Share

4

Penulis: Mustacis
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-21 13:32:16

Aku mengambil keranjang cucian yang tergeletak di tengah ruangan, lalu mulai membereskan semua pakaian yang berserakan di atas ranjang. Jika keadaan kamarnya begini, tentu saja si anak akan mudah sakit. 

Semua mainan kusatukan di dalam kardus lalu meletakkannya di samping lemari yang pintu-pintunya terbuka. Pakaian di dalam acak-acakan. Pintu lemari berdebu sampai ditempeli kotoran cicak yang sudah kering. 

Aku mengernyit. Menutup pintu lemari dengan kaki lalu kembali membereskan semua pakaian yang masih tersisa di lantai. Sementara di atas ranjang, Fatur mulai bosan dengan mainannya. Ia merangkak hendak turun dari ranjang. 

Posisiku sedang membereskan pakaian terakhir ketika sedikit lagi Fatur akan terjatuh dari ranjang. Aku membelalak. Dengan panik berlari ke arah anak itu. Aku terpaksa menjatuhkan diri ke lantai untuk menangkap Fatur. Untunglah aksi itu berhasil. Namun, lutut menjadi korbannya. 

Fatur menangis kencang. Ia meraung-raung sambil memberontak dalam peganganku sampai membuatku kewalahan menghadapinya. Belum sempat berdiri menggendongnya, Mbak Yuli datang dengan rambut yang basah. Masih ada sisa sabun di wajah wanita itu, sementara handukku dia pakai di badan. 

“Apa-apaan? Kenapa Fatur nangis kejer begitu?” Ia langsung merebut Fatur dariku. “Kamu apain?!”

Keningku mengerut. “Nggak aku apa-apain.”

“Terus kenapa dia menangis begini?!” Mbak Yuli mundur beberapa langkah menghindariku seolah aku bisa kapan saja mencelakai mereka. “Kamu jatuhin anakku, ‘kan?”

Tatapan penghakiman itu membuat jantungku memompa cepat. Aku tak suka mendengar nada suara bossy itu, ditambah posisiku yang sedang berlutut di samping ranjang. 

“Nggak sampai jatuh, aku berhasil nangkap, kok.”

“Sama aja, ‘kan?! Aku cuma minta kamu jagain anakku sebentar. Sepuluh menit aja kamu sudah hampir membunuh anakku!”

“Mana ada aku begitu?!” Kubalas pelototan kakak iparku itu. 

“Sudah salah malah marah! Bilang aja kamu nggak becus ngurus anak! Pantesan kamu nggak bisa punya anak sampai sekarang!” 

Aku menggigit bibir. Menahan semua sumpah serapah yang sudah bersarang di ujung lidah. Belum cukup sampai di situ, Ibu masuk dan bertanya apa yang terjadi. 

“Ini, Buk! Mantumu jatuhin anakku. Padahal aku cuma minta jagain Fatur sebentar karena aku mau mandi. Dia yang salah, dia juga yang nyolot!”

Layaknya seorang nenek yang sangat menyayangi cucunya, Ibu langsung memeriksa tubuh Fatur, menanyakan apa cucunya itu tidak terluka sedikit pun. Padahal akulah yang terluka di sini. Lututku sangat perih. 

“Masa cuma sebentar aja kamu nggak bisa jaga anak, Farah. Gimana kalau punya anak nanti? Bisa-bisa anakmu babak belur tiap hari gara-gara kamu jatuhin!”

Aku mencoba berdiri, sebab posisi sudah seperti penjahat yang sedang dihakimi massa. Aku meringis menahan perih di lutut. 

“Aku sudah bilang aku nggak jatuhin Fatur, Bu. Dia memang hampir jatuh, tapi aku berhasil nangkap. Dia nggak kenapa-kenapa.”

“Cucuku pasti kaget. Apanya yang nggak kenapa-napa?” 

Kutarik napas dalam-dalam. “Aku nggak sekadar jagain cucu Ibu. Kamar yang sangat berantakan ini sudah cukup rapi, ‘kan? Aku yang rapikan. Karena Fatur bisa semakin sakit jika terus berkeliaran di ruangan yang kotor dan bau seperti kamar ini.” Kutatap mereka dengan tegas. 

Bukan bermaksud menghakimi. Hanya saja di saat Fatur tertidur, apakah tak ada waktu sepuluh menit saja untuk membereskan kekacauan itu? Toh, semua pekerjaan rumah aku yang urus. Mbak Yuli tak sedikit pun pernah ikut campur soal pekerjaan dan kebersihan rumah ini. Masak pun juga tidak. Dia fokus mengurus anaknya saja, sebab suaminya juga bekerja di perantauan. 

“Oh, kamu nyinggung aku?! Perempuan yang nggak punya anak mana tahu rasanya ngurus anak selama 24 jam. Kamu yang cuma tahu dandan itu nggak bakal ngerti penderitaan jadi seorang ibu!” Kedua mata panda itu semakin beringas memelototiku. 

Selalu itu menjadi senjata orang-orang, agar aku memaklumi semua sikap buruk mereka. Sebab mereka adalah seorang ibu yang tidak punya waktu untuk sekadar memperhatikan diri, sangat menderita, berkorban seluruh jiwa dan raga, lalu menghakimiku seenaknya. 

Aku sangat muak. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Asih
pindah aja Farah.. sedih ih..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Enggan Punya Anak   34 (End)

    Sesampainya di ruangan mempelai pria, aku dihadapkan pada Mas Herman yang memamerkan sorot gelisahnya. Aku duduk di kursi, berdampingan dengannya. Sebab aku tahu pria itu tidak ingin didandani. “Apa kabar, Dek, maksudku Farah?” Aku mengangguk. “Baik. Hanif juga begitu. Sekarang dijaga oleh Emak dan Bapak.” Sejak kepulanganku ke rumah Emak, beberapa kali Mas Herman ingin berkunjung, apalagi setelah mendengar kabar aku sudah melahirkan. Namun, aku melarangnya dan hanya mengizinkan melihat anak kami lewat panggilan video atau telepon saja. “Aku nggak tahu kalau kamu yang jadi MUA-nya.” “Itu nggak penting, Mas. Ini pekerjaanku, aku harus profesional.” “Maaf. Aku nggak bermaksud–” “Nggak usah merasa bersalah. Meski merasa nggak nyaman, tapi aku tidak membencimu. Kamu tidak perlu khawatir.” “Dia rekan kerja. Setiap hari membantu pekerjaanku. Setelah kamu pergi, suatu hari Ibu melihatku berboncengan dengannya–aku cuma memberikan tumpangan seperti waktu itu–lalu berniat mendekatkan

  • Enggan Punya Anak   33

    Tiga tahun kemudian.“Kali ini kamu kerjanya di mana, Far?” Emak sedang duduk di kursi rotan sambil memangku putraku yang berumur dua tahun. Hanif namanya. Berkulit putih dengan tubuh yang sedang, tak kurus juga tidak gembul. Bagaimanapun keadaannya, aku tetap mencintainya.Sementara aku duduk di lantai sambil melipat pakaian. “Itu, keponakannya Pak Salim. Rumahnya agak jauh. Mesti tempuh dua jam perjalanan.”Pak Salim adalah ketua RT di kampung ini. Beliau khusus memintaku untuk jadi MUA di pernikahan keponakannya. “Oalah, keponakan yang selalu dia banggakan itu, ya? Yang katanya sarjana dan kerja kantoran?”“Iya, Mak. Katanya nikah sama teman sekantornya.”“Perjaka apa duda?”Aku menertawai kekepoan Emak. “Katanya duda.”“Oalah. Ndak papa itu, yang penting orangnya baik, keluarganya juga baik.” “Semoga aja, Mak.”Hanif tampak tenang dalam pangkuan Emak sambil memainkan kalung emas neneknya. “Nikah itu bukan cuma nikahin orangnya, tapi juga nikahin keluarganya. Kita juga mesti co

  • Enggan Punya Anak   32

    “Bapak ndak liat suamimu. Sendiri kamu, Nak?”Betapa berat mulutku terbuka untuk memberitahu mereka. Sementara Farel berjalan ke arah kami sambil membawa semua tasku. Bibirnya tersenyum ramah lalu menyalami Bapak dan Emak. “Ini siapa, Nak? Kok ndak datang sama suamimu? Masih bertengkar kalian? Dia ndak datang menjemputmu?”Farel melemparkan tatapan canggung padaku. “Anu, Pak. Bisa nggak bantuin Farel nurunin motorku? Aku mau masukin barang-barang.”“Ah, iya.” Kening Bapak mengerut bingung, tapi tetap menuruti permintaanku. Sementara Emak mengekor masuk dan membantu mengangkat tas besar milikku. Ia lalu berdiri diam dengan pandangan menerawang. “Barangmu banyak begini, ditambah dengan bawa motor, pulang bersama orang lain. Sepertinya masalah dengan suamimu memang sangat besar.”Aku menarik napas sebisaku. Melihat raut Emak yang tiba-tiba menjadi murung menambah rasa sesak di dadaku. “Nanti akan Farah ceritakan, Mak. Bisa nggak Farah ajak teman Farah masuk dulu minum teh? Dia pasti

  • Enggan Punya Anak   31

    Akhirnya aku menerima tawaran Farel. Duduk di sampingnya dan diam selama perjalanan. Kami menaiki mobil pick up. Karena Farel bersikeras ingin mengangkut motorku juga. “Sepertinya Mbak berniat menetap.”Aku hanya menoleh sekilas sekalian memberikan senyum tipis sebagai jawaban. “Aku nggak mau ikut campur. Mbak ada masalah dengan suaminya, ya?”Kali ini aku tetap menatap ke luar jendela. “Tahu dari mana kosku?” Lalu mengalihkan pembicaraan. “Dari Mbak Keke. Kebetulan ketemu dan sekalian tanya-tanya soal Mbak.”Lalu suasana di antara kami kembali disisipi keheningan. Tak ada pembicaraan lagi selama satu jam perjalanan. Farel menghentikan mobil dan masuk ke dalam minimarket. Kembali membawa sekantong camilan dan air mineral. “Minum dulu, Mbak.” Ia membukakan tutup botol lalu mengulurkannya padaku. Sembari meneguk air mineral, aku tahu Farel sedang menatapku. Sorotnya dipenuhi rasa penasaran. “Aku boleh tanya tentang suami Mbak?” Aku menutup kembali botol yang tersisa setengah itu.

  • Enggan Punya Anak   30

    “Mas nggak pernah menyangka kamu akan membuatku memilih antara istri atau keluarga. Keduanya sama-sama penting, Farah.”“Memangnya aku bukan keluargamu? Aku nggak menyuruhmu memilih. Kita pindah dan menengok ibumu sesering mungkin. Aku nggak masalah memasak banyak setiap hari dan membawakan ke rumah mereka.”Ada kegelisahan yang sangat dalam pada kedua mata lelaki itu. Ia tidak menjawab. Matanya sibuk menerawang. “Buka amplop yang satunya.” Tangan Mas Herman gemetar membuka amplop yang kecil. Ia terpaku diam ketika mengeluarkan alat test pack bergaris dua itu. “Ini ….”“Aku hamil,” lirihku. Biar bagaimanapun Mas Herman perlu tahu. Mata lelaki itu membulat bersama bibirnya yang terbuka. “Kamu hamil?!”Aku melirik ke sekitar dan merasa malu ketika orang-orang mulai memperhatikan kami. “Ibu pasti akan senang kalau dengar ini. Ayo kita pulang, Dek." Mas Herman sangat antusias, bangkit dari duduknya dan bersiap menarik tanganku. “Maaf, Mas. Sepertinya kamu salah paham.”“Apa?” Mulut

  • Enggan Punya Anak   29

    ‘Aku mau ketemu, Mas.’Pesan itu kukirimkan pada Mas Herman. Lima detik kemudian, pria itu menelepon. Namun, aku menghiraukan dan mengirimkan alamat di mana kami harus bertemu. Rasanya sia-sia saja mengganti nomor ponsel dan memblokir pria itu. Esoknya aku berangkat ke tempat perjanjian kami di kafe dekat kantor pria itu. Aku menunggu agak lama. Tidak begitu keberatan karena bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pintu kafe terbuka cukup keras. Aku melihat Mas Herman yang mengedarkan pandangan ke seluruh kafe lalu berlari ketika melihatku. Napasnya terengah-engah ketika sampai di mejaku. Aku melihat kegelisahan dari sorot matanya. Kemeja yang penuh keringat dan kancing yang dipasang asal-asalan. Rambutnya juga tidak serapi dulu. Lelaki ini cukup berantakan. “Kamu dari mana aja, Sayang? Mas kangen banget sama kamu.” Tangannya terulur seperti hendak memelukku. Namun, aku menepis. Membuang muka dan menunjuk kursi di hadapanku. “Duduk dulu, Mas.”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status