Sudah tujuh belas hari, aku terpenjara di rumah Angkasa. Melayaninya di atas tempat tidur, mendengarkan keluh kesahnya mengenai perusahaan atau kolega yang menjengkelkan, dan menemaninya sarapan seperti pagi ini. Dia tampak segar dengan kemeja biru muda.
"Setelah selesai masa sewa, tolong jangan kembalikan aku pada Andreas." Sudah empat kali aku mengatakannya pada Angkasa, berharap dia menyimpan sedikit belas kasihan.
"Aku menyewamu layaknya barang, jadi aku harus mengembalikanmu pada empunya," sahut Angkasa. "Jangan bahas ini lagi, Kara."
"Mungkin aku akan berakhir di kuburan ...." Aku mengesah.
"Tidak ada bukti istrinya yang terdahulu dibunuh, itu hanya pradugamu saja." Angkasa membanting serbet, dia beranjak dari kursi.
Cepat-cepat aku mengikutinya yang melangkah menaiki anak tangga. Aku akan terus membujuknya.
"Aku mohon."
"Tidak bisa," tandas Angkasa, mulai terlihat jengkel. "Arghh, lihat ini, kancing kemejaku lepas."
"Tolong, pikirkan kembali." Aku mengulas senyum seraya menarik laci meja, tempat Angkasa menyimpan kotak kecil berisi benang dan jarum. Saking tidak punya kerjaan, aku pernah menggeledah satu per satu laci. Jadi tahu barang-barang yang disimpan Angkasa. "Mana kancing bajunya?"
Angkasa meletakkan kancing di atas telapak tanganku.
"Tidak perlu dilepas kemejanya, tidak akan memakan waktu lama," ujarku.
Kancing yang terlepas tepat di depan bagian dada Angkasa. Setelah memilih warna benang yang sama dengan kemeja, aku berdiri begitu dekat dengannya.
"Seharusnya kamu menikah. Carilah perempuan, jatuh cinta, dan habiskan waktu bersama. Apa selamanya kamu akan terus seperti ini?" kataku mulai menjahit perlahan kancing pada kemeja.
"Apa pedulimu?"
"Aku memang tidak peduli. Hanya menyarankan, dari pada kamu berbuat dosa terus." Aku mengembuskan napas.
"Kita berdua berbuat dosa, karena akhir-akhir ini kamu menurut dan sepertinya menikmati setiap kali kita bercinta," ucap Angkasa.
Aku mendongak sebentar untuk melihat wajahnya, kemudian tertawa kecil. "Aku terpaksa menikmati, bukankah aku tidak punya pilihan? Bukankah aku hanya perempuan sewaan yang harus melayanimu? Kalaupun aku menolak, pasti kamu memaksa dengan kasar. Apa yang bisa kuperbuat selain pasrah pada keadaan?" Air mata menitik dari ujung mata. Aku sama sekali tidak menikmatinya, tidak sedikit pun.
Kepalaku mendekat untuk menggigit benang, lalu berucap, "Sudah selesai."
"Terima kasih."
"Hanya hal kecil tidak perlu mengucapkan terima kasih." Jemariku menyusut air mata.
Tangan Angkasa menangkup wajahku, dia merunduk. Menatap lekat. Aku hendak mundur, tapi satu tangannya meraih pinggangku. Sepersekian detik kemudian, dia membungkam dengan lembut dan dalam. Berubah tergesa, hingga tidak memberiku kesempatan untuk bernapas.
"Tuan Angkasa ... oh, maaf."
Angkasa melepaskan tubuhku, segera aku menarik diri--menaruh kembali wadah benang dan jarum di laci.
"Ada apa, Burhan?" tanya Angkasa sambil meraih tas laptop.
"Di bawah ada Kakak Anda," jawab Burhan.
"Ah, dia pasti membawa foto-foto perempuan dan memaksaku memilihnya ...." keluh Angkasa berlalu dari kamar.
"Maaf, Kara, aku harus mengunci pintunya. Nanti setelah Nona Gissela pulang, kamu boleh keluyuran lagi," kata Burhan.
Ternyata Angkasa punya saudara perempuan. "Tidak apa-apa, Burhan. Aku sudah terbiasa di kamar ini."
***
Aku berjalan sepanjang pagar, mungkin sudah puluhan kali aku memutari pagar--mencari celah untuk kabur. Tinggi pagar kira-kira tiga meter. Aku berhenti, menghela napas kecewa.Angkasa tidak lagi mengunci kamar, membiarkan aku menjelajahi tiap jengkal rumah kecuali dapur.
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Mencoba kabur?"
Aku memutar badan, tampak Burhan berdiri dekat pintu kecil pagar. "Ya, begitulah ...."
"Sebentar lagi kamu akan ke luar dari rumah ini, Kara." Lelaki itu mengeluarkan rokok dari saku bajunya, menyalakan dengan korek api elektrik.
"Aku tidak ingin kembali ke tangan suamiku." Aku bersandar pada tembok pagar, melihat langit biru yang mulai disusupi warna hitam. Angin berembus kencang.
"Karena akan berakhir dengan kematian," tebak Burhan. "Aku mendengar pembicaraanmu dengan Tuan Angkasa."
"Bukan hanya tentang itu saja, seandainya aku tidak mati aku akan terjebak dalam dunia hitam selamanya. Melayani para lelaki hidung belang seperti tuanmu," paparku.
"Mungkin kamu harus belajar menerimanya dari sekarang," sahut Burhan, sinis.
"Hahaha, kamu benar sekali, Burhan."
Menerima sesuatu yang pahit dan menyakitkan. Menghabiskan hidup di dalam kubangan dosa. Apa aku sanggup bertahan?
"Apa kamu membutuhkan sesuatu? Baju mungkin atau apa?" tanya Burhan.
Aku menggeleng. "Bajuku sudah cukup banyak. Bahkan ada yang belum aku pakai."
"Masuklah, sebentar lagi badai." Burhan berjalan masuk rumah, meninggalkan asap rokok yang pupus di udara.
Sementara aku, membiarkan air hujan luruh di kepala. Menangis bersama hujan, sehingga tidak ada yang melihat air mata yang menetes.
***
Angkasa memutar video rekaman dari masa kecilnya sampai dia remaja. Mau tidak mau aku menemaninya di ruang perpustakaan yang temaram. Aku duduk di sofa, bersedekap."Aku merindukan masa-masa itu ...." Setelah lama diam, akhirnya Angkasa bicara.
Sebagai pendengar yang baik aku tidak menyahut. Mata ini melihat rekaman seorang anak lelaki sedang dipeluk ibunya dalam pangkuan. Tertawa sangat bahagia.
"Kedua orang tuaku bercerai dengan penuh drama." Terdengar helaan napas Angkasa yang cukup panjang. "Saling tuding selingkuh."
Aku beralih memandang wajah Angkasa, seolah ada awan hitam menaunginya. Anak korban perceraian biasanya menyimpan duka tersendiri.
"Di mana orang tuamu, Kara. Apa mereka tidak mencarimu?"
"Kedua orang tuaku meninggal sepuluh tahun yang lalu, korban tanah longsor." Kali ini aku yang menghela napas. Ingatanku kembali pada malam yang gelap, suara gemuruh, hujan badai. Aku selamat karena menginap di rumah teman. Aku mengais-ngais tanah mencari kedua orang tuaku. Meraung kencang.
"Maaf, aku tidak tahu."
Aku tersenyum masam, Angkasa meminta maaf atas ketidaktahuannya. Namun, dia tidak minta maaf atas sikapnya yang jahat. Rekaman berputar terus, sekarang terlihat Angkasa remaja bermain gitar. Lebih tepatnya dia sedang belajar gitar. Dia berada di ruangan bercat abu-abu, berdua dengan pengajarnya. Dia melambai ke arah kamera.
Angkasa mematikan rekaman. "Aku punya orang tua, tapi kesepian. Setelah berpisah, mereka menikah lagi. Mamaku tinggal di lain kota bersama keluarga barunya, aku merasa tercampakkan."
"Menyedihkan kisah hidupmu ...."
"Tidak perlu mengasihi aku."
"Aku tidak perlu merasa iba pada lelaki monster sepertimu," timpalku.
"Aku monster?"
"Ya."
Angkasa tergelak.
"Aku bisa membuatmu tertawa," ujarku. Selama tinggal bersamanya, aku jarang melihatnya tertawa. Beku seperti es.
"Kau teman yang menyenangkan," tutur Angkasa.
"Kau orang yang paling kubenci setelah Andreas dan ibunya," ungkapku, berani melawan tatapan Angkasa yang tajam.
"Oh, begitu." Angkasa mendekatkan wajahnya. "Aku akan membuatmu semakin benci padaku."
Suara ketukan pintu menyelamatkan aku dari Angkasa. "Tuan." Suara Burhan. "Ada berita penting."
Angkasa segera berdiri. Dia bergerak membuka pintu. "Ada apa?"
"Papa Anda terkena serangan jantung. Sekarang dirawat di RS Edelweis." Jawaban dari Burhan membuat Angkasa berlari ke kamar.
Aku yang berdiri di tengah pintu perpustakaan bisa melihat kekhawatiran berkelebat di wajah Angkasa. Tidak lama, Angkasa keluar kamar. Dia memakai jaket untuk menutupi kaus oblongnya yang lusuh.
"Kembalilah ke kamar Tuan, Kara," perintah Burhan sebelum melangkah pergi.
***
Sinar mentari merambat pada dinding kamar. Pagi ini cuaca cerah dan aku masih di dalam selimut. Tanpa Angkasa. Aku tidak melihatnya selama lima hari karena dari yang kudengar dari Burhan, dia ke luar negeri--mengantar papanya berobat.
"Kara!" Burhan mengetuk pintu.
Dengan langkah terseret aku membuka pintu. "Ya ...?"
"Andreas menjemputmu."
"Apa!?" Refleks aku mundur satu langkah.
"Sepertinya Tuan Angkasa akan berada di luar negeri cukup lama. Jadi, dia memutuskan ...."
"Aku mohon, Burhan. Bantu aku." Aku mengiba.
"Kamu ingin diseret paksa?"ancam Burhan.
Jantungku menderu tidak keruan. Aku sangat ketakutan. Burhan mengambilkan tas, lantas mencekal lenganku dengan kuat.
"Biarkan aku bicara dengan Angkasa lewat telepon."
"Kamu hanya perempuan rendahan, jangan berharap lebih," sahut Burhan.
"Tapi, masa sewa belum habis ...."
Burhan tidak mendengarkan, dia menyeretku sampai pintu luar. Andreas sudah menunggu. Dulu aku begitu mencintainya, sekarang aku ingin sekali menusuk paru-parunya.
"Hei, Sayang," sapanya tersenyum lebar.
Cuh.
Aku meludahinya.
"Kara!" geram Andreas, dia menarik rambutku dengan kasar. "Kamu akan menerima akibatnya."
"Aku tidak takut," desisku, menahan rasa sakit.
"Burhan, kami pergi dulu," pamit Andreas.
Di dalam mobil, aku diapit dua pengawal. Mobil meluncur meninggalkan penjara mewah menuju penjara satunya lagi. Ke luar dari mulut monster masuk ke mulut serigala. Mati-matian aku meredam rasa takut.
Sampai di rumah Andreas, dia menggelandang diriku ke kamar. Dia meluapkan kemarahannya, dua tamparan mendarat di pipi. Mendorong kuat tubuhku, hingga aku tersungkur, kepala mengenai ujung meja rias. Darah mengalir melewati alis. Aku tidak berdaya, seolah hendak masuk lubang hitam yang mengerikan.
"Andreas, cukup!" cegah Bu Zunaira.
Aku memejamkan mata, pura-pura pingsan. Berharap tidak ada lagi siksaan.
"Lebih baik kita singkirkan Kara sekarang." Satu tendangan dari Andreas mendarat di kaki.
"Kita pikirkan cara lain. Akan mencurigakan jika kedua istrimu meninggal. Apalagi kita juga melenyapkan si Rista yang ingin lapor ke pihak berwajib," kata Bu Zunaira.
"Cara apa, Ma?"
"Entahlah. Biar Mama pikirkan dulu. Pindahkan Kara di ruang bawah tanah," perintah Bu Zunaira. "Apa dia pingsan?"
"Iya," sahut Andreas.
"Semoga Kara tidak mendengar percakapan kita."
"Bungkam saja, Ma. Kita kubur di samping Rista."
"Mama bilang tidak!" seru Bu Zunaira.
Aku mendengar. Aku juga merasakan saat tubuh ini digendong Andreas, kemudian dilempar ke lantai ruang bawah tanah yang dingin--penjara baru untukku. Apakah esok hari aku masih bernapas?
Dengan bersusah payah, aku merangkak ke atas kasur kecil. Tidur telentang seraya mengelap sisa darah di pipi. Ruang ini gelap, hanya ada ventilasi kecil. Aku menarik napas dalam-dalam, menghalau rasa perih yang muncul.Ketakutan kembali menjalar saat pintu terbuka. Hanya selang satu jam Andreas sudah kembali."Aku akan melepasmu. Kita akan bercerai. Oh, salah, tidak ada pernikahan. Penghulu yang menikahkan kita palsu, surat yang kamu tanda tangani juga palsu. Yang tidak palsu hanya tamu-tamu dan hidangan yang tersaji di pesta kecil kita," ungkap Andreas, membuatku terperangah."Ini ponselmu, bawa juga tas murahanmu. Cepat berdiri, aku akan mengantar pulang ke rumah reyotmu." Andreas melempar ponsel dan tas.Ada apa di balik keputusan Andreas yang melepaskan diriku? Dia punya rencana apa?"Cepat, Kara!" bentaknya.Aku beranjak dari kasur kecil, saat berdiri penglihatan ini berputar, aku hampir terjatuh.Andreas meraih lenga
Aku memasukkan pakaian ke tas, juga sertifikat rumah. Sudah kuputuskan meninggalkan kampung dan rumah yang penuh kenangan. Bukan menyerah, hanya menjaga kewarasan. Semua tetangga rutin menggunjing, tidak ada warung yang mengizinkan aku masuk. Selama dua hari tinggal di rumah telur busuk juga rutin dikirim. Bahkan tadi pagi kotoran manusia dioleskan pada tiang rumah. Esok hari aku baru pergi. Hari ini aku akan ke makam Bapak dan Ibu, lantas membeli tiket bus. Selesai mengepak pakaian, aku keluar kamar. Memandangi tiap sudut rumah yang bertahun-tahun aku tinggali. Mataku terpaku pada layar televisi yang menyala. Ada acara yang meliput Angkasa tengah meresmikan toserba. Hati ini bergelenyar aneh melihatnya tersenyum. Wartawan yang meliput menanyakan kondisi papanya yang dirawat di rumah sakit luar negeri. Aku pun teringat ucapan Burhan, bahwa Angkasa akan tinggal lama untuk menemani papanya. Tetapi, pada
Apa ini tepat? Namun, aku sudah berdiri di depan gerbang rumah Angkasa selama lima menit. Sementara, hari mengalami proses peralihan. Bercak-bercak warna jingga makin lama makin menyusut, berbaur, berubah gelap.Klakson mobil membuat jantungku melompat. Degup-degupnya melesat cepat."Hei, minggir!"Perlahan aku menepi, mobil sedan hitam itu hendak melewati gerbang. Aku tidak bisa melihat siapa yang berada di dalam mobil.Ketika pintu gerbang terbuka lebar, mobil itu malah berhenti. Sosok bertubuh tinggi turun. Dia Angkasa."Kau ingin bertemu dengan siapa?" tanyanya, sangat dingin."Aku ... ingin bertemu denganmu. Aku ingin memberitahu sesuatu." Aku menjawab, berusaha tenang."Aku tidak punya waktu untukmu, Kara," tolak Angkasa."Aku tidak meminta waktu seumur hidupmu, hanya sebentar saja.""Baiklah. Kita bicara di dalam,"
"Ayo, sarapan, Kara," ajak Bu Retno saat aku keluar kamar, perempuan yang memakai sweter kebesaran itu menaruh sepiring nasi goreng.Sementara Pak Danar mengisi kulkas dengan sayuran dan telur."Kami sebentar lagi harus segera pulang, Kara," ucap Bu Retno. "Tadi subuh suamiku sempat berbelanja di pasar. Untuk tiga hari ke depan persediaan makan untukmu cukup.""Terima kasih atas bantuannya." Aku menarik kursi. "Sudah merepotkan kalian berdua.""Kara ...." Bu Retno duduk di sebelahku. "Apa benar kamu hamil?" tanyanya kemudian, hati-hati.Aku mengangguk. "Iya.""Kamu tidak mual dan muntah?""Tidak, Bu Retno."Tangan Bu Retno tiba-tiba mengusap perutku. "Ah, anak hebat kamu. Tidak mau menyusahkan Mama, ya? Bagus, karena mamamu sudah banyak menderita."Mataku menghangat, aku tidak pusing, mual, dan muntah. Benarkah si bayi men
Aku menuang air hangat ke dalam gelas, mengaduk-aduk susu rasa cokelat dengan pikiran gentayangan ke Angkasa. Semalam bertemu di hotel, pagi ini bertemu di perumahan. Duduk termangu, melihat tagihan listrik, air, dan biaya perawatan apartemen. Tabunganku yang sedikit sudah habis. Nanti sore ada jadwal kontrol kandungan ke bidan. Ketukan pintu membuat lamunan buyar, aku mengelap sisa susu di sudut bibir dengan tisu. Kemudian membuka pintu. "Mbak Kara, temenku ingin membeli ... ng ... lihat baju-baju buatan Mbak Kara. Hehehe, kalo cocok baru beli. Gitu." Miranda, tetangga di ujung koridor datang dengan seorang temannya. "Mari, mari masuk. Maaf tempatnya berantakan." Aku mempersilakan mereka masuk. Keduanya memilih-milih blus pada tempat gantungan. Kira-kira ada lima belas blus. Keduanya berbisik-bisik entah apa. "Mbak Kara, kasih diskon, ya? Kami akan beli dua, seratus
Aku buru-buru keluar apartemen. Aku hampir saja lupa ada janji dengan Nyonya Aurora. Dia memintaku datang ke rumahnya, dia memintaku membuatkan baju atau gaun atau apalah untuk pesta kebun. Di antara puluhan bahkan mungkin ratusan desainer top--dengan jam terbang tinggi dan penghargaan sana sini--Nyonya Aurora memilihku. Seorang penjahit biasa yang hanya belajar desain secara otodidak."Hei, selamat siang, Kara." Pram menyapa, senyum kecil mengembang di kedua sudut bibirnya. Sementara, tangan kirinya memegang kantong plastik hitam."Mau ke mana?" tanyaku, basa-basi."Buang sampah."Kami berjalan beriringan menuju lift. Tidak sengaja beriringan, karena tujuan kami sama. Turun menggunakan lift."Oughh.""Ada apa, Kara?"Aku menyengir. "Tidak apa-apa, bayiku menendang cukup keras.""Boleh aku menyentuh perutmu?""Heh?" Aku me
Pram perlahan menurunkan tubuhku. Keringat membasahi kening. Napasnya terdengar berat dan putus-putus. Aku sepertinya telah menyiksa Pram, tapi aku tidak menyuruhnya untuk membantuku."Terima kasih, Pram.""Sama-sama, Kara." Pram mengusap peluh dengan punggung tangannya."Aku beli roti bakar." Aku terdiam sejenak. "Untuk membalas kebaikanmu, aku ingin membuatkan segelas es teh. Mari masuk," ajakku."Oh, baiklah." Pram terlihat antusias.Aku mendorong pintu apartemen. Area yang bersih hanya di sekitar sofa. Aku akhir-akhir ini sering dilanda rasa malas.Pram memperhatikan tiap sudut apartemen yang penuh kain. Dia duduk di sofa sambil bertanya, "Kenapa tidak berhenti mengantar susu? Kenapa tidak fokus membuat baju saja?"Tanganku berhenti mengaduk gula di gelas. "Dari mana kamu tahu aku mengantar susu?""Aku pernah melihatmu mengantar susu s
"Tidak mungkin Kara pemiliknya. Dia tidak pernah kuliah atau ...." Perkataan Bu Zunaira berjeda. "Sekolah fashion. Dia hanya buruh pabrik." "Iya, Ma. Tidak mungkin," timpal Nita bersungut-sungut. "Sebaiknya kita pergi saja, cari butik lain." "Aku tidak mau, sudah jauh-jauh ke sini. Satu jam perjalanan. Melelahkan. Sebenarnya kalian ada masalah apa dengan pemilik butik?" Perempuan berambut lurus itu menolak. "Mbak Rosana, kami--" Nita sepertinya kesulitan menjelaskan situasi yang pernah terjadi. Aku menikmati kebingungan yang tampak terlihat di wajah Bu Zunaira dan Nita. Sementara Pram meletakkan sikunya dimeja, menopang dagunya dengan tangan, dia juga mengamati tiga perempuan di hadapan kami. "Aku tetap ingin beli baju buatan Miss Kara." Rosana ngeyel. Aku hampir tertawa mendengar sebutan Miss. "Andreas tidak akan suka, Ros. Suamimu bisa ma