Semua mainan kusatukan di dalam kardus lalu meletakkannya di samping lemari yang pintu-pintunya terbuka. Pakaian di dalam acak-acakan. Pintu lemari berdebu sampai ditempeli kotoran cicak yang sudah kering.
Aku mengernyit. Menutup pintu lemari dengan kaki lalu kembali membereskan semua pakaian yang masih tersisa di lantai. Sementara di atas ranjang, Fatur mulai bosan dengan mainannya. Ia merangkak hendak turun dari ranjang.
Posisiku sedang membereskan pakaian terakhir ketika sedikit lagi Fatur akan terjatuh dari ranjang. Aku membelalak. Dengan panik berlari ke arah anak itu. Aku terpaksa menjatuhkan diri ke lantai untuk menangkap Fatur. Untunglah aksi itu berhasil. Namun, lutut menjadi korbannya.
Fatur menangis kencang. Ia meraung-raung sambil memberontak dalam peganganku sampai membuatku kewalahan menghadapinya. Belum sempat berdiri menggendongnya, Mbak Yuli datang dengan rambut yang basah. Masih ada sisa sabun di wajah wanita itu, sementara handukku dia pakai di badan.
“Apa-apaan? Kenapa Fatur nangis kejer begitu?” Ia langsung merebut Fatur dariku. “Kamu apain?!”
Keningku mengerut. “Nggak aku apa-apain.”
“Terus kenapa dia menangis begini?!” Mbak Yuli mundur beberapa langkah menghindariku seolah aku bisa kapan saja mencelakai mereka. “Kamu jatuhin anakku, ‘kan?”
Tatapan penghakiman itu membuat jantungku memompa cepat. Aku tak suka mendengar nada suara bossy itu, ditambah posisiku yang sedang berlutut di samping ranjang.
“Nggak sampai jatuh, aku berhasil nangkap, kok.”“Sama aja, ‘kan?! Aku cuma minta kamu jagain anakku sebentar. Sepuluh menit aja kamu sudah hampir membunuh anakku!”
“Mana ada aku begitu?!” Kubalas pelototan kakak iparku itu.
“Sudah salah malah marah! Bilang aja kamu nggak becus ngurus anak! Pantesan kamu nggak bisa punya anak sampai sekarang!”
Aku menggigit bibir. Menahan semua sumpah serapah yang sudah bersarang di ujung lidah. Belum cukup sampai di situ, Ibu masuk dan bertanya apa yang terjadi.
“Ini, Buk! Mantumu jatuhin anakku. Padahal aku cuma minta jagain Fatur sebentar karena aku mau mandi. Dia yang salah, dia juga yang nyolot!”
Layaknya seorang nenek yang sangat menyayangi cucunya, Ibu langsung memeriksa tubuh Fatur, menanyakan apa cucunya itu tidak terluka sedikit pun. Padahal akulah yang terluka di sini. Lututku sangat perih.
“Masa cuma sebentar aja kamu nggak bisa jaga anak, Farah. Gimana kalau punya anak nanti? Bisa-bisa anakmu babak belur tiap hari gara-gara kamu jatuhin!”
Aku mencoba berdiri, sebab posisi sudah seperti penjahat yang sedang dihakimi massa. Aku meringis menahan perih di lutut.
“Aku sudah bilang aku nggak jatuhin Fatur, Bu. Dia memang hampir jatuh, tapi aku berhasil nangkap. Dia nggak kenapa-kenapa.”
“Cucuku pasti kaget. Apanya yang nggak kenapa-napa?”
Kutarik napas dalam-dalam. “Aku nggak sekadar jagain cucu Ibu. Kamar yang sangat berantakan ini sudah cukup rapi, ‘kan? Aku yang rapikan. Karena Fatur bisa semakin sakit jika terus berkeliaran di ruangan yang kotor dan bau seperti kamar ini.” Kutatap mereka dengan tegas.
Bukan bermaksud menghakimi. Hanya saja di saat Fatur tertidur, apakah tak ada waktu sepuluh menit saja untuk membereskan kekacauan itu? Toh, semua pekerjaan rumah aku yang urus. Mbak Yuli tak sedikit pun pernah ikut campur soal pekerjaan dan kebersihan rumah ini. Masak pun juga tidak. Dia fokus mengurus anaknya saja, sebab suaminya juga bekerja di perantauan.
“Oh, kamu nyinggung aku?! Perempuan yang nggak punya anak mana tahu rasanya ngurus anak selama 24 jam. Kamu yang cuma tahu dandan itu nggak bakal ngerti penderitaan jadi seorang ibu!” Kedua mata panda itu semakin beringas memelototiku.
Selalu itu menjadi senjata orang-orang, agar aku memaklumi semua sikap buruk mereka. Sebab mereka adalah seorang ibu yang tidak punya waktu untuk sekadar memperhatikan diri, sangat menderita, berkorban seluruh jiwa dan raga, lalu menghakimiku seenaknya.
Aku sangat muak.
Aku tahu jika kuteruskan, itu hanya menjadi bumerang untukku. Mereka berdua akan semakin ganas menyalahkan dan mencari-cari celah untuk memojokkanku. Terlebih suara Mbak Yuli semakin kencang. Tetangga bisa mendengar. Aku memberikan waktu tiga detik untuk diriku menghela napas guna menenangkan diri. Tak ada habisnya jika terus meladeni mereka, meski api amarah sedang menggebu-gebu di hati. “Kalau gitu lain kali Mbak nggak usah minta aku jagain Fatur. Nanti bisa celaka lagi.” Aku melangkah hendak keluar. “Menjadi seorang ibu memang mulia, tapi bukan berarti kalian boleh merendahkan perempuan lain seenaknya.”Aku keluar, meninggalkan ibu dan Mbak Yuli yang masih berkutat dengan napas ngos-ngosan gegara amarah. Samar-samar aku mendengar gerutuan Mbak Yuli saat aku meninggalkan pintu kamar itu. “Lihat mantumu itu, Buk. Kurang ajar banget! Bisa-bisanya Ibu bolehin dia tinggal di rumah ini.”Aku mengembuskan napas berulang kali. Sejauh ini aku tak mengerti mengapa para wanita yang menyand
“Udah, Mas. Nggak usah diingetin lagi. Malah nambah masalah. Dijelaskan pun mereka nggak bakal ngerti dan mengakui kesalahan mereka.”“Ya mau bagaimana lagi, Dek. Diabaikan aja kalau Mbak Yuli nyerang kamu lagi. Nggak usah ditanggepin.”Masalahnya wanita itu punya bekingan kuat, yaitu Ibu. Dia akan selalu dibela bagaimanapun keadaannya. Jika bukan Mas Herman yang memihakku, aku tidak akan bisa sabar menghadapi mereka. “Gimana kalau kita ngekos aja? Yang kecil juga masalah, asal hidup kita tenang.”Aku juga merasa sudah lelah terus memahami kondisi Ibu yang sudah tua dan penyakitan serta Mbak Yuli yang mesti mengurus anak hingga aku tak pernah protes mengenai semua pekerjaan rumah dan melayani mereka semua. Jika sapu dan piring bisa bicara, maka mereka akan menjerit bosan dipegang olehku. “Kamu tahu ‘kan, Dek? Kos-kosan di sini cukup mahal, belum lagi bayar lampu dan listriknya. Aku juga nggak tenang biarin Ibu hidup berdua aja dengan Mbak Yuli. Ibu sudah penyakitan. Kalau ada aku, s
Aku tidak keluar kamar lagi setelah mencuci bekas sarapanku dan Mas Herman. Tak mengerjakan apa pun kecuali tinggal di kamar dan bermain dengan ponselku. Menonton tutorial make up dan berbagai hal tentang riasan. Sebelum menikah dengan Mas Herman, aku bercita-cita menjadi seorang make up artist. Aku percaya jika suatu saat nanti aku bisa mewujudkannya. Namun, karena harus menikah dengan Mas Herman, aku menundanya atau bisa dibilang merelakan mimpiku itu. Entah bisa kuwujudkan atau tidak, karena banyak hal yang harus kufokusi setelah menikah. Itu adalah salah satu pengorbanan yang kulakukan, tapi tak ada orang yang mengakuinya. Mereka selalu saja fokus pada pilihanku yang enggan memiliki anak.Selama seharian aku hanya membersihkan kamar dan merapikan lemari serta debu-debu yang memenuhi perabotan kamar. Tak peduli dengan urusan di luar rumah. Biar saja mereka yang mengurusnya sendiri. Aku bukan pembantu. Selama dua tahun tinggal di rumah ini, aku selalu memaklumi kondisi Mbak Yuli
Aku sangat geram mendengarnya, terlebih ketika menatap wajah berjerawat yang menyebalkan itu. Sebenarnya siapa yang harus dicarikan pembantu? Merekalah yang tak bisa melakukan apa-apa tanpaku.Aku hendak membalas, tapi ada Mas Herman di sini. Aku masih menjunjung kesopanan terhadap suami. Tidak seperti biasanya Mas Herman yang selalu membelaku, kali ini memijat kening. “Sudahlah, Mbak. Nggak usah diperpanjang.”“Apanya yang nggak usah diperpanjang? Ibu ngeluh pinggangnya sakit. Ini semua gara-gara istrimu yang malas itu. Tahunya cuma dandan.”“Kenapa malah jadi salahku?” Aku menendang selimut yang sejak tadi menutupi kaki, lalu berdiri hendak membalas wanita itu. Namun, Mas Herman menghalangi. “Sudah, Dek. Aku pusing. Abis ini biar kuantar Ibu ke rumah sakit. Jangan berantem lagi.” Aku cukup kecewa sebab Mas Herman tak memberikan argumen untuk membelaku. Itu bukan salahku. “Itu memang jemuranku, Farah, tapi harusnya kamu mengerti aku lagi sibuk banget ngurusin anak. Mau kencing da
“Lihat istrimu, Herman. Tidak sekalipun dia tanya bagaimana kabarku dan kenapa aku bisa terjatuh. Seharian dia cuma tinggal di kamar. Mungkin dia pikir aku sangat sehat dan bisa melakukan semuanya sendirian.”Kugigit bibir sekuat mungkin sembari memasuki kamar. Betapa sesaknya dada ini. Setiap hari aku selalu berusaha maksimal untuk melayani mereka semua. Mengerjakan pekerjaan rumah tanpa mengeluh dan mengomel. Namun, malah ini yang kudapatkan. Sebenarnya di mana salahku? Apakah menunda untuk memiliki anak adalah dosa yang sangat besar? Karena itu mereka memperlakukanku secara tidak adil?Pintu kamar terbuka dan Mas Herman masuk sambil melepas jaket. Menghela napas berulang kali, tetapi tak menyapaku seperti biasanya. Ia melepas kaos kaki dan langsung mengambil handuk kemudian keluar kamar.Mas Herman benar-benar mengabaikanku. Entah sudah berapa banyak keburukanku yang dia dengar dari mulut Ibu selama mengantarnya ke rumah sakit. Kuputuskan memanaskan mie ayam yang belum tersentuh
Esoknya Mas Herman mendiamkanku. Ia menolak kusuapi dan berangkat ke kantor lebih pagi. Aku masih berada di dalam kamar, enggan keluar dan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang sudah seperti rutinitas bagiku itu. Aku hanya ke dapur untuk membuat teh buat kubawa ke kamar. Rencananya untuk santai dan menikmati waktu sendirian. Kulihat toples gula kosong. Keningku mengerut, melirik air yang kupanaskan di atas kompor. Kebetulan Ibu datang. Sebenarnya aku malas berbicara dengannya, tapi mau bagaimana lagi. “Gula habis, Bu?” tanyaku. “Iya,” jawab Ibu singkat. “Loh, kok habis? Kemarin pagi bukannya Ibu ke pasar, ya?” “Yo aku ndak beli gula.” Ibu memeriksa magicom lalu cuek bebek saat tidak mendapati nasi di dalamnya. “Kok nggak beli? Aku ‘kan udah setor biaya bulanan sama Ibu.” Aku berusaha berbicara dengan nada yang rendah, tak ingin dianggap pembangkang lagi. “Uangnya kubeliin emas. Malu sama yang lain kalau ke kondangan gak pake emas.” Allahu Akbar. Dadaku langsung terasa panas.
“Alhamdulillah kalau gitu ya, tapi kulihat-lihat kamu rada murung begitu. Ada masalah di rumah mertuamu?” Aku terdiam. Padahal aku tak menunjukkan wajah yang murung. Dari tadi aku tersenyum. Aku belum sempat menjawab ketika anak sulung Mbak Keke yang berusia empat tahun berlari dari dalam kamar sembari memegang mainan senapan yang besar dan disusul dengan adiknya yang baru berumur dua tahun. Pasti sangat repot mengurus kedua anak laki-laki itu setiap hari. Mereka juga sangat aktif. “Jangan lari-lari. Nanti Kakak sama Adek jatoh!” Sudah biasa bagiku mendengar suara keras Mbak Keke yang memperingati anaknya. “Suami Mbak shift pagi, ya?” Aku mengalihkan topik, malas membahas masalah di rumah. “Iya, aku juga gak ada job selama seminggu ini. Jadi, dia ambil shift pagi.” Suami Mbak Keke bekerja sebagai kasir supermarket besar yang jaraknya cukup jauh dari sini. Setiap hari suaminya mesti menempuh perjalanan berangkat dan pulang kira-kira tiga sampai empat jam.Mbak Keke adalah seorang
Aku mulai bekerja hari ini. Ada job di kampung sebelah. Pagi-pagi sekali aku berangkat setelah membangunkan Mas Herman. “Nasinya udah ada di meja, Mas. Pakaiannya juga udah aku siapkan. Maaf aku buru-buru.” Entah pria itu mendengarkan atau tidak, dia hanya bergumam asal sembari terduduk dan terkantuk-kantuk di atas ranjang. Aku bangun pukul tiga subuh dan membersihkan rumah, membereskan dapur sembari memasak dan mencuci. Pokoknya semua sudah beres. Aku langsung bergegas ke rumah Mbak Keke dan membantunya bersiap-siap. Ternyata akulah asisten yang datang paling awal. “Pagi bener kamu datangnya, Far. Lina yang rumahnya deket aja belum kelihatan batang hidungnya.” “Harus semangat di hari pertama kerja, Mbak. Sini biar aku aja yang siapin tas make up-nya.” Aku cukup terampil soal riasan. Dulu aku sekolah di SMK dengan jurusan tata rias. Impianku memang menjadi tukang rias. Kerjaan ini sempat kulakoni selama tiga tahun sebelum akhirnya menikah dengan Mas Herman. Meskipun memiliki e