Share

5

Aku tahu jika kuteruskan, itu hanya menjadi bumerang untukku. Mereka berdua akan semakin ganas menyalahkan dan mencari-cari celah untuk memojokkanku. Terlebih suara Mbak Yuli semakin kencang. Tetangga bisa mendengar. 

Aku memberikan waktu tiga detik untuk diriku menghela napas guna menenangkan diri. Tak ada habisnya jika terus meladeni mereka, meski api amarah sedang menggebu-gebu di hati. 

“Kalau gitu lain kali Mbak nggak usah minta aku jagain Fatur. Nanti bisa celaka lagi.” Aku melangkah hendak keluar. “Menjadi seorang ibu memang mulia, tapi bukan berarti kalian boleh merendahkan perempuan lain seenaknya.”

Aku keluar, meninggalkan ibu dan Mbak Yuli yang masih berkutat dengan napas ngos-ngosan gegara amarah. Samar-samar aku mendengar gerutuan Mbak Yuli saat aku meninggalkan pintu kamar itu. 

“Lihat mantumu itu, Buk. Kurang ajar banget! Bisa-bisanya Ibu bolehin dia tinggal di rumah ini.”

Aku mengembuskan napas berulang kali. Sejauh ini aku tak mengerti mengapa para wanita yang menyandang gelar ‘ibu’ itu selalu saja menghakimi wanita lain yang tidak punya gelar yang sama. 

Padahal semua orang punya pilihan yang berbeda. Keistimewaan yang mereka miliki sebagai seorang ibu justru membuatku muak. Dari merekalah aku belajar bahwa memiliki anak adalah pertempuran hingga akhir hayat. Peperangan melawan diri sendiri, menghadapi lingkungan, dan juga keadaan. Salah-salah si anak bisa menjadi korban ketidakmampuan seorang ibu untuk menjaga kewarasan. 

Aku tak ingin seperti itu. Tidak mau anakku kelak menjadi pelampiasan dari kekesalanku. Aku harus pandai mengatur emosi sebelum memutuskan memiliki anak, mesti berdamai dengan diri sendiri, serta membuat diriku bahagia terlebih dahulu.

Namun, rasa-rasanya jika terus berada di rumah ini, aku tak akan bisa membahagiakan diriku. Tiap hari sibuk dengan pekerjaan rumah dan menyaring semua nasihat serta penghakiman karena keputusanku yang enggan memiliki anak. 

Sorenya saat Mas Herman datang, aku mengeluhkan kejadian tadi siang sembari menggantung pakaian yang habis dia pakai, sebab besok mesti digunakan lagi. Kuseterika lagi sambil menyemprotkan pelicin dan pewangi. 

Mas Herman sudah selesai mandi ketika aku menceritakan bagaimana Mbak Yuli dan Ibu menyalahkanku habis-habisan. 

“Nggak usah dipeduliin kamarnya, Dek. Biar aja berantakan. Kan bukan kewajiban kamu. Dia mah emang gitu suka emosian, biasalah bawaan anak. Mungkin ibu-ibu yang anaknya masih kecil emosinya gampang naik.”

“Aku cuma bantuin, Mas. Nggak enak banget mataku liat hal-hal yang berantakan. Maunya dirapiin. Seenggaknya dia bilang terima kasih atau apa. Fatur juga nggak jatuh kok, malahan aku yang luka karena nangkap Fatur.” Kutunjuk lutut yang lecet, masih terasa perih hingga sekarang.

“Loh, kamu sampai luka, Dek?”

Aku mengangguk. Melihat Mas Herman berjongkok dan memeriksa lututku. 

“Memar ini, Dek. Aduh, lain kali ditolak aja. Kamu ‘kan udah capek ngerjain pekerjaan rumah.” Dia mengambil betadin di dalam laci meja lalu mengoleskannya ke lututku. 

Betapa beruntungnya aku memiliki suami yang pengertian seperti Mas Herman. Dialah alasanku tetap bertahan di rumah ini. 

“Nanti aku kasih tahu ke Mbak Yuli. Kalau perlu abis masak dan bersih-bersih kamu di kamar aja, nggak usah keluar.”

“Iya, Mas. Makasih, ya.”

Saat tiba waktu makan malam, kami berempat duduk melingkar di meja makan dengan lauk dan sayur yang kumasak. Suasananya tidak enak sebab masih ada jejak kemarahan karena insiden tadi siang. 

“Fatur udah tidur, Mbak?” tanya Mas Herman, meruntuhkan keheningan di meja makan itu. 

“Udah.” Mbak Yuli menjawab seadanya. Kali ini dia makan dengan tenang, tapi tetap saja berantakan. Nasi berhambur di sekitar piringnya. 

“Di ranjang tidurnya?”

“Hm?”

Mas Herman mengangguk-angguk, menghentikan kunyahannya dan menatap sang kakak dengan intens. “Nggak takut jatuh?”

“Nggak, udah biasa tidur begitu.”

“Oh gitu? Kalau gitu Mbak nggak perlu mempermasalahkan soal yang tadi siang, ‘kan? Fatur juga nggak jatuh. Lutut istriku sampai lecet nangkap dia. Farah udah bantu beresin kamarmu. Nggak perlu diperbesar juga. Kalau Mbak nggak mau berterima kasih, nggak usah disalahkan sampai sebegitunya.”

Mbak Yuli langsung melirikku tajam. “Jadi kamu ngadu ke suamimu, Far? Maksudmu apa sih begitu? Mau merusak hubungan persaudaraan kami? Masalah yang tadi ‘kan udah selesai. Walaupun nggak jatuh, anakku kaget jadi nangis kejer begitu. Aku sebagai ibu jadi paniklah.”

“Dia nggak ngadu, cuma curhat,” bela Mas Herman.

“Jadi istri jangan suka dikit-dikit ngadu ke suami. Masalah di antara perempuan diselesaikan sendiri. Suamimu udah capek kerja. Kalau pulang mau istirahat dengan tenang. Lagipula curhatanmu itu menjelek-jelekkan mertua dan ipar. Lain kali jangan begitu, ya.” Ibu Mertua menimpali.

Aku tidak habis pikir dengan dua kombo mertua dan iparku ini. Jika saja Mas Herman tidak memihak padaku, maka aku sudah pasti akan segera minggat dari sini. 

“Ibu juga jangan begitu. Farah ‘kan sudah membantu pekerjaan rumah. Masak, ngurus aku, bersih-bersih, semuanya dia yang kerjain, jadi tolong mengerti juga. Jadilah pihak yang netral, Bu. Jangan cuma berdiri di satu pihak aja.”

“Sudahlah, Buk. Anakmu itu nggak nganggap kita lagi! Yang paling baik cuma istrinya. Kita beban doang. Yang paling berjasa itu istrinya. Yang paling capek itu istrinya.”

Kulirik Mas Herman yang menghela napas pelan.

“Kalau gitu kita nggak usah makan masakan istrinya. Kan istrinya capek ngurus kita. Nanti beli di luar aja. Aku nggak sempat masak karena punya anak, nggak kayak istrinya yang bebas masak dan ngerjain apa pun.” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status