"Look, Mi amor, I don't know what goes on in that crazy head of yours but what I do know is that we can both help each other," Nikolai said, running a hand across my cheek. "How?" I breathed. "Marry me." ****** After the death of her mother, Sarah DeVille has been encountering one problem after the other. From the taunting of the pack members to her fiance's betrayal, Sarah has finally had enough. When she decides to leave the pack for good, she is suddenly hit with news that would change her forever. "Nikolai Mezzeselma has arrived."
Lihat lebih banyakRombongan Pengantin dari Alam Gaib
"Kenapa seserahannya harus malem, Neng?" tanya perias pengantin pada Nilam, gadis yang akan menikah hari ini. Gadis berumur 20 tahun itu sudah sangat cantik, menggunakan singer Sunda serta kebaya putih. Ronceng melati di sebelah kanan tergerai ke depan menutupi brokat sederhana, di mana baju itu warisan dari ibunya."Gak tahu, Teh. Permintaan dari keluarga A Aris. Lagipula, cuma ijab qabul, pestanya mah belakangan kalau urusan Aa di kota sudah selesai," jawab Nilam sambil terus mengulum senyum. Tidak masalah untuk Nilam menikah tanpa pesta, toh lebih cepat tentu lebih baik."Denger-denger teh, harusnya minggu depan, kan, ya, Neng Nilam nikahnya?""Iya, Teh. Cuma A Aris minta tanggal dimajukan. Beliau ada kerjaan di luar kota, jadi kalau udah nikah, Nilam bisa diajak juga. Ada yang ngurus Aa di sana." Wajah Nilam mulai memerah, ia tersipu malu membayangkan betapa indahnya mahligai rumah tangga yang akan dijalani bersama pria yang ia cintai.Teh Rita, wanita yang ditunjuk untuk jadi juru rias malam ini sibuk memasang jepit pada sanggul, tetapi sudah tiga kali jepit hitam yang lumayan tebal itu selalu saja patah. Dari beberapa pengalaman, kelancaran proses pernikahan tergantung pada proses riasnya. Meski hanya mitos, kadang selalu benar adanya."Bukannya pamali, ya, ngeganti waktu yang sudah ditentukan, Neng? Apalagi tanggal baiknya udah dihitung." Teh Rita mengajak Nilam untuk mengobrol kembali, meski tangannya masih aktif memperbaiki tatanan rambut."Ah, orang tua Nilam mah gak terpatok sama begituan, Teh. Semua waktu juga dianggap baik. Ibu udah pengen Nilam nikah, katanya keburu beliau tua." Sang pengantin terkekeh. Padahal, sudah ada dua kakaknya yang menikah, tetapi Bu Rosidah ingin segera melihat Nilam bersanding di pelaminan.Berjam-jam mereka mengobrol sembari melakukan kegiatan merias. Beberapa kali juga Teh Rita selalu mendapatkan keanehan. Bibir yang sudah merah merona, bisa kembali pucat. Ia harus memolesnya kembali dengan alasan agar terlihat lebih mencolok. Wanita itu tidak menerangkan apa yang ia alami, takut malah merusak mood pengantin yang sedang bagus.Bukan hanya itu, kebaya yang akan dipakai nilam tercium bau bunga-bungaan. Padahal, Nilam mengaku belum menyemprotkan parfume. Kebaya disimpan puluhan tahun, biasanya akan bau lemari atau kamper, mustahil sampai wangi seperti ini. Hal itu tidak Nilam pusingkan, ia berpikir detergen yang dipakai mencuci mungkin punya bau yang menyengat.Nilam melirik jam di dinding, di mana waktu sudah menunjukan pukul 22.00, sedangkan rombongan pihak pria belum juga datang. Tatanan rias yang dilakukan setelah Magrib, baru selesai di jam itu. Nilam sedikit tenang, setidaknya jika calon suaminya datang, ia sudah dalam keadaan cantik."Alhamdulillah sudah selesai. Sudah geulis (cantik). Tinggal nunggu kedatangan calon suaminya, Neng. Teteh jadi ikut degdegan." Teh Rita mencoba mencairkan suasana karena wajah Nilam terlihat sangat tegang.Si pengantin wanita tersenyum. Sebenarnya ia ingin melihat secantik apa riasannya, hanya saja adat di kampung melarang wanita berkaca sebelum sah jadi istri. Mitosnya, cahaya sebagai pengantin hilang. Tidak manglingi.Sementara itu di luar, Darsan dan Hasim yang bertugas menunggu rombongan pengantin di pinggir jalan terlihat kebingungan saat dari kegelapan terlihat rombongan membawa seserahan tengah berjalan kaki mendekati mereka. Keduanya saling melirik, Hasim sampai bertanya, "Kok, gak pake mobil, ya?""Iya, ya. Mungkin di parkir di jalan utama," jawab Darsan asal, meski tetap saja membingungkan karena dari jalan utama ke desa lumayan jauh, harus melewati perkebunan sayuran dan beberapa lahan kosong. Kawasan Desa Wangunsari memang bukan wilayah yang padat penduduk, malah masih dikelilingi area hutan bambu serta sungai di sebelah utara."Padahal mobil juga masuk ke sini." Hasim menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ah sudahlah, penting cepet selesai. Udah malem. Kang, bilang ke pihak wanita kalo rombongan teh udah datang. Biar aku yang nyambut mereka."Hasim hanya mengangguk. Cepat-cepat ia pergi untuk memberi kabar baik ini. Darsan langsung merapikan batiknya. Dari sorot sinar rembulan dan penerangan lampu bohlam yang sengaja dipasang di sekitar jalan, terlihat wajah-wajah datar mereka. Ada sekitar 10 orang, tetapi entah mengapa suasana begitu hening tanpa ada sepatah kata pun.Darsan langsung mengajak mereka bersalaman. Bisa pria itu rasakan sentuhan sedingin es dari tangan-tangan para tamu. Ia pun bertanya pada pria yang terlihat lumayan tua untuk memecah kesunyian, "Mobilnya disimpan di mana, Pak?" "Di sana," jawab pria itu sambil menunjuk jalanan yang gelap. Darsan hanya meng-oh-kan, lantas mempersilakan rombongan untuk memasuki rumah Nilam yang masih memiliki halaman dengan tanah kosong lumayan luas, terdapat satu pohon mangga di sana.***"Neng, sudah selesai? Rombongan sudah datang," ucap Bu Rosidah di balik pintu. Matanya bebinar melihat anak bungsunya sudah sangat cantik, ditambah bau bunga-bungaan begitu semerbak, membuat wanita berkebaya cokelat itu memuji Teh Rita dan mengucapkan banyak terima kasih.Sebelum membawa Nilam keluar, Bu Rosidah memeluk putrinya begitu erat. Tak terasa air matanya tiba-tiba menetes, seolah akan ada perpisahan di antara mereka. Apalagi Nilam bilang, besok pagi akan langsung ikut bersama suaminya karena 2 hari lagi, Aris resmi dinas di Jakarta—sementara Aris sendiri berasal dari Sukabumi."Jaga diri baik-baik, ya, Neng. Harus rajin kabari Ibu," ucap Bu Rosidah di sela isaknya.Nilam langsung melepas pelukan itu. "Ibu kayak mau ngelepas Nilam ke mana aja. Akadnya aja belum, Bu. Nanti aja melepas kangennya. Dandanan Nilam luntur gara-gara nangis," ucap Nilam dengan suara bergetar.Ibunya langsung menghapus air mata, ia pun mengangguk. Anak dan ibu itu lantas segera keluar dari kamar, berjalan saling berdampingan menuju ruang tengah di mana dua keluarga sudah berkumpul secara lesehan.Suasana di rumah tidak seperti di luar, ada sedikit suasana hangat dan canda tawa dari penghulu dan keluarga wanita yang memang tidak terlalu banyak. Sedangkan rombongan pria hanya menimpali dengan senyum sesekali.Akad pun dilaksanakan secara singkat, kata sah menggema dari kedua belah saksi. Semua tampak berjalan normal seperti biasa. Hanya saja, acara makan-makan harus ditunda setelah Aris berkata pada Nilam, "Kita harus pergi sekarang, Neng.""Loh, kenapa sekarang, A? Bukannya besok? Terus keluarga Aa teh harus makan dulu. Pasti lapar dari Sukabumi ke sini," jawab Nilam dengan wajah bingung."Iya, A. Kenapa Aa bawa Neng sekarang? Ibu teh udah nyiapin makanan." Ada getar tertahan dari suara Bu Rosidah."Saya harus pergi, Bu. Gak bisa lama-lama di sini." Hanya itu jawaban Aris.Sebagai seorang ibu, tentu ada penahanan. Namun, Pak Wahyu selaku bapak yang bijak berusaha menengahi. Beliau mengatakan kalau Nilam sudah sah menjadi istri, sudah sepatutnya mendengar perintah suami. Bagaimanapun pekerjaan Aris harus dimaklumi, apalagi hanya seorang karyawan di sebuah perusahaan, ada kendali seorang atasan yang wajib dilaksankan.Terjadilah perpisahan singkat. Bahkan, Nilam tidak diizinkan berganti pakaian, tetap dengan baju pengantinnya karena keluarga Aris berkilah diburu oleh waktu. Aris berjanji, secepatnya akan membawa kabar baik. Pria itu menahan ibu dan bapak Nilam untuk tidak mengantar sampai mobil. Awalnya Bu Rosidah tergugu, memeluk putrinya erat. Namun, seperti ada sesuatu dari diri Aris yang membuat pihak wanita mengangguk patuh.Kini Nilam berjalan berdampingan dengan suaminya, saling menggenggam tangan satu sama lain. Ada bahagia juga sedih yang menyelusup, tetapi Nilam yakin Aris pasti akan melakukan yang terbaik."Mobilnya di mana, Kang?" tanya Nilam setelah berjalan cukup jauh dari rumahnya. Aris hanya menunjuk ke area gelap di mana pohon bambu berjajar di sisi kanan dan kiri.Nilam mencoba memperjelas pandangannya. "Delman?" tanyanya sedikit kaget karena melihat dua kereta kuda berhiaskan kain hijau dan emas. Aris pun mengangguk.Setelah sampai, Nilam mulai naik dengan sebelah tangan berpegangan pada tangan Aris. Kedua delman pun melaju, memecah kegelapan serta kesunyian di antara lolongan anjing dan bau melati yang menyeruak.Sementara itu, dering telepon dari ponsel Nilam yang tertinggal terus saja berbunyi. Teh Rita yang sedang beberes peralatan rias pun melihat panggilan tersebut. Ada sekitar 10 kali panggilan yang belum terjawab. Karena suasana di luar sedang sedih, terpaksa ia mengangkat panggilan itu. "Assalamualaikum.""Waalaikumsallam. Nilam, ini Teteh Ayu, sodaranya Aris, Neng. Maaf, Teteh harus menyampaikan berita duka."Perasaan Teh Rita mulai tidak enak. Dengan ragu-ragu ia jawab, "Ke-kenapa Teh?""Rombongan seserahan mengalami kecelakaan sekitar Magrib di tol." Suara itu dibarengi dengan isak tangis yang menyayat hati, sementara Teh Rita menutup mulutnya tak percaya."What is it, Princess?" I heard as a dark silhouette loomed over me. I gulped. I stepped back a bit, ensuring to keep enough space between us. "It's nothing. I just- I was just worried about my cases and presentation. Forget it," I said, turning around, hurrying to leave his side. I knew what L could do and if he knew what Nikolai and I did in the bedroom then I was sure he would know about this conversation. I rather not have it and keep Nikolai safe. "I could convince management to stretch the deadline," Nikolai offered, following behind me. I hastened up my pace as I shook my head. "No need. Thank you. I'll go work on them now," I said. "Stop," Nikolai ordered. For a moment, my legs turned to stone and I waited but I quickly recovered remembering that I had to keep my distance. I continued walking away and was about to enter our room when i was suddenly spun around and my back was pinned to the wall beside our room door. I gulped noticeably. "Did or did I not say to stop, Sarah
My day was great. Infact, my whole first week was perfect. I had enough time to focus on my work. L hadn't called in a week and there had been no more threats on either I or Nikolai's life. In all, I was happy. My work life was great, my sex life was great.My favorite part of workdays were when I would sneak into Nikolai's office and help him relieve the stress of the day. So far, everything was good. Today was Saturday and I was sleeping in. I would begin working on my personal case later tonight. That way I had an excuse to get away from Nikolai's bed. I shuddered. My core was sore from all the tumbling in bed we'd been doing lately. I didn't want Nikolai to find out else his ego would enlarge so much I'd have to move out!"So how have you been?" I asked Amelia as I sat up on the couch. It was currently 12pm. Amelia had come back home about 30 minutes ago and she'd be staying till Monday morning when she'd have to leave."Things have been great. I've been doing well in my classes.
I managed to finish my introduction although rushed and not as smoothly as I imagined it. All thanks to Nikolai. When I went back to my position, I felt the vibrations stop and I grit my teeth. Nikolai wasn't looking at me, he was looking at the employee now introducing himself. I narrowed my eyes at him and glared at his side profile. I knew he knew I was glaring at him by the ghost of a smirk on his face."Well, I underestimated how much time that would take," He said immediately the employee was done. It was Margaret's turn to introduce herself and as she stepped out, he held up a hand to stop her. She looked confused for a moment then went red when Nikolai shooed her away with his hand like she was an insect. I bit back a laugh."End of introductions, we have more pressing things to attend to," Nikolai said, staring at the paper someone had just dropped in front of him. I peeked up, ready to start taking notes. Nikolai began addressing us. Half the time, I was admiring his work et
Sunlight filtered in through the window and I turned on the bed. I opened my eyes a bit to see that my phone was buzzing and the screen had lit up. I had put my phone on vibration only last night to avoid any distractions."Hello," I said, picking it up. I noticed how hoarse my voice sounded and my throat was sore too."Sarah? Are you just waking up?" Ava's voice said through the phone. I furrowed my brows and drew the phone away from my ear to check the time."Shit!" I yelled, sitting up immediately. "I am going to be so late. Thanks for waking me up," I told her already getting up."Did you check the group chat today?" She asked at the same time Nikolai came into the room."I'll tell one of the drivers to take you to work. I'll be the one picking you up today too," He said immediately he entered. I put my hand on my speaker as I answered him,"Sure. You're going to work now?" I asked, hesitantly. There was a different question on the tip of my tongue."I am. I'll see you in a bit. Al
After saying my farewells to Ava and Josie, I got into the car with Nikolai. I sat at the window side of the car, careful not to get too close to him. He was still in his suit(without the blazer) and his sleeves were rolled up. I could feel the anger rolling off him and how hard he was trying to keep his cool. Knowing Nikolai, we'd continue this game until he reached tipping point and then everyone would suffer for it so I decided to start a conversation."Beautiful day, isn't it?" I asked or so I thought. Nikolai's head snapped in my direction with such speed that I feared he'd broken his neck."Beautiful day?" He snarled. My chest tightened knowing what was coming next. "No, Sarah. It is not a beautiful day. A beautiful day would be you safely at home and me at work but that's not what today was, was it? I told you to stay at home but you didn't listen. What if something had happened to you?""But nothing happened. You should've waited until something did. At least then I'd have had
I wasn't one to give up. So when Nikolai left the room yesterday, I'd hurriedly sorted out my outfit for today. I went for something basic since it was my first day. I wore a plain black skirt and a white long sleeve shirt. I put my hair in a sleek ponytail to make myself look professional then I packed my bag.I doubted Nikolai would make things easy for me but surprisingly, he did. When I woke up, he wasn't in bed, he had already left. And there weren't any extra guards or anything following me around. I felt slightly guilty for breaking his trust but it wasn't my fault he was too stubborn to see reason.I was standing in front of the large Starks and Clarks Skyscraper with my heart palpitating in my chest. My palms felt sweaty and I instinctively rubbed them on my skirt. People came in and out of the building, each looking busy and I couldn't help the small smile on my face."You're new too?" I heard someone ask beside me. I turned my head and saw two girls around my age."I am. I'm
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Komen