Share

Bab 4 Pulang

Dengan bersusah payah, aku merangkak ke atas kasur kecil. Tidur telentang seraya mengelap sisa darah di pipi. Ruang ini gelap, hanya ada ventilasi kecil. Aku menarik napas dalam-dalam, menghalau rasa perih yang muncul.

Ketakutan kembali menjalar saat pintu terbuka. Hanya selang satu jam Andreas sudah kembali. 

"Aku akan melepasmu. Kita akan bercerai. Oh, salah, tidak ada pernikahan. Penghulu yang menikahkan kita palsu, surat yang kamu tanda tangani juga palsu. Yang tidak palsu hanya tamu-tamu dan hidangan yang tersaji di pesta kecil kita," ungkap Andreas, membuatku terperangah.

"Ini ponselmu, bawa juga tas murahanmu. Cepat berdiri, aku akan mengantar pulang ke rumah reyotmu." Andreas melempar ponsel dan tas.

Ada apa di balik keputusan Andreas yang melepaskan diriku? Dia punya rencana apa?

"Cepat, Kara!" bentaknya.

Aku beranjak dari kasur kecil, saat berdiri penglihatan ini berputar, aku hampir terjatuh. 

Andreas meraih lenganku. "Ayo, cepat."

Kami berdua berjalan keluar ruang bawah tanah. Melintasi ruang keluarga, ada Bu Zunaira dan Nita--adik Andreas--mereka berdua tampak tersenyum sinis.

"Halo, Mbak Kara, bagaimana rasanya tidur dengan Angkasa Respati?" Nita mencibir. "Sayang sekali usiamu tidak muda, jadi sekarang daya jualmu rendah karena bekas pakai."

Keluarga Andreas terlibat semua, benar-benar keluarga iblis. Kali ini tidak ada pengawalan, aku duduk di jok samping pengemudi. Kepalaku miring ke kiri, menempel pada kaca jendela mobil.

Berbagai pertanyaan terus berputar, apa yang terjadi setelah aku pulang ke rumah? Apa dibebaskan begitu saja? Atau ada sesuatu yang bakal terjadi?

Mobil melaju menuju kampungku yang berjarak satu jam dari kota. Andreas mengendarai dengan kecepatan tinggi. 

"Lekas turun, sudah sampai," perintah Andreas.

Aku membuka pintu mobil, menginjakkan kaki di tanah. 

"Jangan lapor polisi, Kara. Kalau kamu masih ingin menghirup udara. Satu lagi, ada orang yang selalu mengawasimu. Ingat itu," ucap Andreas sebelum melesat kembali dengan mobilnya.

Dia mengancamku. Nasibku akan sama dengan Rista. 

Tanganku merogoh ke dalam tas, aku menyimpan kunci rumah di dompet. Rumah ini memang sederhana, tembok batu bata merah terlihat. Tegelnya hijau kusam. Namun, aku serasa masuk ke dalam taman yang indah.

"Aku pulang ...." gumamku sambil mendorong pintu.

Aku menuju kamar mandi, membersihkan diri. Merawat dan menutup luka di kening dengan plester dan perban. Lalu, duduk termenung dengan segelas air putih di tangan. 

Pada kenyataannya, aku bukan istri Andreas. Dia memalsukan semuanya. Sungguh licik sekali.

***

Aku mengisi daya baterai pada ponsel yang tinggal 10%. Hampir sebulan tidak digunakan, kuota data habis, jadi aku tidak bisa mengecek pesan W******p. Aku memutuskan keluar rumah, ke kios pulsa, lantas ke warung membeli makanan. Sedari pagi perutku belum terisi.

Untuk menutupi luka memar di pipi, aku mengenakan masker.

"Ini uang haram atau halal?" tanya Pak Dani sambil menerima uang dariku, untuk membayar dua roti pisang dan sebungkus nasi rames.

"Maksudnya, Pak?"

"Kamu, kan, menjual diri," jawabnya, "makanya kamu diceraikan Pak Andreas. Sudah dapat lelaki mapan, malah main serong."

 "A--aku tidak mengerti. Dari mana Pak Dani tahu, aku akan diceraikan?" tanyaku penasaran.

"Dari pembantu di rumah suamimu dan dari pemberitaan di media online, dari F******k. Seluruh warga kampung juga tahu. Nih, kembaliannya. Jangan balik lagi ke warungku. Hisss, bikin kotor nama kampung saja," kata Pak Dani.

Mungkinkah berita tidak benar mengenai diriku termasuk rencana dari Andreas dan Bu Zunaira? Mereka berdua menfitnahku dan memutar balikkan fakta.

"Eh, Kara. Dapat uang berapa hasil jual diri?" 

Aku tidak menghiraukan nyinyiran dari istrinya Pak Dani. Melangkah tergesa kembali ke rumah. Betapa terkejutnya aku, melihat teras rumah penuh pecahan telur busuk yang mengeluarkan aroma tidak sedap. 

Bukan hanya di teras, di jendela dan pintu pun penuh telur. Kertas berukuran besar di tempel dengan tulisan PERGI DARI KAMPUNG KAMI.

"Itulah akibat jadi perempuan m*r*h*n," cibir Bu Nungki, tetangga sebelah. 

"Aku bukan--" Percuma aku menjelaskan, bila mereka sudah termakan omongan Andreas.

Aku kehabisan tenaga setelah membersihkan teras, kepala ini semakin berdenyut hebat. Akhirnya aku terkapar di atas tempat tidur. Menyelaraskan irama napas yang tersengal.

"Kara!" Suara ketukan pada pintu.

Ya, Tuhan, siapa yang datang? Aku butuh istirahat.

"Ini aku, Bu Retno!"

Istrinya Pak RT datang. Mau tidak mau aku harus membuka pintu.

"Kara, wajahmu kenapa?" tanya Bu Retno.

"Silakan duduk, Bu." 

Bu Retno duduk di sebelahku. Dia menatapku, sepertinya khawatir melihat mukaku yang lebam. 

"Dianiaya Andreas, Bu." Aku memberitahu.

"Karena kamu pasang status wa, ya? Tentu suamimu marah, punya istri yang jual diri ke lelaki lain."

"Status wa?" Hampir satu bulan aku tidak aktif di W******p, karena ponsel diambil Andreas.

"Nih, statusmu tadi pagi. Coba lihat." Bu Retno menyodorkan ponsel miliknya.

[Open BO. Mlipir japri, YESS.] Emoji cium.

"Tidak betul itu, Bu. Ponselku dipegang Andreas selama sebulan." Aku mengambil ponsel di kamar. Perlahan aku paham rencana jahat Andreas. Aku segera menyalakan ponsel dan mengaktifkan kuota data. 

Berarti Andreas menggunakan ponselku dengan jaringan WIFI. Begitu aktif, banyak sekali pesan masuk. Menanyakan pesan BO. Ada yang menawar harga, ada bertanya layanan. Sangat menjijikkan. Aku langsung menghapus status wa.

"Banyak warga yang datang ke rumah, mereka resah dengan statusmu dan menginginkan kamu pergi dari sini," jelas Bu Retno.

"Bu Retno, itu fitnah dari Andreas." Aku kemudian menceritakan kisahku yang dijual Andreas, bahwa sebenarnya tidak ada pernikahan, bahwa aku tertipu. Aku masuk perangkap Andreas dan Bu Zunaira. Mereka berdua germo.

"Tapi, Bu Zunaira aktif di perbagai kegiatan sosial," sanggah Bu Retno sepertinya dia tidak percaya. "Dia wanita baik. Dia istri Bupati yang terhormat."

Cih.

Terhormat. Baik hati. Senang membantu, semuanya hanya topeng. Keluarga Andreas pintar berakting.

"Aku memang tidak punya bukti, Bu. Namun, itu kenyataannya." Letupan amarah bergejolak. Aku menutup wajah dengan kedua tangan, menahan tangis.

"Terus terang tidak bakalan ada yang percaya, Kara," lirih Bu Retno. "Aku pamit dulu, biar aku bicarakan dengan suamiku."

Aku tidak menyahut, setelah Bu Retno pergi--aku menutup pintu dan kembali ke atas tempat tidur. 

Jariku mengeklik mesin pencari, nama Andreas muncul dengan berita terbaru. Dia mengumumkan akan menceraikan diriku, karena aku tidak bisa berubah. Menurut dia aku tukang selingkuh dan menjual diri demi kepuasan. Aku istri yang tidak bisa diatur. 

Aku beralih ke F******k, Andreas mengunggah foto sedih. Dengan caption 'Aku sedih harus berpisah dengan Kara'. Dukungan diberikan pada Andreas lewat kolom komentar. Rata-rata juga disertai hujatan untuk diriku.

'Yang tabah, Pak Andreas. Lepas saja perempuan nggak guna'.

'Aku pikir si Kara lugu, OMG'.

Aku membiarkan layar ponsel menggelap dengan sendirinya  Andreas tidak membunuhku, tetapi mematikan namaku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status