“Udah, Mas. Nggak usah diingetin lagi. Malah nambah masalah. Dijelaskan pun mereka nggak bakal ngerti dan mengakui kesalahan mereka.”
“Ya mau bagaimana lagi, Dek. Diabaikan aja kalau Mbak Yuli nyerang kamu lagi. Nggak usah ditanggepin.”
Masalahnya wanita itu punya bekingan kuat, yaitu Ibu. Dia akan selalu dibela bagaimanapun keadaannya. Jika bukan Mas Herman yang memihakku, aku tidak akan bisa sabar menghadapi mereka.
“Gimana kalau kita ngekos aja? Yang kecil juga masalah, asal hidup kita tenang.”
Aku juga merasa sudah lelah terus memahami kondisi Ibu yang sudah tua dan penyakitan serta Mbak Yuli yang mesti mengurus anak hingga aku tak pernah protes mengenai semua pekerjaan rumah dan melayani mereka semua. Jika sapu dan piring bisa bicara, maka mereka akan menjerit bosan dipegang olehku.
“Kamu tahu ‘kan, Dek? Kos-kosan di sini cukup mahal, belum lagi bayar lampu dan listriknya. Aku juga nggak tenang biarin Ibu hidup berdua aja dengan Mbak Yuli. Ibu sudah penyakitan. Kalau ada aku, setidaknya aku bisa sigap kalau ada apa-apa. Saat ibu sakit pun, Mbak Yuli nggak bisa merawat Ibu karena punya Fatur.”
“Kita bakal sering nengokin Ibu, Mas. Kalau begini terus aku capek.”
“Sabar aja, Dek. Kan kamu sendiri yang bilang nggak mau punya anak sebelum finansial kita matang. Gimana mau nabung kalau ngekos?”
“Bukan cuma finansial yang perlu dimatangin, Mas. Mental dan pikiran juga. Nggak guna kita mapan, tapi hati dan jiwa terus tertekan.”
“Ya mau gimana lagi, Dek. Disabarin aja dulu. Nanti kalau Mbak Yuli nyalahin kamu lagi, biar Mas yang kasih tahu.”
Aku menahan decakan yang bersarang di ujung lidah. Itu bukanlah solusi yang kuinginkan. Alih-alih menyelesaikan masalah, ternyata adanya Mas Herman yang ikut campur malah membuatku semakin jelek di mata mereka. Masalah semakin merambat ke mana-mana.
Satu-satunya yang kuinginkan adalah pergi dari sini, tapi apa daya jika Mas Herman tetap bersikeras ingin tinggal.
Mas Herman kembali mengerjakan pekerjaannya, sementara aku bersiap untuk tidur, menyudahi sesi bicara kami yang sama sekali tidak membuahkan hasil.
Besoknya pagi-pagi sekali aku menggoreng nasi dengan porsi sedikit. Hanya cukup untukku dan Mas Herman. Aku masih sangat dongkol dengan perkara kemarin. Sepanjang malam aku berpikir bahwa tidak pantas mereka memperlakukan diriku seperti itu yang setiap hari mengerjakan pekerjaan rumah dan menyiapkan makanan untuk mereka.
Istirahat selama beberapa hari tidak akan menjadi masalah. Setelah membawa dua piring nasi goreng ke dalam kamar, aku bergegas mandi, sementara Mas Herman masih tidur karena begadang lagi.
Kebiasaanku memang mandi pagi sekali untuk mereset segala pikiran buruk yang kukumpulkan selama seharian penuh. Rasanya akan sangat segar selepas mandi. Itu membantuku menjalani hari dengan damai.
Namun, bayanganku tentang hari yang damai buyar ketika berpapasan dengan Mbak Yuli setelah keluar dari kamar selepas membangunkan Mas Herman.
“Kalau punya anak harus berkorban, korban badan sama penampilan. Ya begitulah hebatnya jadi seorang ibu. Nggak kayak orang lain, dari pagi aja udah dandan, lebih merhatiin penampilan ketimbang mau berkorban buat punya anak. Ya orang-orang emang beda, sih.”
Aku memutar bola mata saat wanita itu hengkang dari hadapanku. Memangnya apa salahku pada mereka? Apakah aku yang membuat para ibu itu menderita tersebab harus merawat anak? Apakah aku yang menghamili mereka semua?
Sebenarnya di mana salahku?
Pilihan kami hanya berbeda. Bahkan meskipun aku memilih untuk memiliki anak, bukan berarti aku bisa langsung punya anak. Itu juga tergantung dengan takdir kami masing-masing.
Kenapa aku yang selalu disalahkan dan dijatuhkan?
Mood-ku kembali turun. Rasa-rasanya mandi dan merapikan diri di pagi hari ini terasa sia-sia. Hanya gara-gara celetukan Mbak Yuli, aku merasa sangat kesal. Padahal aku tak pernah mengganggunya.
Sambil mengentakkan kaki, aku kembali ke dapur untuk mencuci semua peralatan masak yang tadi kupakai lalu menyeka sisa minyak di kompor. Setelahnya, aku kembali ke kamar dan melakukan tugas seperti biasanya. Menyiapkan pakaian Mas Herman dan merapikan penampilan lelaki itu sembari menyuapinya.
“Sini biar aku yang gantian menyuapi kamu.”
Mas Herman merebut piring dan sendok. Padahal biasanya ia bahkan tak punya waktu untuk mengunyah makanannya perlahan.
“Aku punya piring sendiri kok, Mas.”
“Nggak papa, biar rasa kesal kamu bisa sedikit terobati. Sesekali aku yang harus mengurus kamu ‘kan, Dek?”
Bibir ini tersenyum begitu saja. Dalam hati aku sangat bersyukur memiliki suami seperti Mas Herman. Mengingat dulu ada banyak pilihan calon suami yang datang padaku, tapi aku memilih pria ini.
Aku merasa pilihanku tepat, tapi menyayangkan keputusan Mas Herman untuk tetap tinggal di rumah ini. Yah, rumah tangga mana yang selalu lancar dan manis? Pasti selalu saja ada kerikil yang harus kami lewati.
“Kalau Mbak Yuli ngatain kamu lagi, diabaikan saja,” katanya sembari terus menyuapiku bergantian dengan dirinya sendiri.
Andai Mas Herman tahu, bukan hanya Mbak Yuli yang selalu mengataiku. Para tetangga dan ibu-ibu di perkampungan ini selalu punya kesempatan untuk membandingkanku dengan mereka yang notabene sudah berpengalaman merawat anak.
Sesampainya di ruangan mempelai pria, aku dihadapkan pada Mas Herman yang memamerkan sorot gelisahnya. Aku duduk di kursi, berdampingan dengannya. Sebab aku tahu pria itu tidak ingin didandani. “Apa kabar, Dek, maksudku Farah?” Aku mengangguk. “Baik. Hanif juga begitu. Sekarang dijaga oleh Emak dan Bapak.” Sejak kepulanganku ke rumah Emak, beberapa kali Mas Herman ingin berkunjung, apalagi setelah mendengar kabar aku sudah melahirkan. Namun, aku melarangnya dan hanya mengizinkan melihat anak kami lewat panggilan video atau telepon saja. “Aku nggak tahu kalau kamu yang jadi MUA-nya.” “Itu nggak penting, Mas. Ini pekerjaanku, aku harus profesional.” “Maaf. Aku nggak bermaksud–” “Nggak usah merasa bersalah. Meski merasa nggak nyaman, tapi aku tidak membencimu. Kamu tidak perlu khawatir.” “Dia rekan kerja. Setiap hari membantu pekerjaanku. Setelah kamu pergi, suatu hari Ibu melihatku berboncengan dengannya–aku cuma memberikan tumpangan seperti waktu itu–lalu berniat mendekatkan
Tiga tahun kemudian.“Kali ini kamu kerjanya di mana, Far?” Emak sedang duduk di kursi rotan sambil memangku putraku yang berumur dua tahun. Hanif namanya. Berkulit putih dengan tubuh yang sedang, tak kurus juga tidak gembul. Bagaimanapun keadaannya, aku tetap mencintainya.Sementara aku duduk di lantai sambil melipat pakaian. “Itu, keponakannya Pak Salim. Rumahnya agak jauh. Mesti tempuh dua jam perjalanan.”Pak Salim adalah ketua RT di kampung ini. Beliau khusus memintaku untuk jadi MUA di pernikahan keponakannya. “Oalah, keponakan yang selalu dia banggakan itu, ya? Yang katanya sarjana dan kerja kantoran?”“Iya, Mak. Katanya nikah sama teman sekantornya.”“Perjaka apa duda?”Aku menertawai kekepoan Emak. “Katanya duda.”“Oalah. Ndak papa itu, yang penting orangnya baik, keluarganya juga baik.” “Semoga aja, Mak.”Hanif tampak tenang dalam pangkuan Emak sambil memainkan kalung emas neneknya. “Nikah itu bukan cuma nikahin orangnya, tapi juga nikahin keluarganya. Kita juga mesti co
“Bapak ndak liat suamimu. Sendiri kamu, Nak?”Betapa berat mulutku terbuka untuk memberitahu mereka. Sementara Farel berjalan ke arah kami sambil membawa semua tasku. Bibirnya tersenyum ramah lalu menyalami Bapak dan Emak. “Ini siapa, Nak? Kok ndak datang sama suamimu? Masih bertengkar kalian? Dia ndak datang menjemputmu?”Farel melemparkan tatapan canggung padaku. “Anu, Pak. Bisa nggak bantuin Farel nurunin motorku? Aku mau masukin barang-barang.”“Ah, iya.” Kening Bapak mengerut bingung, tapi tetap menuruti permintaanku. Sementara Emak mengekor masuk dan membantu mengangkat tas besar milikku. Ia lalu berdiri diam dengan pandangan menerawang. “Barangmu banyak begini, ditambah dengan bawa motor, pulang bersama orang lain. Sepertinya masalah dengan suamimu memang sangat besar.”Aku menarik napas sebisaku. Melihat raut Emak yang tiba-tiba menjadi murung menambah rasa sesak di dadaku. “Nanti akan Farah ceritakan, Mak. Bisa nggak Farah ajak teman Farah masuk dulu minum teh? Dia pasti
Akhirnya aku menerima tawaran Farel. Duduk di sampingnya dan diam selama perjalanan. Kami menaiki mobil pick up. Karena Farel bersikeras ingin mengangkut motorku juga. “Sepertinya Mbak berniat menetap.”Aku hanya menoleh sekilas sekalian memberikan senyum tipis sebagai jawaban. “Aku nggak mau ikut campur. Mbak ada masalah dengan suaminya, ya?”Kali ini aku tetap menatap ke luar jendela. “Tahu dari mana kosku?” Lalu mengalihkan pembicaraan. “Dari Mbak Keke. Kebetulan ketemu dan sekalian tanya-tanya soal Mbak.”Lalu suasana di antara kami kembali disisipi keheningan. Tak ada pembicaraan lagi selama satu jam perjalanan. Farel menghentikan mobil dan masuk ke dalam minimarket. Kembali membawa sekantong camilan dan air mineral. “Minum dulu, Mbak.” Ia membukakan tutup botol lalu mengulurkannya padaku. Sembari meneguk air mineral, aku tahu Farel sedang menatapku. Sorotnya dipenuhi rasa penasaran. “Aku boleh tanya tentang suami Mbak?” Aku menutup kembali botol yang tersisa setengah itu.
“Mas nggak pernah menyangka kamu akan membuatku memilih antara istri atau keluarga. Keduanya sama-sama penting, Farah.”“Memangnya aku bukan keluargamu? Aku nggak menyuruhmu memilih. Kita pindah dan menengok ibumu sesering mungkin. Aku nggak masalah memasak banyak setiap hari dan membawakan ke rumah mereka.”Ada kegelisahan yang sangat dalam pada kedua mata lelaki itu. Ia tidak menjawab. Matanya sibuk menerawang. “Buka amplop yang satunya.” Tangan Mas Herman gemetar membuka amplop yang kecil. Ia terpaku diam ketika mengeluarkan alat test pack bergaris dua itu. “Ini ….”“Aku hamil,” lirihku. Biar bagaimanapun Mas Herman perlu tahu. Mata lelaki itu membulat bersama bibirnya yang terbuka. “Kamu hamil?!”Aku melirik ke sekitar dan merasa malu ketika orang-orang mulai memperhatikan kami. “Ibu pasti akan senang kalau dengar ini. Ayo kita pulang, Dek." Mas Herman sangat antusias, bangkit dari duduknya dan bersiap menarik tanganku. “Maaf, Mas. Sepertinya kamu salah paham.”“Apa?” Mulut
‘Aku mau ketemu, Mas.’Pesan itu kukirimkan pada Mas Herman. Lima detik kemudian, pria itu menelepon. Namun, aku menghiraukan dan mengirimkan alamat di mana kami harus bertemu. Rasanya sia-sia saja mengganti nomor ponsel dan memblokir pria itu. Esoknya aku berangkat ke tempat perjanjian kami di kafe dekat kantor pria itu. Aku menunggu agak lama. Tidak begitu keberatan karena bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pintu kafe terbuka cukup keras. Aku melihat Mas Herman yang mengedarkan pandangan ke seluruh kafe lalu berlari ketika melihatku. Napasnya terengah-engah ketika sampai di mejaku. Aku melihat kegelisahan dari sorot matanya. Kemeja yang penuh keringat dan kancing yang dipasang asal-asalan. Rambutnya juga tidak serapi dulu. Lelaki ini cukup berantakan. “Kamu dari mana aja, Sayang? Mas kangen banget sama kamu.” Tangannya terulur seperti hendak memelukku. Namun, aku menepis. Membuang muka dan menunjuk kursi di hadapanku. “Duduk dulu, Mas.”