulurkannya padaku. Sembari meneguk air mineral, aku tahu Farel sedang menatapku. Sorotnya dipenuhi rasa penasaran. “Aku boleh tanya tentang suami Mbak?” Aku menutup kembali botol yang tersisa setengah itu.

  • Enggan Punya Anak   30

    “Mas nggak pernah menyangka kamu akan membuatku memilih antara istri atau keluarga. Keduanya sama-sama penting, Farah.”“Memangnya aku bukan keluargamu? Aku nggak menyuruhmu memilih. Kita pindah dan menengok ibumu sesering mungkin. Aku nggak masalah memasak banyak setiap hari dan membawakan ke rumah mereka.”Ada kegelisahan yang sangat dalam pada kedua mata lelaki itu. Ia tidak menjawab. Matanya sibuk menerawang. “Buka amplop yang satunya.” Tangan Mas Herman gemetar membuka amplop yang kecil. Ia terpaku diam ketika mengeluarkan alat test pack bergaris dua itu. “Ini ….”“Aku hamil,” lirihku. Biar bagaimanapun Mas Herman perlu tahu. Mata lelaki itu membulat bersama bibirnya yang terbuka. “Kamu hamil?!”Aku melirik ke sekitar dan merasa malu ketika orang-orang mulai memperhatikan kami. “Ibu pasti akan senang kalau dengar ini. Ayo kita pulang, Dek." Mas Herman sangat antusias, bangkit dari duduknya dan bersiap menarik tanganku. “Maaf, Mas. Sepertinya kamu salah paham.”“Apa?” Mulut

  • Enggan Punya Anak   29

    ‘Aku mau ketemu, Mas.’Pesan itu kukirimkan pada Mas Herman. Lima detik kemudian, pria itu menelepon. Namun, aku menghiraukan dan mengirimkan alamat di mana kami harus bertemu. Rasanya sia-sia saja mengganti nomor ponsel dan memblokir pria itu. Esoknya aku berangkat ke tempat perjanjian kami di kafe dekat kantor pria itu. Aku menunggu agak lama. Tidak begitu keberatan karena bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pintu kafe terbuka cukup keras. Aku melihat Mas Herman yang mengedarkan pandangan ke seluruh kafe lalu berlari ketika melihatku. Napasnya terengah-engah ketika sampai di mejaku. Aku melihat kegelisahan dari sorot matanya. Kemeja yang penuh keringat dan kancing yang dipasang asal-asalan. Rambutnya juga tidak serapi dulu. Lelaki ini cukup berantakan. “Kamu dari mana aja, Sayang? Mas kangen banget sama kamu.” Tangannya terulur seperti hendak memelukku. Namun, aku menepis. Membuang muka dan menunjuk kursi di hadapanku. “Duduk dulu, Mas.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status