Aku tahu jika kuteruskan, itu hanya menjadi bumerang untukku. Mereka berdua akan semakin ganas menyalahkan dan mencari-cari celah untuk memojokkanku. Terlebih suara Mbak Yuli semakin kencang. Tetangga bisa mendengar.
Aku memberikan waktu tiga detik untuk diriku menghela napas guna menenangkan diri. Tak ada habisnya jika terus meladeni mereka, meski api amarah sedang menggebu-gebu di hati.
“Kalau gitu lain kali Mbak nggak usah minta aku jagain Fatur. Nanti bisa celaka lagi.” Aku melangkah hendak keluar. “Menjadi seorang ibu memang mulia, tapi bukan berarti kalian boleh merendahkan perempuan lain seenaknya.”
Aku keluar, meninggalkan ibu dan Mbak Yuli yang masih berkutat dengan napas ngos-ngosan gegara amarah. Samar-samar aku mendengar gerutuan Mbak Yuli saat aku meninggalkan pintu kamar itu.
“Lihat mantumu itu, Buk. Kurang ajar banget! Bisa-bisanya Ibu bolehin dia tinggal di rumah ini.”
Aku mengembuskan napas berulang kali. Sejauh ini aku tak mengerti mengapa para wanita yang menyandang gelar ‘ibu’ itu selalu saja menghakimi wanita lain yang tidak punya gelar yang sama.
Padahal semua orang punya pilihan yang berbeda. Keistimewaan yang mereka miliki sebagai seorang ibu justru membuatku muak. Dari merekalah aku belajar bahwa memiliki anak adalah pertempuran hingga akhir hayat. Peperangan melawan diri sendiri, menghadapi lingkungan, dan juga keadaan. Salah-salah si anak bisa menjadi korban ketidakmampuan seorang ibu untuk menjaga kewarasan.
Aku tak ingin seperti itu. Tidak mau anakku kelak menjadi pelampiasan dari kekesalanku. Aku harus pandai mengatur emosi sebelum memutuskan memiliki anak, mesti berdamai dengan diri sendiri, serta membuat diriku bahagia terlebih dahulu.
Namun, rasa-rasanya jika terus berada di rumah ini, aku tak akan bisa membahagiakan diriku. Tiap hari sibuk dengan pekerjaan rumah dan menyaring semua nasihat serta penghakiman karena keputusanku yang enggan memiliki anak.
Sorenya saat Mas Herman datang, aku mengeluhkan kejadian tadi siang sembari menggantung pakaian yang habis dia pakai, sebab besok mesti digunakan lagi. Kuseterika lagi sambil menyemprotkan pelicin dan pewangi.
Mas Herman sudah selesai mandi ketika aku menceritakan bagaimana Mbak Yuli dan Ibu menyalahkanku habis-habisan.
“Nggak usah dipeduliin kamarnya, Dek. Biar aja berantakan. Kan bukan kewajiban kamu. Dia mah emang gitu suka emosian, biasalah bawaan anak. Mungkin ibu-ibu yang anaknya masih kecil emosinya gampang naik.”
“Aku cuma bantuin, Mas. Nggak enak banget mataku liat hal-hal yang berantakan. Maunya dirapiin. Seenggaknya dia bilang terima kasih atau apa. Fatur juga nggak jatuh kok, malahan aku yang luka karena nangkap Fatur.” Kutunjuk lutut yang lecet, masih terasa perih hingga sekarang.
“Loh, kamu sampai luka, Dek?”
Aku mengangguk. Melihat Mas Herman berjongkok dan memeriksa lututku.
“Memar ini, Dek. Aduh, lain kali ditolak aja. Kamu ‘kan udah capek ngerjain pekerjaan rumah.” Dia mengambil betadin di dalam laci meja lalu mengoleskannya ke lututku.
Betapa beruntungnya aku memiliki suami yang pengertian seperti Mas Herman. Dialah alasanku tetap bertahan di rumah ini.
“Nanti aku kasih tahu ke Mbak Yuli. Kalau perlu abis masak dan bersih-bersih kamu di kamar aja, nggak usah keluar.”
“Iya, Mas. Makasih, ya.”
Saat tiba waktu makan malam, kami berempat duduk melingkar di meja makan dengan lauk dan sayur yang kumasak. Suasananya tidak enak sebab masih ada jejak kemarahan karena insiden tadi siang.
“Fatur udah tidur, Mbak?” tanya Mas Herman, meruntuhkan keheningan di meja makan itu.
“Udah.” Mbak Yuli menjawab seadanya. Kali ini dia makan dengan tenang, tapi tetap saja berantakan. Nasi berhambur di sekitar piringnya.
“Di ranjang tidurnya?”
“Hm?”
Mas Herman mengangguk-angguk, menghentikan kunyahannya dan menatap sang kakak dengan intens. “Nggak takut jatuh?”
“Nggak, udah biasa tidur begitu.”
“Oh gitu? Kalau gitu Mbak nggak perlu mempermasalahkan soal yang tadi siang, ‘kan? Fatur juga nggak jatuh. Lutut istriku sampai lecet nangkap dia. Farah udah bantu beresin kamarmu. Nggak perlu diperbesar juga. Kalau Mbak nggak mau berterima kasih, nggak usah disalahkan sampai sebegitunya.”
Mbak Yuli langsung melirikku tajam. “Jadi kamu ngadu ke suamimu, Far? Maksudmu apa sih begitu? Mau merusak hubungan persaudaraan kami? Masalah yang tadi ‘kan udah selesai. Walaupun nggak jatuh, anakku kaget jadi nangis kejer begitu. Aku sebagai ibu jadi paniklah.”
“Dia nggak ngadu, cuma curhat,” bela Mas Herman.
“Jadi istri jangan suka dikit-dikit ngadu ke suami. Masalah di antara perempuan diselesaikan sendiri. Suamimu udah capek kerja. Kalau pulang mau istirahat dengan tenang. Lagipula curhatanmu itu menjelek-jelekkan mertua dan ipar. Lain kali jangan begitu, ya.” Ibu Mertua menimpali.
Aku tidak habis pikir dengan dua kombo mertua dan iparku ini. Jika saja Mas Herman tidak memihak padaku, maka aku sudah pasti akan segera minggat dari sini.
“Ibu juga jangan begitu. Farah ‘kan sudah membantu pekerjaan rumah. Masak, ngurus aku, bersih-bersih, semuanya dia yang kerjain, jadi tolong mengerti juga. Jadilah pihak yang netral, Bu. Jangan cuma berdiri di satu pihak aja.”
“Sudahlah, Buk. Anakmu itu nggak nganggap kita lagi! Yang paling baik cuma istrinya. Kita beban doang. Yang paling berjasa itu istrinya. Yang paling capek itu istrinya.”
Kulirik Mas Herman yang menghela napas pelan.
“Kalau gitu kita nggak usah makan masakan istrinya. Kan istrinya capek ngurus kita. Nanti beli di luar aja. Aku nggak sempat masak karena punya anak, nggak kayak istrinya yang bebas masak dan ngerjain apa pun.”
“Udah, Mas. Nggak usah diingetin lagi. Malah nambah masalah. Dijelaskan pun mereka nggak bakal ngerti dan mengakui kesalahan mereka.”“Ya mau bagaimana lagi, Dek. Diabaikan aja kalau Mbak Yuli nyerang kamu lagi. Nggak usah ditanggepin.”Masalahnya wanita itu punya bekingan kuat, yaitu Ibu. Dia akan selalu dibela bagaimanapun keadaannya. Jika bukan Mas Herman yang memihakku, aku tidak akan bisa sabar menghadapi mereka. “Gimana kalau kita ngekos aja? Yang kecil juga masalah, asal hidup kita tenang.”Aku juga merasa sudah lelah terus memahami kondisi Ibu yang sudah tua dan penyakitan serta Mbak Yuli yang mesti mengurus anak hingga aku tak pernah protes mengenai semua pekerjaan rumah dan melayani mereka semua. Jika sapu dan piring bisa bicara, maka mereka akan menjerit bosan dipegang olehku. “Kamu tahu ‘kan, Dek? Kos-kosan di sini cukup mahal, belum lagi bayar lampu dan listriknya. Aku juga nggak tenang biarin Ibu hidup berdua aja dengan Mbak Yuli. Ibu sudah penyakitan. Kalau ada aku, s
Aku tidak keluar kamar lagi setelah mencuci bekas sarapanku dan Mas Herman. Tak mengerjakan apa pun kecuali tinggal di kamar dan bermain dengan ponselku. Menonton tutorial make up dan berbagai hal tentang riasan. Sebelum menikah dengan Mas Herman, aku bercita-cita menjadi seorang make up artist. Aku percaya jika suatu saat nanti aku bisa mewujudkannya. Namun, karena harus menikah dengan Mas Herman, aku menundanya atau bisa dibilang merelakan mimpiku itu. Entah bisa kuwujudkan atau tidak, karena banyak hal yang harus kufokusi setelah menikah. Itu adalah salah satu pengorbanan yang kulakukan, tapi tak ada orang yang mengakuinya. Mereka selalu saja fokus pada pilihanku yang enggan memiliki anak.Selama seharian aku hanya membersihkan kamar dan merapikan lemari serta debu-debu yang memenuhi perabotan kamar. Tak peduli dengan urusan di luar rumah. Biar saja mereka yang mengurusnya sendiri. Aku bukan pembantu. Selama dua tahun tinggal di rumah ini, aku selalu memaklumi kondisi Mbak Yuli
Aku sangat geram mendengarnya, terlebih ketika menatap wajah berjerawat yang menyebalkan itu. Sebenarnya siapa yang harus dicarikan pembantu? Merekalah yang tak bisa melakukan apa-apa tanpaku.Aku hendak membalas, tapi ada Mas Herman di sini. Aku masih menjunjung kesopanan terhadap suami. Tidak seperti biasanya Mas Herman yang selalu membelaku, kali ini memijat kening. “Sudahlah, Mbak. Nggak usah diperpanjang.”“Apanya yang nggak usah diperpanjang? Ibu ngeluh pinggangnya sakit. Ini semua gara-gara istrimu yang malas itu. Tahunya cuma dandan.”“Kenapa malah jadi salahku?” Aku menendang selimut yang sejak tadi menutupi kaki, lalu berdiri hendak membalas wanita itu. Namun, Mas Herman menghalangi. “Sudah, Dek. Aku pusing. Abis ini biar kuantar Ibu ke rumah sakit. Jangan berantem lagi.” Aku cukup kecewa sebab Mas Herman tak memberikan argumen untuk membelaku. Itu bukan salahku. “Itu memang jemuranku, Farah, tapi harusnya kamu mengerti aku lagi sibuk banget ngurusin anak. Mau kencing da
“Lihat istrimu, Herman. Tidak sekalipun dia tanya bagaimana kabarku dan kenapa aku bisa terjatuh. Seharian dia cuma tinggal di kamar. Mungkin dia pikir aku sangat sehat dan bisa melakukan semuanya sendirian.”Kugigit bibir sekuat mungkin sembari memasuki kamar. Betapa sesaknya dada ini. Setiap hari aku selalu berusaha maksimal untuk melayani mereka semua. Mengerjakan pekerjaan rumah tanpa mengeluh dan mengomel. Namun, malah ini yang kudapatkan. Sebenarnya di mana salahku? Apakah menunda untuk memiliki anak adalah dosa yang sangat besar? Karena itu mereka memperlakukanku secara tidak adil?Pintu kamar terbuka dan Mas Herman masuk sambil melepas jaket. Menghela napas berulang kali, tetapi tak menyapaku seperti biasanya. Ia melepas kaos kaki dan langsung mengambil handuk kemudian keluar kamar.Mas Herman benar-benar mengabaikanku. Entah sudah berapa banyak keburukanku yang dia dengar dari mulut Ibu selama mengantarnya ke rumah sakit. Kuputuskan memanaskan mie ayam yang belum tersentuh
Esoknya Mas Herman mendiamkanku. Ia menolak kusuapi dan berangkat ke kantor lebih pagi. Aku masih berada di dalam kamar, enggan keluar dan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang sudah seperti rutinitas bagiku itu. Aku hanya ke dapur untuk membuat teh buat kubawa ke kamar. Rencananya untuk santai dan menikmati waktu sendirian. Kulihat toples gula kosong. Keningku mengerut, melirik air yang kupanaskan di atas kompor. Kebetulan Ibu datang. Sebenarnya aku malas berbicara dengannya, tapi mau bagaimana lagi. “Gula habis, Bu?” tanyaku. “Iya,” jawab Ibu singkat. “Loh, kok habis? Kemarin pagi bukannya Ibu ke pasar, ya?” “Yo aku ndak beli gula.” Ibu memeriksa magicom lalu cuek bebek saat tidak mendapati nasi di dalamnya. “Kok nggak beli? Aku ‘kan udah setor biaya bulanan sama Ibu.” Aku berusaha berbicara dengan nada yang rendah, tak ingin dianggap pembangkang lagi. “Uangnya kubeliin emas. Malu sama yang lain kalau ke kondangan gak pake emas.” Allahu Akbar. Dadaku langsung terasa panas.
“Alhamdulillah kalau gitu ya, tapi kulihat-lihat kamu rada murung begitu. Ada masalah di rumah mertuamu?” Aku terdiam. Padahal aku tak menunjukkan wajah yang murung. Dari tadi aku tersenyum. Aku belum sempat menjawab ketika anak sulung Mbak Keke yang berusia empat tahun berlari dari dalam kamar sembari memegang mainan senapan yang besar dan disusul dengan adiknya yang baru berumur dua tahun. Pasti sangat repot mengurus kedua anak laki-laki itu setiap hari. Mereka juga sangat aktif. “Jangan lari-lari. Nanti Kakak sama Adek jatoh!” Sudah biasa bagiku mendengar suara keras Mbak Keke yang memperingati anaknya. “Suami Mbak shift pagi, ya?” Aku mengalihkan topik, malas membahas masalah di rumah. “Iya, aku juga gak ada job selama seminggu ini. Jadi, dia ambil shift pagi.” Suami Mbak Keke bekerja sebagai kasir supermarket besar yang jaraknya cukup jauh dari sini. Setiap hari suaminya mesti menempuh perjalanan berangkat dan pulang kira-kira tiga sampai empat jam.Mbak Keke adalah seorang
Aku mulai bekerja hari ini. Ada job di kampung sebelah. Pagi-pagi sekali aku berangkat setelah membangunkan Mas Herman. “Nasinya udah ada di meja, Mas. Pakaiannya juga udah aku siapkan. Maaf aku buru-buru.” Entah pria itu mendengarkan atau tidak, dia hanya bergumam asal sembari terduduk dan terkantuk-kantuk di atas ranjang. Aku bangun pukul tiga subuh dan membersihkan rumah, membereskan dapur sembari memasak dan mencuci. Pokoknya semua sudah beres. Aku langsung bergegas ke rumah Mbak Keke dan membantunya bersiap-siap. Ternyata akulah asisten yang datang paling awal. “Pagi bener kamu datangnya, Far. Lina yang rumahnya deket aja belum kelihatan batang hidungnya.” “Harus semangat di hari pertama kerja, Mbak. Sini biar aku aja yang siapin tas make up-nya.” Aku cukup terampil soal riasan. Dulu aku sekolah di SMK dengan jurusan tata rias. Impianku memang menjadi tukang rias. Kerjaan ini sempat kulakoni selama tiga tahun sebelum akhirnya menikah dengan Mas Herman. Meskipun memiliki e
Bulan ini banyak orang yang menikah. Mungkin karena sebentar lagi Ramadhan, jadi mereka buru-buru mengadakan resepsi. Alhasil, Mbak Keke full job sampai menyewa ART dadakan. Karena suaminya tidak sanggup bekerja semalaman penuh lalu harus menjaga anak dan membereskan rumah di siang hari selama sebulan penuh. Aku pun mesti ikut dengannya. Awalnya aku selalu menyiapkan makanan sebelum berangkat ke rumah Mbak Keke. Namun, karena intensitas pekerjaan yang semakin bertambah, aku sampai harus menginap di rumah Mbak Keke. Kadang juga tidak sempat mengerjakan pekerjaan rumah. Upah yang dihasilkan pun semakin besar. Kata Mbak keke aku bisa menjadi asisten tetapnya. “Mau langsung pulang, Far?” “Kan aku ke rumah Mbak dulu.”Setelah menginap selama dua malam di rumah pengantin wanita, kami akhirnya pulang juga. Mata sudah kuyu, rambut acak-acakan, baju terkena noda riasan di mana-mana dan badan yang selalu dibanjiri keringat. “Nggak usah. Kamu langsung pulang aja. Jarak dari sini ke rumahmu