Share

Bab 3 Penjara

Sudah tujuh belas hari, aku terpenjara di rumah Angkasa. Melayaninya di atas tempat tidur, mendengarkan keluh kesahnya mengenai perusahaan atau kolega yang menjengkelkan, dan menemaninya sarapan seperti pagi ini. Dia tampak segar dengan kemeja biru muda.

"Setelah selesai masa sewa, tolong jangan kembalikan aku pada Andreas." Sudah empat kali aku mengatakannya pada Angkasa, berharap dia menyimpan sedikit belas kasihan.

"Aku menyewamu layaknya barang, jadi aku harus mengembalikanmu pada empunya," sahut Angkasa. "Jangan bahas ini lagi, Kara."

"Mungkin aku akan berakhir di kuburan ...." Aku mengesah.

"Tidak ada bukti istrinya yang terdahulu dibunuh, itu hanya pradugamu saja." Angkasa membanting serbet, dia beranjak dari kursi.

Cepat-cepat aku mengikutinya yang melangkah menaiki anak tangga. Aku akan terus membujuknya.

"Aku mohon."

"Tidak bisa," tandas Angkasa, mulai terlihat jengkel. "Arghh, lihat ini, kancing kemejaku lepas."

"Tolong, pikirkan kembali." Aku mengulas senyum seraya menarik laci meja, tempat Angkasa menyimpan kotak kecil berisi benang dan jarum. Saking tidak punya kerjaan, aku pernah menggeledah satu per satu laci. Jadi tahu barang-barang yang disimpan Angkasa. "Mana kancing bajunya?"

Angkasa meletakkan kancing di atas telapak tanganku.

"Tidak perlu dilepas kemejanya, tidak akan memakan waktu lama," ujarku.

Kancing yang terlepas tepat di depan bagian dada Angkasa. Setelah memilih warna benang yang sama dengan kemeja, aku berdiri begitu dekat dengannya.

"Seharusnya kamu menikah. Carilah perempuan, jatuh cinta, dan habiskan waktu bersama. Apa selamanya kamu akan terus seperti ini?" kataku mulai menjahit perlahan kancing pada kemeja.

"Apa pedulimu?"

"Aku memang tidak peduli. Hanya menyarankan, dari pada kamu berbuat dosa terus." Aku mengembuskan napas. 

"Kita berdua berbuat dosa, karena akhir-akhir ini kamu menurut dan sepertinya menikmati setiap kali kita bercinta," ucap Angkasa.

Aku mendongak sebentar untuk melihat wajahnya, kemudian tertawa kecil. "Aku terpaksa menikmati, bukankah aku tidak punya pilihan? Bukankah aku hanya perempuan sewaan yang harus melayanimu? Kalaupun aku menolak, pasti kamu memaksa dengan kasar. Apa yang bisa kuperbuat selain pasrah pada keadaan?" Air mata menitik dari ujung mata. Aku sama sekali tidak menikmatinya, tidak sedikit pun. 

Kepalaku mendekat untuk menggigit benang, lalu berucap, "Sudah selesai."

"Terima kasih."

"Hanya hal kecil tidak perlu mengucapkan terima kasih." Jemariku menyusut air mata.

Tangan Angkasa menangkup wajahku, dia merunduk. Menatap lekat. Aku hendak mundur, tapi satu tangannya meraih pinggangku. Sepersekian detik kemudian, dia membungkam dengan lembut dan dalam. Berubah tergesa, hingga tidak memberiku kesempatan untuk bernapas.

"Tuan Angkasa ... oh, maaf."

Angkasa melepaskan tubuhku, segera aku menarik diri--menaruh kembali wadah benang dan jarum di laci. 

"Ada apa, Burhan?" tanya Angkasa sambil meraih tas laptop.

"Di bawah ada Kakak Anda," jawab Burhan.

"Ah, dia pasti membawa foto-foto perempuan dan memaksaku memilihnya ...." keluh Angkasa berlalu dari kamar.

"Maaf, Kara, aku harus mengunci pintunya. Nanti setelah Nona Gissela pulang, kamu boleh keluyuran lagi," kata Burhan.

Ternyata Angkasa punya saudara perempuan. "Tidak apa-apa, Burhan. Aku sudah terbiasa di kamar ini."

***

Aku berjalan sepanjang pagar, mungkin sudah puluhan kali aku memutari pagar--mencari celah untuk kabur. Tinggi pagar kira-kira tiga meter. Aku berhenti, menghela napas kecewa. 

Angkasa tidak lagi mengunci kamar, membiarkan aku menjelajahi tiap jengkal rumah kecuali dapur. 

"Apa yang sedang kamu pikirkan? Mencoba kabur?"

Aku memutar badan, tampak Burhan berdiri dekat pintu kecil pagar. "Ya, begitulah ...."

"Sebentar lagi kamu akan ke luar dari rumah ini, Kara." Lelaki itu mengeluarkan rokok dari saku bajunya, menyalakan dengan korek api elektrik.

"Aku tidak ingin kembali ke tangan suamiku." Aku bersandar pada tembok pagar, melihat langit biru yang mulai disusupi warna hitam. Angin berembus kencang.

"Karena akan berakhir dengan kematian," tebak Burhan. "Aku mendengar pembicaraanmu dengan Tuan Angkasa."

"Bukan hanya tentang itu saja, seandainya aku tidak mati aku akan terjebak dalam dunia hitam selamanya. Melayani para lelaki hidung belang seperti tuanmu," paparku.

"Mungkin kamu harus belajar menerimanya dari sekarang," sahut Burhan, sinis.

"Hahaha, kamu benar sekali, Burhan."

Menerima sesuatu yang pahit dan menyakitkan. Menghabiskan hidup di dalam kubangan dosa. Apa aku sanggup bertahan?

"Apa kamu membutuhkan sesuatu? Baju mungkin atau apa?" tanya Burhan.

Aku menggeleng. "Bajuku sudah cukup banyak. Bahkan ada yang belum aku pakai."

"Masuklah, sebentar lagi badai." Burhan berjalan masuk rumah, meninggalkan asap rokok yang pupus di udara.

Sementara aku, membiarkan air hujan luruh di kepala. Menangis bersama hujan, sehingga tidak ada yang melihat air mata yang menetes.

***

Angkasa memutar video rekaman dari masa kecilnya sampai dia remaja. Mau tidak mau aku menemaninya di ruang perpustakaan yang temaram. Aku duduk di sofa, bersedekap. 

"Aku merindukan masa-masa itu ...." Setelah lama diam, akhirnya Angkasa bicara.

Sebagai pendengar yang baik aku tidak menyahut. Mata ini melihat rekaman seorang anak lelaki sedang dipeluk ibunya dalam pangkuan. Tertawa sangat bahagia.

"Kedua orang tuaku bercerai dengan penuh drama." Terdengar helaan napas Angkasa yang cukup panjang. "Saling tuding selingkuh."

Aku beralih memandang wajah Angkasa, seolah ada awan hitam menaunginya. Anak korban perceraian biasanya menyimpan duka tersendiri.

"Di mana orang tuamu, Kara. Apa mereka tidak mencarimu?"

"Kedua orang tuaku meninggal sepuluh tahun yang lalu, korban tanah longsor." Kali ini aku yang menghela napas. Ingatanku kembali pada malam yang gelap, suara gemuruh, hujan badai. Aku selamat karena menginap di rumah teman. Aku mengais-ngais tanah mencari kedua orang tuaku. Meraung kencang. 

"Maaf, aku tidak tahu."

Aku tersenyum masam, Angkasa meminta maaf atas ketidaktahuannya. Namun, dia tidak minta maaf atas sikapnya yang jahat. Rekaman berputar terus, sekarang terlihat Angkasa remaja  bermain gitar. Lebih tepatnya dia sedang belajar gitar. Dia berada di ruangan bercat abu-abu, berdua dengan pengajarnya. Dia melambai ke arah kamera. 

Angkasa mematikan rekaman. "Aku punya orang tua, tapi kesepian. Setelah berpisah, mereka menikah lagi. Mamaku tinggal di lain kota bersama keluarga barunya, aku merasa tercampakkan."

"Menyedihkan kisah hidupmu ...."

"Tidak perlu mengasihi aku."

"Aku tidak perlu merasa iba pada lelaki monster sepertimu," timpalku.

"Aku monster?" 

"Ya."

Angkasa tergelak. 

"Aku bisa membuatmu tertawa," ujarku. Selama tinggal bersamanya, aku jarang melihatnya tertawa. Beku seperti es. 

"Kau teman yang menyenangkan," tutur Angkasa.

"Kau orang yang paling kubenci setelah Andreas dan ibunya," ungkapku, berani melawan tatapan Angkasa yang tajam.

"Oh, begitu." Angkasa mendekatkan wajahnya. "Aku akan membuatmu semakin benci padaku."

Suara ketukan pintu menyelamatkan aku dari Angkasa. "Tuan." Suara Burhan. "Ada berita penting."

Angkasa segera berdiri. Dia bergerak membuka pintu. "Ada apa?"

"Papa Anda terkena serangan jantung. Sekarang dirawat di RS Edelweis." Jawaban dari Burhan membuat Angkasa berlari ke kamar.

Aku yang berdiri di tengah pintu perpustakaan bisa melihat kekhawatiran berkelebat di wajah Angkasa. Tidak lama, Angkasa keluar kamar. Dia memakai jaket untuk menutupi kaus oblongnya yang lusuh.

"Kembalilah ke kamar Tuan, Kara," perintah Burhan sebelum melangkah pergi.

***

Sinar mentari merambat pada dinding kamar. Pagi ini cuaca cerah dan aku masih di dalam selimut. Tanpa Angkasa. Aku tidak melihatnya selama lima hari karena dari yang kudengar dari Burhan, dia ke luar negeri--mengantar papanya berobat.

"Kara!" Burhan mengetuk pintu.

Dengan langkah terseret aku membuka pintu. "Ya ...?"

"Andreas menjemputmu."

"Apa!?" Refleks aku mundur satu langkah.

"Sepertinya Tuan Angkasa akan berada di luar negeri cukup lama. Jadi, dia memutuskan ...."

"Aku mohon, Burhan. Bantu aku." Aku mengiba. 

"Kamu ingin diseret paksa?"ancam Burhan.

Jantungku menderu tidak keruan. Aku sangat ketakutan. Burhan mengambilkan tas, lantas mencekal lenganku dengan kuat.

"Biarkan aku bicara dengan Angkasa lewat telepon."

"Kamu hanya perempuan rendahan, jangan berharap lebih," sahut Burhan.

"Tapi, masa sewa belum habis ...."

Burhan tidak mendengarkan, dia menyeretku sampai pintu luar. Andreas sudah menunggu. Dulu aku begitu mencintainya, sekarang aku ingin sekali menusuk paru-parunya.

"Hei, Sayang," sapanya tersenyum lebar.

Cuh.

Aku meludahinya.

"Kara!" geram Andreas, dia menarik rambutku dengan kasar. "Kamu akan menerima akibatnya."

"Aku tidak takut," desisku, menahan rasa sakit.

"Burhan, kami pergi dulu," pamit Andreas.

Di dalam mobil, aku diapit dua pengawal. Mobil meluncur meninggalkan penjara mewah menuju penjara satunya lagi. Ke luar dari mulut monster masuk ke mulut serigala. Mati-matian aku meredam rasa takut.

Sampai di rumah Andreas, dia menggelandang diriku ke kamar. Dia meluapkan kemarahannya, dua tamparan mendarat di pipi. Mendorong kuat tubuhku, hingga aku tersungkur, kepala mengenai ujung meja rias. Darah mengalir melewati alis. Aku tidak berdaya, seolah hendak masuk lubang hitam yang mengerikan.

"Andreas, cukup!" cegah Bu Zunaira. 

Aku memejamkan mata, pura-pura pingsan. Berharap tidak ada lagi siksaan. 

"Lebih baik kita singkirkan Kara sekarang." Satu tendangan dari Andreas mendarat di kaki.

"Kita pikirkan cara lain. Akan mencurigakan jika kedua istrimu meninggal. Apalagi kita juga melenyapkan si Rista yang ingin lapor ke pihak berwajib," kata Bu Zunaira.

"Cara apa, Ma?"

"Entahlah. Biar Mama pikirkan dulu. Pindahkan Kara di ruang bawah tanah," perintah Bu Zunaira. "Apa dia pingsan?"

"Iya," sahut Andreas.

"Semoga Kara tidak mendengar percakapan kita."

"Bungkam saja, Ma. Kita kubur di samping Rista."

"Mama bilang tidak!" seru Bu Zunaira.

Aku mendengar. Aku juga merasakan saat tubuh ini digendong Andreas, kemudian dilempar ke lantai ruang bawah tanah yang dingin--penjara baru untukku. Apakah esok hari aku masih bernapas?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yuni Iswoyo
oh angkasa, q kirablau adlh pnyelamat kara
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status