Dengan bersusah payah, aku merangkak ke atas kasur kecil. Tidur telentang seraya mengelap sisa darah di pipi. Ruang ini gelap, hanya ada ventilasi kecil. Aku menarik napas dalam-dalam, menghalau rasa perih yang muncul.
Ketakutan kembali menjalar saat pintu terbuka. Hanya selang satu jam Andreas sudah kembali.
"Aku akan melepasmu. Kita akan bercerai. Oh, salah, tidak ada pernikahan. Penghulu yang menikahkan kita palsu, surat yang kamu tanda tangani juga palsu. Yang tidak palsu hanya tamu-tamu dan hidangan yang tersaji di pesta kecil kita," ungkap Andreas, membuatku terperangah.
"Ini ponselmu, bawa juga tas murahanmu. Cepat berdiri, aku akan mengantar pulang ke rumah reyotmu." Andreas melempar ponsel dan tas.
Ada apa di balik keputusan Andreas yang melepaskan diriku? Dia punya rencana apa?
"Cepat, Kara!" bentaknya.
Aku beranjak dari kasur kecil, saat berdiri penglihatan ini berputar, aku hampir terjatuh.
Andreas meraih lenganku. "Ayo, cepat."
Kami berdua berjalan keluar ruang bawah tanah. Melintasi ruang keluarga, ada Bu Zunaira dan Nita--adik Andreas--mereka berdua tampak tersenyum sinis.
"Halo, Mbak Kara, bagaimana rasanya tidur dengan Angkasa Respati?" Nita mencibir. "Sayang sekali usiamu tidak muda, jadi sekarang daya jualmu rendah karena bekas pakai."
Keluarga Andreas terlibat semua, benar-benar keluarga iblis. Kali ini tidak ada pengawalan, aku duduk di jok samping pengemudi. Kepalaku miring ke kiri, menempel pada kaca jendela mobil.
Berbagai pertanyaan terus berputar, apa yang terjadi setelah aku pulang ke rumah? Apa dibebaskan begitu saja? Atau ada sesuatu yang bakal terjadi?
Mobil melaju menuju kampungku yang berjarak satu jam dari kota. Andreas mengendarai dengan kecepatan tinggi.
"Lekas turun, sudah sampai," perintah Andreas.
Aku membuka pintu mobil, menginjakkan kaki di tanah.
"Jangan lapor polisi, Kara. Kalau kamu masih ingin menghirup udara. Satu lagi, ada orang yang selalu mengawasimu. Ingat itu," ucap Andreas sebelum melesat kembali dengan mobilnya.
Dia mengancamku. Nasibku akan sama dengan Rista.
Tanganku merogoh ke dalam tas, aku menyimpan kunci rumah di dompet. Rumah ini memang sederhana, tembok batu bata merah terlihat. Tegelnya hijau kusam. Namun, aku serasa masuk ke dalam taman yang indah.
"Aku pulang ...." gumamku sambil mendorong pintu.
Aku menuju kamar mandi, membersihkan diri. Merawat dan menutup luka di kening dengan plester dan perban. Lalu, duduk termenung dengan segelas air putih di tangan.
Pada kenyataannya, aku bukan istri Andreas. Dia memalsukan semuanya. Sungguh licik sekali.
***
Aku mengisi daya baterai pada ponsel yang tinggal 10%. Hampir sebulan tidak digunakan, kuota data habis, jadi aku tidak bisa mengecek pesan W******p. Aku memutuskan keluar rumah, ke kios pulsa, lantas ke warung membeli makanan. Sedari pagi perutku belum terisi.Untuk menutupi luka memar di pipi, aku mengenakan masker.
"Ini uang haram atau halal?" tanya Pak Dani sambil menerima uang dariku, untuk membayar dua roti pisang dan sebungkus nasi rames.
"Maksudnya, Pak?"
"Kamu, kan, menjual diri," jawabnya, "makanya kamu diceraikan Pak Andreas. Sudah dapat lelaki mapan, malah main serong."
"A--aku tidak mengerti. Dari mana Pak Dani tahu, aku akan diceraikan?" tanyaku penasaran.
"Dari pembantu di rumah suamimu dan dari pemberitaan di media online, dari F******k. Seluruh warga kampung juga tahu. Nih, kembaliannya. Jangan balik lagi ke warungku. Hisss, bikin kotor nama kampung saja," kata Pak Dani.
Mungkinkah berita tidak benar mengenai diriku termasuk rencana dari Andreas dan Bu Zunaira? Mereka berdua menfitnahku dan memutar balikkan fakta.
"Eh, Kara. Dapat uang berapa hasil jual diri?"
Aku tidak menghiraukan nyinyiran dari istrinya Pak Dani. Melangkah tergesa kembali ke rumah. Betapa terkejutnya aku, melihat teras rumah penuh pecahan telur busuk yang mengeluarkan aroma tidak sedap.
Bukan hanya di teras, di jendela dan pintu pun penuh telur. Kertas berukuran besar di tempel dengan tulisan PERGI DARI KAMPUNG KAMI.
"Itulah akibat jadi perempuan m*r*h*n," cibir Bu Nungki, tetangga sebelah.
"Aku bukan--" Percuma aku menjelaskan, bila mereka sudah termakan omongan Andreas.
Aku kehabisan tenaga setelah membersihkan teras, kepala ini semakin berdenyut hebat. Akhirnya aku terkapar di atas tempat tidur. Menyelaraskan irama napas yang tersengal.
"Kara!" Suara ketukan pada pintu.
Ya, Tuhan, siapa yang datang? Aku butuh istirahat.
"Ini aku, Bu Retno!"
Istrinya Pak RT datang. Mau tidak mau aku harus membuka pintu.
"Kara, wajahmu kenapa?" tanya Bu Retno.
"Silakan duduk, Bu."
Bu Retno duduk di sebelahku. Dia menatapku, sepertinya khawatir melihat mukaku yang lebam.
"Dianiaya Andreas, Bu." Aku memberitahu.
"Karena kamu pasang status wa, ya? Tentu suamimu marah, punya istri yang jual diri ke lelaki lain."
"Status wa?" Hampir satu bulan aku tidak aktif di W******p, karena ponsel diambil Andreas.
"Nih, statusmu tadi pagi. Coba lihat." Bu Retno menyodorkan ponsel miliknya.
[Open BO. Mlipir japri, YESS.] Emoji cium.
"Tidak betul itu, Bu. Ponselku dipegang Andreas selama sebulan." Aku mengambil ponsel di kamar. Perlahan aku paham rencana jahat Andreas. Aku segera menyalakan ponsel dan mengaktifkan kuota data.
Berarti Andreas menggunakan ponselku dengan jaringan WIFI. Begitu aktif, banyak sekali pesan masuk. Menanyakan pesan BO. Ada yang menawar harga, ada bertanya layanan. Sangat menjijikkan. Aku langsung menghapus status wa.
"Banyak warga yang datang ke rumah, mereka resah dengan statusmu dan menginginkan kamu pergi dari sini," jelas Bu Retno.
"Bu Retno, itu fitnah dari Andreas." Aku kemudian menceritakan kisahku yang dijual Andreas, bahwa sebenarnya tidak ada pernikahan, bahwa aku tertipu. Aku masuk perangkap Andreas dan Bu Zunaira. Mereka berdua germo.
"Tapi, Bu Zunaira aktif di perbagai kegiatan sosial," sanggah Bu Retno sepertinya dia tidak percaya. "Dia wanita baik. Dia istri Bupati yang terhormat."
Cih.
Terhormat. Baik hati. Senang membantu, semuanya hanya topeng. Keluarga Andreas pintar berakting.
"Aku memang tidak punya bukti, Bu. Namun, itu kenyataannya." Letupan amarah bergejolak. Aku menutup wajah dengan kedua tangan, menahan tangis.
"Terus terang tidak bakalan ada yang percaya, Kara," lirih Bu Retno. "Aku pamit dulu, biar aku bicarakan dengan suamiku."
Aku tidak menyahut, setelah Bu Retno pergi--aku menutup pintu dan kembali ke atas tempat tidur.
Jariku mengeklik mesin pencari, nama Andreas muncul dengan berita terbaru. Dia mengumumkan akan menceraikan diriku, karena aku tidak bisa berubah. Menurut dia aku tukang selingkuh dan menjual diri demi kepuasan. Aku istri yang tidak bisa diatur.
Aku beralih ke F******k, Andreas mengunggah foto sedih. Dengan caption 'Aku sedih harus berpisah dengan Kara'. Dukungan diberikan pada Andreas lewat kolom komentar. Rata-rata juga disertai hujatan untuk diriku.
'Yang tabah, Pak Andreas. Lepas saja perempuan nggak guna'.
'Aku pikir si Kara lugu, OMG'.
Aku membiarkan layar ponsel menggelap dengan sendirinya Andreas tidak membunuhku, tetapi mematikan namaku.
Aku memasukkan pakaian ke tas, juga sertifikat rumah. Sudah kuputuskan meninggalkan kampung dan rumah yang penuh kenangan. Bukan menyerah, hanya menjaga kewarasan. Semua tetangga rutin menggunjing, tidak ada warung yang mengizinkan aku masuk. Selama dua hari tinggal di rumah telur busuk juga rutin dikirim. Bahkan tadi pagi kotoran manusia dioleskan pada tiang rumah. Esok hari aku baru pergi. Hari ini aku akan ke makam Bapak dan Ibu, lantas membeli tiket bus. Selesai mengepak pakaian, aku keluar kamar. Memandangi tiap sudut rumah yang bertahun-tahun aku tinggali. Mataku terpaku pada layar televisi yang menyala. Ada acara yang meliput Angkasa tengah meresmikan toserba. Hati ini bergelenyar aneh melihatnya tersenyum. Wartawan yang meliput menanyakan kondisi papanya yang dirawat di rumah sakit luar negeri. Aku pun teringat ucapan Burhan, bahwa Angkasa akan tinggal lama untuk menemani papanya. Tetapi, pada
Apa ini tepat? Namun, aku sudah berdiri di depan gerbang rumah Angkasa selama lima menit. Sementara, hari mengalami proses peralihan. Bercak-bercak warna jingga makin lama makin menyusut, berbaur, berubah gelap.Klakson mobil membuat jantungku melompat. Degup-degupnya melesat cepat."Hei, minggir!"Perlahan aku menepi, mobil sedan hitam itu hendak melewati gerbang. Aku tidak bisa melihat siapa yang berada di dalam mobil.Ketika pintu gerbang terbuka lebar, mobil itu malah berhenti. Sosok bertubuh tinggi turun. Dia Angkasa."Kau ingin bertemu dengan siapa?" tanyanya, sangat dingin."Aku ... ingin bertemu denganmu. Aku ingin memberitahu sesuatu." Aku menjawab, berusaha tenang."Aku tidak punya waktu untukmu, Kara," tolak Angkasa."Aku tidak meminta waktu seumur hidupmu, hanya sebentar saja.""Baiklah. Kita bicara di dalam,"
"Ayo, sarapan, Kara," ajak Bu Retno saat aku keluar kamar, perempuan yang memakai sweter kebesaran itu menaruh sepiring nasi goreng.Sementara Pak Danar mengisi kulkas dengan sayuran dan telur."Kami sebentar lagi harus segera pulang, Kara," ucap Bu Retno. "Tadi subuh suamiku sempat berbelanja di pasar. Untuk tiga hari ke depan persediaan makan untukmu cukup.""Terima kasih atas bantuannya." Aku menarik kursi. "Sudah merepotkan kalian berdua.""Kara ...." Bu Retno duduk di sebelahku. "Apa benar kamu hamil?" tanyanya kemudian, hati-hati.Aku mengangguk. "Iya.""Kamu tidak mual dan muntah?""Tidak, Bu Retno."Tangan Bu Retno tiba-tiba mengusap perutku. "Ah, anak hebat kamu. Tidak mau menyusahkan Mama, ya? Bagus, karena mamamu sudah banyak menderita."Mataku menghangat, aku tidak pusing, mual, dan muntah. Benarkah si bayi men
Aku menuang air hangat ke dalam gelas, mengaduk-aduk susu rasa cokelat dengan pikiran gentayangan ke Angkasa. Semalam bertemu di hotel, pagi ini bertemu di perumahan. Duduk termangu, melihat tagihan listrik, air, dan biaya perawatan apartemen. Tabunganku yang sedikit sudah habis. Nanti sore ada jadwal kontrol kandungan ke bidan. Ketukan pintu membuat lamunan buyar, aku mengelap sisa susu di sudut bibir dengan tisu. Kemudian membuka pintu. "Mbak Kara, temenku ingin membeli ... ng ... lihat baju-baju buatan Mbak Kara. Hehehe, kalo cocok baru beli. Gitu." Miranda, tetangga di ujung koridor datang dengan seorang temannya. "Mari, mari masuk. Maaf tempatnya berantakan." Aku mempersilakan mereka masuk. Keduanya memilih-milih blus pada tempat gantungan. Kira-kira ada lima belas blus. Keduanya berbisik-bisik entah apa. "Mbak Kara, kasih diskon, ya? Kami akan beli dua, seratus
Aku buru-buru keluar apartemen. Aku hampir saja lupa ada janji dengan Nyonya Aurora. Dia memintaku datang ke rumahnya, dia memintaku membuatkan baju atau gaun atau apalah untuk pesta kebun. Di antara puluhan bahkan mungkin ratusan desainer top--dengan jam terbang tinggi dan penghargaan sana sini--Nyonya Aurora memilihku. Seorang penjahit biasa yang hanya belajar desain secara otodidak."Hei, selamat siang, Kara." Pram menyapa, senyum kecil mengembang di kedua sudut bibirnya. Sementara, tangan kirinya memegang kantong plastik hitam."Mau ke mana?" tanyaku, basa-basi."Buang sampah."Kami berjalan beriringan menuju lift. Tidak sengaja beriringan, karena tujuan kami sama. Turun menggunakan lift."Oughh.""Ada apa, Kara?"Aku menyengir. "Tidak apa-apa, bayiku menendang cukup keras.""Boleh aku menyentuh perutmu?""Heh?" Aku me
Pram perlahan menurunkan tubuhku. Keringat membasahi kening. Napasnya terdengar berat dan putus-putus. Aku sepertinya telah menyiksa Pram, tapi aku tidak menyuruhnya untuk membantuku."Terima kasih, Pram.""Sama-sama, Kara." Pram mengusap peluh dengan punggung tangannya."Aku beli roti bakar." Aku terdiam sejenak. "Untuk membalas kebaikanmu, aku ingin membuatkan segelas es teh. Mari masuk," ajakku."Oh, baiklah." Pram terlihat antusias.Aku mendorong pintu apartemen. Area yang bersih hanya di sekitar sofa. Aku akhir-akhir ini sering dilanda rasa malas.Pram memperhatikan tiap sudut apartemen yang penuh kain. Dia duduk di sofa sambil bertanya, "Kenapa tidak berhenti mengantar susu? Kenapa tidak fokus membuat baju saja?"Tanganku berhenti mengaduk gula di gelas. "Dari mana kamu tahu aku mengantar susu?""Aku pernah melihatmu mengantar susu s
"Tidak mungkin Kara pemiliknya. Dia tidak pernah kuliah atau ...." Perkataan Bu Zunaira berjeda. "Sekolah fashion. Dia hanya buruh pabrik." "Iya, Ma. Tidak mungkin," timpal Nita bersungut-sungut. "Sebaiknya kita pergi saja, cari butik lain." "Aku tidak mau, sudah jauh-jauh ke sini. Satu jam perjalanan. Melelahkan. Sebenarnya kalian ada masalah apa dengan pemilik butik?" Perempuan berambut lurus itu menolak. "Mbak Rosana, kami--" Nita sepertinya kesulitan menjelaskan situasi yang pernah terjadi. Aku menikmati kebingungan yang tampak terlihat di wajah Bu Zunaira dan Nita. Sementara Pram meletakkan sikunya dimeja, menopang dagunya dengan tangan, dia juga mengamati tiga perempuan di hadapan kami. "Aku tetap ingin beli baju buatan Miss Kara." Rosana ngeyel. Aku hampir tertawa mendengar sebutan Miss. "Andreas tidak akan suka, Ros. Suamimu bisa ma
"Maaf, ya, Dora, Hesti. Kalian pulang terlambat," ucapku. Dua hari lagi aku ikut event fashion show terbesar. Untuk meningkatkan omset penjualan dan merupakan media yang efektif bagi labelku. Jadi, memerlukan persiapan yang matang."Saya permisi. Aku duluan, ya, Dora." Hesti keluar butik sementara Dora masih membereskan berkas-berkas.Aku kemudian mengecek Langit lewat panggilan video--yang dalam pengasuhan Bu Hayu. Perempuan itu menjaga Langit ketika aku bekerja pada siang hari. Kadang aku membawa Langit ke butik. Bayi berusia dua bulan itu membuat hatiku berbunga tiap hari."Langit sedang tidur." Bu Hayu memberitahu. Dia mengarahkan ponsel pada boks bayi. Terlihat Langit terlelap."Baiklah." Aku menutup panggilan video."Pak Pram datang, Mbak Kara," ujar Dora.Aku mendongak, dari kaca jendela butik aku melihat Pram turun dari taksi. Dia menyandang tas gitar pada bahu. Me