Share

Lima

Gunung Corova adaah gunung salju yang cukup berbahaya. Selain karena cuaca yang sering tak tentu, juga monster-monster yang hidup di sana. Monster-monster itu pun kerap turun ke Elsira untuk mencari makan, tak aneh jika ada satu-dua orang yang tewas. Meski begitu, kata Ayah dan Ibu, sejak mereka tinggal di sana, monster-monster tidak lagi datang ke desa. Itu karena mereka rutin melakukan pembasmian untuk menekan jumlah populasi monster. Hal inilah yang membuatku tak takut meski bertemu monster, seperti saat ini.

Monster yang ada di gunung ini mayoritas adalah monster-monster yang hidup berkelompok, mulai dari furian goblin alias goblin berbulu, rubah salju eisbergh, hingga fenrir. Tapi, biasanya fenrir tidak suka manusia, sehingga mereka memilih hidup jauh di puncah gunung atau di sisi lain gunung yang jauh dari pemukiman. Goblin berbulu adalah monster yang wajar ditemui dan dihadapi di gunung ini. Tapi, bisa-bisanya aku malah bertemu seekor fenrir putih bermata merah.

"Grrrh .... " Fenrir itu menggeram.

Bulu putihnya banyak didominasi oleh noda merah darah, tapi anehnya mulutnya cukup bersih. Itu artinya, dia tidak habis memangsa sesuatu. Lalu, darah siapa?

Kata Ayah, hanya satu yang bisa dilakukan ketika berhadapa dengan fenrir, yaitu diam. Fenrir tidak suka mencari keributan, mereka akan pergi setelah memastikan tidak ada tanda-tanda bahaya. Karena itulah, aku hanya berdiam diri di atas kudaku. Kudaku untungnya penurut, dia tidak bergerak dan tidak memperlihatkan kegelisahan.

"Pergilah. Aku tidak ada niat menyakitimu," kataku pada fenrir itu, meski aku tahu aku tidak bisa berbicara dengan monster. Aku bukan Beast Tamer.

Fenrir itu mengangkat kaki kanan depannya, lalu menapakkanya ke depan. Jantugku sudah bersedetak semakin cepat dan kuat, takut kalau fenrir itu tiba-tiba melompat menyerang. Aku memang sudah bersiaga untuk merapal matera Sihir Kutukan, tapi sihir itu sangat membutuhkan waktu. Inginnya memakai Sihir Bayangan, tapi di gunung ini aku tak menghasilkan bayangan.

"Pergilah ... " Lagi, aku menggumamkan itu.

Brukk!

Tiba-tiba saja fenrir itu tumbang ke samping ketika dia kembali melangkah maju. Bukan hanya aku, tapi kudaku juga terkejut hingga akhirnya ia sedikit melompat menjauh.

Aku pun turun dari punggung kudaku, bergegas menghampiri fenrir itu untuk memeriksa apa yang terjadi padanya. Nafasnya terengah-engah berat. Mata merahnya itu berkedip lambat. Meski begitu, dia tetap monster. Dia bisa tiba-tiba menggigitku, karena itu aku tetap waspda ketika bergerak mendekatinya.

"Astagah." Fenrir ini terluka. Perutnya terluka, tampak seperti luka yang didqpat oleh benda tajam, namun bukan carakan maupun gigitan. Sepertinya, dia bertemu manusia dan telah terjadi pertarungan. "I-Ini akan sakit. Bertahanlah." Aku menekan luka di perutnya dengan tangan kanan, membuat fenrir itu bergerak menggeliat kesakitan. Aku takut, tapi aku tetap di posisiku. "Ini ramuan yang bisa mempercepat kesembuhan luka. Ini sedikit perih." Aku pun menuang ramuan obat andalan Ibu ke atas luka itu.

Ramuan itu manjur, tapi rasa sakitnya ketika ditumpahkan ke luka sama seperti rasa sakit ketika luka itu terjadi. Namun, bisa kujamin bahwa rasa sakitnya tak akan berlangsung lama dan pemulihan akan bekerja sempurna setelah satu jam. Meski begitu, luka yang dialami fenrir ini tidak akan sembuh dengan hanya satu kali pengobatan. Setidaknya, dia harus menerima pengobatan selama tiga hari.

Aku dikejar waktu, tidak ada waktu untuk meetap di gunung ini demi fenrir ini. Meski fenrir adalah monster yang cukup cerdas, dia bisa saja menyerangku saat sudah sembuh. Karena itu, aku harus meninggalkannya dan membiarkannya sembuh dengan kekuatannya. Dia adalah monster magis, memiliki mana yang besar dan bisa melakukan sihir. Dia pasti baik-baik saja.

"Aku pergi. Kamu hati-hati." Aku pun berdiri, sudah berbalik hendak pergi. Tapi, jubahku tertahan membuatku hampir terjungkal ke belakang. Untunglah, aku bia menjaga keseimbanganku. Ketika aku menoleh ke belakang, ternyata fenrir itu yang menahanku untuk tidak pergi. "Kenapa?"

"Bawa anakku."

"Eh?" Seperti seseorang berbicara di dalam otakku. Rasanya sangat aneh sampai membuatku pusing. Namun, tidak ada siapapun di sini selain aku dan fenrir itu. "Bohong ... " Aku menatap fenrir itu. "Kamu bertelepati denganku?"

Mata merah fenrir itu menatapku lekat sekali. "Karena kamu Beast Tamer. Aku hanya bicara denganmu," ungkapnya. "Hanya kamu yang bisa merawat anakku. Kamu berbeda. Kamu pasti membutuhkan kekuatannya. Aku mungkin tidak akan hidup setelah ini."

Aku berbalik dan kembali berlutut di depan fenrir itu. Entah kenapa, aku tak lagi takut padanya. "Di mana anakmu?" Aku tidak punya pengalaman dalam memelihara hewan. Tapi, fenrir ini sudah mempercayakan anaknya padaku. Aku juga tidak bisa menutup mata tentang ini.

"Pergilah ke arah sesemakan ceri di arah sana." Ia menggerakkan kepalanya, menunjuk sebuah arah dengan moncongnya. Arah yang ditunjuknya untunglah sama dengan arah yang akan kutuju. "Dia di sana. Berilah nama, maka dia akan menjadi familarmu."

Aku mengangguk. "Baik." Meski aku sudah berani, aku masih agak ragu ketika ingin membelai kepalanya. Aku ingin membuatnya lebih tenang. "Tidurlah, Nyonya Fenrir. Aku berjanji akan merawat anakmu dengan baik." Setelah itu, aku memejamkan mata dan merapalkan mantra dalam hati, "Somnumoir."

"Terima kasih." Sebelum mata merah itu tertutup, fenrir itu megucapkan terima kasihnya. Bahkan, moncong yang tertutup itu seakan membuat garis senyum.

Sejujurnya, kutukan yang kurapal sama seperti membunuhnya. Somnumoir adalah mantera untuk membuat makhluk hidup tertidur seperti mati. Dengan luka yang dideritanya, juga tubuh yang nantinya akan membeku di hamparan salju ini, pada akhirnya dia akan mati. Tapi, setidaknya dia tidak perlu merasakan sakit ketika mati. Jujur, baru kali ini aku menggunakan kutukan yang berujung membunuh makhluk hidup.

Setelah berdoa sebentar untuk mendoakan ketenangannya, aku pun bergegas pergi sebelum cuaca di gunung ini berubah ekstrem dan membuatku tak bisa turun. Aku melompt naik ke punggung kudaku, lalu menghentakkan tali kendalinya dengan kuat. Kami bergegas mencari sesemakan ceri yang dimaksud induk fenrir tadi.

Ternyata tidak jauh dari tempat aku bertemu dengan induk fenrir itu. Tampaknya, induk itu hendak kembali ke sarang untuk melindungi anaknya. Kasih ibu memang sepanjang masa, sampai induk fenrir itu terluk pun masih berusaha melindungi anaknya.

"Ketemu."

Anak fenrir itu memiliki bulu kelabu yang sangat tebal dan lembut. Dia tengah meringkuk di atas dedaunan kering yang dikumpulkan untuk menjadi alas yang hangat, tepat di sebuah lubang kecil tersembunyi yang seperti sarang kelinci. Sepertinya umurnya sudah lebih dari satu bulan, sebab sudah tumbuh gigi dan taring. Ketika aku mengambilnya, dia sempat terbangun. Mata kanannya berwarna biru, sedangkan mata kirinya berwarna merah. Dia sangat keren dan menggemaskan.

"Sekarang namamu Ash. Ibumu menitipkanmu padaku. Karena itu, mohon bantuannya Ash." Aku menempelkan keningku pad keningnya. Ada sensasi menyengat yang menggelitik. Sepertinya, fenrir kecil ini sudah berhasil menjadi familiarku.

"Bark!" Dia menggonggol layaknya anak anjing. Wajahnya terlihat senang sampai membuat ekornya berputar seperti baling-baling kipas angin di kehidupanku sebelumnya. Dia sangat menggemaskan. "Terima kasih, Nona!" ungkapnya di dalam pikiranku.

Benar, aku sempat melupakannya.

Tiba-tiba aku bisa meramalkan masa depan, lalu sekarang bertelepati dengan monster. Bukakah sudah terlau banyak sihir yang bisa aku lakukan? Kalau bukan Penyihir Agung, lalu apa sebutan untukku yang memiliki empat sihir? Apakah monster?

Sungguh, aku hanya ingin menjalani hidup normal dalam ketenangan, bukan hidup yang membuatku terus memikirkan pertanyaan ini dan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status